London, Inggris. Enam tahun kemudian. Masa kini.
Tiga orang laki-laki paruh baya sedang berdiri berjajar. Mereka menundukkan kepala dan kedua telapak tangan terpaut di depan. Mereka berdiri dengan patuh dan mendengarkan setiap cacian yang ditujukan pada mereka.
Mereka sadar telah melakukan kesalahan, tetapi dicaci oleh seorang yang usianya di bawah mereka rasanya sangat menyakitkan. Terlebih mereka telah mengabdi lebih dari setengah usia mereka sekarang.
Namun, apa boleh buat. Tak peduli berapa usia mereka dan apa jabatan mereka. Mereka tetap saja hanya bawahan di hadapan pimpinan mereka yang kejam.
Plak! Plak! Plak!
Ketiganya mendapat pukulan di atas kepala mereka menggunakan beberapa lembar kertas yang sengaja digulung oleh si pimpinan.
“Kalian tak becus kerja, HAH?!” teriaknya tepat di hadapan mereka. Mereka hanya diam menunduk penuh penyesalan.
Si pimpinan meletakkan ujung jari di dahi ketiganya dan mendorong kepala mereka ke belakang. “Kalian dibayar mahal olehku untuk menghasilkan uang, tahu?!” hardik si pimpinan sembari menggertakkan giginya.
Mereka langsung mengangguk dengan cepat. “Tahu, Sir,” jawab mereka bertiga hampir bersamaan.
Tiga orang laki-laki paruh baya itu adalah tiga orang direktur yang diminta bertanggung jawab atas investasi dari sebuah investor besar.
Sebenarnya mereka tak kehilangan investor tersebut. Si investor besar hanya menunda komitmen sementara waktu, tetapi si pimpinan tak peduli. Menurut si pimpinan, mereka seharusnya mengikat si investor sesegera mungkin dengan cara apa pun.
“Ehm, Sir,” panggil asisten si pimpinan berdiri tak jauh dari pintu masuk.
Asisten si pimpinan sejak tadi memperhatikan si pimpinan yang sedang mengamuk pada tiga orang direktur yang menunduk tak berdaya. Dia mengingatkan saat melihat tangan si pimpinan mengepal karena takut pimpinannya memukuli mereka sampai babak belur.
Sejak perusahaan mereka mengalami krisis beberapa tahun lalu, si pimpinan kerja mati-matian menyelamatkan perusahaan mereka dari kerugian besar. Mereka akhirnya bisa keluar dari krisis. Namun, sejak kejadian itu, si pimpinan yang baik hati berubah total.
Raut wajah si pimpinan merah padam, napasnya memburu dan dadanya yang bidang kempas-kempis karena kesal.
Ia mengerutkan alisnya dan menatap tajam ketiganya. “Jika dalam satu bulan ini mereka masih belum tanda tangan, kalian akan dipecat tanpa pesangon sepeser pun. Paham?!” ancamnya.
Mereka bertiga saling melirik satu sama lain dan tak ada yang berani menjawab.
“PAHAM?!” teriak si pimpinan karena tak ada satu pun yang menjawabnya.
Suaranya menggema ke seluruh ruangan, membuat ketiga direktur, asisten si pimpinan dan seorang perempuan yang baru saja berdiri di depan pintu terperanjat.
“P-P-Paham, Sir,” jawab seorang direktur tergagap-gagap dan dua lainnya langsung mengikuti.
“Keluar kalian semua!” bentaknya. “Membuat pusing saja!”
Si pimpinan berderap menuju kursi besarnya dan membanting tubuhnya di atas kursi. Ia memejamkan mata sambil memijat kepalanya yang mulai berdenyut.
Ketiga direktur bergegas meninggalkan ruangan dan asisten si pimpinan ikut di belakang mereka. Setelah mereka semua pergi, seorang perempuan mengetuk pintu.
“Permisi …,” ucapnya dengan suara mendesah.
Dia adalah Charlotte, perempuan cantik yang sejak tadi berdiri di depan pintu. Charlotte telah bekerja selama tiga bulan sebagai sekretaris si pimpinan.
Seorang perempuan muda berusia dua puluh dua tahun, berparas cantik dengan tubuh langsing dan berisi. Dia memiliki hidung lancip dan bibir yang padat. Rambut coklat panjang dan bergelombang miliknya sengaja digerai.
