“Kamu serius? Tidak ada yang membahasku satu pun?”
Risa mengangguk cepat.
“Kebanyakan nonton drama Korea, tuh, pastinya!” ledek Vera kesal, nadi di pelipisnya berdenyut nyaris meledak.
Harga dirinya seolah diremehkan. Padahal, tadi sudah sangat heboh sampai bikin beberapa orang jadi iri, ternyata semua hanya menjilat kepadanya! Mentang-mentang dirinya ini adalah bagian keuangan!
Wanita berambut sebahu ini terlihat kecewa mendengar pengakuan Risa, dia juga sudah membuat dirinya jadi sangat malu, tapi usahanya sia-sia.
“Bos baru itu seperti apa, sih? Sial! Aku sibuk mengurus laporan, jadinya belum bisa ikut gosip di grup mana pun! Awas saja kalau dia tidak seheboh yang mereka bicarakan!”
“Hahaha. Sepertinya harapan mereka terlalu tinggi gara-gara bos-bos di sini sudah tua-tua. Kalau pun masih muda, tapi sudah ada pasangan. Daging segar memang selalu menarik, kan? Jangan salahkan mereka. Kamu juga, sih, pake heboh pamer kado begitu di saat semua orang sibuk dengan hal lain. Mana sempat bahas hal kecil begitu.”
“Risa! Kamu tidak ikut-ikutan, kan? Kamu sudah punya daging segar sendiri!”
“Bicara apa?! Aku cuma baca skip-skip, kok, gibahan mereka!”
“Bagus! Jaga pria itu baik-baik! Meski aku tidak begitu suka kamu tiba-tiba menikah dengan pria yang baru kamu temui, tapi ini kesempatanmu untuk bisa naik pelaminan!”
Cemberut mendengarnya.
‘Apaan, sih? Dia sendiri dan Hadi, kan, juga baru ketemu langsung mau menikah! Dia ini tidak bercermin, ya?’ batin Risa menahan kesal. Tidak paham apa bedanya antara dirinya dan kisah percintaan Vera.
“Eh, kenapa, ya, taktik tadi tidak berhasil? Apa karena aku kurang menarik jadi bahan gosip? Bagaimana kalau kita mengaku saja itu adalah hadiah untukmu? Bukankah bakal jadi heboh? Jomblo sejati tiba-tiba dapat hadiah misterius di kantor! Terus, kita tambahin lagi kalau kamu bakal segera menikah! Wuah! Pasti semua jadi merasa seru, kan?!”
Mata Vera melengkung licik dengan agenda jahatnya. Risa hanya bisa menganga tak percaya.
“Hentikan saja! Aku tidak mau seperti itu! Kalau ada skandal, kan, gawat! Susah payah aku kerja di sini! Kalau dipecat, bagaimana?”
Vera menyikutnya pelan, “kamu ini penakut sekali. Kalau mereka semua tahu calon suamimu itu sangat tampan dan keren, mereka pasti akan memihakmu! Kamu belum cerita dia bagaimana, kan?”
“Berisik! Sebaiknya kamu kembali kerja saja sana!” koar Risa kesal, mendorong sang lawan bicara kembali ke meja.
“Kamu cepat-cepat begini memang mau kencan?”
“Sssh!!! Jangan keras-keras!” peringat Risa panik.
“Kenapa, sih, harus main sembunyi-sembunyi segala? Bukankah bagus kalau semua orang tahu kamu akan segera menikah?”
Risa memasang wajah memohon, mata berkaca-kaca. “Kamu tahu, kan, kalau aku tidak ingin hubunganku ini terekspos dulu? Kalau ada apa-apa di tengah jalan, kan, malu? Apalagi sudah mau menikah! Nanti saja saat sudah mau tunangan. Aku akan berusaha memberi pengumuman kepada semua orang. Bagaimana?”
Wajah wanita yang berpakaian burgundy sebatas siku dan rok bunga-bunga selutut itu memerah hebat. Pikirannya yang selalu gagal dalam percintaan membuatnya mulai memupuk trauma akhir-akhir ini di hatinya.
“Um... baiklah. Tapi, kasihan, kan, pria yang memberimu hadiah mahal itu. Tidak kusangka kamu bakal jadi femme fetale tahun ini, Risa Abdullah!” puji Vera dengan mata tersenyum, menepuk-nepuk sebelah pundak Risa dengan bangga.
