Seorang lelaki turun dari mobil sambil memapah seorang wanita mabuk.
Susah payah dia membawa wanita itu kembali ke kamar hotelnya setelah mereka cukup bersenang-senang sepanjang hari ini.
"Kita mau kemana sih? Gue ngantuk... Gue haus..." gumam si wanita dalam keadaannya yang setengah sadar.
"Ya, sesampainya di kamar kamu bisa langsung tidur, oke?" ucap si lelaki.
Si lelaki memasuki lift menuju lantai 10 hotel tempat dia menyewa kamar.
Sekelebat bayangan adegan panas yang sempat terjadi antara dirinya dengan si wanita di mobil tadi membuatnya kembali dilanda gairah. Dia benar-benar harus menuntaskan semuanya dengan wanita di pelukannya itu malam ini.
Tak cukup baginya hanya sekedar cumbuan bibir biasa. Dia menginginkan lebih.
Pintu lift terbuka di lantai 10, si pria hendak melangkah keluar, tapi seorang pria lain yang berdiri di balik lift hendak memasuki lift tampak mengurungkan niatnya begitu melihat si lelaki yang memapah wanita tadi.
Wanita yang tak lain adalah istrinya.
Dia Gaby.
Gibran yang saat itu hendak menuju lobi untuk menanyakan kepergian Gaby jadi urung melakukan niatnya.
Gaby sudah ada di depan mata kepalanya, meski bersama lelaki lain.
"Excuse me Sir," sapa Gibran seraya menyentuh bahu Jerry, lelaki yang kini tengah memapah Gaby.
Jerry menghentikan langkahnya, dia menoleh.
"Ya, ada apa?" tanyanya dengan nada tidak suka karena merasa terganggu, padahal dia sedang buru-buru.
"Wanita yang sedang bersama anda sekarang, dia istri saya," jelas Gibran dengan santainya.
Wajah Jerry kian melunak. Percaya tidak percaya, namun Jerry berusaha menampakkan wajah bersahabat.
"Oh, maaf. Aku tidak tahu. Aku pikir..." kalimat Jerry menggantung saat tiba-tiba Gibran memotongnya.
"Ya tidak apa-apa. Ini memang sudah sering terjadi jika kami sedang bertengkar," jawab Gibran lagi, di sertai dengan sebuah senyuman tipis.
Jerry pun memberikan Gaby pada Gibran setelah lelaki itu kembali meminta maaf. Terbersit rasa kecewa dalam benak Jerry. Seharusnya tadi dia menuntaskan semuanya di mobil. Jadi dia tidak perlu menahan rasa penasarannya pada Gaby. Sial! Jerry terus mengutuk dalam hati.
Sementara itu, Gibran memapah Gaby ke dalam kamar hotel mereka dan membaringkan Gaby di ranjang.
"Haus..." gumam Gaby dengan matanya yang terpejam.
Gibran menghela napas kasar. Beberapa kissmark di bagian leher dan bagian atas payudara Gaby menjadi perhatian Gibran saat itu.
Pastinya itu ulah lelaki yang tadi memapah Gaby di lift.
Gibran bahkan sudah bisa menebaknya.
Lelaki itu mengambilkan segelas air bening hangat untuk Gaby dan membantu Gaby meminumnya. Setelah selesai dia menaruh gelas itu di nakas dan kembali membaringkan Gaby. Di tariknya selimut untuk menutupi tubuh Gaby yang terbuka.
Entah apa yang sudah Gaby lakukan dengan lelaki tadi, Gibran tak ingin menebak lebih jauh.
Itu bukan urusannya.
Meski, dia tidak memungkiri bahwa dia marah melihat Gaby kembali padanya dalam keadaan seperti ini, tanpa dia bisa meluapkannya secara langsung karena hubungan mereka bukan hubungan layaknya suami istri sungguhan. Bahkan Gibran tak punya hak untuk sekedar melampiaskan amarah yang membakar hatinya saat ini pada Gaby.
Gibran masih berjongkok di tepi ranjang, menatap lurus wajah Gaby yang tertidur. Dia merapikan sejenak anak rambut yang menghalangi wajah Gaby sebelum akhirnya dia pun berdiri, hendak pergi.
