Share

CHAPTER 2: Pak Bos

“Ini handphonenya!” Lelaki yang mengenakan kemeja berwarna hitam itu menyerahkan hanphone kepada Nesa, lalu Nesa menerimanya.

“Makasih, Pak Dion.”

Dion mengangguk lalu menampilkan senyumnya. “Lo beneran gak papa nyetir sendirian? Ini udah malam, gue bisa panggilin supir gue buat anterin kalian pulang.” Suara Dion terdengar khawatir.

“Ini bukan yang pertama kalinya buat saya Pak, jadi ngga papa.”

“Oke kalau gitu, hati-hati ya!”

Nesa mengangguk lalu menampilkan senyum sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Sembari memakai safety belt ia menatap lelaki yang duduk di kursi belakang dengan sorot kesal melalui kaca.

“Kenapa?” tanya lelaki itu membalas tatapan Nesa dengan tatapan tajamnya.

“Tidak, Pak.” Nesa lagi-lagi menampilkan senyum lebar, lalu ia kembali melajukan mobilnya. Tentu saja dengan sumpah serapahnya di dalam hati.

Sepertinya harinya selalu saja tidak berjalan mulus, ada saja hal-hal yang membuat Nesa kesal. Contohnya hari ini, di saat Nesa masih bergelung dengan selimutnya di kamar untuk menikmati hari libur, sekretaris dari salah satu kolage bisnis atasannya mengabari jika bosnya meminta meeingnya dilakukan hari ini juga, dengan tidak rela Nesa meninggalkan kasurnya dan bersiap untuk menyiapkan semuanya.

Setelah meeting selesai bosnya malah menyuruh Nesa untuk membereskan rumahnya—ah untuk soal ini, Nesa sebenarnya melamar bukan untuk menjadi pembantu, posisi yang di lamarnya adalah untuk menjadi sekretaris, apa yang bisa Nesa lakukan jika bosnya memperintahkan, ia hanya bisa menurut. Dan sekarang lihatlah ia sedang mengendarai mobil untuk mengantar bosnya pulang ke rumah.

Dion—lelaki yang tadi mengobrol dengan Nesa dia baru saja mengadakan pesta buck’s night, bosnya adalah sahabat Dion jadi tentu saja ia hadir. Karena tidak mungkin bosnya itu mengendarai mobil sendiri dalam keadaan setengah mabuk, jadi sebagai sekretarisnya dia harus sigap jika dibutuhkan oleh bosnya kapanpun.

“Mau ganti pakaiannya?” tanya Nesa kepada bosnya yang sudah berbaring di kasur. Namun hanya gelengan kepala sebagai jawaban darinya.

“Menginap lah di sini!”

Nesa menggeleng. “Saya pulang saja.”

“Menginap lah!”

Nesa dengan terpaksa menganguk, lalu tangannya bergerak untuk melepas sepatu juga kaos kaki yang di pakai bosnya.

“Pak Edgar biasanya tidak minum alkohol banyak sampai mabuk seperti ini,” ucap Nesa, setelah selesai melepas sepatu dan kaos kaki bosnya, dia melepas jam tangan dan juga dasi yang terpasang di leher Edgar.

“Umm ….”

Hanya gumaman yang keluar dari mulutnya, lalu lelaki itu merubah posisi menjadi tengkurap dengan mata yang terpejam.

Sudah hampir tujuh tahun Nesa menjadi sekretaris bosnya. Radega Edgar Naratama—anak sulung dari direktur utama Naratama Corp real estate & property. Walaupun Edgar adalah anak dari direktur utama, dia tidak langsung bisa ada di posisi sekarang. Semuanya bertahap, saat iu Edgar masih menjabat sebagai manager keuangan, dan Nesa baru menjadi sekretarisnya.

Tujuh tahun menjadi sekretaris Edgar, membuat Nesa mempunyai kamar sendiri di rumah megah ini. Jika sedang ada pekerjaan yang mengharuskannya lembur maka Nesa tidak usah pulang ke apartemen, karena Edgar memperbolehkan Nesa menempati salah satu kamar di rumahnya.

Jika dilihat-lihat tentu saja Edgar adalah lelaki yang sangat perfect. Tampan dan mapan, juga dari keluarga terpandang. Siapa yang tidak tertarik kepadanya. Namun, tetap saja semua orang pasti tidak seutuhnya sempurna, bagi Nesa sifat dan watak Edgar benilai negatif. Dingin, irit bicara, pemarah, penyuruh, arogan dan masih banyak lagi.

