“Tidaaakkkk!!!”
Jenna tersentak kaget mendengar suara jeritan dari samping tubuhnya yang begitu memekakkan telinga. Ia bangun terduduk dengan keras, melihat Liora yang sudah duduk dengan wajah horor dan basah oleh keringat. Juga berlinang air mata. Melihat itu, Jenna dengan sigap memeluk sang kakak. Mengelus kepala Liora dengan lembut berusaha menenangkan gemetar yang menyerang tubuh itu.
“Sshhhh ... semua baik-baik saja, Liora.”
Liora semakin terisak, kepalanya bergerak ke kanan dan kek kiri dengan kalut. “Dia tahu, Jenna. Dia tahu aku mengkhianatinya. Dia menyuruh orang-orang itu memerkosaku sebelum membunuhku. Aku sangat takut.”
Mata Jenna terpejam. Mulai bertanya-tanya apakah Jerome memang seburuk itu? Hingga membuat seseorang mengalami mimpi buruk seperti ini. “Shh, Aku di sini. Itu hanya mimpi.”
Liora menarik dirinya. Air matanya yang bercucuran tak bisa berhenti. Kedua tangannya memegang pundak Jenna. “Hanya kau yang bisa membantuku. Hanya kau yang bisa menghadapinya.”
Jenna tak bisa menjawab. Mengangguk ataupun menggeleng.
“Aku mohon padamu, Jenna. Hanya kau yang bisa menyelamatkan kami berdua. Tak ada yang lain. Hanya wajahmu yang bisa menolong kami.” Liora menyentuh perutnya. “Aku tak mungkin menggugurkan anak ini.”
Pandangan Jenna turun ke arah perut Liora. Ia pun tak akan tega membiarkan Liora menggugurkan anak tak bersalah itu. Hanya Liora satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini. Kedua orang tua mereka meninggal sejak mereka masih berumur tiga belas tahun. Keduanya hidup sendiri, saling mendukung walaupun setelah beranjak dewasa Liora lebih memilih kehidupan di kota besar yang lebih menjanjikan kesejahteraan dan bahkan kemewahan yang sangat disukai oleh sang kakak.
Walaupun begitu, komunikasi mereka tetap lancar, Liora pun juga sering mengunjunginya di hari-hari libur. Wanita itu memang tak perlu bekerja dengan kekasih loyal yang selalu memenuhi kebutuhan dan keinginan Liora. Dan satu kesalahan fatal membuat wanita itu harus jatuh ke lubang ketakutan.
“Tolong kami, Jenna,” ratap Liora penuh permohonan.
“Aku akan mempertimbangkannya.” Jenna tak tahu kenapa kata-kata itu keluar begitu saja lewat mulutnya. Bahkan di saat hatinya menolak untuk menggantikan tempat Liora selain karena keterpaksaan. Hanya kata itu yang bisa menenangkan Liora, untuk saat ini. Keputus-asaan bahkan akan membuat wanita itu rela menjilat kaki Jenna.
Seketika senyum terbit di bibir Liora yang sudah berhenti bergetar. Wanita itu menarik Jenna ke dalam pelukannya dengan erat. “Terima kasih, Jenna. Terima kasih banyak.”
***
“Makanlah sedikit lebih banyak,” pintah Jenna melihat Liora yang hanya mengambil tiga gigitan roti dan langsung mendorong piring itu menjauh. Mata kakaknya masih sedikit terlihat membengkak. Karena tidur yang tak nyenyak, menangis, atau mungkin terlalu banyak tekanan dalam pikiran.
Liora menggeleng tak berselera. “Mungkin karena kehamilan ini, selera makanku berkurang drastis.”
Jenna tak tahu jika kehamilan memang bisa membuat selera makan turun. “Apa kauingin makan sesuatu sebagai gantinya?” tawarnya berharap itu bisa membuat perut Liora terisi. Ia tak tahu apa pun tentang kehamilan, tapi sepertinya jelas butuh makanan dua kali lipat dari orang tidak hamil, kan.
Liora menggeleng. Mengambil jus jeruk dan meneguknya setengah. Saat ia meletakkan gelasnya di meja, ponsel di samping piringnya bergetar. Membaca pesan singkat di ponsel tersebut dan wajahnya berubah seputih kapas.
“Ada apa?” tanya Jenna dengan kerutan di kening. Menjulurkan lehernya ke arah layar ponsel Liora.
Liora menunjukkan pesan singkat dari Jerome. ‘Tak sabar ingin melihat wajahmu besok, Jenna sayang.’
“Apa? Besok?” Mata Jenna membelalak.
