Kiara membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Kamar ibu masih sama seperti sebelum dia menikah. Ibunya selalu membersihkan kamar ini dan mengganti seprei secara berkala meskipun tidak dipakai. "Kenapa dia bisa tahu kalau aku ada di sini? Bukankah dua bulan ini dia tidak tahu keberadaanku?" gumam Kiara. Ya, hingga saat ini Tiara masih mengira kalau suaminya tidak tahu tempat persembunyiannya. Kepada lelaki itu selalu memantaunya bahkan Apa yang sedang dia lakukan setiap harinya pun Samudra mengetahuinya. Capek memikirkan suaminya yang mendadak berubah menjadi lebih hamble di hadapan kedua orang tuanya membuat matanya perlahan-lahan tertutup. Tiara tertidur hingga tidak tahu kalau suaminya sudah menyusul ke kamar. Ia tidur dengan sangat pulas seolah-olah sudah tidak pernah selama berbulan-bulan.Samudra duduk di lantai dekat ranjang. Posisinya menghadap ke arah Kiara yang tidur miring sehingga bisa leluasa memandangi wajah sang istri yang tampak begitu damai dalam tidurnya. Tatapan S
"Kenapa? Apa aku sejahat itu di matamu sampai tidak memiliki kesempatan untuk berubah, sayang?" "Karena aku ... tidak mencintaimu," jawab Kiara dengan suara bergetar.Tidak ada yang kalimat lebih menyakitkan selain kalimat itu. "Mungkin seperti inilah yang dirasakan Kiara dulu," batin Samudra. Pria yang biasanya tegas itu mendadak kehilangan seluruh kekuatannya. Rasa sakit yang mendera membuat seluruh saragnya lumpuh seketika hingga bibirnya pun tak mampu lagi berucap. Samudra berdiri dengan susah harga dirinya lalu pergi meninggalkan Kiara yang masih bergeming di tempatnya. Wanita berkulit putih itu perlahan menatap punggung lebar suaminya hingga lenyap ditelan pintu. Meskipun bibir mengatakan demikian, tapi percayalah dalam hatinya sebuah luka kembali menganga. Tak ada yang tahu kalau wanita itu sebenarnya sudah mulai jatuh cinta pada suaminya. Entah sejak kapan karena Kiara sendiri tak tahu kapan perasaan itu mulai tumbuh dalam hatinya. Kiara tergugu menangisi nasib rumah tan
Sudah dua hari Cantika tidak mau makan dan mogok bicara. Bahkan gadis kexil itu juga mengurung diri di kamar dan tidak mau berbicara dengan siapapun terutama papanya.Samudra baru saja pulang dari kantor dengan wajah kusut. Jas sudah tidak lagi terpakai dengan dasi longgar dan lengan kemeja terlipat sampai siku. Pria itu tampak sedikit kurang terurus semenjak pertemuannya dengan Kiara 2 hari yang lalu. Samudra yang biasanya tidak pernah menumbuhkan jenggotnya kini sudah tampak tumbuh janggut dan jambangnya. Pria itu tampak lebih dewasa tapi dua lingkaran hitam di kelopak mata menunjukkan kalau pria itu benar-benar lelah dan kurang tidur. Dengan langkah gontai Samudra berjalan menuju tangga untuk naik ke kamarnya. Namun tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya. "Kamu sudah pulang, Sam?"Samudra membalikkan badan lalu mengangguk sebagai jawaban. "Iya, Mah. Bagaimana kondisi Cantika apakah dia sudah mau makan?"Terdengar nafas panjang dari mulut Melinda. Wanita paruh baya yang m