Tapi sebuah tangan sudah lebih dulu menahannya.
Gaby menggenggam jemari Gibran.
Gibran kembali menoleh dan melihat Gaby tersenyum kepadanya. Ke dua mata perempuan itu terbuka sayup sayup, di selimuti kabut gairah.
"Mau kemana? Aku ingin di peluk... Peluk aku..." gumam Gaby saat itu dia menarik tangan Gibran supaya mendekat.
Gibran tidak menolak. Dia duduk di tepi ranjang dan membiarkan Gaby memeluknya.
Gaby memalingkan wajah Gibran agar berhadapan dengan wajahnya.
Mereka duduk berhadapan di tepi ranjang itu.
Gaby mencium bibir Gibran.
Meski, Gibran hanya diam tanpa membalas.
Merasa tak puas, karena Gibran tak kunjung membalas ciumannya, Gaby pun beringsut dari ranjang. Dengan tubuh sempoyongan dia berdiri dihadapan Gibran dan melepas satu persatu pakaiannya hingga menyisakan g-string mungil yang menutupi tubuh indahnya.
Gibran melihat semua itu di depan mata kepalanya.
Dan sejauh ini, Gibran masih tetap diam.
Bahkan di saat Gaby melebarkan ke dua pahanya, lalu duduk di atas pangkuan Gibran hingga posisi mereka berhadapan. Ke dua tangan Gaby menuntun tangan Gibran untuk melingkari pinggangnya. Gibran memang menuruti keinginan Gaby tanpa berniat untuk menghindar, meski masih tetap saja pasif.
Dalam keintiman mereka, Gibran bisa mendengar deru nafas Gaby yang memburu begitu Gaby memulai aksinya dengan mencumbu bibir Gibran kembali.
Sayangnya, lagi dan lagi aksi Gaby tak mendapat sambutan.
Gaby melepas ciumannya dan beralih ke leher Gibran, menyesapnya sedikit dan mengecupnya berulang-ulang di lokasi yang berbeda.
Gibran masih berjibaku dengan ego dan nafsunya. Cumbuan Gaby yang begitu panas jelas membuatnya terbakar. Hanya saja, harga dirinya sebagai lelaki harus tetap dia pertahankan.
Gibran menahan ke dua tangan Gaby saat wanita itu mulai melepas satu persatu kancing kemeja yang dikenakan Gibran.
Gaby menatapnya kecewa.
"Sudah malam, tidurlah," bisik Gibran saat itu.
Gaby terdiam saat Gibran kini menuntunnya kembali ke tempat tidur dan menyuruhnya untuk berbaring.
Gibran kembali menutup tubuh Gaby dengan selimut.
"Jangan pergi..." pinta Gaby memohon.
Gibran tahu, Gaby masih dalam posisi tidak sadar akibat mabuk. Itulah sebabnya dia bersikap seperti ini.
Seandainya saja Gibran tidak menemukan Gaby di lift tadi, entah apa yang akan terjadi antara Gaby dengan lelaki itu.
Membayangkan hal itu membuat amarah Gibran yang kian surut kembali naik ke permukaan.
Dia menepis tangan Gaby, lalu pergi.
Gibran hanya butuh udara segar.
*****
Pagi harinya Gaby terbangun dengan perut mual dan kepalanya yang berat.
Dan menjadi begitu kaget begitu dia menemukan tubuhnya berbaring dalam keadaan yang hampir polos.
Gaby merapatkan selimutnya, bola matanya bergerak mencoba mengais ingatan-ingatan tentang apa yang sudah terjadi malam tadi.
Seingat Gaby kemarin itu dia pergi dengan Jerry dan mengunjungi beberapa tempat wisata di Seoul. Menjelang malam, Jerry mengajaknya ke sebuah Club malam. Mereka sempat Clubbing bersama, minum dan berdisco ria.
Hingga setelahnya, Jerry mengajaknya pulang.
Dan di sebelum itu, di mobil Jerry...
Astaga...
Gaby memekik dalam hati ketika sisa ingatannya mengingatkan dia pada adegan demi adegan yang tengah terjadi antara dirinya dengan Jerry di mobil tadi malam.
Mereka bercumbu dengan liar dan panas.
