Sebetulnya Aaro enggan sekali dengan urusan jemput menjemput ini. Namun apa daya, jika sudah kepala suku yang memberi titah, maka itulah yang harus dilaksanakan. Di sinilah ia sekarang, menjemput Zahra kemudian mengantar gadis itu ke kelab untuk mengemasi barang-barangnya karena mulai sekarang dia akan tinggal di kediaman Blackstone.
Aaro menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Sampai detik ini, dirinya masih menyesali pernikahan Alea, tapi anehnya beberapa hari belakangan ini semenjak dirinya disibukkan dengan urusan Zahra dan ibunya yang berada di rumah sakit, dirinya hampir tak memiliki waktu untuk memikirkan Alea. Bahkan rasa sakit karena ditinggal menikah oleh Alea pun sudah tak sesakit sebelumnya. Semua itu karena energi dan pikirannya terus terkuras untuk Zahra di setiap menitnya.
Seperti saat ini, Aaro sudah bisa melihat bayangan istrinya yang baru saja keluar dari gedung perkuliahannga. Dia terlihat kerepotan membawa tumpukan map di depan dadanya hingga tidak bisa memerhatikan jalan dan tepat di undakan kecil yang mengarah ke halaman gedung, kakinya melangkah tanpa perhitungan membuat tubuhnya hilang keseimbangan dan terjatuh tersungkur ke depan. Tumpukan map pun terlepas dari pelukannya dan berserak di hakaman.
Aaro mengembuskan napas keras sebelum turun dari mobil untuk menolong Zahra. Inilah kesibukannya akhir-akhir ini, menjaga dan menolong istrinya yang memiliki kerecerobohan tingkat akut hingga sering sekali mengalami berbagai kecelakaan-kecelakaan kecil hampir di semua aktivitas yang dilakukan istrinya itu. Kecerobohan itu pula yang akhirnya membuat mereka berdua bertemu dan terjebak dalam sebuah pernikahan.
"Tidak bisakah untuk sekali saja, kau melakukan sesuatu dengan benar dan tidak terjatuh?"
Zahra yang masih bertahan dalam posisi tengkurap di halaman mendongak ketika mendengar suara bariton Aaro. Ia tersenyum kecut seraya menerima uluran tangan Aaro yang hendak membantunya berdiri.
Aaro menarik tangan Zahra dengan kuat membuat gadis itu terhuyung maju menabrak tubuhnya.
"Ehehehe, maaf." Dia tertawa konyol.
Aaro mendesah dengan tak sabar, tapi tetap memegangi tubuh Zahra sampai gadis itu mendapatkan keseimbangannya kembali. Setelah memastikan Zahra bisa berdiri tegak, Aaro melepaskan pegangannya kemudian berjongkok untuk mengumpulkan map dan isinya yang berserakan di halaman, sementara Zahra membersihkan kotoran yang menempel di bajunya.
Sekilas Aaro melihat kertas-kertas itu memiliki isi yang sama. Ia pun membaca dengan lebih teliti dan menemukan bahwa isi map-map itu adalah tugas dari beberapa orang yang berbeda. Itu artinya Zahra membawa pulang tugas teman-temannya. Ia mendongak menatap sang istri dengan alis saling bertaut. "Kenapa semua tugas-tugas ini harus ada padamu?" tanyanya dengan nada tajam yang mengintimidasi.
"Ohh, itu bukan apa-apa." Zahra mengulurkan tangan untuk mengambil tumpukan tugas itu dari tangan Aaro, tapi suaminya itu menahannya dan terus menatap dirinya tajam meminta penjelasan. "Ehh, itu tugas satu kelompok yang harus kami kerjakan sebelum mulai PPL—Praktik Kerja Lapangan—besok. Karena hari ini aku pamit pulang dulu, jadi ehh ... semua aku yang mengerjakan."
"Maksudmu, kau mengambil alih semua tugas teman-teman sekelompokmu?!"
"Ya, karena aku pamit pulang dulu. Kan kamu yang memintaku untuk cepat-cepat?" Zahra menjawab gugup karena mata elang suaminya itu masih terus mendelik ke arahnya.