Untuk pertama kalinya wanita paruh baya itu mengucap kata kasar pada putranya. Mungkin karena sudah sangat gemas dengan keluguan putra yangnia besarkan itu. Sebagai pebisnis sukses, Samudra sangat pandai membuat strategi dalam memenangkan tender dan memajukan perusahaan. Namun untuk urusan hati perempuan, ternyata nol besar. Selain tidak peka juga tidak pandai meluluhkan hatinya. "Sam, kamu mau membuat kita semua celaka?" teriak Melinda karena putranya mengerem mendadak. "Maaf, Ma. Sam kaget. Mama sih kenapa ngomong gitu sama aku?" Melinda tak menjawab. Ia kembali melihat cucunya yang terus mengigau memanggil mamanya. Badannya bahkan menggigil tapi suhu tubuh tinggi. "Sudah, ayo cepat. Cantik harus segera dapat penanganan dari dokter!"Tanpa kata, Samudra kembali melajukan mobilnya. Tak berselang lama, mereka sampai di rumah sakit. Cantika langsung dibawa ke UGD. "Sam, telpon Kiara! Minta dia datang ke sini!" perintah Melinda. Samudra bergeming. Pria itu terus menatap pintu UGD
"Kok kalian berdua bisa datang bersamaan?" Rasa penasaran membuat Melinda langsung bertanya alih-alih menanyakan kabar karena sudah lama tidak bertemu menantu kesayangannya. Samudra diam-diam menunggu jawaban dua insan yang sangat ia kenal bahkan ia cintai itu. Satu orang adalah istri yang membuat dunianya jungkir balik akhir-akhir ini. Sementara satunya lagi adalah sahabat yang sudah dianggap seperti saudara sendiri. Dalam hati pria itu bertanya-tanya kenapa mereka tampak seperti sudah kenal lama padahal dirinya belum pernah mengenalkan mereka berdua. Bahkan Vino belum pernah tahu wajah istrinya. Vino melirik Kiara yang memasang wajah datar karena terus ditatap suaminya. Pria.itu tersenyum pada Melinda lalu menjawab, "kebetulan ketemu di depan tadi. Jadi sekalian aja bareng karena tujuannya sama."Melinda masih menatap Vino dan Kiara bergantian. Dari cara Vino menatap Kiara seperti ada sesuatu yang berbeda. Wanita paruh baya itu paham betul arti tatapan itu. Bagaimanapun dia adala
Perlahan-lahan kondisi Cantika semakin membaik. Hemoglobin dalam darahnya pun juga sudah merangkak naik berkat donor darah dari orang-orang baik yang rela menyumbangkan darahnya untuk gadis kecil itu. Selama dua hari ini Kiara tidak pernah pergi dari sisi Cantika karena gadis kecil itu benar-benar tak mau ditinggal.Kini, Cantika tengah tertidur pulas. Perlahan Kiara melepas genggaman tangan Cantika lalu melangkah ke dalam kamar mandi. Sudah waktunya shalat duhur dan dia belum melaksanakannya. Selesai berwudhu, Kiara membuka pintu kamar mandi perlahan. Namun mendadak dia harus menghentikan gerakannya karena mendengar suara ribut-ribut di luar. Terpaksa Kiara mengurungkan niat untuk keluar dari kamar mandi. Kebetulan, waktu shalat duhur masih agak panjang. "Kalau kamu nggak bisa jaga Cantika, lebih baik saya saja yang mengasuhnya. Lagipula, mana tuh istri pilihanmu itu? Nggak ada kan? Di saat Cantika sakit dia malah tidak ada di sini!" Suara seorang wanita terdengar jelas sampai ke
Vino berjengkit mendengar deheman Samudra. Pria itu mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Wajahnya memerah karena ketahuan mengagumi wanita yang sudah menjadi istri sahabatnya. "Hei, Bro! Sudah lama di sini?" tanya Samudra dengan suara beratnya."Ba-baru saja. Kamu dari mana?" Vino berjalan menuju sofa sembari mengusap wajahnya. Sungguh saat ini ia berharap bisa menghilang dari muka bumi ini. Bagaimanapun Vino masih menghargai Samudra sebagai sahabat sekaligus saudara. Tidak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya kalau Kiara adalah sosok yang menjadi alasan baginya kembali ke tanah air setelah menempuh pendidikan tinggi di luar negeri dan mendapatkan posisi jabatan yang penting di sana. "Kamar mandi." Samudra ikut duduk di sebelah Vino. "Kamu kenapa, Bro? Kayak gugup gitu?" Samudra menepuk pundak Vino. Sebenernya dia tahu kalau Vino gelisah karena tertangkap basah tengah memerhatikan Kiara yang sedang menunaikan shalat. Namun dia mencoba untuk menahan diri agar tidak bertanya ten