Charlotte sedang memakai kemeja putih tipis tanpa dalaman. Dua kancing bagian atasnya sengaja dibuka dan belahan dadanya tampak menggoda. Rok merah pendek memamerkan kakinya yang jenjang dan dilapisi stoking berwarna hitam.
Si pimpinan tak menjawab. Ia hanya menatap Charlotte, kemudian mengedikkan kepalanya. Charlotte masuk dan menutup pintu ruangan. Dia berlenggak-lenggok mendekati si pimpinan yang kejam, tetapi tampan. Charlotte membawa beberapa lembar kertas di tangannya dan dia letakkan di atas meja.
“Ini tiket pesawat dan voucher hotel yang sudah aku cetak,” terang Charlotte dengan suara menggoda.
“Aku sedang pusing, Charlotte,” tutur si pimpinan.
Charlotte tahu apa yang harus dilakukan ketika si pimpinan pusing. Dia berderap ke belakang kursi si pimpinan dan memijat pelipis kepalanya dengan lembut serta hati-hati.
Setelah beberapa menit memijatnya, jari Charlotte turun menyusuri wajah si pimpinan. Membelai bulu-bulu tipis di rahangnya, turun ke leher dan mendarat di bahunya. Charlotte memijat bahu si pimpinan.
Si pimpinan memiringkan kepala ke kanan dan kiri untuk melemaskan ototnya yang kaku. Ia memegang tangan Charlotte dan menariknya ke hadapannya.
Charlotte bersandar di meja si pimpinan. Pimpinannya mendekat dan gantian memijat gundukan kenyal milik Charlotte. Bergantian kanan dan kiri. Charlotte menggigit bibir bawahnya seraya berpegangan pada bahu si pimpinan.
“Ah …,” desah Charlotte.
Melihat Charlotte sudah menikmatinya, si pimpinan mencengkeram pinggul Charlotte, kemudian menariknya mendekat. Lidahnya bermain di atas gundukan kenyal Charlotte sampai kemeja putih tipis milik Charlotte basah. Sebelah tangan si pimpinan masuk ke dalam rok Charlotte dan mengguncang pangkal pahanya.
“Ah … Ahh … Mr Mordha ….” Charlotte kembali mendesah dan bergerak gelisah.
Si pimpinan menyeringai saat merasakan pangkal paha Charlotte mulai basah. Ia memberi kode pada Charlotte yang masih terengah-engah.
Charlotte pun mengangguk untuk menuruti si pimpinan. Dia memegang pinggir meja untuk berpegangan, melepas sepatu hak tinggi miliknya dan berlutut di depan kursi pimpinannya.
Charlotte membuka kancing dan menurunkan ritsleting celana si pimpinan. Dia menggigit bibir bawahnya dan membelai lembut milik pimpinannya yang sudah mengeras serta menegang. Dalam hatinya, Charlotte berharap pimpinannya menyuruh dirinya duduk di atas pangkuannya.
Si pimpinan mendesis saat bibir Charlotte yang hangat menyentuh miliknya. Ia bersandar pada kursinya dan menikmati miliknya yang sedang dimanjakan oleh Charlotte.
“Hm …,” erang si pimpinan saat Charlotte mengelilingi miliknya dengan ujung lidahnya.
Sesekali si pimpinan mengusap kepala Charlotte dan menyibakkan rambut yang menutupi wajah cantik Charlotte. Ia melepas kancing kemeja Charlotte dan meremas gundukan kenyal dan padat milik Charlotte yang sejak tadi menyentuh pahanya.
Erangan Charlotte tertahan di dalam mulutnya. Dia menatap si pimpinan yang kejam, tetapi tampan dengan mulut yang penuh dan kepala yang sibuk maju mundur.
Si pimpinan mengerang serta mendesah sembari memejamkan mata ketika lidah Charlotte mulai bermain pada dua bola miliknya. Setelah beberapa saat, butir-butir keringat mulai tampak di sekitar wajah tampan si pimpinan.