"Kau itu bodoh atau bagaimana? Mereka hanya memanfaatkanmu!" Aaro tak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Entah karena alasan apa sehingga dirinya merasa begitu kesal melihat Zahra yang patuh saja ketika disuruh mengerjakan tugas semua anggota kelompoknya. "Di mana teman-temanmu sekarang?"
"Masih di dalam," jawab Zahra lugu.
"Antar aku ke sana, cepat!"
"Untuk apa?" Zahra bingung, tapi akhirnya ia pun buru-buru berbalik dan mendahului masuk kembali ke dalam gedung perkuliahannya karena melihat wajah suaminya sudah berubah keruh. Namun, karena terlalu terburu-buru, lagi-lagi dirinya tersandung di undakan kecil yang tadi pun sudah membuatnya tersungkur. Beruntung Aaro berhasil menggapai tas ransel yang ada di belakang punggungnya dan menahan ransel itu agar dirinya tidak sampai terjerembab ke lantai.
Huft! Selamat. Zahra mengelus dadanya sambil menoleh ke arah sang suami dan tertawa konyol sambil menjulurkan lidah. "Maaf."
Aaro mengeraskan otot rahangnya, menahan diri agar tidak kembali membentak Zahra. Kesabarannya benar-benar diuji ketika menghadapi kecerobohan dan kekonyolan istrinya itu. Bersama Alea, dirinya tak perlu merasa was-was atau khawatir karena Alea pandai menjaga diri, cerdas dan selalu melakukan semua hal dengan benar, tapi bersama Zahra, dirinya selalui dihantui perasaan kesal hingga takut. Takut terjadi sesuatu yang membahayakan diri gadis itu. Tapi, kenapa dirinya harus merasa seperti itu?
Sampai di depan kelas, Zahra berjinjit untuk mengintip ke dalam melalui jendela kaca. "Mereka masih ada di dalam," ujarnya lirih sambil menarik tangan Aaro mendekat ke arah kaca untuk ikut mengintip ke dalam.
Aaro tak perlu berjinjit, karena tinggi jendela kaca itu hanya sebatas telinganya. Di dalam kelas, ia melihat beberapa orang duduk di kursi yang di tata melingkar di tengah-tengah ruangan. Terlihat jelas mereka sedang menertawakan seuatu yang lucu. Meski tidak sebut nama, tapi dari cara mereka berbicara, Aaro yakin sekali jika yang sedang ditertawakan oleh mereka adalah Zahra. Kemudian tanpa mengatakan apa pun pada Zahra, ia membalikkan badan dan berderap masuk ke dalam kelas.
Aaro membanting tumpukan map berisi tugas teman-teman Zahra di lantai, tepat di tengah-tengah lingkaran yang mereka buat. Sesaat sebelum masuk ke dalam, Aaro sempat mendengar mereka merencakan beberapa kelicikan untuk mem-bully Zahra. Mati saja mereka jika sampai berani melakukan itu! batin Aaro geram.
"Apa-apaan ini?!" salah seorang dari mereka berdiri menantang Aaro. Matanya melirik sekilas tubuh Zahra yang tersembunyi di balik badan tegap Aaro. Ia mengulas senyum sinis melihat Aaro masih mengenakan celana abu-abu meski bagian atas seragamnya telah ditutupi oleh jumper, tapi tetap saja terlihat jelas jika Aaro masih pelajar SMA. "Ooo, jadi dia ngadu sama lo?"
"Heh, bocah SMA, jangan macem-macem ya sama kita!" seorang gadis dengan perawakan atletis dan berwajah judes menghampiri Aaro. "Lo pikir, kita takut sama lo?"
Aaro tersenyum sinis kemudian mengulurkan tangan dan mencekik leher gadis sangar itu. "Gue cuma mau ingetin kalian, jangan pernah bully cewek gue lagi atau ...,"-Aaro mencekik leher itu semakin kuat, membuat si empunya leher mendelik dengan wajah ngeri yang tergambar jelas,-"gue bikin kalian mampus!"