Tentang keluarga terpandang. Siapapun yang menjadi bagian dari keluarga besar Naratama, sepertinya hidupnya sangat beruntung. Keluarga Naratama mempunyai beberapa perusahaan dalam bidang real estate & property, kontruksi, tour & travel, bahkan Naratama juga mendirikan rumah sakit, dan juga yang lainnya.

Membayangkan kekayaannya saja membuat Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Nes, kamu yang ngasih nomor handphone aku ke si Erwin?”

Suara itu berasal dari handphone milik Nesa, dan yang menelepon adalah Nadya—si cantik yang selalu berhasil membuat semua orang tertarik kepadanya. Nesa memutar bola matanya jengah, ia baru saja mengganti pakaiannya dengan baju piyama dan sekarang sedang duduk di depan cermin sambil menecepol rambutnya asal. Tiba-tiba saja Nadya menelepon dan langsung menayakan hal itu.

“Yap!”

“Aku kan udah bilang gak usah kasih nomor aku—“

“Erwin Prasetya, salah satu dokter saraf di rumah sakit Naratama medical center. Dia tinggi, tampan. Cocok lah buat kamu!” tutur Nesa memotong cepat ucapan Nadya, terdengar hembusan napas berat dari seberang sana.

“Jalanin aja Nay, siapa tahu cocok! Udah ya aku mau tidur.”

“Nes tap—“

Tut!

Nesa heran kenapa Nadya masih nyaman dengan kesendiriannya, terakhir kali dia menjalin sebuah hubungan sudah lama sekali. Padahal banyak yang menyukainya dan tertarik kepadanya, alasan dia tidak memiliki pasangan mungkin sepertinya karena dia tidak bisa melupakan mantan pacarnya yang dulu. Menurut Nesa, Nadya cantik, mau lelaki yang seperti apapun pasti bisa dia dapatkan.

***

Ayahnya pergi dengan meninggalkan hutang yang cukup banyak. Mungkin jika di ceritakan akan terlalu menyedihkan, bagaimana perjuangan ibunya yang harus bekerja serabutan untuk biaya sekolah Nesa dan untuk kebutuhan sehari-harinya waktu itu, melakukan apapun pekerjaan yang bisa ia lakukan, Nesa juga sering membantu ibunya. Beruntungnya ada keluarga Nadya yang mau membantu melunasi hutang.

Untuk sekarang hutang kepada kedua orang tua Nadya sudah lunas, bahkan sekarang ibunya sudah mempunyai sebuah rumah makan, walaupun tidak terlalu besar tapi setidaknya uangnya cukup untuk biaya sekolah adik laki-lakinya dan biaya hidup.

Nesa yang sedang fokus di dapur, memasak untuk sarapan pagi ini langsung menghentikan kegiatannya, mengambil segelas air lalu berjalan cepat untuk ke kamar Edgar. Edgar mengiriminya pesan melalui handphone, meminta Nesa untuk ke kamarnya.

“Sudah bangun?” ucap Nesa saat sudah membuka pintu kamar. Ia melihat Edgar yang masih berbaring di kasur dengan tangan yang memijit-mijit kepalanya, kemeja hitam yang semalam di pakainya sudah tergeletak di lantai. Nesa duduk di tepi kasur, lalu membantu Edgar untuk bangun dari tidurannya.

“Minum dulu, Pak!”

Edgar meneguk air itu sampai habis.

“Ahh … shit!” umpatnya, tangannya terus memijit-mijit kepalannya.

Nesa tahu, dan ini bukan yang pertama kali ia melihat bosnya dalam keadaan seperti ini. Malamnya senang-senang, namun paginya tentu akan mengakibatkan hangover.

Menyusahkan!

“Saya sudah membuatkan sup ayam, mau langsung makan atau mandi dulu?”

“Mandi.”

Nesa mengangguk, lelaki itu turun dari kasur dan berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi dengan sempoyongan. Nesa akan membantunya namun Edgar menolaknya, saat bosnya sudah masuk ke dalam kamar mandi ia membersihkan kasur.

“Apa si arogan itu meminum alkohol satu galon, huh?” gerutu Nesa, ia bahkan harus mengganti seprei kasurnya karena aroma alkohol yang sangat pekat.

Sekitar lima belas menit membersihkan tubuhnya, Edgar keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Nesa yang baru saja membuka pintu menuju balkon agar udara pagi masuk, langsung berjalan menuju walk-in closet untuk menyiapkan pakaian.

