Aku berjalan menuju kamar mandi khusus perawat. Dan sesampainya di sana, kubuka perlahan surat dari pasien tersebut. Dan seketika aku terkejut karena isinya adalah sebuah puisi dan kalimat minta tolong.
Saat kulihat semua pekat di langit yang seharusnya membiru.
Aku sempat mengira duniaku takkan pernah berwarna lagi sampai aku melihat senyumanmu yang bagai mentari pagi.Cerah matamu yang menjanjikan kedamaian.Membuatku yakin bahwa kebahagiaan ku akan datang.Tolong temani aku lusa saat kunjungan keluargaku.Ada yang tidak beres dengan rumah sakit ini dan keluargaku.Dan kalau sudah membaca surat ini, silakan robek keci-kecil dan masukkan ke dalam kloset, atau bakar saja sampai jadi abu. Yang pasti, jangan biarkan seorang pun tahu tentang surat ini. Jangan tanya kenapa aku meminta pertolongan padamu, karena pelan tapi pasti, kamu akan segera tahu.Aku mengerutkan dahi. Tak kupungkuri sejuta tanya muncul di hati setelah membaca surat ini.
Sejak awal datang kemari, aku sudah merasa ada yang aneh pada Romi. Tidak mungkin lelaki sebersih dan seganteng dia menderita gangguan jiwa.
Kubaca sekali lagi puisi itu. Indah. Tapi entah mengapa menyiratkan seseorang yang putus asa pada awalnya dan kenapa dia memilih aku untuk menolongnya?
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. "Siapa sih di dalam?" terdengar suara Nia, perawat yang satu sihft denganku.
"Bentar, baru mau nyiram pup nih. Kamu di toilet sebelah dong!" seruku sambil melipat surat di kertas bergaris yang diberikan oleh Romi untukku.
"Toilet sebelah mampet! Ayo buruan, aku diare!"
Nia semakin menggedor-gedor pintu. "Oke, oke. Sebentar lagi aku keluar."
Aku menghela nafas panjang dan akhirnya membasahi wajah dan tangan sampai siku lalu membuka pintu toilet yang langsung disambut wajah cemberut Nia.
"Hih! Lamanya. Ngapain saja sih di dalam?" tanyanya dan tanpa menunggu jawabanku dia langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Aku mengedikkan bahu dan berlalu begitu saja menuju taman rumah sakit. Lalu duduk di semacam bangku yang terbuat dari semen dan berbentuk melingkar yang di tengah-tengahnya tumbuh rumpun bunga Bougenville.
Kubuka kembali surat Romi dan kubaca ulang. Lalu kuedarkan lagi pandangan mataku ke sekeliling taman untuk mencari pemuda itu. Biasanya dia asyik bercanda maupun bernyanyi-nyanyi dengan pasien lain.
Tapi nihil, sosok itu tidak ada di taman tengah rumah sakit. Akhirnya kubaca ulang kata demi kata yang ada di surat tersebut.
"Hai, baca apa?"
Sebuah suara dan tepukan di pundak nyaris membuatku terlonjak.
"Astaga, Adimas! Ngagetin aja kamu!" Aku yang ingat pesan Romi segera melipat kertas di tanganku dan memasukkannya ke dalam saku baju, tapi tak urung juga Adimas melihatnya. Dia lalu duduk di sebelahku.
"Apa itu?" tanyanya menatapku. Terlihat ekspresinya dibuat sedatar mungkin. Tapi aku tahu sebenarnya dia penasaran setengah mati pada kertas yang baru saja kupegang.
"Biasa, catatan pembelian kebutuhan perempuan, Dim," tukasku tersenyum.
Adimaspun tertawa. "Memang ya, cewek itu ribet. Kalau mau beli kebutuhan saja harus dicatat. Mungkin bisa beli kebanyakan atau malah gak jadi beli ya kalau nggak dicatat?" tanya Dimas.
Aku mendengus. "Bukan ribet. Tapi cewek itu istimewa. Kami suka hal-hal yang bersifat detail, agar terlatih menjadi ibu yang pekerjaannya super banyak," sahutku.
Dimas melirikku. "Iya, iya. Eh, bagaimana rasanya setelah 2 minggu bekerja di sini?" tanya Dimas kepo.
Belum sempat aku menyahut, Dimas sudah melanjutkan kalimatnya. "Kamu sepertinya dekat dengan Romi. Hati-hati dia berbahaya dan suka lepas kendali."
Aku menoleh pada Dimas. "Benarkah lusa adalah jadwal kunjungan keluarga Romi?" tanyaku tanpa menanggapi perkataannya tadi.
Dimas memandangku sekilas lalu mengangguk.
"Kalau begitu, biar aku saja yang menemani Romi dalam kunjungan keluarganya, bisa kan?" tanyaku.
Sekilas tampak wajah Dimas terkejut. "Kamu jangan ikutan kunjungan keluarga dulu, capek lo. Apalagi kalau pasien dan keluarga tidak kooperatif," jawab Dimas tersenyum.
"Ada apa sih kok melarang-larang segala?" tanyaku curiga seraya berdiri dari duduk.
"Romi itu sering kumat 'sakitnya' kalau keluarganya datang."
