Share

Bab 8

Ah, bisa-bisanya jempolku menulis sekeren itu. Aku jadi ingin pergi ke luar rumah untuk melihat langsung ekspresi wajahnya. Hening, tidak ada jawaban mungkin dia sedang memikirkan balasan yang tepat untuk kalimatku yang merendahkannya.

Cukup lama belum ada jawaban lagi. Terdengar suara klakson motor di depan. Aku bergegas ke luar. Kubuka pintu gerbang, terlihat Haira sudah di sana dengan satu staffnya membawa sepeda motor baru sesuai pesananku. 

Memang takdir selalu mempertemukan kami. Belum sempat Haira masuk, mobil Bu Susi terlihat datang  dan terparkir di tepi jalan. Tidak berapa lama Nyonya Manager keluar dengan dandanan yang super norak, menurutku. 

Bagaimana tidak geli, sepertinya dia memakai semua perhiasan yang dia miliki. Kalung berjumlah tiga dengan tiga ukuran yang berbeda. Gelang entah berapa, kulihat sampai setengah lengannya dia memakai gelang itu, serta tiga buah cincin yang membuatnya terlihat semakin ramai. 

Dia melirik sinis ke arahku. Jarak kami hanya terpisahkan jalan besar depan perumahan. Kudengar dia mengeraskan suaranya.

“Eh, Jeng Susi ... Jeng Indah ... tahu nggak? Aku sekarang sudah berteman dengan pewaris Hartawan grup, dia sendiri yang menambahkanku dalam daftar pertemanannya ... secara kalau istri manager terbaik pasti yang punya perusahaan ingin mengenal lebih jauh secara pribadi,” ucapannya membuatku mual. 

“Wahhh, keren dong Jeng ... selamat, ya!” Kudengar Bu Indah dan Bu Susi bersahutan mendukung ketua geng sosialitanya. 

“Ayo, Ra ... di dalam aja.” Aku segera mengajak Haira dan staff yang membawa sepeda motor pesananku masuk. 

Baru saja aku hendak memutar tubuh mengikuti Haira dan staff daeler yang sudah masuk duluan, kumelihat mobil yang mereka bertiga tumpangi melaju. Setelah mobil tepat di badan jalan, kaca depannya terbuka, di mana ada Bu Indah dan Bu Susi di sana. Mereka menyapaku.

“Mbak Resti, beli motor baru?” serunya dari dalam mobil. 

“Iya, Bu ... buat persiapan antar jemput Dinda ke sekolah nanti.” Aku menjawab seperlunya. 

“Sekarang gampang ya, ambil sepeda motor ... DP lima ratus aja udah dapet ... cicilan berapa tahun Mbak?” Jiwa kepo mereka mulai keluar.

“Saya beli cash, Bu. Kalau beli nyicil itu malah jatuhnya mahal,” jawabku sejujurnya.

Tiba-tiba kaca belakang terbuka. Muncullah wajah orang yang paling tidak ingin kulihat wajahnya dan yang paling tidak ingin kudengar suaranya.

“Elah ... paling beli cash juga uangnya dapet minjem, iya ‘kan?” nyinyirnya sudah mulai. 

“Enggak tuh, Bu ... kebetulan meski gaji Mas Indra tidak sebanyak gaji suami Ibu, aku tidak perlu berhutang karena aku bisa mengatur keuangan dengan baik dan emang bukan gaya hidupku yang terbiasa dipenuhi utang-utangan,” jawabku santai sambil tersenyum. 

“Lha, itu rumah Mbak Resti bukannya masih nyicil, ya?” cibirnya.

“Rumah itu bisa disebut investasi, Bu ... walau saya nyicil, nilainya tidak akan turun setiap tahun, malah naik ... jadi orang yang berkelas itu menurut saya, yang mengerti cara mengalokasikan keuangan sih, Bu ... orang berkelas itu akan tahu mana skala prioritas ... menurut saya nih, Bu ... bayar iuran sekolah, pengajian, lingkungan dan kebutuhan jajan anak itu skala prioritasnya lebih penting dari pada ya, Bu, membeli perhiasan yang sudah tidak tahu mau di pakai di mana lagi.” Aku tersenyum sinis melihat sekilas ke arah lehernya yang begitu ribet dengan tiga kalung emas beda warna. 