Setelah mengatakan itu, Aaro melepaskan cengkeraman di leher gadis itu kemudian berbalik badan untuk pergi. Aaro tidak tahu jika Zahra masih ada di belakang tubuhnya hingga ia pun menabrak gadis itu membuatnya terpental dan jatuh terduduk di lantai.
"Zahra!" Aaro menggeram pelan sambil memejamkan mata memohon kesabaran. Bisa-bisanya Zahra harus terlihat konyol di saat serius seperti ini. Memalukan.
Sedetik kemudian, Aaro membuka matanya masih dengan ekspresi kesal. Kakinya melangkah ke depan dan berjongkok di hadapan Zahra yang masih duduk di lantai. Ia mengulurkan tangan untuk menjentik kening Zahra dengan keras sebelum meletakkan tangannya di ketiak istrinya itu dan mengangkat tubuh Zahra agar berdiri. Sebelum Zahra sadar dengan apa yang terjadi, Aaro sudah memanggul tubuh mungil itu di pundak dan membawanya pergi meninggalkan kelas.
"A-apa yang ...." Zahra tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena tiba-tiba saja tubuhnya melayang dengan kepala menghadap ke bawah. Saat sadar bahwa Aaro sedang memanggul tubuhnya, ia pun berontak. Kakinya menendang-nendang, tangannya juga memukuli punggung Aaro. Namun, tidak digubris sama sekali. "Turunin nggak?!" Zahra berteriak marah.
"Nggak!"
"Turun! Aku harus kembali dan meminta maaf pada mereka."
Ucapan Zahra sukses membuat Aaro menghetikan langkahnya. "Katakan sekali lagi!" geram Aaro sambil menampar pantat Zahra, tidak terlalu keras, tapi tetap saja membuat Zahra mengaduh.
"Aku harus meminta maaf pada mereka," ujar Zahra dengan suara bergetar. "Jika tidak, mereka tidak akan mau menerimaku di dalam kelompok. Aku tak bisa sendirian saja menjalani PPL-ku."
Aaro menurunkan Zahra dari atas pundaknya. Tatapannya menyorot tajam mengamati wajah Zahra yang terlihat sudah hampir menangis. "Jadi, kau rela menjadi budak mereka hanya karena ingin diterima di kelompok mereka?"
"Tak masalah bagiku," lirih Zahra. Ia tidak dapat lagi membendung air matanya. "Aku hanya perlu bersabar sedikit lagi dan setelah lulus, aku bisa memberikan kebanggaan itu pada Ibu. Aku hanya ingin membahagiakan Ibu, mewujudkan impian Ibuku!"
Kepalan di tangan Aaro perlahan terbuka, napasnya yang semula memburu pun perlahan mulai stabil. Tangis Zahra membuat emosinya surut. Untuk sesaat, Aaro bahkan tak bisa berkata-kata. Ia hanya diam seraya menatap wajah Zahra yang sudah basah air mata. Hatinya berdesir melihat bahu sang istri berguncang karena tangis. Nyata sekali bahwa beban yang harus dipikul oleh Zahra tidaklah ringan dan mudah. Selama ini, dirinya selalu hidup dalam kemudahan dalam segala hal hingga tak pernah perlu untuk merendah di hadapan siapa pun. Kemudian, tanpa Aaro sadari dengan apa yang ia lakukan, dirinya sudah maju dan menarik Zahra ke dalam dekapannya.
"Sudah, jangan menangis lagi," ujarnya seraya mengusap lembut punggung Zahra. "Tunggulah di sini. Aku yang akan membereskan semuanya."