“Apaan, sih!”
“Sudah! Ayo, sana pergi kencan! Jangan bikin pangeranmu menunggu!” usir Vera dengan wajah sok galak ala-ala ibu Cinderella.
“Bye!” balas Risa dengan wajah memerah indah, melambaikan tangan begitu senang.
“Dasar wanita dimabuk cinta!” keluhnya pelan.
***
Di sebuah mall ibukota.
“Kamu tidak memakai gelangnya? Kenapa?”
Wajah ala-ala eksekutif itu membuat hati Risa deg-degan parah, sangat tampan dan menawan. Begitu intelek.
Mereka berdua sekarang sedang mengantri untuk membeli tiket.
“I-itu, kan, gelang mahal, Adnan. Kalau hilang atau ada apa-apa, bagaimana?” elak Risa dengan mata melirik ke arah lain, sangat gugup.
Dia benar-benar takut menghilangkannya!
Adnan terbahak pelan dan elegan.
“Itu tidak masalah. Bisa beli yang baru, kan? Kalau kamu tidak memakainya, untuk apa aku membelikannya untukmu?”
“Ta-tapi, kan....”
Risa memajukan mulutnya, tidak tahu harus berkata apa.
Sebelah pundak Risa ditepuk pelan, wajah sang pria melunak dan memasang senyum indah menenangkan.
“Risa. Aku punya uang banyak, kalau hanya gelang 10 juta hilang, itu tidak masalah buatku. Kalau aku memberimu kalung mahal yang harganya ratusan juta, kamu juga tidak mau memakainya? Lalu, bagaimana aku bisa memanjakan wanitaku jika semua pemberian dariku kamu tolak?”
Risa menelan ludah gugup, menatap cemas wajah tampan berkacamata itu.
Benar, sih.
Keluarga Adnan adalah keluarga kaya raya di kota ini. Tidak salah ayahnya melakukan pernikahan bisnis untuk mereka demi memperbaiki keuangan perusahaan. Tapi, tetap saja, rasanya aneh jika dibanjiri barang-barang mewah begini oleh seorang pria.
Dia, kan, bukan perempuan gila harta?
“Lain kali dipakai, ya!”
“Ba-baiklah...” patuh Risa, tak kuasa melawan senyum manis pria itu.
Kedua pipinya lagi-lagi merona untuk kesekian kalinya.
Selama menonton di bioskop, di dalam keremangan itu, Adnan bersikap sangat sopan. Benar-benar tipikal pria yang gila kerja dan hanya memikirkan perusahaan.
Risa sempat berpikir bahwa di dalam keremangan dan duduk paling atas di bagian sudut, mereka akan melakukan hal-hal yang tidak pantas. Ternyata itu jauh dari bayangannya.
‘Otak kotor! Risa! Kamu mikir apa, sih? Adnan mana mungkin begitu?!’ batin Risa dengan perasaan malu.
Baru saja berpikir begini, tangannya yang hendak meraih pop corn bersentuhan dengan tangan Adnan di dalam kotak plastik besar itu.
Risa terkejut karena Adnan meliriknya dengan senyuman tak biasa, lalu tangannya di dalam kotak disentuhnya dengan begitu intim, dan dengan gerakan sensualnya yang menggoda.
Jantung wanita ini langsung berpacu cepat, dan menarik tangannya bagaikan kecepatan cahaya.
“Ma-maaf!” bisik Risa pelan.
“Tidak usah malu. Kita akan segera menikah, bukan?”
Entah kenapa, Risa mulai tidak nyaman dengan gerakan intimnya. Bahkan, lengan kiri Adnan sudah berada di pundaknya, tapi untunglah hanya seperti itu dan tidak ada gerakan lain yang aneh-aneh.
Sepanjang film bermain, Risa tanpa sadar tertidur lelap dalam rangkulan Adnan.
Pria ini melirik Risa dalam keremangan dengan tatapan jahat dan licik, lalu saat melihat wajah tenang dan polos sang wanita, tiba-tiba hatinya merasa aneh.
Adnan seketika saja dibanjiri dengan perasaan bingung.
Lama mata pria itu mengamati wajah sang wanita yang tengah tertidur, dan selama itu pula perlahan sorot mata Adnan berubah sedikit demi sedikit menjadi lembut.
