FAI“Aku numpang ke kamar mandi ya?” ucapnya meminta izin.“Silakan, Leya,” jawabku lalu beranjak dari sisi pintu agar Cataleya bisa lewat.Aku membereskan kamera yang Cataleya letakkan di tempat tidur. Aku harap setelah ini dia segera pergi agar aku juga bisa beristirahat dan menenangkan diri. Keberadaannya di sekitarku adalah bahaya besar. Aku khawatir tidak mampu mengendalikan diri lalu melanggar aturan yang telah kubuat untuk diri sendiri.Sambil menunggunya keluar dari kamar mandi, aku memijit-mijit pundak yang terasa pegal. Tidak hanya karena lelah, namun juga karena posisi tidur yang salah.“Fai …” Suara lembut itu terdengar bersamaan dengan sentuhan yang sama lembutnya di bahuku. Telapak tangannya menempel di punggung tanganku.Aku menoleh dan mendapati Cataleya di dekatku.“Capek ya?” tanyanya.“Cuma pegal dikit,” jawabku sembari menyingkirkan tangan dari bahu yang otomatis membuat tangan Cataleya juga terangkat.“Aku pijitin ya?”“Nggak, nggak usah.” Aku buru-buru berdiri. “
CATALEYACahaya matahari yang menerobos masuk melalui gorden jendela yang tidak sepenuhnya tertutup membangunkanku pagi ini.Kelopak mataku perlahan terbuka bersama rasa asing yang terasa di sela-sela paha.Bukan hanya perasaanku yang asing, namun tempatku berada saat ini juga tidak familier denganku.Di mana ini?Ini bukanlah kamarku. Kamarku tidak begini. Dinding kamarku dilapisi wallpaper bermotif floral. Sedangkan dinding kamar ini berwarna putih bersih tanpa ada hiasan atau ukiran apapun.Pertanyaan di kepalaku bertambah ketika aku bergerak dan mendapati ada seorang laki-laki berbaring di sebelahku. Aku tidak tahu wajahnya karena dia memunggungiku.Dia bukan Alan, tapi dia ...Napasku terasa berat setelah menyadari siapa laki-laki yang sedang lelap memunggungiku.Tato berbentuk huruf F yang terukir di punggung kanannya sudah sangat menjelaskan siapa dia.Perlahan potongan adegan demi adegan yang terjadi kemarin malam bermunculan di benakku, yang menghadirkan berbagai rasa di hat
FAISaat terbangun pagi ini aku cukup kaget menyaksikan ada wanita di sebelahku. Tapi melihat Cataleya berurai air mata jauh mengalahkan keterkejutanku. Perasaan bersalah hadir begitu saja di hatiku. Dia pasti menangis menyesali perbuatan yang kami lakukan semalam. Inilah yang aku khawatirkan karena penyesalan datangnya selalu belakangan.Belum habis rasa kagetku, satu pikiran lain datang mengganggu. Tentang Cataleya yang kudapatkan dalam keadaan masih suci. Bagaimana mungkin dia masih virgin? Sulit untuk memercayai wanita yang sudah menikah selama setengah tahun keadaannya sama seperti gadis. Apa suaminya tidak pernah menyentuhnya? Tapi kenapa? Apa yang salah? Bagaimana mungkin Alan mampu menahan diri memiliki istri secantik, se-sexy dan seindah Cataleya?"Leya, maaf, aku nggak tahu kalau kamu masih virgin." Aku mengulurkan jari menghapus air mata di pipinya.Dia menangkup jariku dengan telapak tangannya yang halus. Seulas senyum menghiasi bibirnya."Kamu nggak salah, Fai. Kamu nggak
