Share

Dilarang Ikut Makan Racun

              Selesai mandi dan salat, aku buru-buru keluar dari kamar. Tak kutemukan siapa-siapa di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Tentu saja. Makanan belum ada yang siap kecuali nasi panas di dalam magic com yang kumasak sore tadi.

              Enam butir kaplet obat tidur sudah kukantungi di dalam saku piyamaku. Aku pun mulai meracik bumbu-bumbu dan memasukkan bahan-bahan tersebut ke dalam blender. Tentu saja tak lupa kutambahkan enam butir kaplet obat tidur tersebut.

              “Selamat menikmati hidangan tumis kangkung plus obat tidur ini, wahai manusia-manusia sampah,” lirihku sinis sambil menuangkan bumbu halus tersebut ke dalam wajan yang telah kuberikan minyak sayur.

              Minyak sayur yang telah kupanasi di atas kompor itu pun kini bercampur satu dengan bumbu halus buatanku tadi. Saat bumbu kuoseng-oseng dengan spatula, wangi harumnya pun langsung semerbak menguar. Siapa sangka, di dalam bumbu itu terdapat obat tidur yang akan membuat ketiga keluargaku tertidur semakin pulas.

              Tumis kangkung dengan bumbu bawang putih, bawang merah, terasi, cabai keriting, cabai rawit, dan enam butir kaplet obat tidur keras resepan pskiater pun kini terhidang di dalam wajan. Setelah itu, aku gegas menyiapkannya ke meja makan dan benar saja, Zara langsung keluar dari kamar.

              “Mbak, udah siap makanannya?” tanya Zara dengan wajah yang manis dan senyumannya yang cantik jelita.

              “Tinggal goreng telor dadar sama tempe, sih. Kamu udah laper banget?” tanyaku balik yang kini sedang mengkocok telur ayam di dalam wadah beling besar. Enam buah telur ayam kukocok sekaligus di dalam wadah tersebut. Jika kalian bertanya, dari mana asal bahan-bahan makanan yang kumasak petang ini, tentu saja dari dompetku yang tak bisa kunikmati sendiri karena harus menafkahi empat orang sekaligus.

              “Ya, udah. Aku tunggu telornya  deh, Mbak,” sahut Zara sambil duduk di kursi makan.

              “Coba panggil Ibu sama Ayah, Ra,” timpalku saat menggoreng telur dadar di atas teflon.

              “Mbak Agni aja, deh. Aku capek bolak balik. Udah PW di sini,” jawab Zara seenaknya. Masyaallah, tuan putri ini. Makan disiapkan, minum disuguhkan. Minta tolong ke kamar orangtuaku saja dia enggan. The best pokoknya!

              Aku pun tak menyahut lagi. Diam saja dan sibuk membalik telur dadarku yang besar sekaligus tebal. Telur dengan bumbu kaldu penyedap rasa ayam serta rajangan bawang bombai dan cabe hijau itu lalu kuangkat setelah matang. Tak sempat kutiriskan, Zara sudah merengek minta disiapkan.

              “Mbak, kesiniin dong, telornya! Aku udah laper banget. Terakhir makan jam dua siang tadi,” keluh Zara.

              Saat kutoleh ke arahnya, wajah perempuan itu memang tampak pucat. Kehamilan trimester pertama mungkin membuatnya gampang lapar. Maafkan kakakmu yang jahat ini ya, Zara. Malam ini kamu harus makan dengan tambahan obat tidur. Semoga janinmu sehat selalu di dalam kandunganmu itu.

              “Iya, bentar, Ra. Kamu tumben banget jadi doyan makan begini? Dulu padahal kalau disuruh makan kamu susah. Kenapa, Ra?” Aku sengaja memancing adikku.

              “Nggak apa-apa. Nggak ada apa-apa sih, Mbak. Emangnya aku salah kalau aku doyan makan, ya?”

              Zara terdengar tersinggung. Sikap manis yang dia tunjukkan sore tadi saat kami bertengkar di ruang tamu, kini hilang sudah. Oh, berarti kamu memang pura-pura merasa bersalah doang, ya, Ra? Dasar perempuan ular.

              “Ya, aku pikir kamu hamil, Zara. Kan, biasanya, orang yang tiba-tiba kepengen nikah cepet, apalagi calon suaminya itu tiba-toba berubah jadi orang lain, karena atas dasar hamil,” sahutku seenaknya sambil menghidangkan telur dadar panas di atas piring besar.

              “Hamil? Hamil apanya, Agni? Kamu kalau bicara jangan sembarangan! Adikmu sendiri kamu tuduh hamil!” pekik Ibu dari arah depan sana.

              Aku syok. Kaget saat melihat ibuku tiba-tiba muncul ke ruang makan dengan wajah yang sangar. Dia terlihat sangat tersinggung dengan kalimatku.

              “Oh, kalau nggak hamil, ya udah. Kenapa Ibu harus marah?!” sindirku sinis.

              Zara terdiam. Dia tak menjawab sepatah kata pun. Tangan lentiknya malah buru-buru menarik piring dan mengaut nasi di dalam magic com.

              “Ya, marahlah! Kamu kalau punya mulut itu, mbok yo direm-rem! Jangan asal nyangkem aja!” Ibu bahkan mengeluarkan kata-kata kasar, yaitu ‘nyangkem’ yang artinya kira-kira ‘ngebacot’ kalau kata anak muda zaman sekarang.

              Astaghfirullah!