Apa iya tadi malam gue sama Jerry melakukan itu di mobil?
Tapi, kenapa sekarang gue bisa ada di sini?
Apa Gibran yang udah nemuin gue lagi sama Jerry, terus dia bawa gue ke sini?
Dalam keadaan seperti ini?
Nggak! Nggak!
Itu nggak mungkin!
Udah pasti ini ulah Gibran sendiri!
Pasti dia yang udah mencoba mencari kesempatan dalam kesempitan sewaktu gue mabuk, terus dengan kurang ajar dia telanjangin gue!
Brengsek!
Gaby masih berjibaku dengan kekalutannya ketika seorang lelaki tiba-tiba keluar dari kamar mandi.
Lelaki itu tampak rapi dengan balutan busana casualnya.
Dia Gibran.
Tatapan Gibran sempat tertuju ke arah tempat tidur, dilihatnya Gaby sudah bangun.
Gibran tak berkomentar atau pun sekedar menyapa. Lelaki itu hanya melirik sinis lalu mematut dirinya di depan cermin. Dia membenahi rambutnya dengan pomade.
"Lo apain gue semalem? Kenapa gue bisa kayak gini?" tanya Gaby masih dalam posisinya yang terduduk di atas tempat tidur. Dia melilitkan selimut ke tubuhnya dan berdiri mendekati Gibran.
Gibran masih diam. Masih asik dengan kegiatannya sendiri.
"Gibran! Lo budek ya?" bentak Gaby yang kini sudah berdiri di belakang Gibran.
Gibran berbalik dan menatap sinis ke wajah Gaby yang pucat dan terlihat semakin menggemaskan di matanya.
Sayangnya Gibran sedang tak ingin bercanda atau pun berbicara secara manis dengan Gaby saat ini.
Moodnya sedang tidak baik.
"Lo tuduh gue yang udah nelanjangin lo?" tanya Gibran balik.
"Yaiyalah, kalau bukan lo siapa lagi? Jelas-jelas di kamar ini cuma ada lo sama gue," Gaby melipat ke dua tangannya di depan dada.
Gibran tertawa remeh. "Lo itu lucu banget ya, sumpah!" sindirnya sinis.
"Gue lagi nggak bercanda ya! Lo ingetkan sama isi perjanjian pernikahan kita? Lo nggak amnesiakan? Gue tau gue itu mabuk semalam, tapi bukan berarti lo seenaknya curi-curi kesempatan buat grepe-grepe gue," cecar Gaby tidak terima.
Tawa Gibran surut dalam hitungan detik. Lelaki itu menatap dingin ke arah Gaby. Tatapannya tajam dan menusuk.
"Lo inget, kemarin lo pergi sama siapa?" tanya Gibran saat itu dengan suaranya yang terdengar sinis.
Gaby tercekat melihat ekspresi Gibran yang menyeramkan. Dia sampai mundur satu langkah ketika Gibran mendekatkan wajahnya saat bicara.
"Gue pergi sama Jerry," jawab Gaby menantang dengan dagu yang terangkat. Gengsinya yang selangit mampu menutupi rasa takutnya atas ekspresi wajah Gibran yang super dingin.
"Oh, jadi nama lelaki itu Jerry," ucap Gibran. Wajahnya mulai terlihat santai. Dia menarik bahu Gaby dan memposisikan Gaby di depan cermin.
"Lo bisa liat apa yang udah dilakuin Jerry ke lo semalam. INI!" Telunjuk Gibran mengarah pada satu tanda Kissmark di leher bagian atas Gaby.
"INI LAGI!" Kali ini telunjuknya mengarah ke kissmark lain di bagian leher bawah Gaby.
"Dan ada satu lagi di..." Gibran menggantung kalimatnya, dia menunjuk ke arah buah dada bagian atas Gaby tanpa menyentuhnya. "Sini..."
Gaby menurunkan sedikit selimut yang menutupi tubuhnya dan benar saja apa yang dikatakan Gibran.
Tanda merah itu memang ada di sana.
Dengan wajah merah padam, Gaby menjauh dari Gibran. Dia malu.
Tapi bukan Gaby namanya jika dia tidak bisa mengatasi perasaannya itu terutama dihadapan Gibran.