Liora mengangguk. “Pernikahan kami Selasa depan. Dia akan menjemputku di bandara. Inilah satu-satunya kesempatan kita bertukar tempat. Aku tak bisa pergi kemari lagi setelah kembali.”
“Kenapa begitu mendadak?”
“Dia hanya memberiku dua hari untuk datang ke tempat ini. Aku beralasan ingin mengunjungi makam orang tua kita sebelum menikah. Dia bahkan ingin ikut, tapi beruntung pekerjaannya sangat sibuk karena urusan pernikahan kami.”
“Aku bahkan belum bicara dengan Juna. Apa yang akan kukatakan pada Juna? Aku tak mungkin mengatakan padanya aku harus pergi untuk menikahi tunangan kakakku, kan?”
Liora terbungkam.
Jenna bangkit berdiri, menggusurkan jemari ke rambutnya dengan mata terpejam. Menahan geram di dalam gerahamnya.
“Apa kau begitu mencintainya?” Liora tampak was-was dengan pertanyaan yang diajukannya. Penuh rasa bersalah.
Jenna mendelik dengan pertanyaan tersebut. “Kaupikir?”
“Aku berangkat kerja,” pamit Jenna sambil meyambar tasnya di kursi, berangkat ke tempat kerja lebih pagi dari biasanya, dan mungkin tak akan pergi ke tempat kerjanya. Itu hanya alasan yang ia katakan pada Liora. Ia hanya butuh keluar rumah, menjauh dari Liora dan berpikir. Namun langkah kakinya membawanya ke apartemen Juna. Ia ingin bertemu pria itu. Untuk terakhir kalinya? Entah sampai kapan ia akan menggantikan tempat Liora. Dan entah apa yang akan dikatakannya pada pria itu.
Mengatakan ia akan ke luar kota mengunjungi Liora untuk menghadiri pernikahan kakak kembarnya? Ia sudah mengatakan rencana itu seminggu yang lalu pada Juna.
Mengatakan ia mendapat tiket liburan ke luar kota? Alasan paling konyol yang pernah terpikirkan oleh otaknya. Ia bahkan tak bisa berpikir dengan benar.
Lift berhenti di lantai tujuh. Liora berjalan keluar dan melewati tiga pintu sebelum berhenti. Menekan bel dan menunggu Juna muncul. Biasanya pria itu bangun tepat jam tujuh pagi. Setengah jam yang lalu.
Dua dan tiga kali pintu di depannya masih tertutup. Jenna mengambil ponsel di tas, mencoba menelpon pria itu. Mungkin Juna sedang tidak ada di apartemen. Tapi mendadak pintu di depannya terbuka.
Ponsel di tangan Jenna meluncur ke lantai, jantungnya berhenti berdetak, dan keterkejutan besar tercipta di wajahnya hanya dalam sepersekian detik.
Di hadapannya, berdiri wanita cantik yang tidak ia kenali. Dengan rambut berantakan khas bangun tidur, bekas memerah di leher yang tak bisa Jenna pikirkan bagaimana bekas itu ada di sana, karena wanita itu ada di dalam apartemen Juna. Belum dengan pakaian, ah wanita itu tidak mengenakan apa pun selain kemeja yang sangat dikenali Jenna milik Juna. Tidak, itu bahkan kemeja hadiah ulang tahun yang diberikan Jenna dua bulan yang lalu. Kemeja itu hanya dikancing satu di tengah dada, yang otomatis menampilkan bayang-bayang dada wanita itu yang berukuran besar. Di sana juga ada bekas merah.
“S-siapa kau?” Suara Jenna parau total.
Wanita itu hanya mengedikkan bahu. Membalikkan tubuh dan memberi jalan bagi Jenna untuk melihat lebih di dalam.
Kaki Jenna yang bergetar bergerak maju, hanya butuh tiga langkah baginya untuk melihat pemandangan super mengejutkan yang kini menyempurnakan prasangkanya. Di sana, di atas ranjang. Tubuh Juna berbaring telanjang, hanya tertutupi oleh selimut di bawah pinggang. Tempat tidur itu berantakan, dan Jenna tak perlu bertanya apa yang sudah terjadi di sana.
Air mata Jenna pecah ketika ia berbalik, sesak di dadanya semakin menguat, begitu juga gerakan kakinya untuk meninggalkan tempat itu. Bersama kehancuran yang meremukkan dadanya.
‘Apa kau begitu mencintainya?’
Sekarang pertanyaan Liora seakan-akan menertawakannya. Cinta yang ia banggakan kini berbalik mengkhianatinya.
