Aku mengotak-atik berkas di hadapan. Begitu banyak utang yang harus kubayar, sementara penghasilan dari perusahaan ini sudah tidak mampu menutupinya.Sialan! Jika tidak secepatnya dapat kucuran dana, bisa bangkrut usahaku. Belum lagi kebutuhan hidupku yang selangit."Bagaimana?" tanya Papi dari kursi rodanya."Sudah di ujung tanduk, Pi. Aku gak tau lagi mau gimana.""Kamu salah, sih, pake ngelepasin perempuan itu. Bodoh kamu Rangga. Sekarang udah diambil sama adikmu, kamu gak bisa berbuat banyak." Papi mencak-mencak di kursi rodanya.Memang bener sih, aku terlalu terburu-buru, tapi ... aku males banget kalau harus punya istri bekas si Rimba. Dari kecil aku selalu nomor satu. Pintar, tampan dan selalu membuat Mami, Papi bangga. Mana pernah aku dapat barang bekas.Bukan hanya masalah Rimba saja, sebetulnya pacarku juga marah saat tahu aku berniat menikahi Aline, padahal sudah kujelaskan kalau aku menikahi wanita itu hanya karena ingin uangnya."Hentikan juga kebiasaan judimu itu! Habisl
"Aku juga tidak menginginkan mas kawin yang mahal. Cukup seperangkat alat sholat, itu sudah cukup," ujarnya lagi.Bagus. Sesuai dengan isi kantongku saat ini. Aku memang sedang tidak bisa mengeluarkan uang yang banyak.Aline memintaku untuk datang kembali pada papanya. Walaupun malas dan takut, aku terpaksa melakukannya. Aline berjanji akan membantuku meyakinkan papanya itu agak merestui kembali hubungan kami.Dengan sedikit rasa takut, akhirnya aku mendatangi rumah itu. Aline sudah menungguku di teras depan. Kami memang sudah janjian. Dia pun sudah mengatakan pada papanya, bahwa aku akan datang.Dengan mulut yang sedikit bergetar, aku mengulangi kata-kata itu. Bahwa aku ingin melamar putri Darwis untuk menjadi istriku kembali.Aku bisa melihat sorot mata tidak suka pada wajahnya. Namun, dia mana bisa menolak keinginan anak semata wayangnya. Aku merasa jumawa.Darwis pun menerima lamaranku, walaupun pada awalnya dia mencecarku dengan kalimat-kalimat menyakitkan karena telah meninggal
Setelah akad yang diadakan di kediamanku, seperti dulu, aku diboyong Mas Rangga untuk tinggal di rumahnya. Awalnya aku tidak mau, karena tidak ingin bertemu lagi dengan Rimba. Namun, Mas Rangga meyakinkanku jika lelaki berandalan itu sudah tidak pernah kembali lagi ke rumah. Akhirnya aku pun menerima ajakannya.Saat menjejakan kaki di rumah ini lagi, jujur, ada sedikit rasa takut yang menghampiri. Aku kembali teringat peristiwa setahun lalu yang mengakibatkan trauma besar dalam hidupku."Ayo, Sayang, kenapa malah melamun?" ajak Mas Rangga saat kami sudah berada di ambang pintu. Aku tersenyum padanya."Iya, Mas."Aku mengikuti langkah kaki suamiku, kembali ke rumah ini. Laki-laki yang akan menjadi tempatku berbagi suka dan duka. Aku bahagia menjadi istri dari orang yang aku cintai.Saat hendak masuk ke dalam kamar itu, aku kembali teringat kejadian mengerikan itu. Aku memejamkan mata, berusaha untuk melupakannya. Aku menggeleng kuat.Tidak! Tidak! Semua itu sudah berlalu. Kini aku aka
Dia langsung menyambar benda pipih itu."Halo. Apa? Segawat itu? Ah iya, ok sebentar lagi aku ke sana. Tunggu saja," ucapnya pada seseorang di telepon."Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran."Ah, itu ... bahan baku datang. Di gudang tidak ada orang yang bisa nerima barangnya, karena sebagian belum aku bayar. Kamu tunggu dulu di sini, ya. Aku janji akan segera kembali," ucapnya terburu-buru. Aneh. Masa iya tidak ada yang bisa handle pekerjaan seperti itu. Kenapa juga barangnya datang malam-malam?"Kenapa malem-malem datangnya? Terus pembayarannya tidak bisa besok saja ditransfer?" tanyaku menyelidik."Ah, itu ... emh ... supliernya agak primitif sih, dia hanya terima uang cash," lanjutnya sambil memasukan ponsel ke saku celana."Kamu tidur dulu saja, ya, Sayang. Nanti kalau aku kembali, aku bangunin kamu. Bye, Sayang," ucapnya sambil mengecup keningku sekilas dan berlalu.Aneh. Kenapa kejadian ini terulang lagi? Dia meninggalkanku di saat malam pertama kami.Aku mendengkus kesal. Persiapan