“Dia imut juga ternyata,” gumamnya pelan, kedua pipi Adnan merona kecil tanpa sadar.
“Mungkin tidak buruk juga bersama wanita ini,” lanjutnya dengan senyum di sudut bibirnya, nakal dan seksi.
Ketika kepala sang pria perlahan diturunkan ke wajah sang wanita, hendak mendaratkan ciumannya, tiba-tiba saja suasana syahdu dan romantis itu terganggu oleh ulah seseorang.
“Aduh! Maaf! Maafkan saya! Saya salah tempat ternyata!” ujar seorang pria bersuara berat dalam keremangan.
“Hei! Kami jadi basah, kan?! Apa tidak bisa lebih hati-hati jalannya?!” protes Adnan, menarik tubuh Risa yang terbangun dalam keadaan linglung.
Satu bioskop itu pun menjadi heboh. Adnan mulai mengomel dengan keras dan penuh emosi. Risa sama sekali tidak tahu apa yang sudah membuat pria itu marah, hanya berpikir sederhana gara-gara kecerobohan seorang pria asing yang canggung.
“Sudah! Tidak apa-apa, Adnan! maafkan saja!” pinta Risa yang tidak enak hati karena Adnan sudah marah-marah kepada pria berjaket krem yang dipikirnya sudah tua itu.
Dia hanya mengira-ngira saja dari suara dan gerakannya, karena tempat itu tidak begitu terang untuk melihat jelas wajah pria yang sudah menumpahkan cola dan pop corn ke pangkuan mereka berdua.
“Tapi pakaianmu jadi basah dan kotor, Risa! Bagaimana bisa ada orang tidak tahu kursinya sebelum masuk? Buta, ya? Atau kampungan?”
“A-Adnan...?” gumam Risa pelan dengan perasaan tak percaya, bingung tidak tahu harus berkata apa.
Segala kelembutan pria itu tiba-tiba saja seolah raib entah ke mana. Tidak bisa melihat raut wajahnya karena gelap, dan ini membuat hati Risa jadi sedikit takut dengan perasaan aneh menggantung di hatinya.
Saat keduanya memutuskan keluar dari bioskop usai mendapat permintaan maaf dari sang pria canggung dan pengurus bioskop, keduanya pun berbelanja pakaian di sebuah toko mahal dan mewah.
Tidak jauh dari sana, pria berjaket krem tadi yang menumpahkan makanan dan minuman kepada Risa dan Adnan tampak berdiri di balik tembok, menundukkan kepalanya yang menggunakan sebuah topi baseball hitam, diam-diam sedang menghubungi seseorang.
“Benar. Dia hampir berbuat hal yang tidak pantas kepada nona Risa. Tidak usah cemas, Tuan Shiraishi. Saya datang tepat waktu. Baiklah. Saya akan mengawasi mereka lebih baik lagi ke depannya.”
Pria bertopi baseball ini pun menutup sambungan telepon, lalu kembali mengamati dari jauh melalui kaca tembus pandang yang ada di toko seberang.