Liora memeluk Jenna, raut penuh penyesalan memenuhi wajahnya. “Kau tak pantas menangisi pria itu seperti ini, Jenna,” bisik Liora. Mengurai pelukannya lalu menghapus air mata Jenna.“Dua tahun kami bersama,” gumam Jenna pelan. Dan semua berakhir begitu saja.“Aku tahu. Tapi kau harus menguatkan diri.”Jenna memejamkan mata, menghentikan tangis yang masih menggelitik ingin menghambur keluar. Namun, bayangan Juna dan wanita itu yang telanjang bersama di atas tempat tidur malah semakin jelas di benaknya. Keduanya yang saling mencumbu, saling menyentuh dengan penuh hasrat. Jenna menggigit bibir bagian dalamnya dan membuka mata. Kali ini tak ada tatapan luka tersirat di bola mata hitam itu, digantikan tatapan penuh tekad yang kuat. “Aku akan membantumu.”“Hah?” Liora melongo.“Aku akan menggantikan tempatmu.” Ya, dengan luka yang masih menganga basah di dadanya. Jenna butuh waktu se
“Bangun ... Sayang.”Kelopak mata Jenna bergerak pelan, sementara kesadaran perlahan memenuhi raganya. Satu kecupan yang mendarat di kening seketika menyentakkan Jenna dari kesadaran. Tubuhnya melompat kaget, menatap pria asing di sampingnya. Ingatan Jenna segera mengambil alih keterkejutannya. Liora, penerbangan, Jerome.“Apa aku mengagetkanmu?” Jerome mengulurkan tangan menyelipkan rambut Jenna ke balik telinga.“Sedikit.” Jenna mengusap wajahnya dan mendesah pelan. Ia tertidur di pundak Jerome.“Kita sudah sampai. Apa kauingin menunggu sejenak untuk menghilangkan pusingmu?”Jenna menatap keluar mobil. Mobil memasuki sebuah halaman gedung yang luas. Di kanan kiri jalan masuk gedung ada taman bunga. Menuju sebuah air mancur tinggi tepat di depan pintu utama gedung.Luxury ApartmentJenna membaca monumen kecil di tengah air mancur. Ah, ya. Ini apartemen tempat Liora tinggal. 280
Esok harinya, Jenna berdiri tercengang menatap gaun pengantin yang terpajang di manekin di hadapannya. Gaun itu dari bahan satin, terkesan lembut dan berkilau. Jatuh ke lantai dengan sangat anggun. Hanya saja, yang begitu menarik perhatian Jenna adalah model bagian atasnya, yang ia yakin akan mempertontonkan dada dan punggungnya.Sekali lagi menyumpahi Liora yang menjatuhkan pilihan itu gaun pengantin itu. Lengannya memang panjang sampai di tiga perempat lengannya, tapi gaun itu memiliki belahan dada yang sangat pendek, dan punggung yang sangat rendah. Kenapa tidak sekalian telanjang saja? maki Jenna dalam hati.“Masuklah ke ruang ganti, mereka akan membantumu mengenakannya.” Tangan Jerome yang menyentuh pinggang Jenna mendorong lembut wanita itu untuk melangkah maju.Jenna mengangguk, berharap Jerome tak menyadari kekakuan langkahnya ketika menghilang di balik tirai tinggi berwarna putih.Tak hanya gaun pengantin itu saja, ternyata branya pun
Ternyata Daniel lebih berani dari yang Jenna pikir. Ketika pesta pernikahan usai dan ia diarahkan Jerome untuk naik ke kamar pria itu yang sudah dihias layaknya kamar pengantin baru -dengan kelopak bunga mawar merah bertaburan di ranjang, dan hiasan bunga di mana-mana-, dan Jenna tengah berdiri di depan cermin untuk untuk menanggalkan gaun pengantinnya, tiba-tiba pintu kamar Jerome terbuka dan Daniel menyelinap masuk.“Apa yang kaulakukan di sini?” Jenna segera menaikkan kerah gaun pengantinnya dan menutup bagian dada dengan kedua tangan. Sungguh lancang sekali pria itu masuk tanpa mengetuk pintu. Bagaimana jika saat itu ia sudah setengah melepaskan pakaiannya.Daniel melangkah mendekat dengan senyum melengkung licik di kedua sudut bibirnya. Begitu Jenna sudah berada dalam jangkauan tangannya, ia menarik pinggang wanita itu menempel di tubuhnya dan sudah menundukkan wajah untuk mencuri ciuman di bibir Jenna.Jenna memalingkan muka, membuat bibir Dani