FAI"Sebentar ya."Aku beranjak setelah Cataleya berada di bathtub yang dirancang untuk dua orang dewasa.Aku masuk ke kamar lalu kembali dengan beberapa batang lilin aromaterapi di tangan. Aku menyalakannya. Sesaat kemudian aroma lavender memenuhi segenap area kamar mandi.Aku kemudian masuk ke dalam bathtub dan memosisikan diri di belakang si cantik.“Wangi banget, Fai…”“Kamu suka?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya dari belakang.”Suka,” sahutku Cataleya lirih. Kurasakan ada getaran dalam suaranya.Cataleya menyandarkan punggungnya ke dadaku yang langsung kusambut dengan kecupan mesra di pundaknya."Leya ...," panggilku pelan.“Iya, Fai.” Cataleya menoleh melalui bahunya. Suara lembut Cataleya terdengar sangat manja di telingaku.Aku menjawab dengan sunggingan senyum. Aku hanya ingin melihat raut jelitanya. Sementara dia menunggu apa yang ingin aku katakan."Fai?" Dia menggoyangkan tanganku agar aku menjawab pertanyaannya."Nggak apa-apa, aku cuma mau ngeliat wajah kamu."Cataleya t
CATALEYASetelah kesepakatan kami tadi aku dan Fai keluar dari kamar mandi lalu berpakaian. Aku meminta bantuan Fai untuk menaikkan zipper dress. Sebenarnya aku bisa melakukan sendiri. Tapi aku hanya sedang ingin dimanja.Melalui kaca yang berada di depan kami berdua aku melihat Fai yang sedang berdiri di belakangku.Aku merekam setiap detail fitur wajahnya di benakku. Hidungnya yang mancung, iris coklatnya yang setiap menatap selalu memancarkan keteduhan, tahi lalat yang tumbuh di sudut bibirnya yang membuat Fai jadi semakin manis, lalu …Suara ponsel yang terdengar tiba-tiba menghentikan keasyikanku menilai Fai. Aku mengabaikannya. Aku lupa mematikannya kemarin.“Leya, handphone kamu bunyi.” Fai mengingatkanku. Dia sudah selesai memasangkan zipper-ku.Dengan malas aku bergerak menuju nakas lalu mengambilnya dari sana. Rasa kesal muncul begitu saja saat melihat nama Alan tertera di layar. Aku terpaksa menjawab panggilan tersebut.“Ya, Lan?”“Leya, kamu masih di apartemen Fai? Gimana
FAIKami akhirnya tiba di studio. Beberapa orang kru menyapa Cataleya dengan sopan. Sebagai owner tentu saja Cataleya sangat disegani."Tumben Mbak Leya ke sini?" sapa Tyo, asistenku di studio."Iya nih, lagi pengen ngeliat Fai kerja." Cataleya menjawab disertai senyumnya yang manis."Jadi ceritanya lagi sidak nih," timpal kru yang lain sambil tertawa.Cataleya ikut tertawa menampakkan deretan giginya yang rapi.Aku dan Cataleya lalu masuk ke dalam studio. Tampak di sana Kiki sang makeup artist sedang mendandani seorang model yang akan kupotret.Saat melihat Cataleya datang Kiki menjeda pekerjaannya lalu menyapa Cataleya. Begitu pun dengan sang model yang tersenyum pada Cataleya."Eh, ada Mbak Leya, tumben ke sini, Mbak?""Lagi santai makanya ke sini." Cataleya menjawab lalu duduk di sofa sudut ruangan kemudian membuka sebuah majalah.Berdasarkan informasi yang aku terima sebelum aku di sini sofa itu tidak ada di sana. Studio ini juga apa adanya. Tapi sekarang semuanya tersedia dengan
CATALEYASetelah memandang padaku dan Alan, Fai memalingkan muka lalu berbicara dengan Nadia. Entah apa yang mereka perbincangkan, tapi melihat Nadia tertawa-tawa membuatku gerah juga. Apalagi sesekali Nadia mencubit lengan Fai dengan gaya centilnya.Suara batuk Alan memaksaku mengalihkan pandangan dari Fai dan Nadia yang masih bercengkrama berdua."Pulang yuk, aku mau makan siang berdua sama kamu." Alan mengajakku pergi."Kamu aja. Aku udah ada janji makan siang sama Fai." Aku menolak ajakannya mentah-mentah.Alan menghela napas panjang lalu memanggil Fai sambil melambaikan tangan."Fai!"Fai melihat ke arah kami lalu bicara sejenak dengan Nadia sebelum berjalan mendekatiku dan Alan."Hey, Lan." Sapanya pada Alan. Gesturnya biasa. Tidak tampak canggung karena sesuatu yang telah kami lakukan."Leya bilang kalian ada janji makan siang. Bisa kalau dibatalin dulu? Aku lagi ada acara sama Leya."Fai melirikku sedetik lalu mengembalikan perhatian pada Alan."Nggak apa-apa. Kapan-kapan masi