"Terus kenapa gue bisa sampai begini? Apa ini juga perbuatan Jerry?" tanya Gaby dengan nada suara yang merendah. Meski tidak membuang nada jutek dalam bicaranya.
"May be yes, seandainya aja gue terlambat menemukan lo semalam, bisa jadi, keadaan lo mungkin akan lebih parah dari ini. Ya... Lo bisa menebak sendirilah, secara lo itukan ratunya Clubbing. Pasti lo seringlah berakhir dalam keadaan begini sehabis lo mabok," jawab Gibran acuh tak acuh.
"Lo itu terlalu sok tahu Gib!" balas Gaby.
"What ever! I don't care. Tapi yang jelas, gue cuma mau bilang sama lo, supaya lo lebih hati-hati sama lelaki," ucap Gibran mengingatkan. Dia tersenyum sinis.
"Ya, termasuk sama lo!" Gaby menekankan kalimatnya. "Lo nggak tau apa-apa tentang gue, jangan karena cuma menduga-duga, lo bisa berpikiran buruk tentang gue!" kali ini Gaby yang memperingatkan. Kelopak mata bening milik Gaby tampak berkaca-kaca.
Mendengar kalimat Gaby, Gibran malah tertawa. Lelaki itu menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat.
"Gue nggak pernah berpikiran buruk tentang lo! Tapi lo sendiri yang membuat image lo buruk di mata lelaki!" ucap Gibran saat itu tanpa memperdulikan wajah Gaby yang nelangsa. Susah payah Gibran menahan emosinya yang hendak meledak.
"Buruk apanya? Lelakinya aja yang otaknya kotor!"
"Otak manusia itu merespons dengan cepat apa yang dilihat sama ke dua matanya. Termasuk para lelaki. Seharusnya perempuan yang bisa menjaga diri!" balas Gibran tak mau kalah.
Saat itu Gaby hanya diam. Dia memalingkan wajahnya dari pandangan Gibran.
Gibran mendekatkan wajahnya ke telinga Gaby, lalu dia berbisik.
"Makanya pasang harga sedikitlah jadi cewek, biar nggak terkesan murahan banget,"
Kalimat itu jelas menikam hati Gaby dengan sangat keras. Menohoknya hingga ke relung hatinya yang terdalam.
Saat itu Gibran sudah selesai dengan kegiatannya.
Lelaki itu berjalan ke arah pintu keluar dan berhenti di ambang pintu kamar hotel.
Tanpa berbalik, lelaki itu berkata.
"Gue mau pulang ke Indonesia hari ini juga! Ada hal penting yang harus gue urus di Indonesia. Kalau lo mau ikut, gue tunggu di lobi. SETENGAH JAM!"
Ucap Gibran sampai akhirnya bayangan lelaki itu menghilang di balik pintu.
*****
Sepanjang perjalanan pulang ke Indonesia, Gaby terus saja mengoceh.
Dia tidak terima jika liburannya harus berakhir begitu saja.
Padahal jelas-jelas Gibran sama sekali tak memaksanya untuk ikut pulang ke Indonesia.
Gaby yang memutuskan untuk ikut karena dia merasa tak aman jika harus tinggal sendiri di Korea setelah pertemuannya dengan lelaki bernama Jerry.
Gaby takut jika tak ada Gibran, dirinya akan diperkosa Jerry.
"Bukannya enak ya diperkosa? Itukan yang lo mau?" tawa Gibran pecah ketika mendengar alasan Gaby ikut pulang bersamanya. Saat itu mereka sudah di perjalanan menuju kediaman pribadi Gibran di perumahan Raffles.
Gaby cemberut. Lagi-lagi dia hanya jadi bulan-bulanan Gibran.
Sesampainya di rumah, usai menurunkan Gaby, Gibran tidak ikut turun dari mobil. Dia hendak pergi ke suatu tempat.
"Gue masih ada urusan, kemungkinan bakal pulang malem. Kalo lo mau tidur, tidur aja duluan. Nggak usah nungguin gue pulang," ucap Gibran saat itu. Dia hanya berniat menggoda Gaby.
"Idih, rajin amat pake nunggu-nunggu lo pulang segala!" balas Gaby yang langsung hengkang dari hadapan Gibran.