Sesampainya di depan rumah Risa, Adnan meminta maaf atas insiden hari ini. “Tidak apa-apa! Sungguh! Itu, kan, bukan salah siapa pun? Kecelakaan semacam itu bisa terjadi kepada siapa saja, kok! Jangan terlalu dipikirkan.” Risa menggerak-gerakkan tangannya di udara, menolak permintaan maaf Adnan yang tampak memasang wajah murung dan gelap. “Aku minta maaf. Kamu mendapat hari yang tidak menyenangkan. Harusnya, ini menjadi kencan yang menakjubkan,” jelasnya dengan nada sedih. Tanpa disangka-sangka oleh Risa, pria yang kini hanya memakai kemeja putih tanpa jas mewah itu mulai memeluknya kuat-kuat. Risa gelagapan, salah tingkah. “A-Adnan... nanti ada yang lihat...” keluhnya sembari mencoba lepas dari pelukan sang pria. “Oh, maaf,” balasnya dengan wajah malu-malu. Risa tertegun kaget melihat ekspresi wajahnya, sangat tampan dan menggemaskan. Seketika saja sosok marah-marah menakutkannya tadi hilang dalam sekejap. “Ternyata Adnan punya karakter yang unik, ya?” puji Risa yang diiringi
Risa terdengar tertawa kaku tidak enak hati di seberang sana, makanya hanya bisa bergumam pelan ‘um’. Merasa Risa mulai menjaga jarak dengannya, Adnan segera mengambil alih. “Ada apa meneleponku pagi-pagi begini?” Risa mulai panik mendengarnya, menatap hadiah di tangan, merasa ragu-ragu dan takut menjawab pertanyaan itu. “Kenapa diam saja?” ledek sang pria dengan tawa rendahnya yang renyah. “I-itu Adnan... um... apa kamu yang memberiku hadiah akhir-akhir ini?” Dengan mata terpejam kuat, Risa akhirnya memberanikan diri menanyakan hal memalukan tersebut. Kalau bukan dari Adnan, bagaimana dia akan menjelaskannya? Kalau bukan dari Adnan, pria itu pasti berpikir dirinya sangat berharap dalam hubungan ini sampai merasa kegeeran, kan? Tidakkah itu agak memalukan meski mereka sudah mau menikah? “Hadiah?” “I-iya. Hadiah. Kemarin ada hadiah buku dan polpen, serta bunga tulip hias. Um... hari ini ada hadiah lagi. Lebih mahal daripada sebelumnya, kalung berlian dan cokelat. Juga masih ad
Bu Sari menekuk tubuhnya di depan pembatas meja, bertopang dagu tepat di depan meja Risa, dan berkata pelan penuh rayuan, “aku ini tidak begitu murahan, Risa. Tidak seperti mereka yang suka menjilat orang-orang demi keuntungan pribadi. Kamu tahu, kan, aku ini suka dengan barang-barang bermerek. Aku hanya ingin tahu lebih banyak apa-apa saja yang sudah diberikan olehnya kepadamu. Anggap saja aku sedang melakukan riset. Ini demi keuntungan perusahaan juga, kan?” Mulut Bu Sari sungguh licin seperti belut. Orang-orang yang mendengarnya merasa tidak nyaman, tapi ada kebenaran dalam suaranya, tidak bisa membuat mereka protes karenanya. Risa menatapnya datar dan malas. Bu Sari sudah berkedip-kedip manja untuk merayunya, tapi wanita berambut hitam sepunggung ini tidak tergerak sedikit pun. Bagaimana dia ingin menceritakan semuanya? Mereka saja baru bertemu! “Bu Sari, mohon maaf. Tapi, saya baru berkenalan dengan pria itu. Dia adalah pria yang dijodohkan dengan saya. Jadi, maafkan saya jik
“Kamu tidak suka? Apa ini benar-benar berlebihan? Aku pikir ini romantis.” Raut wajah Adnan langsung menampilkan senyum manis dan hangat. Melihat itu, hati Risa langsung lega. Dengan cepat, dia menyimpulkan bahwa semua ini memang benar adalah hadiah dari calon suaminya. “Um! Aku sangat menghargai semua pemberianmu, tapi lain kali sungguh tidak usah yang seperti ini, ya! Takutnya ada gosip yang tidak enak menyebar di kantor. Kamu tahu, kan, kalau ada gosip tidak enak bisa membuat kinerja jadi terganggu.” Adnan hanya mengangguk pelan, senyumnya terus melekat, sama sekali tidak banyak bicara usai Risa memperlihatkan foto-foto itu. Sang pria hanya memerhatikan Risa menggulir media sosialnya sambil menjelaskan hadiah-hadiah yang diterimanya, dan mengeluh soal beberapa teman kantornya yang mulai dekat-dekat hanya untuk menjilat kepadanya. “Baiklah. Kapan-kapan aku akan bertemu dengan mereka.” Adnan berkata singkat begini membuat Risa yang berceloteh soal rasa penasaran teman-teman ka