CATALEYAAku duduk sendiri di dalam taksi yang membawaku pergi. Malam ini aku meninggalkan rumah menuju apartemen Fai. Demi keamanan agar tidak ada yang mencium jejakku, Alan memintaku menggunakan taksi.Aku belum mengabari Fai kalau malam ini akan datang padanya. Biar saja menjadi kejutan sekalian agar aku tahu bagaimana dia di belakangku.Sesaat kemudian aku berubah pikiran. Mungkin ada baiknya aku tahu dia ada di mana.Aku mengiriminya pesan."Fai, di mana?"Pesanku tidak berbalas bermenit-menit lamanya. Saat aku menelepon dia juga tidak menjawabnya. Apa Fai masih kerja? Tapi ini kan sudah malam."Pak, kita ke studio dulu,” ucapku pada supir taksi."Studio mana, Mbak?" Si supir bertanya melalui spion lalu mengiakan setelah aku menyebut alamat studio milik Alan.Beberapa unit mobil terparkir di depan studio setelah aku tiba di sana. Di antara mobil-mobil itu terselip Jeep yang digunakan Fai untuk transportasi selama di Indonesia. Itu artinya Fai tidak ke mana-mana. Dia masih di dala
CATALEYAMalam ini akhirnya aku check out dari hotel ditemani Fai dan Rasti. Sejak tadi Rasti tidak pulang ke rumahnya. Dia selalu menempel pada Fai seperti lintah. Aku berpikir jangan-jangan sudah berhari-hari Rasti menginap di rumah Fai. Dan mereka hanya berdua. Mereka bisa melakukan segalanya.Lalu sekarang hatiku kembali diuji saat menyaksikan keduanya bermesraan di hadapanku. Fai menyetir. Rasti duduk di sebelahnya sambil sesekali menyandarkan kepala ke pundak Fai sedangkan aku duduk sendiri menjadi nyamuk di belakang. Saat Fai bersiul mengikuti musik dari audio mobil, Rasti ikut bersenandung kecil. Mereka terlihat begitu kompak dan mesra. Mereka selaras dan serasi. Keduanya couple goals abad ini yang pernah aku lihat.Setiba di rumah, Rasti mengatakan padaku bahwa aku harus pindah kamar."Leya, kamu tidur di kamar Cleo aja ya."Aku hanya bisa menurut apa kata tuan rumah. Aku hanya tamu di sini. Dan bisa kutebak Rasti akan tidur berdua di kamar Fai. Kenapa bukan aku saja yang ber
FAIAku menemukan Rasti dan Cataleya sedang berbincang di kamarku. Keduanya langsung menutup mulut rapat-rapat saat melihatku muncul.“Kok pada diam? Pasti tadi lagi ngomongin aku?” tudingku memandang keduanya bergantian.“Ih, GR!” Rasti mengelus pipiku mesra yang membuatku salah tingkah karena dia melakukannya di depan Cataleya.Sedangkan Cataleya hanya tersenyum tipis menyaksikan kami.“Dari mana aja sih tadi?”“Beliin apel buat Queen, sama buat Leya juga.” Aku menunjukkan dua bungkusan yang berbeda.Rasti menatapku penuh tanda tanya tapi tidak mengatakan apa-apa.“Queen itu kuda yang kamu pernah kamu ceritain ya, Fai?” tanya Cataleya menyela.“Yup. She is my girl.”“Nope. She’s not your girl anymore,” sanggah Rasti tidak setuju. “I’m your girl.” Dia melanjutkan sambil menyandarkan kepalanya ke perutku yang berdiri di dekatnya sedangkan kedua tangannya melingkariku dengan begitu protektif.Aku memaksakan senyum kaku. Situasi ini membuatku canggung.“Anyway, kamu udah makan, Leya?” A