"Mama, Mama dimana?" Seketika Kiara menghentikan pergerakannya. Wanita itu urung naik ke ranjang dan kembali mendekati Cantika. Pada saat yang sama Samudra juga mendekati putri semata wayangnya. "Mama ada di sini, Sayang. Cantik butuh apa, hem?" "Jangan pergi dari sisi Cantik. Mama duduklah di sini saja." Cantika menepuk ranjang sebelah dia terbaring. "Sayang, Mama juga butuh istirahat. Biarkan Mama tidur dulu sebentar, ya. Papa yang akan jagain Cantik di sini." Samudra membujuk putrinya agar memberi Kiara waktu untuk istirahat. Setelah diamati dengan saksama, wajah Kiara terlihat kuyu. Lingkar hitam di kelopak mata tampak begitu jelas. Bibirnya juga tampak pucat karena tidak memakai lipstik. Rasanya tak tega membiarkan istri tercinta kelelahan menjaga anaknya. "Nggak papa, Mas. Aku bisa tidur sambil duduk." Kiara membantah. "Cantik mau apa, Sayang? Mau makan sesuatu?" tawarnya kemudian. Cantika menatap Kiara dan Samudra bergantian. Pada dasarnya bocah itu sangat penurut dan me
"Kita butuh waktu berdua untuk membuatkan adik Cantika. Kalau di rumah terus, adik pesanan Cantika nggak akan pernah terbentuk," bisik Samudra membuat wajah Kiara memanas. Lelaki itu tersenyum nakal ketika sudah memasuki suit room yang begitu mewah. Dengan menggunakan satu kaki, ia mendorong pintu hingga tertutup dan terkunci otomatis. Sedangkan tangan pria itu tak mau lepas dari pinggang ramping sang istri. Tatapan mereka saling beradu dengan deru nafas saling berlomba. Kiara tahu bagaimana cara meredam api cemburu yang sempat membakar dada lelaki yang telah menghalalkannya itu akibat kehadiran pria bernama Aldo. Meski dengan wajah malu-malu, tapi wanita berhijab itu tahu tugasnya untuk membuat sang suami meleleh. Detik berikutnya hanya ledakan kembang api yang begitu indah mendominasi perasaan pasangan suami istri tersebut. Entah kapan Samudra menyiapkan semua ini. Yang jelas dari dekorasi kamar hotel ini dengan banyaknya kelopak bunga mawar, lilin aroma terapi, musik klasik yang
Sepanjang perjalanan dari mall menuju ke rumah Samudra tidak buka suara. Tiara sendiri hanya bisa takut-takut pada suaminya. Wanita berhijab itu tahu kalau saat ini sang suami sedang menahan emosi. Tapi dia tidak berani untuk mengatakan sesuatu sampai pria itu sendiri yang mengajaknya berbicara. Tepat saat mobil berhenti di lampu merah Samudra menoleh ke samping kiri lalu kedua matanya menatap dalam sang istri. "Sejauh mana hubunganmu dengan Aldo dulu?" Pertanyaan Samudra membuat hati Kiara tergelitik. Bagaimana tidak Tiara tidak pernah menjalin hubungan dengan lelaki manapun sebelum menikah karena dia memiliki prinsip pacaran setelah menikah. Itulah sebabnya dulu meskipun Aldo adalah pria populer di kampusnya dan digilai oleh para mahasiswi dia sendiri tidak tertarik untuk mengenal lebih dekat walaupun pria tersebut berusaha untuk mendekatinya. Kiara menatap suaminya dengan tatapan lembut lalu telapak tangannya diletakkan di atas punggung telapak tangan sang suami yang sedang ber