“Aku mau keluar, Charlotte,” ucap si pimpinan dengan suara berat
Charlotte mengeluarkan milik si pimpinan dan tangannya mulai bergerak lihai seraya tersenyum nakal. Dia menikmati ketampanan si pimpinan sambil menunggu cairan hangat di depan wajahnya.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan di pintu membuat gerakan tangan Charlotte berhenti dan si pimpinan membuka mata. Ia menatap sepasang iris mata cokelat milik Charlotte yang masih berlutut di bawahnya.
Si pimpinan mendengus kesal dan mengibaskan tangannya pada Charlotte—menyuruh Charlotte menyingkir. Charlotte merapikan pakaian pimpinannya, kemudian bangkit.
Asisten si pimpinan masuk ke dalam ruangan setelah mendengar perintah. Dia melihat Charlotte sedang merapikan kemejanya, mengenakan sepatu hak tingginya dan setelahnya keluar ruangan.
“Kau menggangguku, Jacob,” ungkap si pimpinan dengan suara berat dan dalam.
“Maaf, Sir,” jawab Jacob sembari menunduk.
Jacob Anthony Scott adalah asisten si pimpinan. Dia telah bekerja dengan setia selama sepuluh tahun. Jacob mengerjakan semua tugas penting dari si pimpinan dan mendampingi ke mana si pimpinan pergi. Terkadang dia juga menjadi supir si pimpinan.
Sedangkan Charlotte dan beberapa sekretaris sebelum Charlotte, hanya mengerjakan tugas remeh dari si pimpinan. Tugas utama mereka adalah melayani si pimpinan dan itu sudah tertulis dalam kontrak kerja mereka. Menandatangani sama dengan setuju dan sampai sekarang belum ada yang menolak.
Sejauh itu belum ada yang menolak pimpinan dari Mordha Oil & Gas Company. Salah satu dari delapan perusahaan minyak dan gas terbesar di seluruh dunia. Nomor satu di Inggris dan berpusat di London. Mereka telah beroperasi di hampir tujuh puluh negara di seluruh dunia.
Si pimpinan hanya menatap dingin beberapa lembar dokumen yang dibawa Jacob. Ia membaca setiap lembar dengan hati-hati, kemudian mengangguk setuju. Jacob mengambil kembali dokumen yang telah dibaca si pimpinan.
“Jacob, pesan yang biasa untuk nanti malam!” perintah si pimpinan.
“Baik, Sir,” jawabnya patuh.
Jacob pamit dan hendak meninggalkan ruangan untuk menjalankan tugasnya, tetapi si pimpinan menghentikan langkahnya.
“Satu lagi, Jacob!” pinta si pimpinan.
Jacob kembali mendekati meja pimpinannya. Dia menunggu perintah si pimpinan yang sedang mengusap-usap barisan bulu tajam di dagu dengan buku jarinya.
Itu adalah kebiasaan si pimpinan yang sedang berpikir. Saat gerakan tangannya berhenti artinya si pimpinan sudah mengambil keputusan.
Si pimpinan menatap Jacob tepat ketika gerakan tangannya berhenti. “Pecat dia!”
Nathan Alexander Mordha atau Nate, seorang pimpinan kejam, tetapi tampan. Ia adalah seorang CEO sekaligus pewaris tunggal dari Mordha Oil & Gas Company. Laki-laki tampan, kaya raya dan berkuasa. Nate memiliki sepasang iris mata hazel yang tampak pas dengan rambut cokelat alami miliknya. Rahang tegas dan kulit mulus diselubungi bulu-bulu tipis yang berbaris rapi sepanjang rahang menyambung sampai ke atas bibir. Ia tahu dengan benar apa itu tampan dan jantan. Sekarang si CEO tampan sudah bosan dengan Charlotte dan itu bukan hal baru bagi Jacob—asistennya. Charlotte dapat bertahan selama tiga bulan sudah keajaiban. Beberapa sekretaris sebelumnya hanya sampai satu bulan, bahkan ada yang hanya hitungan minggu. “Baik. Ada yang lain, Sir?” Jacob bertanya dengan sopan. Nate hanya menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. Jacob pun berderap keluar menjalankan perintah Nate. Ia bersandar di kursinya, membolak-balik beberapa dokumen di mejanya. Setelah dirasa bosan, Nate memilih memanda