              Sungguh berbeda sikap Ibu kepada kami berdua. Aku yang tulang punggung bahkan rela kuliah sambil bekerja dengan biaya sendiri, malah disumpah serapahi oleh ibu kandungku sendiri. Sementara Zara yang lemah gemulai tapi ternyata diam-diam asyik berzina hingga hamil itu, malah dibela mati-matian oleh Ibu.

              Semua ini tidak adil! Apa jangan-jangan, sebenarnya aku ini anak pungut?

              “Kenapa sih, kalian ini masih aja ribut-ribut? Udah, udah! Diam! Ayah lapar! Ayah mau makan dengan tenang!” pekik Ayah menimpali.

              Aku tak bisa berkutik lagi. Lawanku sekarang malah bertambah satu orang. Sudahlah. Lebih baik aku mengalah.

              “Agni, mending kamu keluar aja dulu dari rumah! Ke mana, kek! Nggak usah makan bareng kami di sini!” marah Ayah dengan delikan matanya yang lebar.

              Aku yang habis memasak dan penuh simbah peluh karena uap panas kompor pun semakin panas saja rasanya. Baiklah kalau itu maunya ayahku. Akan aku turuti sekarang juga!

              “Eh, enak aja! Kamu selesaikan masakmu dulu baru minggat dari sini! Mana tempenya? Masa cuma pake telor, sih?!” protes Ibu sambil menaruh bokongnya ke kursi makan.

              “Iya, sebentar,” jawabku pelan sambil mengurungkan niat buat angkat kaki dari dapur.

              Aku pun cepat menggoreng tempe yang sudah kubumbui sedari tadi. Sementara orangtua dan adikku, kini sibuk makan dengan lahapnya. Mereka terdengar berbincang-bincang dengan suara yang renyah.

              “Zara, nanti kalau resepsi, pakai baju dodotan Jogja, ya. Itu impiannya Ibu yang nggak kesampean pas nikah sama ayahmu!”

              “Iya, Bu. Semua tergantung Mbak Agni. Kalau dana yang Mbak Agni kasih banyak, ya aku mau pake full adat Jawa. Makanannya juga kalau bisa banyak dan pestanya di hotel mewah,” jawab Zara yang membuat telingaku sontak panas.

              “Mbakmu itu banyak duit. Kamu tenang aja. Mas Farhaazmu kan, juga janjinya ngasih uang seratus juta buat acara nikahannya. Insyaallah pestamu akan digelar besar-besaran, Ra!” timpal Ayah yang semakin membuatku tak habis pikir.

              Ya Allah, terbuat dari apa hati mereka semua? Apa mereka pikir aku ini binatang yang tidak punya perasaan? Teganya mereka begini kepadaku!

              “Anak kesayangan ya, harus pestanya besar-besaran, dong!” sahut Ibu tak mau kalah.

              “Bu, Yah, kira-kira, Andra diundang nggak?” Suara Zara berbisik, tapi syukurnya aku bisa dengar.

              “Nggak usah dibahas masalah itu, Ra!” Ayah terdengar tak senang dan buru-buru menyudahi percakapan mereka.

              “Tempenya udah siap,” kataku seraya mengantarkan tempe buat mereka ke meja makan.

              “Nggak usah kamu sentuh makanan ini, Agni! Kamu pergi sana! Muak Ibu ngelihat mukamu!” hardik Ibu sambil memukul tanganku saat hendak mencomot sekeping tempe goreng.

              “Iya, Bu. Maafkan aku,” sahutku lirih sambil mundur teratur. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah mereka.

              Sepiring besar tumis kangkung itu sudah ludes dari wadah asalnya, berpindah ke piring Ibu, Ayah, dan Zara. Yang paling banyak mengambil Ibu dan Ayah. Mereka seperti orang kelaparan yang tidak diberi makan setahun lamanya, padahal sore sepulang dari kantor, aku tak lupa membawakan mereka semua terang bulan alias martabak manis dan tiga gelas es boba.

              “Nggak usah makan di luar kamu, Agni! Awas kalau kamu makan di luar! Ibu sumpahin kamu mati di jalan kalau sampai kamu jajan makanan!”

              Deg!

              Ya Allah, mulutnya Ibu sungguh beracun. Dia ini manusia atau jelmaannya iblis?

              “Iya, Bu. Aku nggak jajan. Lagian, uang di dompetku udah nggak ada.”

              “Di ATM tapi masih, kan?” tanya Ayah sembari mengerling tajam.

              “Masih, Yah. Kan, buat Zara nikahan.” Senyumku terukir palsu.

              Ayah langsung semringah. Cepat-cepat dia menelan makanannya. Dia pun menyahut ceria, “Bagus! Jangan umroh-umroh segala! Nggak ada gunanya. Mending buat adikmu pesta besar-besaran! Nanti juga rejekimu makin lancar karena nolongin saudara sendiri!”

              “Amin, Yah. Aku ke kamar aja, ya. Mau meriksa laporan stock opname.”

              “Sana, gih! Jam sembilan kamu cuciin piring! Awas kalau besok pagi Ibu lihat masih numpuk di wastafel!” Ibu mengibas-ngibaskan tangannya, mengusirku agar segera menjauh dari mereka.

              “Baik, Bu.”

              Aku pun tersenyum bahagia sambil berjalan pergi meninggalkan mereka. Ayo, Bu, Yah, Zara. Habiskan makanan itu! Jangan sampai ada yang tersisa, ya.

              “Setelah ini, aku akan berikan kalian kejutan indah. Tunggu ya, Bu, Yah, Zara,” lirihku saat tiba di kamar sambil tersenyum puas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status