Tunggu!
Sekarang sudah lewat tengah malam. Belum lagi, ada rintikan gerimis disertai udara yang dingin. Mungkinkah ada seorang wanita berdiri di tengah jalan yang sepi?
Amelia menggeleng pelan mencoba percaya akan ucapan suaminya jika dia hanya berhalusinasi. Akan tetapi, berulang kali dia mengerjapkan mata, wanita misterius itu memang masih ada di sana.
"Kenapa wanita itu masih di sana?" gumamnya lirih sambil mundur selangkah. Namun, dia memekik kaget ketika punggungnya menabrak benda di belakangnya.Belum sempat dia menoleh, sepasang lengan kekar berkulit putih kemerahan dengan bulu halus memeluknya dari belakang.
"Wanita lagi," sahut Inno sambil berdecak.
"Mas, bikin aku kaget saja!" protes Amelia sambil melepas pelan tangan sang suami dari tubuhnya. "Kamu itu kenapa? Jam segini bukannya tidur malah melamun di tepi jendela?" "Mas ..." ucap Amelia tercekat. "Berhalusinasi lagi, berkhayal lagi?" sindir Inno dengan nada datar disertai gelengan kepala.Amelia memilih diam tak mendebat.
Dia membalikkan badan, menatap sekilas suaminya. "Mas, kenapa ikut bangun, lebih baik tidur lagi sana."
"Terus, kamu mau melanjutkan khayalan kamu lagi, begitu?"Amelia tak menjawab. Dia kembali mengarahkan pandangan ke luar jendela.
Wanita tadi masih di sana, berdiri mematung di bawah rintikan gerimis. Amelia menarik tangan suaminya tanpa menoleh.
"Mas, perhatikan ke sana!" ucapnya sambil mengarahkan telunjuk ke suatu arah.Inno mengikuti arah pandangan sang istri dengan sebelah alisnya terangkat.
"Di depan pagar rumah Bu Ismi! Di sebelah kanan tanaman bunga tasbih itu, loh. Mas Inno lihat, kan?" Inno mengerutkan kening menatap istrinya.
Tidak!Inno tidak melihat apa pun, kecuali rerimbunan bunga tasbih yang tumbuh subur.
Bahkan, dia mencoba menajamkan matanya. Tetapi, memang dia tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh istrinya! Lelaki itu menggeleng sambil mengusap tengkuknya yang terasa berat.
"Nggak, aku nggak lihat apa pun. Kecuali bunga tasbihnya Bu Ismi," jawabnya sambil menggedikkan bahu acuh. "Sudahlah, waktunya shalat tahajud, jangan ngawur lagi, Sayang." "Aku nggak ngawur, Mas. Susah mau menjelaskan ya kalau Mas Inno nggak pernah percaya. Tapi, aku benar-benar melihatnya, Mas. Dia ... dia masih berdiri di sana," kata Amelia masih bersikeras.Inno mendesah kasar, dengan cepat tangan kirinya terjulur menarik gorden hingga kembali tertutup, lalu menggandeng tangan sang istri untuk menjauh dari dekat jendela. "Dengarkan aku, Amelia!" kata Inno tegas. "Mas ... ""Cepat wudhu dulu, aku tungguin," titahnya tak ingin lagi dibantah. Sungguh, Inno tak ingin berdebat membahas hal aneh yang tidak masuk di akal seperti itu. Amelia tak berani bersuara. Dia mengayunkan langkahnya menuju kamar mandi dengan wajah cemberut. Setelah selesai shalat tahajud dan bertadarus, Inno membawa istrinya duduk di tepi tempat tidur. "Please, Sayang," ucap Inno lirih memulai pembicaraan sambil menangkupkan kedua belah telapak tangannya pada kedua sisi wajah istri cantiknya. Dipandangnya wajah cantik dengan pipi chubby seperti boneka Jawa itu dalam-dalam."Aku minta sama kamu, jangan berpikir yang aneh-aneh lagi ya, beberapa hari ke depan InsyaAllah kita akan pergi. Kamu tentu nggak mau kan kuliah kamu gagal hanya karena halusinasi kamu ini?" ucapnya dengan pelan.