***
Zahra mendesah dengan bahu terkulai. Hari ini adalah hari bersejarah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Akhirnya, ia dan ibunya bisa meninggalkan kelab yang merupakan impian dan cita-cita mereka sejak lama. Meski tidak tinggal bersama, tapi Zahra tetap merasa bersyukur karena setelah ini, ibunya tak perlu lagi menderita dan mendapat perlakuan buruk dari orang-orang di kelab.Awalnya, Zahra merasa berat untuk berpisah dengan ibunya. Ia menangis dan memaksa untuk ikut tinggal bersama dengan ibunya, tapi ibunya menolak dengan alasan Zahra sudah memilik suami dan wajib mengikuti suaminya. Selain itu, ruko yang disediakan oleh keluarga Blackstone untuk ditempati ibunya juga jaraknya terlalu jauh dengan kampus Zahra.Zahra mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar. Saat ini, ia sudah berada di kamar Aaro atau bisa dibilang sekarang ini juga kamarnya. Sesaat tadi dirinya sempat mengira bahwa Aaro menunjukkan ruangan yang sa
Zahra meratakan bedak bayi ke seluruh wajah dan memoleskan sedikit lipgloss warna untuk membuat wajahnya yang pucat agar terlihat lebih segar. Ia menatap bayangan wajahnya sendiri dalam cermin yang balas menatapnya dengan ekspresi murung. Hatinya masih sakit dengan tuduhan yang diarahkan Aaro padanya semalam. Besar kepala, sok ikut campur dan berusaha menggantikan posisi Alea di hatinya?Andai Aaro tahu bahwa dirinya juga tidak menyukai pernikahan ini.Memang awalnya Zahra menerima pernikahan ini dengan penuh rasa syukur karena selain bisa terbebas dari kehidupan di kelab, ayah mertuanya juga mengatakan akan mengambil alih segala bentuk tanggung jawab atas dirinya dari ibunya. Tentu saja Zahra merasa senang karena itu berarti dirinya tak perlu membebani ibunya lebih lama lagi. Ia ingin ibunya bisa merasakan kebebasan untuk bahagia. Namun, ucapan Aaro semalam membuat Zahra sadar bahwa tidak seharusnya dirinya memanfaatkan pernikahan ini.
Jam dinding di kamar Aaro sudah mengaum sepuluh kali, itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Zahra sepertinya tidak menyadari itu. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya mengoreksi tugas dari murid-muridnya di sekolah yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Jawaban yang diberikan oleh murid-muridnya kebanyakan berupa narasi panjang yang berputar-putar dan tidak langsung pada pokoknya."Sudah larut," ujar Aaro yang sejak tadi menunggui Zahra. Tidak hanya menunggui, Aaro bahkan mengamati setiap gerak gerik Zahra tanpa sepengetahuan gadis itu—seakan tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain itu—sambil duduk di atas sofa, sementara Zahra bersila di lantai."Belum selesai," gumam Zahra tanpa menatap Aaro. Dahinya berkerut dengan bibir mengerucut beberapa senti ke depan saat membaca jawaban salah satu muridnya yang sungguh memeras otak."Aku ngantuk." Aaro menjulurkan kakinya unt
"Mana dia?" Aaro yang baru saja menghambur ke dalam ruang makan bertanya karena tidak melihat ada Zahra di sana."Zahra? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu," Carmila tersenyum keibuan kemudian berdiri menyambut sang putra."Jalan ke halte?" tanya Aaro dengan nada jengkel sekaligus marah. Bukan marah kepada bundanya, tapi kesal pada dirinya sendiri yang bangun kesiangan dan yang menjengkelkan adalah Zahra sama sekali tidak berusaha membangunkan dirinya.Aaro mengerang pelan sambil mengusap wajah dengan telapak tangannya. Ia tahu apa yang mereka lakukan semalam adalah kali pertama untuk Zahra, jadi pasti akan terasa tidak nyaman bagi Zahra. Apalagi jika dia sampai harus berjalan jauh dari rumahnya ke halte."Tadi Om Damian mampir sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang harus dibawa ke luar kota. Jadi, Ayah meminta tolong untuk mengantar Zahra sekalian. Kebetulan satu arah kan?" Aidan menjawab san
