Pov : AmeliaSebelum menjemput si kembar dari sekolah, aku janjian dengan Zahra untuk bertemu. Dia akan membantuku mengurus sertifikat rumah itu. Dia pun memperkenalkanku pada pengacara untuk menggugat Mas Bima. Biar saja dia shock nanti tiba-tiba mendapat surat panggilan sidang. "Ini Ibu Fatimah, Mbak. InsyaAllah bisa membantu mbak Amel mengurus perceraian," ucap Zahra saat memperkenalkanku dengan ibu Fatimah di rumahnya. Aku memang minta dia untuk mencarikan pengacara untuk memudahkan urusanku dengan Mas Bima. Kalau kuurus sendiri dia pasti curiga. Aku sengaja membuatnya shock. "Saya, Amelia, Bu," ucapku lirih sembari menjabat tangan Bu Fatimah. "Jadi Ibu Amelia ingin mantap untuk bercerai, ya, Bu? Apa sudah nggak bisa diperbaiki lagi hubungan dengan suami?" tanya Bu Fatimah mengawali obrolan. Aku menggeleng pelan. Mataku kembali berkaca-kaca tiap kali mengingat pengkhianatan mereka. Dua orang yang kucinta dan sangat kupercaya ternyata tak sebaik yang kukira."Nggak bisa, Bu. Hat
Perlahan, aku naik ke lantai atas menuju kamar Dinda. Adik ANGKATKU itu masih terbaring lemah di ranjang dengan selang infus di tangannya. Dia menoleh sekilas ke arahku lalu mengulum senyum seolah tak terjadi apa-apa. Benar-benar pintar bersandiwara. "Gimana keadaanmu, Din?" tanyaku singkat. Kesal tapi mencoba meredam ego dan emosi demi sebuah sandiwara. Jika mereka pintar bersandiwara, aku juga akan melakukan hal yang sama. Tetap pura-pura tak tahu apa yang terjadi seperti sebelumnya. "Alhamdulillah sudah membaik, Mbak. Untung Mas Bima segera membawaku ke rumah sakit," ucapnya memuji Mas Bima. Aku hanya tersenyum tipis lalu menganggukkan kepala. "Syukurlah kalau begitu. Semoga kamu cepat sembuh biar cepet balik ke rumah. Rumah sepi kalau nggak ada kamu. Mas Bima dan anak-anak pasti juga merasa kehilangan," ucapku lagi sembari duduk di samping ranjangnya. Dinda terlihat salah tingkah. Dia menganggukkan kepala menjawab ucapanku. Sekitar 15 menit aku menjenguk Dinda lalu pamit pula
Pemasangan cctv sudah beres. Dinda pun sudah kembali ke rumah. Aku tahu dia keguguran beberapa hari yang lalu tapi dia dan Mas Bima masih saja bersandiwara seolah tak terjadi apa-apa diantara mereka. Kesel, sih. Tapi biar saja. Jika mereka terus bersandiwara, aku pun akan terus berpura-pura tak tahu hubungan mereka. Malam semakin larut namun aku belum bisa memejamkan kedua mata. Meski begitu aku masih tetap berusaha untuk tidur. Kututup wajah dengan selimut agar bisa lekas tidur meski pikiran masih kemana-mana. Bayangan kebahagiaanku bersama Mas Bima dan pengkhianatannya masih lalu lalang di benak. Entahlah. Rasanya begitu sakit dan tak rela tapi apa boleh dikata nasi sudah menjadi bubur. Perlahan kurasakan Mas Bima beranjak dari ranjangnya. Dia berjingkat-jingkat pelan menuju pintu kamar dan membukanya perlahan. Entah mau ke mana dia. Aku masih pura-pura tak melihat pun tak mendengarnya. Beberapa menit kemudian, aku baru keluar kamar. Perlahan kudengar suara Mas Bima sudah berada
"Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan kan, Mel? Kamu sadar arti undangan sidang di kamar kita ini bukan?" Mas Bima masih saja panik dan terkejut bahkan tak percaya jika aku melakukan semua ini dengan kesadaran penuh.Dikucek matanya perlahan, lalu kembali membaca selembar kertas di tangannya. Laki-laki itu masih saja tak yakin jika yang dipegangnya detik ini benar-benar undangan sidang dari pengadilan untuknya. "Amel! Kamu benar-benar nggak waras," lirihnya sembari mengusap wajah kasar. Aku hanya tersenyum sinis melihatnya seperti itu. Mas Bima kembali berteriak. Mengguncang-guncang bahuku seperti orang kesurupan. Matanya menyorot tajam. Dinda pun keluar dari kamarnya karena mendengar teriakan Mas Bima. Bahkan si kembar ikut terbangun karenanya. "Bik Marni, tolong ajak si kembar jalan-jalan di taman dulu, ya? Saya mau bicara dengan papa dan tantenya," ucapku pada Bik Marni yang langsung dijawab dengan anggukan kepala."Sayang, ikut bik Marni ke taman dulu ya beli es krim atau b