Amelia masih terdiam. Dia tidak berani menyela ucapan suaminya yang masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan katakan.Inno melanjutkan ucapannya masih dengan nada rendah dan tenang, "Nggak semua orang bisa kuliah di Statale Di Milano, apalagi lewat jalur beasiswa seperti kamu, jadi jangan sampai kamu mengubur mimpimu."
Amelia mengangguk samar.
"Bukan aku nggak percaya dengan hal-hal gaib, semua memang ada tapi kamu nggak perlu sebingung ini, cukup kamu berdo'a. Barangkali itu hanya jin yang akan melemahkan imanmu, kamu tahu itu kan, Sayang? Kita ada Allah sebagai tempat minta pertolongan supaya kamu tenang."
Nasehat dan ucapan lembut suaminya membuat hatinya terasa tenang. Perlahan, Inno menarik tubuh sang istri ke dalam pelukannya.Amelia begitu beruntung memiliki suami yang selalu melindungi dan sabar dalam setiap menghadapi moodnya yang berubah-ubah. Dia mengulum senyum sembari menyandarkan kepalanya di dada bidang laki-laki yang terlihat lebih tampan dengan balutan baju koko itu.
"Mas, boleh tanya nggak?" tanyanya sambil mendongak, menatap wajah tampan yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.Inno menunduk, sehingga beradu pandang dengan tatapan iris mata sehitam arang itu. "Iya, tentang apa?"
"Tentang rumah Om Rudi yang kita sewa itu," ucapnya ragu dengan harap-harap cemas Inno akan mendebatnya lagi.Inno mengerutkan kening. "Ada apa dengan rumah Om Rudi?" tanyanya."Selama kita menempati rumah itu, Mas Inno merasakan ada hal aneh atau janggal, gitu?"Inno terdiam sesaat lalu menggeleng. "Nggak ada, biasa saja, bahkan karyawan kantor juga nggak ada yang komplain." "Sebelumnya, yang tinggal di sana siapa?" "Rumah itu kosong. Kan baru jadi. Rumah itu niatnya akan ditempati Evan setelah menikah, tapi ..." Inno menggantung kalimatnya yang membuat Amelia semakin ingin tahu."Sudahlah, ayo tidur, aku ngantuk banget, Sayang. Atau ..." Inno menaik turunkan alisnya dengan jahil yang dihadiahi cubitan gemas di perut sixpacknya. "Aku belum selesai bicara, Mas!""Iya, rumah itu kan niatnya akan ditempati Evan dan Rianti.""Cerita yang jelas Mas, jangan sepotong-sepotong," protes Amelia yang membuat Inno terkekeh.Bukannya menuruti kemauan sang istri, Inno justru melepaskan pelukannya dan berdiri. Dia segera melepas baju koko dan sarung yang menutupi tubuh atletisnya. Sontak Amelia menutupi wajahnya yang memanas dengan kedua telapak tangan. "Sudah siap nih, buka?" ucap Inno dengan nada jahil. "Ish nggak, mesum. Cerita dulu baru ..." Amelia menghentikan ucapannya saat mendengar suaminya tertawa di depan wajahnya sambil menarik kedua telapak tangannya yang menutupi wajah. "Aku sudah selesai ganti baju, istriku Sayang, buka tutup matanya," ucapnya lalu kembali naik ke tempat tidur. Amelia menggerutu kesal lantas memukul tubuh suaminya dengan bantal. "Mau ganti