"Aa, ini di sekolah," desah Zahra di sela-sela ciuman Aaro yang terus menuntut. Bukannya menjawab, Aaro justru semakin menyudutkan dirinya hingga punggungnya menyentuh besi tempat tidur yang dingin.Masih sambil mencium bibir Zahra, Aaro membungkuk sedikit agar bisa mengangkat tubuh Zahra dan mendudukkannya ke atas tempat tidur. Kebutuhannya sudah mendesak dan menuntut pemuasan dengan segera, tapi ia tak bisa terburu-buru karena semua ini masih memerlukan penyesuaian bagi Zahra. Ia harus memastikan istrinya itu betul-betul sudah siap sebelum menyatukan diri.Zahra menancapkan kukunya pada lengan telanjang Aaro ketika cumbuan suaminya itu mulai turun dari wajah ke leher dan semakin turun hingga bagian bawah dirinya. Ia menggigit bibirnya dengan kuat—mencegah teriak kenikmatan lolos dari bibirnya—ketika Aaro menyentuh daerah sensitifnya dan ketika sentuhan itu semakin intens, ia seperti hilang akal dengan terus meracau memi
Zahra mengelap gelas terakhir yang ada di dapur dan memasukkannya ke dalam rak dengan gerakan yang sangat pelan. Ia berharap untuk bisa berlama-lama di dapur keluarga Blackstone karena tidak ingin segera kembali ke kamar.Zahra sedang ingin menjaga jarak dengan Aaro. Pikirannya selalu kacau dan terpedaya ketika berada dekat dengan suami brondongnya itu, seakan bukan dirinya saja. Namun, sejak sepulang sekolah sampai saat malam tadi, Aaro terus saja menempel padanya. Ke mana pun dirinya bergerak, pemuda itu mengekor di belakangnya membuat dirinya risih dan gelisah.Desah tertahan lolos dari dalam dadanya ketika mengingat sikap Aaro yang menjadi begitu berbeda padanya dibanding saat awal pernikahan mereka dulu.Apakah ini karena Aaro merasa dirinya mudah untuk dimanfaatkan?Bahunya terkulai mengingat bagaimana cara Aaro menatapnya saat makan malam tadi. Begitu intens dan tidak berpaling sedetik pun membuatnya salah ting
Diam. Seluruh tubuhnya seakan mati dan tak bisa digerakkan. Matanya pun mulai memanas, tapi yang lebih parah dari itu semua adalah rasa sakit yang terus menusuk di hatinya. Terlalu sakit, bahkan melebihi sakit yang ia rasakan saat Alea memutuskan untuk menikah dengan pria lain. Bisa dibilang, dirinya terlalu terguncang mendengar apa yang baru saja sang ayah sampaikan. Zahra pergi meninggalkan dirinya tanpa pamit. Dia hanya membicarakan keputusan kekanakan itu pada ayahnya. Padahal siapa suaminya di sini?! batin Aaro marah.Jika memang berniat mengakhiri hubungan bersamanya, seharusnya perempuan itu berbicara dengan dirinya bukan dengan ayahnya! "Sayang," Carmila membelai kepala sang putra dengan penuh kelembutan, "dimakan dulu sarapannya."Aaro tidak menjawab dan hanya diam mematung di tempat dengan tatapan nanar ke depan. Kata-kata sang bunda seolah lewat begitu saja di telinganya tanpa ia bisa mendengar d
Aaro menggandeng tangan Zahra saat menaiki undakan di depan teras rumahnya. Wajahnya terlihat cerah dan bahagia karena dirinya berhasil meyakinkan Zahra untuk kembali pulang dan yang lebih penting dari itu semua adalah fakta bahwa ternyata rasa cinta telah tumbuh di hatinya untuk Zahra, entah sejak kapan. Mungkin sejak malam pertama mereka atau bisa jadi sejak pertemuan pertama di kelab kala itu. Aaro tak mau terlalu memikirkannya. Ia hanya lega karena pada akhirnya bisa memahami perasaannya sendiri hingga tak perlu mengalami penyesalan di belakang seperti yang pernah dialami oleh kedua kakaknya dulu. Ia cukup belajar dari pengalaman itu. Namun, itu semua belum terlalu memuaskan hatinya karena Zahra masih memiliki keinginan untuk pergi. Meksi sekarang Aaro bisa memahami alasan istrinya itu untuk pergi, tapi tetap saja baginya itu bukanlah masalah besar yang seharusnya bisa diatasi.Aaro menggerakkan kepalanya ke samping untuk melirik perempuan yang berjalan