“Eh, Mbak Resti nggak usah sok ngajarin, ya ... kelas kita memang beda ... urus aja kelas Mbak Resti sendiri nggak usah ngurusin kelas orang lain, Jeng ayolah berangkat, buang-buang waktu.” 

Kemudian dia menutup kaca mobilnya. Bu Indah sama Bu Susi walau sama-sama geng nyinyir tapi masih berpamitan padaku. Beda dengan manusia super sombong yang kini duduk di kursi belakang sendirian.

Aku bergegas menyusul Haira yang sudah duduk di teras. Aku memeriksa sepeda motor ini, terlihat mulus dan tanpa cela. Sejenak kumeninggalkan Haira dan staffnya yang masih duduk di teras untuk mengambilkan minum. Haira mengangguk sopan dan menungguku. 

Akhirnya semua dokumen sudah selesai ditanda tangani. Haira dan staffnya undur diri.  Aku mengambil foto sepeda motor untuk kupasang di media sosialku. Akan ku kirim juga di grup ibu-ibu kece cluster A. 

Segera ku upload dalam status W* dan laman biru punyaku sebagai Resti bukan sebagai Serena.

[Alhamdillah, terima kasih suamiku sudah bekerja keras untuk membelikanku scooter dengan cash.]

Kukunci pintu gerbang dan kudorong sepeda motor matic baruku ke dalam garasi. 

Tring Tring Tring 

Tiba-tiba notifikasi pesan masuk bertubi-tubi. Aku melenggang dulu menuju ke dalam. Setelah tiba di meja kerjaku, aku mendaratkan tubuhku dan hendak mengabari Mas Indra secara langsung. Namun notifikasi W* Grup membuat perhatianku teralihkan sementara.

@Hana

[Wah, selamat ya ... @Resti ... bisa beli sepeda motor seharga belasan juta rupiah secara cash.] ditambah emoticon mata berbinar dengan tanda hati yang menyala.

@Marni

[Wah beneran nih, Mbak @Hana? Wah selamat ya, @Resti semoga aku bisa segera mengikuti jejakmu.]

@Reta

[Wuidihhh... keren kakak kita yang satu ini... besok nyobain ah, motor barunya @Resti.] 

Chat-chat lain terus berdatangan mengucapkan selamat dan memuji. Namun tiba-tiba seseorang mengirimkan gambar. Sebuah kalung emas.

@Haminah 

[Wah ... nambah lagi koleksiku ... @Susi @Indah ... yuck borong.] 

@Indah

[Kuyy ....]

@Susi

[Siappp Ndan ....]

@Haminah 

[Nggak setiap orang beruntung seperti kita, selalu punya uang berlimpah dan bisa berbelanja sesuka hati ... paling bisa beli barang mahal juga hasil nabung seumur hidup.] Disertai emoticon ketawa.

@Susi 

[Ssst ... nanti ada yang tersinggung, lho Jeng.] 

Dan chat kembali ramai, kini menjadi dua bahasan. Beberepa ibu masih berlanjut mengucapkan selamat padaku. Beberapa lainnya menyanjung Bu Minah dan dua temannya. 

Aku tak ambil pusing. Ada hal menarik lainnya yang terlupakan. Aku berselancar kembali ke akun F* dengan identitas R. Serena Hartawan. Sebuah pesan balasan diterima.

[Hai ... Bu @R. Serena Hartawan ... jika berminat hunting perhiasan kami siap mengantar.] Foto pertama dengan mereka bertiga bergaya di depan mobil memamerkan perhiasannya.

Aku segera membalasnya. Aku masih ingat punya foto berlian pemberian ayahku sewaktu ulang tahun dulu. Beruntung masih tersimpan dalam galeri.

[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] Aku mengirimkan foto berlian milikku membalas chat darinya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Grace Rumondor
Terlalu byk di ulang2 ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status