Hari ini hari Minggu, waktunya menikmati hari libur. Tapi sepertinya dari kemarin kebahagiaan tidak berpihak kepada Nesa. Bahkan untuk pagi ini saja, alih-alih ingin seharian berada di kasur, ia harus mengurus bosnya.

“Enak?” tanya Nesa menatap Edgar dengan wajah yang penuh harap.

Edgar kembali menyuapkan sup ayam ke dalam mulutnya. “5 dari 10,” jawabnya yang membuat Nesa langsung memanyunkan bibirnya. Jawaban Edgar benar-benar jauh dari harapan Nesa.

“Tidak usah di makan kalau begitu,” lirih Nesa, dengan cepat ia mengambil gelas yang ada di depannya lalu meneguknya hingga habis.

“Kamu tidak makan?”

Nesa hanya menggeleng.

Edgar menatap Nesa, lalu menaikkan satu alisnya dan bertanya, “Diet?”

Kali ini anggukkan kepala dari Nesa.

“Tubuh kamu sudah seperti triplek, mau diet buat apa lagi?”

Menyakitkan bukan? Ini bukan yang pertama kalinya Nesa di katai oleh bosnya. Nesa sudah pernah mengatakan bukan jika bosnya irit bicara? Sepertinya Nesa memilih agar Edgar tidak bicara sama sekali, ya … karena kata-kata Edgar bisa membuat lawan bicaranya naik pitam.

“Mau dibuat kaya bihun, Pak.” Nesa melebarkan senyumnya, namun tidak dengan hatinya, sumpah serapah juga penghuni kebun binatang semuanya Nesa sebutkan untuk memaki bosnya.

“Semalam kamu habis kencan dengan pacarmu?”

Apa ini? Kenapa sekarang Edgar mengganti topik. Rasanya Nesa ingin pergi dari sini, sungguh! Jika sedang membicarakan pekerjaan saja kadang Edgar selalu menusuk Nesa dengan perkataan menyakitkan, apalagi sekarang sedang duduk santai sambil sarapan. Contohnya saja tadi, bahkan belum dua menit kata-kata menyebalkan itu keluar dari mulut Edgar, sekarang dia akan mencoba mencari topik baru? Dan kenapa Edgar mengatakan itu? Apa dia tahu jika Nesa waktu semalam bertemu dengan seseorang?

“Apa saya mengganggu kegiatan kalian di ranjang?”

Nesa dengan refleks membelalakkan matanya. Sedangkan Edgar masih fokus dengan makanannya. Ia menyodorkan piringnya kepada Nesa, memintanya untuk mengambilkan nasi juga sup ayam.

“Katanya tidak enak, kenapa minta nambah lagi?” cibir Nesa, namun ia tetap menuangkan nasi juga sup ayam ke dalam piring, untuk bosnya.

“Kapan saya bilang tidak enak?”

Nesa tidak mau menjawab, dia memilih mengalah. Tidak akan ada habisnya jika berdebat dengan Edgar, lelaki itu tidak akan berhenti jika Nesa tidak mengalah. Ya … lelaki itu hanya ingin menang.

“Tidak mau menjawab pertanyaan saya, huh?”

“Pak Edgar memang gak bilang kalo makanan say—“

“Pertanyaan ini tentang kekasihmu?”

Nesa menatap Edgar dengan wajah kesal. “Tahu dari mana kemarin malam saya habis kencan?”

“Kamu sudah berani menatap saya degan tatapan seperti itu?” sindir Edgar menatap Nesa dengan satu alis yang terangkat.

“Maaf, Pak Egdar,” ucap Nesa menundukkan wajahnya lalu tersenyum manis. “Kemarin saya habis bertemu laki-laki yang menyukai Nadya—sahabat saya, dia bertanya tentang semua hal yang Nadya sukai sama saya,” lanjut Nesa menjelaskan kebenaran tentang kejadian tadi malam.

“Apa Dina menghubungimu?”

Kenapa bosnya terus mengganti topik pembicaraan. Nesa hanya ingin pulang, sungguh! Kenapa Edgar selalu bertanya?

“Tidak,” jawabnya sambil menggelengkan kepala. “Kenapa memang?” lanjut Nesa bertanya.

“….”

Tidak ada jawaban, Edgar hanya menatap Nesa sekilas lalu kembali memakan makanannya. Tidak! Ini bukan yang pertama kalinya Nesa di perlakukan seperti ini oleh bosnya, ini hal biasa, sudah menjadi kebiasaan hampir tujuh tahun ini. Walaupun begitu tetap saja, Nesa ingin sekali menghajar wajah Edgar dengan gelas yang ada di depannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status