Seluruh tulang Jenna rasanya remuk redam. Ia sering mendengar, malam pertama adalah malam yang sangat indah. Tidak demikian yang Jenna rasakan. Hanya ada rasa sakit yang seolah membelah tubuhnya, meski Jerome melakukannya dengan sangat perlahan dan penuh kelembutan. Dan ia pun tak menangkis niat pria itu yang bersungguh-sungguh membuatnya memiliki kesempatan menikmati pengalaman malam pertama tersebut.Sentuhan pria itu dipenuhi cinta, yang sayangnya bukan untuknya. Dan membuat Jenna tak habis pikir, ketololan jenis apa yang membuat Liora mencampakkan pria segentle ini untuk Daniel. Ia bahkan tak bisa melihat kelebihan Daniel dibandingkan dengan Jerome sedikit pun selain kesombongan pria itu yang berhasil menusuk Jerome dari belakang.Semua cinta Jerome seolah dilimpahkan hanya untuk Liora seorang, dan memang itu yang dikatakan oleh Liora.Khilaf, itu dalih yang dikatakan oleh Liora.Jenna bangkit terduduk dengan gerakan sehati-hati mungkin setelah menyin
Jenna rasanya ingin menangis dengan debaran memualkan yang muncul di dadanya. Ia tak bisa membayangkan apa saja yang akan Daniel lakukan untuk mengusik dirinya jika pria itu tinggal di rumah ini.Untuk pertama kalinya, ia memohon. Memohon pada Tuhan agar Jerome menolak keinginan Daniel. Namun, permohonannya terlambat diucap, Jerome sudah mengangguk sedetik lebih cepat.“Lakukan sesukamu,” kata Jerome. Melempar handuk di lehernya ke kursi dan berdiri. Melangkah ke pinggiran kolam.Senyum licik tersamar di antara keceriaan yang seketika memenuhi wajah Daniel ketika bertatapan dengan Jenna yang pucat pasi.“Kau tidak ikut berenang?” tanya Daniel ketika Jerome melompat turun ke kolam.Jenna mengerjap dan menggeleng.“Aneh, tak biasanya kau tidak berminat berenang,” gumam Daniel menyipitkan mata penuh curiga ke arah Jenna.Kepala Jenna berputar dengan cepat dengan gumaman Daniel. Selain karena Jenna tak
Siang itu Jenna mengambil buku di perpustakaan Jerome dan membawanya ke kolam renang. Semilir angin dan udara yang cerah, membuatnya menikmati siang dengan sedikit kesenangan. Karena ia tak sungguh-sungguh fokus dengan buku bacaan yang diambilnya.Pikirannya masih berkelana tentang Liora, yang masih mengirimkan ribuan tanya di benaknya. Ponsel yang diberikan kakaknya tak banyak membantu. Sama sekali tak membantu.Terlalu lelah dengan pikirannya dan suasana mengenakkan, membuat Jenna tanpa sadar menyandarkan kepala dan matanya terpejam. Membawanya dalam ketenangan yang begitu menghanyutkan.Hingga ketenangan itu terusik oleh gerakan lembut yang menyentuh kening, perlahan mata Jenna terbuka, dan seketika tersentak kaget ketika wajah Daniel berada begitu dekat dengan wajahnya.“Daniel!” Jenna melompat terduduk dengan kedua tangan mendorong pria itu untuk mundur. “Apa yang kau lakukan?”Daniel tersenyum dan menggeleng. “Ak
“Tidak!” sangkal Jenna menggelengkan kepala dengan keras. Wajahnya yang pucat menatap bergantian antara Daniel dan Jerome. Daniel menyeringai puas ke arahnya dengan tatapan licik, dan Jerome, pria itu membeku. Terlalu sulit menemukan reaksi semacam apa dengan ekspresi datar yang tertampil di wajah pria itu. Terkejut? Marah? Memercayai pengakuan Daniel? Jenna tak bisa menentukan emosi mana yang tengah membekukan Jerome. Dan Daniel, pria itu benar-benar sudah kehilangan akal dengan pengakuan sembrononya. Apakah pria itu memang berniat bunuh diri? Dengan membawa nama Liora. “Percaya padaku, Jerome. Apa yang dikatakan Daniel tidak benar. Aku tidak pernah berselingkuh darimu.” Setidaknya itu setengah dari kebenaran. Liora yang berselingkuh dengan Daniel, bukan dirinya. “Dia ... dia memang menggodaku, tapi aku tak pernah mengkhianatimu.” Daniel maju lebih ke depan. Mengambil ponsel dari dalam saku celananya, sesaat jemarinya bergerak di layar ponsel itu sebelum men