"Kamu bilang apa barusan?""Gak ada! Aku cuma bilang lanjutkan sampai para jomblo kejer-kejer lihat tingkah kalian berdua yang norak!" Sontak tawa Kiara dan Samudera berderai. Yeni yang semula kesal mendadak terkesima dengan ketampanan Samudra yang meningkat berkali-kali lipat ketika tertawa. "Busyet, ada malaikat tak bersayap," batinnya memuji. "Tuhan, masih adakah stock pria seperti dia," batin Yeni lagi. Namun detik berikutnya iawngucap istigfar karena sudah memuji bahkan menginginkan orang yang dibencinya. Di saat situasi masih belum terkendali, tiba-tiba datang seorang pria. "Maaf, apa saya boleh bergabung?""Maaf apa saya boleh bergabung?"Sontak tiga orang dewasa yang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing itu menoleh. Ketiganya menatap pria yang berdiri dengan pakaian casual itu dengan ekspresi berbeda-beda. Yeni dengan senyumnya yang mengembang sempurna, Kiara dengan ekspresi tak tergambarkan, sedangkan Samudra dengan wajah datar seperti biasanya. "Aldo!" Yeni be
"Sayang, apa susah selesai?" Samudra sengaja merangkul pundak sang istri untuk menunjukkan kepemilikannya. "Eh, Ma-mas Sam su-sudah dari tadi di sini?" Mendadak Kiara gagap."Ya lumayan. Sejak temanmu mengatakan ada pria bernama Aldo masih mencintaimu."Sontak dua wanita itu membuka mulutnya karena ucapan Samudra yang terang-terangan.Samudra mengabaikan pertanyaan sang istri lalu memilih untuk duduk di samping wanita yang ia cinta itu. Dengan satu wajah datar yaitu menatap Yeni sekilas lalu kembali menatap sang istri dengan senyum menawannya. "Sudah selesai makannya, sayang?"Meskipun Samudra bertanya dengan bibir tersenyum tapi kilatan cemburu di matanya membuat Kiara senam jantung. Wanita berhijab itu duduk dengan gelisah karena ia tahu persis bagaimana suaminya kalau sedang cemburu. Kedua bola mata Tiara melirik Yeni yang menatap dirinya dan suaminya bergantian. Tidak seperti sebelumnya Yeni tampak tidak suka dengan kedatangan Samudra. Wanita itu merekam semua perkataan ibunya
Kiara melangkah dengan elegan menuju tempat janjian dengan teman lamanya, Yeni. Sementara Samudra berbelok arah menuju ruang manager karena memang tujuannya datang kemari untuk bertemu dengan manager. "Kiara, sini!" Yeni melambaikan tangan dengan antusias melihat kehadiran Kiara. Meskipun mereka sudah lama tidak bertemu, tapi Yeni masih bisa mengenali Kiara. Memang penampilan Kiara sekarang jauh lebih berkelas dan elegan dibanding dulu saat kuliah yang sederhana. Namun cara berjalan dan postur tubuhnya tidak berubah sama sekali sehingga Yeni bisa langsung mengenali meskipun jarak mereka cukup jauh. Kiara mengulas senyum sambil terus melangkah maju. Tidak ada suara ketukan sepatu yang bikin berisik karena Kiara berjalan dengan sangat tenang. Tidak tergesa-gesa dan tidak juga terlalu lambat. "Assalamualaikum my sister!" Kiara tersenyum melihat antusiasme Yeni. Wanita yang dulu sangat tomboi itu kini tampak lebih anggun meski sikapnya yang heboh tetap tidak berubah. Iya langsung ber
"Sudah sampai, Bu."Ucapan Mang Dirman mengagetkan Kiara yang tengah melamun memikirkan sesuatu. Wanita itu segera turun ketika sopir pribadi keluarga Samudra membukakan pintu untuknya. Namun baru satu langkah ia bergeser, tiba-tiba sebuah tangan menarik kerudungnya dari belakang hingga membuat kepalanya mendongak ke atas. "Apa yang-"ucapan Kiara tertahan ketika tarikan itu makin kuat hingga terpaksa dia harus mempertahankan agar kerudungnya tidak lepas. Sementara Mang Dirman yang sudah berada di sana hanya diam mematung mencerna apa yang sedang terjadi.***Dengan gerakan cepat, Kiara memutar tubuhnya sembari mencengkeram tangan seseorang yang tidak sopan telah menarik kerudungnya. Lalu mengunci gerakan wanita itu hingga tak bisa berkutik lagi."Maaf, Mbak ada masalah apa dengan saya?" tanya Kiara dengan tatapan mengintimidasi. "Auw, lepaskan! Kamu menyakitiku tahu!" Wanita berdandan menor itu meringis kesakitan. Sepasang netranya yang dibingkai bulu lebat dengan maskara hitam it