CATALEYARasti lalu terdiam. Dia memandangku lekat dan dalam yang membuatku sedikit salah tingkah. Apa yang saat ini sedang dipikirkannya mengenaiku?"Cataleya, kamu ngerasa nggak sih kalau kita itu mirip?"Ternyata bukan hanya pikiranku. Rasti juga merasakannya."Dari awal tadi kita kenalan aku juga ngerasa gitu, Ras. Makanya aku heran."Rasti tersenyum. "Katanya ada tujuh kembaran kita di dunia. Jangan-jangan aku dan kamu adalah di antaranya," ucapnya berfilosofi."Bisa jadi sih,” jawabku setuju. Aku juga pernah mendengar mengenai hal tersebut. Dulu aku masih kurang percaya. Namun setelah bertemu dengan Rasti aku mulai meyakininya sedikit demi sedikit."Leya, kamu di Indonesia tinggal di mana?""Jakarta.""Kamu asli Indonesia?"Kalau sudah menyangkut mengenai silsilah dan asal usul terasa ada yang mengganjal di hatiku. Walau menyakitkan tapi aku nggak ingin mengingkari asal usulku. Aku ada di dunia karena kedua orang tuaku."Nggak juga. Aku ada darah Belanda."Pengakuan jujurku memb
CATALEYASaat pertama kali membuka mata yang tertangkap oleh lensaku adalah wajah cemas Fai dan kekasihnya. Sedangkan aku terbaring lemah dikelilingi keduanya. Menilik dari cat dinding ruangan ini aku yakin ini bukanlah hotel tempatku menginap."Fai, aku di mana? Aku kenapa?" suaraku lirih."Tadi kamu pingsan, Leya," jawab Fai memberitahu."Pingsan?" Dahiku berkerut.Aku memaksa otakku mereka ulang kejadian itu. Seingatku tadi aku numpang ke kamar mandi diantar Rasti. Lalu dia meninggalkanku sendiri. Setelah selesai buang air aku merasa kepalaku yang berat tidak hanya sekadar berat tapi juga pusing. Lalu setelahnya aku jatuh terkulai dalam keadaan duduk di depan pintu kamar mandi.Sontak aku memegang perut. Untung tadi aku tidak jatuh saat berdiri yang akan membahayakan calon anakku. Calon anak Fai. Calon anak kami berdua."Sudah ingat?" tanya Fai memandangiku.Kepalaku bergerak perlahan membentuk anggukan."Sekarang aku di mana?""Kamu di kamarku, Leya. Tadi aku menelfon dokter, tapi
CATALEYAGadis yang berdiri di hadapanku saat ini dengan hanya menggunakan sweatshirt dan loose pants terlihat begitu cantik kendati rambutnya terlihat kusut. Mungkin dia sedang tidur saat aku membunyikan bel.Siapa dia sesungguhnya? Fai bilang jika dia hanya dua bersaudara. Dan perempuan di hadapanku bukan Cleo. Fai pernah menunjukkan foto adiknya padaku yang jelas-jelas bukan gadis ini. Karena gadis di hadapanku ini terlihat memiliki sedikit kemiripan denganku. Hidungnya, bibirnya, terlebih matanya bagai meng-copy milikku. Yang berbeda dari kami adalah tubuhnya yang tidak seberisi aku.Kami saling menatap dengan pikiran yang tersimpan di kepala masing-masing. Dia juga tampak bingung. Mungkin pikirannya sama denganku. Menyadari bahwa kami memiliki beberapa kesamaan.“Good morning, is this Fai’s House?” Aku menyapanya setelah terbangun dari ketermanguan.Gadis itu mengangguk sebelum berkata, “Who are you?”“I’m Cataleya from Indonesia.” Aku mengenalkan diri dengan ramah, tak lupa mema
FAIAku membiarkan Rasti pergi lalu memejamkan mata merenungi perbuatanku. Rasti mungkin akan merasa tersakiti kalau tahu aku menganggapnya sebagai Cataleya. Tapi jujur, aku tidak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian.Aroma chamomile kembali menyerbu hidungku bersamaan dengan suara gadisku.“Fai, someone is looking for you.”CATALEYAAku tersentak ketika mendengar suara alarm. Spontan tanganku meraba-raba mencari ponsel. Tadi aku memang menyalakan alarm karena takut kebablasan tidur sampai sore.Sambil menutupi mulut yang menguap dengan telapak tangan, aku mematikan alarm. Tidur hanya satu jam tidak membantu memulihkan tenagaku. Kepalaku terasa berat serta ingin muntah. Entah ini karena jet lag atau karena pengaruh kehamilanku.Dan aku benar-benar muntah ketika masuk ke kamar mandi. Saat berkaca di cermin aku melihat mukaku pucat selain pipiku yang tampak lebih berisi dari sebelum hamil dulu.Wajah Fai melintas seketika.Pikiran-pikiran tentang bagaimana reaksinya setelah tahu men
