Saat ini, puluhan pasang mata sedang menatap sinis dua manusia berbeda gen itu, Aldevan menggendong Mery melewati banyaknya kelas terutama kelas sepuluh. Matanya memandang sinis tiap orang yang melihat mereka. Dari berbagai mimik yang paling sering Aldevan temukan itu adalah tatapan terkejut. Ada beberapa juga yang diam-diam mengeluarkan ponsel lalu memotret mereka.
"Romantis bangett," seru adik kelas yang lewat di samping Aldevan.
"Iya tuh, kayak adegan di novel atau film-film. Jadi pengen juga deh," sahut salah satunya.
"Kak Aldevan mau-maunya sih gendong cewek bengal kayak si Mery itu?"
Setidaknya itulah umpatan yang berhasil menembus telinga Aldevan, kalau saja ini bukan sekolah, dengan senang hati ia akan melempar langsung Mery ke got sampah.
Sementara Mery hanya terdiam, dia memandang Aldevan tanpa kedip, entah kenapa jantungnya memacu lebih cepat dari biasanya. Mery juga kaku, sulit bergerak apalagi harus mengalungkan tangannya di leher
Kali ini Pak Yoshi tidak main-main dengan hukumannya, jika dulu guru berumur 45 tahun itu membiarkan saja murid yang berbuat onar melaksanakan hukumannya atau tidak, sekarang sungguh berbeda. Tampaknya Pak Yoshi sangat kesal akibat ulah Mery. Seragamnya keciprat teh panas sekaligus buku beliau kotor tertumpah teh itu. Dan di tepi lapangan inilah Pak Yoshi berada, beliau berkacak pinggang sambil mengamati Mery memungut sampah. "Cepat Mery, kamu mau saya menunggu berapa lama?! Saya sudah kepanasan," seru pak Yoshi sambil mengipas-ngipaskan tangannya. Mery menoleh, ia menyelipkan poni ke telinga. "Iya Pak iya. Heh, Bapak kira saya tukang sampah? Lapangan bersih gini dibilang kotor. Situ buta atau picak?" Pak Yoshi melotot, Mery lagi-lagi membuatnya naik pitam, tapi pak Yoshi berusaha sabar mengelus dada. "Saya masih bisa mendengar Mery, kamu mau saya tambah hukumannya lagi?" Mery menggidikan bahu. Enggan menanggapi ucapan pak Yoshi
"Dasar mulut sampah! Lo nggak pernah diajarin jujur, huh?!" ujar Aldevan menatap Mery penuh amarah. Cowok itu langsung berdiri ketika mendengar penuturan Mery tadi. Sedangkan Mery hanya tertawa geli. Ia menatap Aldevan tanpa ada rasa takut sedikitpun. "Haha, iya deh iya. Itu gue jujur tadi." Aldevan berdecih. Meski ia tau Mery cuma bercanda, tapi kalimat itu sudah menyentil emosinya. "Emang kebenarannya—" "MERY!!" Aldevan marah. Benar-benar marah. Hingga tatapan tajamnya kini mengedar ke seluruh penjuru kantin. Mereka semua terdiam, memandangi wajah Aldevan dengan kerutan di kening. Mungkin ini sesuatu yang sangat mustahil di dengar, sekali pun dari mulut Arlan. Sahabat Aldevan sendiri. Kak Aldevan pernah ngelakuin itu sama cewek bengal? Oh my good, berarti cogan gue bibirnya udah ternodai virus rabies? Gue gak terima. Stt, kayaknya kak Aldevan mulai bernafsu deh. Adik kelas kok jadi laknat? Kita
"Gue beneran takut, Aldevan tadi persis banget kayak harimau kelaparan. Gue sempet bergidik ngeri deh jadinya. Padahal gue cuma becanda. Tuh cowok baperan amat." Itu suara Mery, dia sudah berulang kali menetralkan rasa takutnya pada Aldevan. Salah satunya dengan menceritakan kejaAldevan di kantin tadi pada Raya dan Tasya. Soal kedua sahabatnya sedang absen hanyalah kebohongan, Mery sengaja melakukan itu agar dia bisa pulang bareng Aldevan. Tidak ada alasan khusus sebenarnya, Mery hanya ingin mengusili Aldevan. Itu saja. Entah kenapa sikap dingin cowok itu membuatnya semakin gencar menjahili Aldevan. "Becanda sih becanda, mungkin ucapan lo itu keterlaluan banget kali bagi dia," kata Tasya. Dia mempoles cat kuku berwarna ungu. "Kadang cowok juga nggak suka dibecandain ampe segitunya. Toh, lo juga bisa liat, kan Aldevan itu murid baik-baik?" Mery menggangguk paham. "Jadi, dia nggak pernah ngelakuin itu kan sama lo?" tanya Raya. "Kalo pernah, gima