"Begadang kami itu penting, Ayah, untuk menjaga keharmonisan pasangan suami-istri," gumamnya cukup dalam hati.Ya, walaupun memang akhir-akhir ini Inno sangat sibuk dengan banyak kegiatan di kantornya.Dia harus menyelesaikan semua pekerjaan, memeriksa semua hasil laporan yang masuk sebelum meninggalkan Indonesia beberapa hari ke depan.Rutinitas itu sudah dia jalani semenjak dia menjadi CEO Il Giorno Group Indonesia, sejak lima tahun yang lalu.Bos muda Café and Restaurant Italia itu memang punya pekerjaan yang cukup ruwet juga unik. Setiap dua tahun sekali dia harus bisa membagi waktunya untuk bisnisnya di Italia dan juga di Indonesia.Walaupun Inno mempunyai orang-orang kepercayaan yang handal untuk memegang usahanya, namun sekali lagi inilah pilihan hidup yang dipilihkan sang kakek. Dia cukup menjalani dan mengembangkan usaha almarhum ayahnya tercinta.Inno tidak takut kehilangan uang, dia hanya takut kehilangan keluarganya jika tidak mengikuti saran kakeknya. Bahkan itu mulai berl
Bukan kejujuran Windi yang membuatnya terbatuk, melainkan nama Rico, si pujaan mahasiswi di kampus. Kakak tingkatnya yang pernah menyatakan perasaan pada Amelia. "Amelia, aku sangat mencintaimu, sangat. Tapi aku tahu kamu nggak mau pacaran. Aku bangga sama kamu, aku menghargai pendirianmu. Kamu fokus kuliah dulu ya dan akupun begitu. Kita sama-sama mantapkan hati, nanti jika libur kuliah aku pulang dan membawa keluargaku menemui Abah dan Umi.""Jodoh, maut dan rejeki, rahasia Allah kalau mas Rico jodohku, maka Mas Rico pasti akan sampai pada Abah dan Umi."Mata Amelia memanas. Ingatan empat tahun silam kembali berputar di kepala. Tepatnya, beberapa bulan sebelum Inno datang melamarnya. Pria berwajah bule itu datang secara tak terduga dan menikahinya tanpa rencana pula. Amelia paham itu termasuk bagian dari rahasia jodoh di tangan Allah.Menyadari raut wajah sendu Amelia, Windi berdehem lirih. "So-sorry Mel, maaf ya. Seharusnya, aku nggak ngomongin soal itu." Windi penuh sesal lalu
"Ke-napa, kamu di sini?" tanya Amelia lagi yang masih tidak mendapatkan respon. Sampai akhirnya, ada suara pria dari belakangnya. "Ya, ampun, Sayang. Kamu ternyata di sini! Ayah sama Bunda sibuk cari kamu, Aurel." Tak lama, Amelia dapat melihat pria asing itu mengangkat tubuh kecil anaknya. "Maaf, dia pu ... Pu-tri, Anda?" tanya Amelia gugup. Laki-laki itu mengangguk sekilas. "Terima kasih sudah menemani putri kami, permisi," ujarnya kemudian tanpa menatap pada Amelia. Amelia hanya bisa berdiri mematung. "Mel, woi, aku cari-cari ternyata kamu di sini!" seru Windi sambil memberikan sebotol air mineral padanya. Sedangkan Amelia, masih terdiam dengan tatapan kosong ke arah perginya pria yang membawa bocah kecil tadi. "Hallo Mel, kamu kenapa sih? Woi ini buat kamu!" seru Windi sambil menepuk punggung Amelia yang membuat wanita itu berjingkat kaget. "Ish, ngagetin saja!" protesnya sambil menerima air yang disodorkan oleh sahabatnya. "Kamu yang melamun, nih makan aku beli kerak telo
Windi mengigit bibirnya, dia menatap Amelia dengan perasaan takut dan khawatir. Sedangkan Amelia masih menatap ke suatu arah dengan tatapan mata tak berkedip.Dengan hati-hati gadis berhijab simple itu bertanya, "Dia, siapa maksud kamu, Mel? Kamu ngomong sama siapa? Jangan ngerjain aku ya Mel. Kamu nggak sedang latihan main sinetron kan?""Kamu pikir aku se-enggak punya kerjaan itu ngerjain kamu, Win? Kamu pikir aku sedang acting?"sahut Amelia tersulut emosi sambil melirik ke arahnya. Wanita berhijab pashmina lebar yang menutupi dadanya itu menarik nafas kasar dan kembali menatap ke suatu arah. Windi yang merasakan hal tidak biasa, mengusap tengkuknya yang meremang."Kamu tahu? Karena kamu terus ganggu aku, suami aku sendiri bahkan mengatakan aku orang stres dan sahabat aku menganggap aku acting. Puas kamu!" Amelia kembali menggeleng kuat, semua itu tak lepas dari perhatian Windi yang mulai merasa takut. "Nggak, aku nggak mau, cari orang lain yang bisa menolongmu, aku nggak bisa!" uca