Mas Bima merapikan bajunya ke dalam koper. Dinda pun melakukan hal yang sama. Aku tak terlalu peduli. Mumpung mereka masih sibuk di kamar masing-masing segera kulangkahkan kaki menuju garasi. Barangkali ponsel baru Mas Bima masih ada di sana. Aku ingin mengambilnya dan mengumpulkan banyak bukti agar mereka tak bisa berkutik lagi. Di bagasi sudah tak ada. Kucari di laci dashboard pun nggak ada. Sampai kolong jok tetap nihil. Hampir putus asa, saat ingin menutup mobil kulihat plastik hitam terselip di samping foot brake. Segera kumasukkan ponsel itu ke saku gamis. Mas Bima memeluk Dinda lalu menyeka air mata yang mengalir di kedua pipinya. Mereka saling berpelukan seolah meledekku yang sedari tadi memperhatikan."Kamu benar-benar mengusir kita, Mel?" Mas Bima masih mempertanyakan hal konyol itu padaku. Seolah tak percaya jika keputusanku sudah bulat. Memaksa mereka hengkang dari rumahku dan memilih bercerai. "Iya, kenapa, Mas? Kamu meragukan keputusanku?" tanyaku santai sambil melip
Malam semakin larut namun aku belum juga bisa memejamkan mata. Rasanya lelah, mengantuk tapi hati dan pikiran nggak sinkron. Terpejam tapi pikiran masih ke mana-mana. Insomnia ini benar-benar membuatku pusing. Tak berselang lama ponselku berdering nyaring. Dengan malas kuambil ponsel dari atas nakas dan melihat siapa yang menelepon malam-malam begini. Mas Bima? Ngapain dia telepon? Atau jangan-jangan mau membahas masalah ponselnya lagi? Dari kemarin dua sejoli itu memang sibuk meneleponku demi mengambil kembali ponsel rahasia itu dari tanganku. Pantesan mereka segusar itu. Ada video syur di dalamnya. Mereka pasti takut jika aku menyebarkan videonya. Oh tidak, aku bukan perempuan bod*h. Jika aku sebar, tidak hanya mereka yang masuk penjara namun aku juga. Tapi karena video itu, aku jadi punya senjata untuk menjatuhkan mereka. Lihat saja nanti, Mas Bima pasti mau menuruti perintahku. "Hallo, Mas. Kenapa menelepon malam-malam begini, Mas?" tanyaku santai masih sambil memijit kening
Pov : Bima "Gil* lo Bim, baru diangkat jadi manager beberapa bulan malah mau resign?" Pertanyaan yang nyaris sama kembali terdengar. Gio-- teman kantor yang dulu satu divisi denganku menggeleng tak percaya saat aku mengumumkan pengunduran diri itu. Harusnya minimal sebulan sebelumnya resign, supaya perusahaan punya waktu untuk mencari pengganti namun apa boleh buat Amelia mengancam menyebarkan video itu ke media sosial. Aku nggak mungkin berdebat kusir dengannya, mau ditaruh di mana mukaku kalau sampai dia benar-benar mengupload video itu ke medsos hingga viral. Terlalu mengerikan jika membayangkan teman-temanku tahu video itu. Apalagi mama yang akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Pekerjaan masih bisa dicari tapi harga diri yang sudah jatuh akan sangat sulit untuk diperbaiki lagi. Meski aku harus mengawali semuanya dari nol, itu jauh lebih baik daripada harus menanggung malu seumur hidup. "Bim ... Bima! Kamu nggak konslet, kan? Yakin mau resign? Kok bisa? Kenapa coba? Ada masal
Pov : Amelia[Kamu jangan berlagak di atas awan, Mel! Mentang-mentang punya video itu lantas bisa seenakmu mengancam aku dan Dinda. Cukup kamu buat aku jadi pengangguran! Kalau sampai kamu mengirimkan video itu ke teman kuliah Dinda, awas kamu. Aku nggak akan segan-segan menghancurkanmu. Dikasih hati, minta jantung juga!]Deg. Deg.Tak kusangka balasan dari Mas Bima seperti itu. Apa dia nggak takut jika video itu viral? Atau ini sekadar ancaman tanpa keseriusan seperti yang kulakukan? Dia mengikuti jejakku, dong? Tapi kalau memang dia sudah geram dengan ancamanku gimana? Apa iya dia akan melakukan kekerasan padaku? Aku yang detik ini masih sah istrinya dan ibu dari kedua anaknya? Berbagai pertanyaan lalu lalang begitu saja dalam benak. Aku juga sedikit takut jika Mas Bima mulai geram. Apalagi dia justru balik mengancam. [Kamu balik mengancam, Mas? Serius? Nggak takut kalau video ini viral? Kalau memang dia mau lanjut wisuda, silakan! Tapi jangan salahkan aku jika kalian MENDADAK ART