Aku mencoba mengingat suara yang ada di telepon itu. Sangat asing di telingaku. Ditambah, nomor ponselnya pun tidak ada dikontakku.
"Maaf, ini dengan siapa ya? mungkin Anda salah orang!" jawabku dengan suara hati-hati.
"Mbak Aisha sudah lupa ya? Aku, Sarah. Wanita yang bersama Mas Adnan semalam!" ucap Wanita itu dengan percaya dirinya.
Darahku tiba-tiba mendidih setelah mengetahui identitas si penelpon. Dasar pelakor murahan, berani-beraninya dia menghubungi Istri sah dari selingkuhannya.
"Mau apa Kamu menghubungiku, Wanita murahan? tidak puas Kamu sudah merebut Mas Adnan dariku?" hardikku dengan penuh emosi.
Andai saja Aku dan Wanita murahan itu bertatap muka, pasti sudah Aku tampar wajahnya.
"Puas enggak ya? mungkin untuk saat ini cukup puas. Secara, hubungan Kami baru seumur jagung, tetapi Mas Adnan sudah membelikanku satu unit rumah mewah secara cash, lho Mbak." Wanita itu berkata seolah sengaja memancing emosiku.
"Oh ya? apa Kamu tahu, selama ini Mas Adnan itu menikah denganku hanya modal dengkul? semua yang di milikinya, tidak lepas dari belas kasihanku. Aku ingin tahu, setelah bercerai dariku apakah dia masih bisa hidup enak? secara Wanita yang mendampinginya sekarang hanya bermodal 'tempe busuk yang menjadi pemikat!" semburku dengan nada berapi-api.
"Apa Kamu bilang, tempe busuk? hei, jangan salah. Kalau memang punyaku itu 'tempe busuk, mana mungkin Mas Adnan ketagihan? asal Mbak tahu ya, Mas Adnan sampai minta di layani empat kali dalam sehari loh!" ucapnya lagi tanpa ada rasa malu sedikitpun.
Jujur, Aku muak mendengar pengakuan Wanita murahan itu. Kenapa dia tidak merasa malu mengumbar aibnya sendiri? padahal laki-laki yang berzina dengannya sudah memiliki berkeluarga.
"Terserah, mau berapa kali dia minta dilayani sama Kamu. Yang jelas sekarang Aku sudah tidak berminat lagi dengan laki-laki tidak tahu diri seperti Mas Adnan. Apalagi setelah tahu dia telah berzina dengan Wanita yang tidak jelas asal-usulnya seperti Kamu. Aku yang sudah sempurna luar dalam saja bisa dia campakkan dengan mudahnya. Apalagi Kamu, Wanita yang hanya bermodalkan 'tempe busuk!!!" teriakku.
Aku segera mematikan sambungan telepon.
Lama-lama dadaku bisa meledak mendengar Wanita itu berbicara. Aku tak habis fikir, kenapa Mas Adnan bisa-bisanya memberikan Wanita murahan itu rumah mewah? sedangkan denganku, dia hanya bisa menadahkan tangannya.
Pantas saja selama ini Aku lihat usahanya sedang maju pesat, tetapi dia tidak pernah sepeser pun memberiku nafkah. Dia hanya sesekali membawa beberapa potong ayam bakar, itupun sisa dari dagangannya yang tidak habis.
Aku ingat, kala itu terpaksa meminta uang untuk membayar biaya darmawisatanya Aldi sebesar satu juta rupiah. Kebetulan saat itu kartu ATMku sedang bermasalah sehingga tidak bisa menarik uang tunai. Tetapi Mas Adnan beralasan bahwa dia pun sedang banyak pengeluaran, karena baru saja membayar gaji para karyawannya. Tetapi keesokan harinya, dia membawa pulang motor sport yang harganya puluhan juga.