Selang setengah jam, pesananku datang. Aku segera menerima dan membayar semuanya.Mami dan Papi sudah menunggu di meja makan sambil menikmati secangkir kopi. Mencium aroma kopi, aku kembali teringat dengan Rasya. Saat kehamilannya dulu, aku begitu menyukai aroma itu. Entah kenapa ada rasa perih saat mengingatnya. Apakah aku memang sayang pada anak itu?"Cepet, Lin, Papi sudah kelaparan, nih," ujar Mami dari meja makan. Aku bergegas mengambil empat piring dari dapur dan segera menyajikan nasi goreng itu. Wanginya menguar membuat lapar.Mas Rangga turun dari lantai atas dengan pakaian yang baru. Sepertinya dia sudah mandi, karena wajahnya terlihat segar."Sarapan dulu, Mas," tawarku. Dia mengangguk sambil menarik kursi dan duduk di sana."Bikinkan teh hangat juga buat Rangga, Lin," titah Mami di sela suapannya. Aku yang hendak duduk, segera bangkit lagi dan kembali ke dapur untuk menyiapkan secangkir teh. Setelah siap, aku kembali ke meja makan dan menaruh cangkir itu di depan Mas Rangg
Tubuhku benar-benar lelah karena seharian ini bekerja. Tanganku sudah nggak indah lagi rasanya. Apalagi tadi tiba-tiba tetangga ada yang mengirim ikan hidup buat Mami. Dan dengan entengnya Mami menyuruhku buat mebgurus ikan itu hingga mateng. Oh, shit! Kalau bukan ibu mertua, rasanya sudah ingin kulemparkan saja ikan itu ke mukanya. Perasaan dulu dia selalu bersikap baik padaku, tapi sekarang? Ah, kenapa dia seperti ingin menjadikan aku seorang kacung di sini? Sialan memang!Ikan-ikan hidup itu menggelepar ke sana kemari, membuatku menjerit ketakutan saat membersihkannya. Dia melihatku dari ambang pintu sambil tertawa. Membuat aku geram saja.Membantu saja tidak, malah ngetawain! Gak ada akhlak emang.Dapur menjadi kotor karena ikan itu berlompatan. Aku mengejarnya seperti mengejar hantu, saking licinnya. Napasku tersengal karena cape dan kesal. Ternyata sesulit itu membersihkan ikan.Belum lagi saat menggorengnya. Aku menjerit ketakutan saat tubuh ikan itu bersatu dengan minyak pana
Beres memasak dan membersihkan dapur yang super-duper berantakan, tubuhku rasanya seperti habis maraton sejauh 50 kilometer. Aku merebahkan tubuh di kasur sambil menunggu Mas Rangga pulang.Kenapa dia lama sekali ya? Padahal ini sudah lewat Magrib, bahkan hampir Isya. Aku sudah mempercantik diri, walau kukuku kuning semua karena kunyit.Mataku hampir saja terpejam saat kudengar knop pintu diputar. Wajah tampan Mas Rangga muncul di sana. Aku segera bangkit untuk menyambutnya."Cape gak, Mas?" tanyaku berbasa-basi. Dia mulai melonggarkan dasi hendak melepasnya, aku memeluknya dari belakang. Dia hanya menjawab dengan gumaman."Kata Mami, kamu tadi bikin kekacauan di dapur?" tanyanya. Aku langsung melepaskan pelukan dan melangkah ke hadapannya."Nah ini yang ingin aku bicarakan padamu sekarang, Mas." Aku menatap wajahnya yang terlihat lelah."Membicarakan? Membicarakan apa?" tanyanya dengan kening berkerut."Rumah ini terlalu besar, sepertinya Mami tidak sanggup merawatnya. Terlebih lagi
Saat membereskan lagi baju-baju yang kubawa ke rumah ini. Aku baru teringat, jika aku membawa beberapa koleksi berlian. Aku ambil kotak itu, membuka dan menatapnya. Sudah agak lama, tidak aku pakai.Aku mengambil anting-anting dan memasangkannya. Cantik. Gelang dan kalungnya pun aku pasang. Sangat cantik. Ini memang koleksi kesayanganku makanya aku bawa.Sebetulnya, masih ada beberapa lagi, tapi aku masih menyimpannya di rumah Mama."Aliiiinnne ...." Terdengar teriakan dari mulut Nenek Lampir. Tuh, kan, jadi aja aku manggilnya begitu. Abis dia jahat terus sih. Kesel, kan aku jadinya.Ada apalagi ya? Gak pagi, siang, malem ... nyuruuhh aja kerjaanya. Gak boleh sedikit pun aku santai. Kalau bukan ibunya Mas Rangga, udah kupites tuh, leher angsanya.Mami itu memang cantik. Aku akui itu. Lah, anak-anaknya juga ganteng-ganteng gitu.Wait! Apa? Anak-anaknya? Ganteng-ganteng? Berarti aku mengakui kalau berandalan itu juga ganteng. "Aliine ... apaan, sih, kamu?!" Aku bergumam sendiri sambil m