FAIKamarku terasa begitu dingin walau pendingin udara tidak menyala. Sampai saat ini musim dingin masih berlangsung yang menurut prediksi baru akan selesai akhir Maret nanti.Aku merapatkan selimut lalu menyambung tidur yang belum puas. Hari ini aku akan tidur seharian. Mumpung hari libur, mumpung nggak ada Mama Papa. Sejak kemarin kedua orang tuaku itu pergi. Papa mengajak Mama ke Arizona untuk menyaksikan pertandingan basket klub favorit mereka berdua, Phoenix Suns.Dengan mata terperjam, dahiku mengenyit saat merasakan ada tangan melingkupi tubuhku. Seseorang memelukku dari belakang.Baru akan menebak siapa dia, dengan cepat indera penciumanku mengenali aromanya. Aku sudah sangat hafal bau chamomile yang saat ini terhirup oleh hidungku.“Guess what?” Bisikan lembut itu tertangkap gendang telingaku.“Definitely my queen,” jawabku asal dengan bibir melengkungkan senyum.Rasti tertawa yang mengukuhkan dugaanku bahwa itu adalah dia. Pelukannya bertambah erat di tubuhku.“Fai, Tante Zo
CATALEYAAngin dingin menyampaikan selamat datang padaku saat aku menginjakkan kaki di Dulles International Airport. Aku merapatkan long coat yang membungkus tubuhku sejak di pesawat.Berdasarkan petunjuk dari Devanka, aku langsung mencari taksi untuk kemudian menuju alamat hotel yang diberikannya.Badanku terasa remuk akibat penerbangan panjang yang melelahkan. Seharusnya aku tiba sejak kemarin malam. Namun, penerbangan terasa lebih panjang karena transit di Doha berjam-jam lebih lama dari yang seharusnya.Semakin jauh meninggalkan bandara, suasana tidak lagi seramai tadi. Beberapa kendaraan masih terlihat di jalan raya namun tidak sepadat tadi. Aku mengambil ponsel lalu membuka Maps untuk mengetahui posisiku saat ini. Sekitar tiga kilometer lagi aku akan tiba di One Season Hotel. Bersamaan dengan itu detak jantungku mulai mengencang. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Fai. Aku akan berterus terang padanya mengenai keadaanku tanpa ada satu pun yang di-skip.“We’ve arrived.”Perkat
FAI"TPOA ngadain kompetisi, kamu nggak mau ikut?"Aku mengangkat wajah dari balik kamera lalu memindahkan pusat atensi pada Papa yang mengajakku bicara. TPOA adalah nama salah satu komunitas fotografi profesional di Amerika yang sering mengadakan lomba atau kompetisi foto bergengsi."Boleh, Pa. Temanya apa?""Her little food."Jawaban Papa membuatku mengernyit. Dulu waktu masih muda Papa sering sekali ikut kompetisi dan berkali-kali memenangkannya. Dari sana karir fotografi Papa berkembang sampai Papa menjadi seorang fotografer profesional dengan segudang penghargaan dan pengalaman."Kenapa, Fai?” tanya Papa heran menyaksikan ekspresiku."Lagi nggak ada ide, Pa.""Gampang kok. Cuma mesti ada her and food.""Wajib banget ada her nya, Pa? Kalau cuma food gimana?"Papa tertawa. "Ya nggak sesuai tema namanya. Foto-foto lama juga nggak apa-apa. Coba submit aja dulu.""Deadline-nya kapan?""Tiga hari lagi.""Telat banget Papa ngasih taunya,” kataku menyesalkan."Papa lupa, apalagi sekarang