Selama ini Aku tidak mempermasalahkan materi, karena gajiku lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku sudah cukup senang Mas Adnan bisa menyalurkan hoby memasak dan ada kegiatan setiap harinya. Sejak dia membuka usaha ayam bakarnya, sudah tidak ada lagi yang mengejeknya dengan sebutan 'dunia terbalik.
Tetapi rupanya kebaikanku selama ini malah menjadi angin segar baginya untuk bermain api di belakangku. Entah apa sebenarnya kekuranganku? padahal selama ini Aku sudah berusaha menjadi Istri yang baik untukknya.
Walaupun Aku sibuk bekerja, tetapi Aku tidak pernah terlambat pulang ke rumah. Pada akhir minggu pun, Aku rela mengorbankan 'me time yang biasa Aku lakukan bersama teman-temanku. Menghabiskan waktu untuk refresing walau hanya sekedar berjalan-jalan ke Mall.
"Siapa yang nelpon, Sha?" pertanyaan Alma membuatku tersadar dari lamunanku.
"Pelakornya Mas Adnan," jawabku lirih.
"Apa? maksudmu, yang barusan telepon itu selingkuhan Mas Adnan?" tanya Alma lagi seolah tidak percaya.
"Iya, namanya Sarah." Aku berkata seraya kembali meletakkan ponsel di atas meja kerjaku.
"Berani sekali dia. Terus, dia bicara apa sama Kamu, Sha?"
"Dia mengucapkan terimakasih kepadaku karena sudah melepas Mas Adnan untuknya!"
"Itu saja?"
"Dia juga bilang, kalau Mas Adnan sudah membelikannya rumah mewah dengan cash!"
Mata Alma terbelalak mendengar ucapanku. Wajahnya tiba-tiba memerah, menahan emosi.
"Dasar laki-laki tidak tahu diri. Seharusnya yang di belikan rumah itu Kamu, bukan Wanita lain. Padahal selama ini Kamu yang sudah berjuang menafkahi keluargamu!" sungut Alma.
"Biarkan saja Al. Mas Adnan bukan laki-laki terbaik untukku. Laki-laki baik, hanya untuk wanita baik-baik!"
"Tetapi Aku tidak rela Kamu di campakkan begitu saja sama Mas Adnan. Kamu harus membalasnya, Sha. Kamu sudah berkorban banyak untuknya. Bisa-bisanya setelah sukses, dia meninggalkanmu begitu saja." sembur Alma masih di liputi emosi.
"Sudah-sudah, jangan ngomel terus. Perasaan Aku yang tersakiti biasa aja, kenapa malah Kamu yang heboh sih?" ledekku seraya terkekeh.
"Aku heran sama Kamu, Sha. Emang Kamu enggak sakit hati di khianati Mas Adnan? Aku tidak menyangka, dia yang kelihatannya bucin sama Kamu ternyata berhati busuk!" cerocos Alma lagi.
"Sakit hati karena di khianati oleh pasangan sendiri itu manusiawi, Al. Tetapi jangan sampai berlebihan. Aku bersyukur, karena bukan tipe Wanita yang berlarut pada kesedihan. Apalagi setelah tahu kalau dia sudah berkhianat. Pasti Aku akan mudah melupakannya!" sambungku lagi.
"Iya, Aku tahu Kamu. Si Wanita yang paling bisa move on. Tetapi bagaimana nasib Anak-anakmu nanti, Sha? terutama Adeva, dia masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok Ayah." Alma berucap seraya menatapku iba.
"Awalnya pasti akan sulit. Tetapi Aku yakin bisa melewatinya!" ucapku lirih.
"Kamu yakin? kalau butuh bantuanku, Kamu jangan sungkan ya, Sha!" ujar Alma.
"Sangat yakin. Terimakasih sahabatku yang baik, Alma si cerewet!" ledekku.
Kami pun tertawa bersama. Aku bersyukur mempunyai sahabat yang begitu peduli kepadaku. Selama ini, Alma menjadi tempat untuk berbagi cerita baik suka maupun duka. Setelah puas berbicara dengan Alma, Aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Jam istirahat Kami sudah usai.