Wanita itu melangkah lebar memasuki rumah baru yang akan menjadi tempat tinggalnya bersama sang suami palsu.
Gibran hanya menyunggingkan senyum tipis sambil memperhatikan punggung Gaby yang menjauh sebelum akhirnya dia memutar balik kemudi.
Edward baru saja memberitahunya bahwa saat ini, Mirella sedang berada di sebuah tempat di mana Gibran bisa leluasa menemui perempuan itu tanpa harus meminta izin pada ke dua cecunguk berkepala botak alias para bodyguard Mirella.
Jadilah Gibran melajukan kendaraannya menuju lokasi di mana Mirella berada saat ini.
Dia pastikan kali ini, Mirella tidak bisa menghindar lagi darinya!
*****
Penasaran?
Mau lanjut nggak?
Vote dan komentnya ya jangan lupa...
Salam herofah...
Freed Cafe & Bar, itulah nama Kafe yang kini didatangi oleh Gibran. Salah satu Kafe elit ternama di kawasan Jakarta.Edward bilang, Kafe ini milik Freddy.Sesampainya di sana, Gibran mendapati keadaan Kafe sore itu cukup ramai.Dia sudah berjalan berkeliling tapi tak ditemukannya sosok yang dia cari.Sampai akhirnya, sebuah tepuk tangan riuh pengunjung kafe mengalihkan perhatian Gibran saat berpuluh-puluh pasang mata di sana menatap terkesima pada seorang wanita yang baru saja keluar dari backstage dan kini dia berdiri anggun di atas panggung kecil di ujung kafe dengan pakaiannya yang bisa dibilang, sangat sexy.Dan wanita itulah yang sedari tadi Gibran cari-cari.Dia Mirella.
Seorang anak perempuan berumur delapan tahun sedang menangis terisak di pinggir jalan tepat di depan sebuah rumah kontrakan sederhana di seberang jalan rumahnya di kawasan Cicadas, Bandung.Dia terus memegangi lehernya yang terasa begitu sakit dan perih akibat sundutan puntung rokok yang di tekan begitu kuat di kulitnya hingga kulit itu mengalami luka bakar yang cukup serius.Dia terus menerus menatap ke arah rumah kontrakan di depannya. Berharap penghuni rumah itu keluar dan memberinya pertolongan seperti biasa. Sebab hanya mereka yang bersedia menolongnya dibanding dengan tetangga-tetangganya yang lain. Mungkin mereka bukannya tidak perduli, tapi mereka hanya tak ingin terlibat masalah dengan ke dua orang tua bocah perempuan itu, terlebih dengan ayahnya."Mimi?" panggil suara seorang bocah laki-
Gibran pulang ke rumah dengan wajah kusut.Setelah memarkirkan lamborghininya di garasi, Gibran masuk ke dalam rumahnya.Kedatangannya disambut oleh Mbok Sumi, pembantu yang selama ini dipercaya keluarganya untuk mengurus rumah peninggalan Kakek dan Nenek Gibran di Raffles.Rumah ini dulu pernah ditempati oleh sang Papah, Hardin dengan istri pertamanya, tapi tidak lama, sebab setelah mereka bercerai dan sang Papah menikahi almarhumah Ibunya, ke dua orang tua Gibran memilih tinggal di Bandung.Dan sejak itulah rumah ini kosong."Den Gibran, mau makan? Biar Mbok siapkan," ucap Mbok Sumi saat itu."Nggak usah Mbok, saya nggak laper. Saya mau langsung istirahat aja. Besok pagi-pagi saya ada urusan," jelas Gibran.Mbok Sumi cuma manggut-manggut sementara Gibran langsung berlalu menuju kamarnya di lantai dua.Saat Gibran memasuki kamar, dia tida