Chicago, Illinois. Emma bekerja sebagai penjaga toko bunga di Monroe Flowers & Gifts. Sebuah toko yang namanya di ambil dari nama jalan tempat toko bunga tersebut berada. Pemiliknya bernama Ann, seorang perempuan cantik dan baik hati yang sudah menjadi teman sekaligus mentor bagi Emma selama lebih dari tiga tahun. Kemarin tokonya mendapat pesanan besar untuk sebuah acara pertemuan. Si pembeli meminta Emma sendiri yang turun tangan untuk mengantar bunga. Ann tak mengerti mengapa si pembeli meminta Emma harus mengantar bunga. Dia akhirnya menyuruh Charles—rekan kerja Emma, membantu pengantaran karena pengantaran bukan tugas Emma. Emma dan Charles sudah tiba sejak pukul delapan kurang sepuluh menit di sebuah gedung tinggi berlantai seratus yang terkenal di Chicago. Mereka berderap menuju lantai sembilan puluh empat—tempat acara pertemuan diadakan. “Kenapa mereka harus jauh-jauh memesan ke tempat kita?” Charles kebingungan. Emma mengangkat kedua bahunya. “Mungkin yang terdekat sudah k
Emma berhasil mengangkat kakinya dari tindihan saat Jeremy mengubah posisinya menjadi membungkuk di atas tubuh Emma. Ia tanpa ragu menendang pangkal paha Jeremy dengan sangat keras sampai Jeremy terjungkal dan genggaman tangannya pada Emma terlepas. “Aw! Aw!” Jeremy berteriak kesalitan. Emma bangkit dari posisinya dan melempar wajah Jeremy dengan ponsel yang berada di meja. “Dasar psikopat berengsek!” maki Emma yang langsung berlari menjauh. “Aw, aduh! Kemari kau, Perempuan Sialan!!” geram Jeremy saat melihat Emma menuju pintu. Jeremy bangkit dari sofa sembari meraung-raung kesakitan. Dia kesulitan mengejar Emma yang sudah bersiap membuka pintu untuk melarikan diri. Emma terkejut saat membuka pintu dan perempuan yang tadi mengantar dirinya hampir terjatuh ke arahnya. Ia memelotot ke arah perempuan yang sedang membawa gelas minuman di atas baki karena tak menolong dirinya sejak tadi dan malah menguping di depan pintu. “Dasar perempuan jalang!” umpat Emma sambil mendorong tubuh si
“Emma, bukankah kemarin aku menyuruhmu cuti?” tanya Anna yang terkejut saat melihat Emma sudah berada di Monroe Flowers & Gifts pagi itu. Lulu dan Charles yang baru saja tiba di Monroe Flowers & Gifts juga terkejut saat melihat Emma. “Kau seharusnya istirahat di rumah, Em!” protes Lulu. Charles yang kemarin bersama Emma juga khawatir. “Kau yakin tak apa-apa, Em?” Kemarin Charles sempat merasa bingung saat Emma tiba-tiba menghubungi dirinya untuk mengganti tempat bertemu. Dia melihat wajah pucat dan tubuh gemetar temannya saat masuk ke dalam mobil. Charles tak berani mengajak perempuan itu berbicara karena terlihat sangat terguncang. Emma baru menceritakan yang dirinya alami setelah mereka tiba di Monroe Flowers & Gifts. Ia sebenarnya tak ingin bercerita, tetapi terpaksa bercerita. Pasalnya, kejadian itu dialami saat sedang bekerja. Ia merasa perlu mengatakan yang terjadi pada atasannya. Ann, Lulu dan Charles sangat geram. Mereka meminta Emma melaporkan Jeremy si Psikopat ke kanto