Sore harinya setelah menyelesaikan pekerjaan, Aku mengendarai mobilku untuk pulang ke rumah. Tetapi Aku teringat belum berbelanja bulanan. Aku memutuskan mampir ke swalayan yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah.
Biasanya Mas Adnan yang bertugas belanja bulanan. Tetapi mulai saat ini, Aku harus terbiasa tanpanya. Setelah memarkirkan mobil di tempat yang telah tersedia, Aku memasuki swalayan terbesar di kotaku. Suasananya tidak terlalu ramai, sehingga tidak ada antrian di depan kasir seperti biasanya.
Aku bernafas dengan lega, karena hal yang paling tidak disukai saat berbelanja adalah ketika harus mengantri untuk menunggu giliran di depan kasir.
Aku melangkah menuju barang kebutuhan pokok yang terletak di ujung swalayan. Sambil mendorong troli belanjaan, Aku melihat-lihat barang yang akan di beli. Ketika sedang asyik melihat-lihat, mataku tertuju pada pemandangan yang berhasil membuat jantungku berdegub kencang.
Seorang wanita muda, dengan riasan wajah mencolok dan berpakaian seksi sedang bergelayut manja di pundak seorang laki-laki yang sangat Aku kenal. Ya, laki-laki itu adalah Mas Adnan.
Aku memalingkan wajah dan melangkah untuk menghindari mereka. Tetapi kali ini Aku kurang beruntung, karena mereka lebih dulu melihatku....
*****
"Hallo Mbak Aisha. Sendirian aja? kasiaaaaan banget sih!” cibir wanita tidak tahu malu itu kepadaku. Sementara laki-laki bermodal dengkul yang berdiri disampingnya, hanya tersenyum sinis. Aku tidak menanggapi mereka, karena takut terpancing emosi. Aku harus tetap menjaga sikap, karena sedang berada di tempat umum. “Mba Aisha mau kemana? kok buru-buru banget. Enggak mau lihat kemesraan Kita berdua lagi?” ucap wanita itu sedikit berbisik ke arahku. Aku menghindarinya, tidak sudi rasanyaberdekatan dengan wanita kotor sepertinya. “Kamu seharusnya belajar kepada Sarah, bagaimana caranya memuaskan Suami dengan baik!” timpal Mas Adnan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Amarah di dalam hatiku berdebur bagai ombak yang sedang pasang. Siap menerjang benda apapun yang menghalangi jalannya. Aku sudah berusaha bersabar, namun mereka membuat emosi terpancing. Saat Aku akan meluapkan amarahku, terjadi sesuatu hal yang tidak terduga. “Hai guys, ini dia pasangan kumpul kebo yang lagi naik daun. Y
"Saya kira Mas Adnan sudah menjelaskan kepada Ibu masalah dalam rumah tangga kami," jawabku dengan sopan.Aku sangat menghormati ibu mertuaku, karena sikap beliau selama ini begitu baik."Adnan hanya bilang telah terjadi kesalah pahaman diantara kalian berdua. Itu sebabnya, Ibu datang kesini untuk bertanya langsung kepadamu," jawab Ibu seraya menatapku dengan sorot matanya yang teduh."Kesalah pahaman katanya? Apakah ketika seorang Istri menangkap basah suaminya yang sedang tidur dengan wanita lain itu masih bisa dikatakan kesalah pahaman?" tanyaku kepada Ibu.Wajah ibu sedikit tercengang mendengar pertanyaanku. Berbeda dengan Mas Irwan, dia terlihat biasa saja."A-apa maksudmu Aisha? Adnan berselingkuh?" tanya Ibu seolah tidak percaya anak kesayanganya telah mengkhianati pernikahannya sendiri."Iya Bu. Mas Adnan berselingkuh dengan wanita yang lebih muda dariku. Mereka tidur di ruko tempat usaha Mas Adnan!" tegasku.Kedua netra ibu terlihat mengembun. Sementara wajahnya masih terlihat