"Jangan! Jangan! Jangan sakiti Gaby Ayah... Gaby mohon... Apa salah Gaby? Jangan Ayah... Jangaaaaan!"Gaby terbangun dari tidurnya pasca mimpi buruk yang kembali dia alami.Ini mimpi buruk ke dua yang dia alami akhir-akhir ini.Parahnya, dalam mimpinya kali ini, Gaby harus kembali dihadapkan dengan kenangan terburuk yang pernah dia alami sepanjang hidupnya.Kenangan mengerikan di saat dirinya hampir saja kehilangan kehormatannya. Kehilangan satu-satunya harta berharga yang dia miliki sebagai seorang wanita.Sepertinya Gaby harus kembali mendatangi Dokter Milan. Dokter Milan adalah seorang psikolog yang merangkap sebagai psikiater. Berkat bantuan Dokter Milanlah, Gaby bisa terbebas dari rasa trauma masa lalu sebelumnya. Dan Gaby sendiri bingung kenapa sekarang mimpi-mimpi itu kembali mengusik ketenangan hidupnya lagi.Gaby meraih ponselnya di nakas dan mulai mengirim pesan
Sejak hari di mana Gaby dengan begitu tega membiarkan Gibran berjibaku dengan rasa sakit akibat kehabisan stok obat, hubungan antara Gaby dan Gibran semakin renggang. Ke duanya memang tinggal dalam satu atap namun seperti orang yang tidak saling kenal. Gaby dengan segala ego dan gengsinya yang lebih memilih diam dari pada meminta maaf atas kesalahannya, sementara Gibran yang memang sudah tak lagi perduli apapun mengenai Gaby. Kekecewaannya pada Gaby sudah mencapai titik klimaks dan Gibran tak ingin hal itu justru membuat kondisi kesehatannya menjadi down, itulah sebabnya lelaki itu lebih memilih untuk diam. "Hari ini gue mau ke Bandung, Rayyan baru balik dari London, gue mau nengok dia sekalian ziarah ke makam Mamah," beritahu Gibran saat dirinya kini sarapan bersama
Malam ini, Gibran dan Gaby terpaksa menginap di Bandung, di kediaman orang tua Gibran karena ulah Dinzia.Dinzia yang menahan kepulangan Gibran saat itu dengan alasan remaja itu sangat merindukan sosok Kakak lelaki satu-satunya itu.Sementara Gibran sendiri memang paling tidak bisa menolak permintaan Dinzia, adik kesayangannya.Malam itu Dinzia menangis dipelukan Gibran.Akibat percakapan di meja makan tadi yang membahas tentang Luwi, Dinzia jadi terbawa suasana. Mendadak dia rindu Luwi. Almarhumah ibunya..."Zia kangen Mamah, Kak..." bisik Zia dipelukan Gibran.Saat itu mereka sedang bercakap di tepi kolam renang.Mereka duduk di tepi kolam renang dengan kak
Hampir dua minggu berlalu. Gibran belum juga mendapati titik terang dalam penyelidikannya mengenai Mirella. Wanita itu terus saja berkelit dengan beribu alasan yang dimilikinya setiap kali Gibran mencoba untuk menemuinya. Mirella tetap bersihkeras mengatakan bahwa dia tidak mengenal Gibran dan dia bukan Mimi. Padahal, Gibran sudah berhasil mengumpulkan beberapa fakta akurat yang membuatnya semakin meyakini bahwa Mirella adalah Mimi. Pertama, tanda luka bakar di sekitar tengkuk Mirella. Ke dua, ketika tanpa sengaja Mirella mengucapkan kata 'Ib' sewaktu memanggil namanya dan ke tiga, Gibran menemukan sebuah buket bunga tulip baru di makam sang Ibunda ketika kemarin Gibran berziarah ke sana bersama Gaby. Saat Gibran mengkonfirmasi hal itu pada keluarga besarnya di Bandun
Sesampainya di rumah, hari sudah larut.Gibran sangat lelah.Berkendara jarak jauh pulang pergi dalam satu hari cukup menguras energinya.Tapi satu hal yang ada di dalam benak seorang Gibran saat itu adalah tentang bagaimana dia meluapkan kemarahannya pada Gaby.Gibran benar-benar tidak terima, Gaby memperlakukannya seperti ini.BRAK!!!Gaby terperanjat hebat saat pintu kamarnya di buka paksa oleh Gibran.Dia buru-buru menyudahi teleponnya dengan seorang lelaki yang tadi mengantarnya pulang."Lo kenapa sih? Kebiasaan masuk kamar orang seenaknya!" maki Gaby sewot.Gertakan ke