Emma sungguh perempuan yang tangguh. Ia seakan lupa kejadian menakutkan dan menjijikkan yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua bangka. Seorang laki-laki yang seharusnya sibuk memikirkan keluarga, tetapi malah sibuk melecehkan perempuan hanya karena merasa memiliki uang dan kekuasaan. Emma bahkan tak memikirkan sama sekali kejadian yang baru dialaminya kemarin dan malah memikirkan suami yang menggugat cerai dirinya. Ia duduk dengan sebuah sendok di tangan sembari menatap kosong ke arah piringnya. “Apa yang mereka semua lakukan di Chicago?” gumam Emma dalam hati. Emma mengaduk-aduk makan siang dan tak menyuap sama sekali makanannya. “Kenapa Mia sangat panik? Apa Nate melihatku? Apa dia tahu aku sangat membenci Nate?” batinnya. “Em, makananmu!” pekik Lulu saat melihat makanan Emma berceceran. Emma tersadar dari lamunannya karena suara Lulu. “Maaf …,” ucapnya. Itu adalah jam makan siang Monroe Flowers & Gifts dan Emma sedang makan siang bersama Lulu serta Ann. Ia lupa sejenak deng
Emma dan rekan kerjanya di The 177 N Restaurant & Bar kompak melihat ke arah pintu yang ditarik ke arah luar restoran. Mereka menunggu seseorang masuk ke dalam restoran dan perlahan mulai tampak wajah bulat dengan mata kecil melongok di pintu. Suara mengembus napas terdengar bersamaan di dalam restoran itu saat wajah tak asing yang muncul. Wajah milik laki-laki bertubuh tambun yang memakai kaos putih, celana pendek cokelat dan sepatu kets hitam. “Halo semua!” sapa Jack—si pengantar sayur, sembari menyengir lebar. “Ya Tuhan, Jack.” Emma memegang dada karena jantungnya berdetak sangat cepat. “Oh, sht!” umpat Sue. Andy—salah seorang koki, berjongkok karena kakinya lemas. “Damn it, Man. Aku hampir terkena serangan jantung!” Hampir semua yang sedang berkumpul di sekitar Emma mengumpat pada Jack. Bahkan Sue sudah bersiap dengan kotak tisu di tangannya untuk berjaga-jaga. Jack tercengang dengan umpatan yang mereka tunjukkan padanya. “Apa? Ada apa? Kenapa kalian semua memakiku? Apa sala
“Semua sudah sesuai perintah Anda dan ini yang Anda minta, Sir,” terang Jacob meletakkan amplop berisi beberapa lembar foto di atas meja atasannya. Nate memasang wajah datar dan dingin saat mengambil amplop itu. Ia menyandarkan tubuh pada kursi kebesarannya, menyilangkan kaki di atas meja sembari membuka amplop. Nate melihat satu per satu foto yang diambil oleh orang suruhannya. “…, sejauh ini dia pegawai di dua tempat, Sir. Dia bekerja di ….” Jacob mulai menyampaikan semua informasi secara detail yang diperoleh dari orang suruhannya. Tanpa ada yang terlewat sedikit pun. “…, terkadang dia juga bekerja paruh waktu di waktu liburnya,” tutup Jacob. Nate meremas foto-foto dari Jacob kemudian mendengus kesal. “Dia meninggalkan aku hanya untuk hidup seperti ini?!” ketusnya. Ia melemparkan foto-foto yang sudah lecek dalam genggamannya ke arah Jacob. Bulatan kertas itu berhasil mengenai Jacob yang hanya tertunduk. Ia menatap Jacob dengan geram. “Dia meninggalkan aku hanya untuk hidup se
Emma diantar kembali ke Monroe Flowers & Gifts oleh Nate. Ia masih tampak sangat pucat saat masuk ke dalam toko bunga. Ann langsung menyuruh Charles yang baru kembali dari pengantaran untuk mengunci pintu serta membalik tulisan di pintu menjadi tutup. Ann menoleh pada Emma dan menggenggam tangan Emma. “Kau tak apa-apa, Emma? Apa dia melakukan sesuatu padamu?” Emma menelan air liur dan memaksakan senyuman. “Aku baik-baik saja, Ann,” jawabnya. Bagaimana mungkin Ann percaya setelah melihat Emma dibawa paksa oleh laki-laki tak dikenal. Belum lagi, seorang laki-laki lain menghalangi dengan menunjukkan senjata api pada Ann dan Lulu. Setelah mereka pergi, datang lagi dua laki-laki menyeramkan memaksa Ann menyerahkan rekaman kamera CCTV. “Siapa dia, Emma?” Lulu penasaran. “Orang gila,” sebut Emma tanpa ekspresi. Lulu justru semakin penasaran dengan jawaban Emma. Sayangnya, Ann mengedipkan mata agar Lulu berhenti bertanya. “Seandainya aku tadi ada di sini!” Charles kesal. “Kau tak akan