Melinda menatap mantan besan dan putrinya dengan tatapan datar. Sejak tadi dia sudah mendengar perdebatan mereka. Hanya saja, ia tak mau ikut campur ketika melihat Samudera sudah turun tangan untuk membela istrinya. "Be-besan, ma-maaf kami pamit pulang dulu. Ada acara penting yang harus kami hadiri," ucap wanita paruh baya yang semula berapi-api itu. Namun setelah diingatkan akan status kepemilikan rumah yang ia tempati, keberaniannya mendadak surut, dan kinj berubah seperti kerupuk tersiram air. Bahkan suaranya yang tadinya lantang menghina Kiara, mendadak jadi gagap. Wajahnya pun berubah pias."Baiklah, kalau begitu. Saya harap ini terakhir kalinya kalian mengganggu dan menghina menantu saya," ujar Melinda datar. Mantan besan itu langsung menunduk. Tentu saja dia sungkan karena Melinda tidak pernah bersikap demikian selama menjadi besan. Namun kali ini, semua berubah gara-gara perbuatannya sendiri dan putrinya. Entah, ke depan hubungan mereka dengan keluarga Samudra masih bisa di
Kiara berusaha menyembunyikan kesedihannya di hadapan sang imam. Dia tak mau mengingatkan masa kelam itu di saat sedang bahagia. Melihat binar di wajah Cantika membuat Kiara merasa bersalah karena sempat berandai-andai. Bukankah masih ada banyak waktu untuk berusaha membuatkan adik untuk Cantika lagi?Seketika wajah wanita berhijab itu bersemu merah membayangkan apa yang ia pikirkan barusan. Sebuah elusan di puncak kepala kembali menarik Kiara ke dunia nyata. "Kenapa? Apa ada masalah, Sayang?" tanya Samudra.Lelaki tampan itu tak ingin membuat Kiaranya kembali bersedih setelah apa yang ia perjuangkan. Ia sudah berjanji dalam hati untuk selalu membahagiakan keluarga kecilnya. Cukup sudah ia kehilangan bayinya dan senyum Kiara. Kini dirinya tak mau lagi kehilangan senyum wanita yang sudah menghuni seluruh ruang hatinya itu untuk ke sekian kalinya. Kesempatan yang diberikan oleh sang bidadari hati tak boleh dia sia-siakan begitu saja terlebih setelah tahu kalau sahabat dekatnya adalah m
Tanpa Vino sadari Samudra diam-diam mengikutinya. Dia sudah mendengar semua percakapan antara Vino dengan Melisa yang seolah ingin menusuk dirinya dari belakang dengan cara bernegosiasi. Entah apa yang diinginkan Vino sampai-sampai lelaki yang sudah dianggap sahabatnya itu tega melakukan negosiasi dengan penjahat yang jelas-jelas sudah merusak rumah tangganya.Mendengar teriakan Samudra Vino langsung mundur dan memasang wajah datar kembali seolah-olah tidak terjadi apa-apa sebelum ini. Pria itu menatap sahabatnya dengan tatapan misterius. "Penjahat sepertimu tidak akan pernah mendapatkan kebebasan dari sini karena di sinilah tempat yang cocok untukmu!" ucap Samudra tajam kepada Melisa. "Samudra kamu salah paham. Please keluarkan Aku dari sini. Kamu tahu kan aku melakukan semua ini karena aku sangat mencintaimu. Aku nggak mau kehilangan kamu, Samudra. Tolong bebaskan aku dari tempat terkutuk ini!" Melisa menatap Samudra dengan tatapan memohon. Wanita itu benar-benar merendahkan harg