“Mas Adnan? Apa maksud Kamu?” bentakku tak mau kalah.“Kamu bisa berlaku apapun kepadaku. Tetapi tidak kepada Ibu dan Kakakku. Kamu menantu kurang ajar, karena sudah bersikap tidak sopan kepada Ibu Mertuamu sendiri!” ucap Mas Adnan dengan suara bergetar. Nampaknya dia sedang dilanda emosi.“Memangnya apa yang sudah kulakukan kepada Ibu? tidak ada yang salah. Aku hanya menolak permintaan Ibu memberinya jatah bulanan, karena memang sedang membutuhkan banyak uang untuk proses pengajuan perceraian. Itupun Aku sampaikan dengan cara yang sopan, walaupun sebenarnya Aku sempat tersulut emosi karena sikap Mas Irwan!" sanggahku.“Tetapi bukan berarti Kamu bertindak kasar kepada Ibuku, mendorongnya hingga terjatuh!”“Mendorong? siapa bilang Aku mendorong Ibu? Aku masih bisa menahan emosi untuk tidak berbuat kasar, apalagi kepada Ibu yang sudah berusia lanjut. Walau bagaimanapun, Aku masih menghormati beliau!"“Alaah, Kamu tidak usah mengelak. Mas Irwan yang menjadi saksinya. Sekarang Kamu harus
"Bu Aisha, ini Aku Santi!" teriak seorang perempuan dari luar mobil. Aku menelisik wajahnya, karena penerangan di sekitar kurang begitu terang. Benar, dia adalah Santi salah satu karyawan Mas Adnan.Aku segera melepaskan seat belt dan membuka pintu mobil, menghampiri Santi yang sedang menungguku. "Ibu Aisha apa kabar?" tanya seorang gadis cantik bertubuh ramping itu seraya meraih punggung tanganku dan menciumnya takzim. Sudah menjadi kebiasaan semua karyawan wanita Mas Adnan, mencium tangan ketika bertemu denganku."Alhamdulillah, kabar Ibu baik Santi. Kamu sendiri?" tanyaku penasaran."Kalau kabar Saya kurang baik, Bu. Sudah satu minggu ini Saya dan karyawan lain di rumahkan!" jawab Santi lirih"Dirumahkan? maksudmu, rumah makan ini bangkrut?" Aku terkejut hingga membelalakkan mata."Iya, begitulah Bu. Sepertinya karena video Pak Adnan dan selingkuhannya yang sedang melabrak Ibu viral, berimbas sama pengunjung rumah makan!" jawab Santi dengan wajah sedih."Berarti rumah makan tutup
Aku sangat penasaran, siapa gerangan yang bertamu di jam istirahat seperti ini?“Ba-Pak Ad-nan, Bu!” jawab Bik Darmi gugup. Seketika Aku membelalakkan mata dan tanpa sadar menjatuhkan surat dalam genggaman. Dengan sigap Bik Darmi memungutnya dan meletakkan kembali ke tempat sebelumnya.“Apakah Ibu mau menemuinya? jika tidak biar Bibik yang sampaikan kalau Ibu sudah tidur!” ucap Bik Darmi memberikan ide.“Tidak perlu, Bi. Biar Saya temui saja,” Aku menolak ide Bik Darmi.‘Ada perlu apa sebenarnya Mas Adnan menemuiku? apakah dia juga sudah mendapatkan surat panggilan dari Pengadilan Agama?’ batinku.Aku melangkah perlahan menuju ruang tamu, rasa letih yang mendera sebelumnya seketika sirna. Dadaku sedikit bergemuruh jika berkaitan dengan laki-laki yang sudah menorehkan luka di hati. Aku berharap dia tidak membuat masalah lagi seperti tempo hari di telepon. Sesosok laki-laki yang dulu sangat Aku hormati sedang duduk menekur pada sofa yang berada di ruang tamu. Wajahnya sedikit kusut da