Sungguh sial. Setelah ditinggalkan Aldevan rupanya Mery tidak mendapat tebengan. Meski sempat tadi ditawarin Arlan, Mery tetap menggeleng. Dia bersikukuh tidak mau plus ngatain Arlan itu mesum. Terpaksa Mery pulang jalan kaki, kalau tau begini Mery pasti nebeng Tasya tadi. Mery mendesah, ia menyisir rambutnya dengan jari mencoba menangkan diri dari kesialan hari ini. Matanya sesekali melihat ke arah jalan raya, banyak kendaraan lalu lalang. Hingga menimbulkan asap yang membuatnya terbatuk. "Uhuk. Gila asapnya banyak banget," ujar Mery, ketika kendaraan bajai melewatinya. Mery terbatuk, ia menutup mulutnya dengan tangan. "Ini gara-gara tuh cowok sih. Pelit amat, gue, kan cuma numpang naruh pantat di motornya doang. Kesel gue!" Mery kesal, ia meluapkan emosi menendang batu besar di hadapannya, namun sayangnya salah sasaran, ia justru kehilangan keseimbangan hingga jatuh terjengkang ke belakang. "Aduh," ringis Mery, pantatnya mendarat manis
Aldevan membiarkan Mery tidur bersandar di belakangnya kurang lebih sepuluh menit sudah, tangan cewek itu juga melingkar di perutnya. Aldevan ingin protes tapi dia tidak tega, ketika dilepas pun kemungkinan Mery akan oleng dan terjatuh. Kalau seperti itu Aldevan juga nantinya yang susah. Aldevan terdiam, ia mengedar pandang ketika motornya memasuki kawasan pertigaan, mengingat-ngingat alamat yang diberikan Mery. Terus aja, ada pertigaan lagi belok kiri. Terus lurus, ada warteg namanya muantep... Ah, Aldevan mendesah, lupa kalimat seterusnya. Lalu bagaimana? Membangunkan Mery pun Aldevan semakin tidak tega. Berpikir, akhirnya Aldevan mengikuti saja dulu jalur yang ia ingat. Lalu ketika sampai di warteg bernama muantep, Aldevan bingung harus belok ke arah mana. Hanya ada dua belokan, kiri atau kanan? Tidak mau ambil pusing, Aldevan akhirnya bertanya pada seorang Bapak yang sedang membersihkan motor di depan rumahnya. "Permisi, Pak?"
"Jangan tinggalin gue." Aldevan lantas menghentikkan langkah, dia menoleh dan melirik sekilas lengan seragamnya yang ditarik oleh Mery. Satu alis Aldevan naik saking bingungnya, entah Mery sedang mimpi atau tidak dia akhirnya memilih kembali duduk di samping kasur cewek itu. "Ry. Bangun Ry," panggil Aldevan menepuk sebelah pipi Mery. Kalau saja Mery tidak menarik erat seragamnya, Aldevan pasti sudah pergi dari sini. Namun hasilnya nihil, Mery tetap menutup rapat matanya dan enggan melepas tangan dari seragam Aldevan. Aldevan berdecak tidak sabar. "Ry. Aduh nih cewek. Lo itu emang nyusahin. Lepasin baju gue, Ry." Aldevan berujar, mencoba melepaskan tangan Mery dari bajunya. Mery menggeliat, ia menguap, lalu tanpa sadar tangannya menarik seragam Aldevan hingga wajah mereka kini hanya berjarak beberapa senti. Sebab itu sekarang Aldevan meneguk salivanya susah payah. Dia bingung berbuat apa, wajah mereka sangat dekat. S
"Permisi, kakak boleh ikut main?" Kedua gadis kecil menoleh, salah satunya adalah Syifa, mereka mendapati Mery dengan senyum mengembang berdiri di depan pagar rumahnya. "Eh, kak Mery? Bentar Ka aku bukain." Syifa berdiri kemudian membukakan pagar untuk Mery, namun wajahnya masih bertanya-tanya mengapa Mery mendadak datang hari ini, biasanya Sabtu atau Minggu saja. Tapi hari ini, hari senin. Senyum Mery tetap mengembang, sore ini ia putuskan kembali bermain bersama Syifa. Meski mereka itu anak kecil, bagi Mery mendapatkan teman bermain dan ngobrol saja sudah menyenangkan. Tak apa jika mereka tidak mengerti yang namanya curhat, setidaknya mereka anak kecil yang bisa diajak ngobrol. "Tumben kak Mery ke sini? Biasanya kan Sabtu atau Minggu?" Tanya Syifa. Mery menyelipkan anak rambutnya ke telinga, rumahnya sepi, itu saja. "Rumah kakak sepi lagi. Temen kakak sibuk semua, Pak Supir juga pulang kampung." "Oh.
"Lo ngapain di rumah gue? Cepet keluar!"Mery menatap Rendi penuh amarah, ketakutan itu berusaha ia tahan meski kini tangannya bergetar. Bagaimana tidak? Kehadiran Rendi benar-benar di luar dugaan."Santai dong sayang, gue cuma mau jenguk kekasih gue yang cantik ini." Rendi mendekat, senyum kecutnya terbit, tangannya mengusap turun rambut Mery. "Kaget ya?"Mery menepis tangan Rendi yang hendak mengusap rambutnya lagi. Kaget? yang pasti itu, tapi Mery tak akan diam saja. "Jangan sentuh gue, nyet! Lo bukan siapa-siapa.""Jangan sentuh?" Rendi tertawa, matanya yang sipit tinggal segaris saja, dia menepuk bahu Mery. "Salah denger gue nih? Bukannya beberapa bulan lalu malah lo yang minta ditidurin.""Itu dulu, Ren. Dulu!" Mery mendorong dada Rendi sekuat tenaga. Cowok itu mundur beberapa langkah darinya. "Sekarang gue khilaf, ngerti? Lo gak punya hak apa pun sama gue."Rendi tertawa lagi, apakah ia tidak salah dengar? Mery yang dulu itu san