Dengan cepat Risa berbalik menghadap Gina, menjelaskan kejadian salah paham itu. “A-aku tadi keseleo, tidak sengaja jatuh seperti tadi!” ucapnya dengan nada suara gugup, berjalan dengan kaki tertatih sembari mendorong dokumen ke pelukan sekretaris Gina. Wajah merajuk sebal tertahan, melototkan mata seolah menyuruh Gina agar tidak berpikir macam-macam. Wanita berpakaian hitam putih khas sekretaris itu hanya bisa terbodoh mendapat serangan tiba-tiba dari wanita di depannya. “La-laporan dari nona Vera!” lanjut Risa dengan suara keras dan lantang, wajahnya sudah memerah nyaris mengeluarkan asap. “Ba-bagaimana mungkin kamu sebagai sekretaris meninggalkan tempatmu begitu lama? Kalau tamu kita bukan orang yang sabar dan baik hati, kamu pasti sudah kena masalah besar! Pak Sudirman mungkin akan memecatmu!” Risa tidak bisa menghentikan mulutnya yang cerocos tidak terkendali akibat salah tingkah kedapatan dalam posisi memalukan barusan. Siapa pun bisa menilai dengan ringan seolah dia sedang
Ciri khas permainan itu adalah adanya seorang Osama atau Raja dalam bahasa Jepang yang didapat dari hasil undian sumpit. Sisanya harus berperan sebagai anak buah yang akan mendengarkan apa saja yang diperintahkan oleh Raja tersebut. “Saya harap Tuan Shiraishi terhibur dengan acara sambutan kami. Saya tahu ini tidak sehebat dan semewah yang mungkin Anda harapkan, tapi saya sudah mencoba yang terbaik,” ungkap seorang atasan gendut dan pendek, kepalanya sudah botak licin di bagian atas dengan pinggiran dihiasi rambut tipis-tipis. Dengan bangga dan sopan menuangkan minuman soda ke gelas Shouhei yang sudah terlihat hampir kosong. “Terima kasih. Saya suka acaranya. Ini sudah terlalu mewah. Seharusnya kalian tidak perlu menyiapkan acara sambutan yang merepotkan.” “Ahahaha! Sama sekali tidak merepotkan! Kami senang jika Tuan Shiraishi mendapat yang terbaik. Mari silakan diminum!” pujinya sembari meraih gelas tadi. Kedua tangan melakukan gerakan gaya tata krama memberi minuman ala orang Jepa
‘Bu Sari sialan!’ maki Risa dalam hati, sudah panas bagaikan ketel mendidih, tapi ditahan mati-matian. Dia tahu dan sangat yakin ini adalah jebakan untuknya agar bisa menggali lebih dalam soal siapa pria kaya yang sudah menjadi kekasihnya. Tapi, dia pikir dia tidak berani melakukan tantangan ini?! Cih! Semua orang tahu kalau ini hanyalah tantangan! Hanya sebuah permainan untuk menghibur mereka! Tidak benar-benar serius! Akal sehat Risa akhirnya kembali ke tempatnya. Dia lebih memilih gulungan kertas itu, karena takut dipermalukan di depan banyak mata dengan label dirinya yang sudah akan menikah. Apa jadinya kelak kalau sudah bicara banyak tapi ternyata pernikahannya batal? Itu memang adalah perjodohan bisnis, tapi tidak ada yang bisa menjamin masa depan akan seperti apa. Berpikir begini, Risa merasa lebih kuat di dalam hati. Mana mungkin bosnya akan marah, kan? Dia hanya akan melakukan apa yang tertulis di kertas bodoh itu demi hiburan seisi ruangan ini! Tidak mungkin akan
“Bicara apa kamu?” balas Risa berbisik kesal, pura-pura tersenyum seperti orang sakit gigi kepada orang-orang yang melihat ke arahnya dengan pandangan menarik dan penasaran. “Psst! Risa! Coba saja!” bisik Bu Sari dengan sebelah mulut ditutupi tangan kanan, terlihat jelas matanya bersinar. Risa langsung terbakar hebat melihat ulahnya yang sudah menaruhnya dalam masalah. Dia benar-benar tidak ingin membuatnya bernapas lega, ya? “Apa lagi yang kamu tunggu?” ujar Shouhei dengan nada penuh desakan dan terkendali, wajah dinginnya terlihat serius. Risa tersenyum kaku, matanya meminta tolong kepada orang-orang yang ada di meja, tapi mereka malah terlihat memberikan kode agar segera maju saja ke depan. “Apa harus aku yang ke sana?” tanya Shouhei dalam pembawaan tenang. “Ti-tidak usah, Pak! Biar saya yang ke sana!” tolak Risa cepat. Vera lalu mengembalikan kertas tadi ke tangan Risa, berbisik pelan, “semoga beruntung!” ‘Beruntung kepalamu!’ maki Risa kesal membatin, meremas kuat kertas