“Mas Adnan?” Aku mencoba memanggil namanya. Memastikan jika dia mendengar panggilanku.“Maaf, Mas Adnannya sedang sibuk jadi tidak bisa diganggu dengan urusan yang tidak penting!” jawab seseorang yang suarnya sangat Aku kenal. Itu suara Sarah, selingkuhannya Mas Adnan.“Aku tidak ada urusan denganmu. Cepat berikan pada Mas Adnan, ini menyangkut keselamatan putrinya!” hardikku dengan menahan emosi yang membuat sesak di dada.“Sudah Aku bilang Mas Adnan sibuk, ngerti enggak sih? lagipula, Mas Adnan pernah bilang kepadaku kalau dia sudah tidak peduli lagi dengan keluarganya, termasuk kepada Anaknya!” ucap Sarah dengan nada mengejek.Dadaku bergemuruh mendengar ejekannya, dengan cepat Aku langsung memutuskan panggilan, karena khawatir akan semakin tersulut emosi. Rasanya ingin menjambak dan menampar mulut wanita jalang itu. Aku juga sebenarnya tidak sudi menghubungi Mas Adnan, kalau bukan karena Adeeva membutuhkannya. Sekarang jelas bagiku, jika sikap Mas Adnan kemarin malam yang memohon
Aku masih belum percaya dengan ucapan Santi. Lagipula setahuku, ruko yang dijadikan tempat usaha Mas Adnan adalah sewa, bukan milik pribadi. Jadi mana mungkin bisa dijadikan jaminan hutang? Tidak tahu jika Mas Adnan dan pemilik ruko mempunyai kesepakatan.“Apakah ucapan Anto dapat di pertanggung jawabkan, Santi? apa dia punya bukti saat Bapak Adnan mengucapkan itu?” tanyaku mencoba meyakinkan ucapan Santi.“Ada, Bu. Kebetulan saat Bapak Adnan mengatakan akan membayar semua gaji karyawan, diam-diam Anto merekamnya. Tujuannya agar ada bukti jika suatu saat beliau ingkar janjinya!” jawab Santi membuatku sedikit lega.Santi meminta nomor kontakku dan mengirimkan rekaman suara Mas Adnan yang di dapat dari Anto. Tak lama kemudian, Santi berpamitan untuk kembali bekerja. Aku menatap kepergian Santi dengan tatapan kosong.Nafsu makanku tiba-tiba hilang setelah mendengar informasi dari Santi. Aku bergegas meninggalkan restaurant dan makanan yang belum habis di nikmati. Fikiranku kini berkecam
Langkahku terhenti, ketika Mas Adnan menghalangi jalan. Disusul kemudian oleh Ibu Mertua yang ikut menghadang jalanku.“Aisha, Kamu dapat informasi darimana kalau Aku ingin rujuk karena ingin memanfaatkanmu?” tanya Mas Adnan dengan tatapan memelas.“Kamu masih belum mau mengaku juga, Mas? apa bukti rekaman itu tidak cukup?” hardikku balik bertanya.“Aisha, dengarkan penjelasan Suamimu dulu, Nak. Tidak mungkin Anak Ibu mau memanfaatkan Kamu, dia benar-benar tidak ingin masa depan Adeeva hancur jika kalian bercerai,” ucap Ibu Mertua berusaha menengahi perdebatan Kami. Sejujurnya, Aku sudah muak melihat wajah Ibu dan Anak yang begitu kompak bersandiwara ini. Namun sayangnya, Aku bukan Aisha yang dulu. Istri dan menantu bodoh yang mau dimanfaatkan oleh Anak dan Ibu Mertua yang parasit.“Maaf Bu, Kita tunggu saja keputusan dari Pengadilan. Kalaupun nanti hasilnya tidak memuaskan, Aku akan tetap menuntut untuk berpisah dengan Mas Adnan. Aku sudah tidak sudi menjadi Istri yang selalu dibodo