Inno berharap istrinya itu menceritakan kejadian seperti yang diceritakan oleh Windi.Dan benar saja, setelah cukup lama bercerita, akhirnya sampailah apa yang diinginkan olehnya. Amelia sedikit memutar badan untuk menunjukkan sebuah foto pada sang suami. Inno meraih handphone istrinya dan mengamati foto hasil jepretan kamera ponsel wanita itu. Dia tidak menemukan hal aneh dalam foto tersebut."Bagus kok, Sayang. Ternyata kamu bakat juga jadi fotografer," komentar Inno menanggapi. "Jangan bilang Mas juga nggak lihat foto anak kecil yang jongkok di dekat bunga tasbih itu!" sahut Amelia dengan kesal. Bukan pujian yang diinginkan Amelia keluar dari mulut Inno, tetapi tanggapan laki-laki itu tentang anak kecil misterius yang ada di dalam foto. Inno memilih diam tak menanggapi, dia tidak mood berdebat apalagi bertengkar. Inno tak punya tenaga untuk hal tersebut. "Alhamdulillah, akhirnya kita sudah sampai, pasti Evan sudah menunggu," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Mobil bergerak pelan
Amelia mengalihkan pandangannya pada Inno dan Evan bergantian. "Please, jangan diminum Mas. Gelas itu sudah pecah," kata Amelia lirih. Evan mengamati gelas kaca di depannya dengan kebingungan. "Gelas ini utuh Mel, apanya yang pecah?" tanyanya heran."Percaya sama aku, Mas!""Sayang, jangan ngaco ah. Kalau pecah airnya ya tumpah lah!" sahut Inno, lantas menyambar gelas di depan Evan. Dan tiba-tiba, krak! Gelas kaca itu pecah di tangan laki-laki tampan itu, bersamaan dengan darah segar merembes dari telapak tangan kanannya yang tergores. Amelia memekik kaget. Evan, Inno, dan Aisyah hanya terpaku. Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna apa yang tengah terjadi. Tanpa pikir panjang, Amelia mengambil sapu tangan dari saku celana suaminya lalu membebat telapak tangan lelaki itu. Aisyah berlari ke arah parkir mengambil kotak P3K di dalam mobil. Inno menatap telapak tangannya dengan tatapan penuh tanya. Tiga menit berselang, Aisyah berjalan tergesa sambil membawa kotak obat. Dengan telat
Inno memijit kedua pelipisnya yang berdenyut pusing kemudian menarik napas kasar. "Cukup, Amelia! Jangan sok tahu!" bentaknya pada sang istri dengan amarah yang telah meledak. Wajah laki-laki tampan itu mengeras, sekali lagi dia menarik napas panjang dengan lelah. "Aku capek, aku lelah dengan semua ini. Tolong jangan buat semua semakin kacau, kamu mengerti?!" pungkasnya frustasi.Aisyah sontak melirik ke arah center mirror. Gadis itu sangat terkejut dengan suara keras kakaknya. Selama hampir 14 tahun hidup satu atap bersama laki-laki itu, senakal atau sejudes apa pun Inno padanya, dia tidak pernah mendengar Inno membentak orang. Tidak pernah melihat kakaknya itu marah sampai seperti ini. Sedangkan Amelia hanya acuh tak acuh mendengar bentakan dari Inno. Seolah menganggap hanya angin lalu saja. Bahkan sudut bibirnya kembali terangkat sebelah, hanya sekilas. Jika biasanya wanita itu sangat sensitif dengan sikap suaminya maka kali ini dia sama sekali tidak peduli. Jangankan dibentak, Inn