"Hah? Masak sih?"
"Ya sudah kalau gak percaya. Aku sudah membuktikannya. Aku kan yang selalu menemani Romi kalau dia ada kunjungan keluarga," kata Dimas meyakinkan.
"Kalau begitu, biar lusa aku yang menemani kunjungan keluarga Romi. Jadi kita tukeran dines ya?"
Dimas mengerutkan dahi.
"Duh, gimana ya?"
"Kamu mencurigakan banget, Dim. Kenapa sih aku nggak boleh ikut?" Aku menatapnya mata Dimas tajam, mencoba mencari tahu jawaban atas pertanyaanku.
Tapi Dimas justru menunduk dan pandangannya menekuri sepatu yang dikenakannya.
"Nanti kalau Romi kumat, gimana? Kamu kan cewek, seorang diri lagi." Dimas terus keberatan.
"Aku kan peraih sabuk hitam di kelas sedang karate saat SMA. Insyallah mudah untuk mengatasinya. Jadi biar aku yang kali ini menemani kunjungan keluarga Romi ya. Lagipula dilihat-lihat Romi sekarang sudah tenang banget dan kooperatif."
Dimas akhirnya menarik nafas panjang. "Huft, iya sudah. Siapa sih yang bisa menolak permintaan cewek cantik kayak kamu. Keponakan pemilik rumah sakit pula."
Aku tersenyum penuh kemenangan. "Nah gitu dong!"
"Eh, kamu merasa nggak kalau Romi itu aneh?" tanyaku pada Dimas. Setelah kemarin aku mengurungkan niat untuk bertanya pada Nia karena sudah diledek sebelum aku bertanya, kini aku mencoba bertanya pada Dimas.
Karena tidak mungkin kalau Dimas ikut-ikutan meledekku.
"Aneh? Aneh gimana maksudnya?" tanya Dimas. Tak kusangka Dimas akan menanggapi pertanyaanku dengan serius.
"Dia tuh pintar merangkai kata manis. Seperti menggombal dan merayu. Masalahnya dia sering merayuku!" bisikku mengerutkan dahi. Lalu aku menceritakan apa yang telah Romi katakan padaku. Tentu saja bagian suratnya tidak kukatakan. Urusan surat hanya antara aku dan Romi saja.
Dimas mendelik. Lalu selanjutnya tersenyum penuh misteri. "Kamu harus menjauhi dia. Seperti kataku tadi. Percaya sama aku, Yuk!"
Kini giliran aku yang bingung. Tidak menyangka tanggapan yang diberikan oleh Dimas seperti itu. Aku menghela nafas sejenak.
"Ya sudah, aku kembali ke ruang perawat dulu," sahut Dimas seraya berlalu dan menepuk bahuku. Aku pun mengangguk.
Baru saja Dimas menghilang dari pandanganku, sebuah suara mengagetkanku.
"Sus, jangan duduk di situ!"
Aku menoleh ke belakang. "Astaga! Kamu kok tiba-tiba muncul Rom, padahal dari tadi kulihat nggak ada?" tanyaku bingung.
Romi hanya cengengesan. Aku membalikkan badan menghadapnya.
"Memang kenapa aku nggak boleh duduk di sini?" tanyaku penasaran.
Romi menatapku dan langsung memetik setangkai bunga Bougenville yang ada di belakangnya.
"Karena seharusnya Suster duduknya sama aku di pelaminan," sahutnya tersenyum lebar dan memberikan bunga yang baru dipetiknya padaku.
Aku tercengang. 'Bisa saja pasien ini! Masak pasien seperti ini bisa kumat dan berbahaya? Aku harus mencari tahu diagnosa pasti dan riwayat gangguan kejiwaan yang lain dalam lembar status Romi nanti.'
Aku pun menerima tangkai bunga yang disodorkannya.
"Terimakasih, Rom. Semoga kamu lekas sembuh dan bisa pulang ke rumahmu lagi. Lalu tentang surat itu ...,"
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Romi dengan cengar cengir memandang ke arah belakangku dan tiba-tiba sebuah suara bass terdengar. "Yulia, ikut saya sebentar!"
Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Romi dengan cengar cengir memandang ke arah belakangku dan tiba-tiba sebuah suara bass terdengar. "Yulia, ikut saya sebentar!"Aku menoleh ke belakang. "Dokter Andri?" "Yulia, bisa ikut saya sebentar?" Sekali lagi suara bass dari direktur rumah sakit jiwa yang sekaligus merupakan pamanku terdengar kembali."Tentu Dokter."Aku berdiri dan mengibaskan debu dari rok spanku lalu menoleh ke arah Romi yang asyik 'bicara' dengan bunga di hadapannya.Aku menghela nafas lalu segera mengikuti Om Andri yang sudah berjalan lebih dahulu ke arah ruang direktur. Dalam benakku terbayang perkataan Dimas untuk menjauhi Romi. Tapi aku tak mengerti apa alasan Dimas melarangku mendekat ke arah Romi. Apa Dimas mengetahui sesuatu tentang Romi? Sesuatu yang tidak kuketahui. Dan hanya Dimas saja yang tahu. Atau jangan-jangan Dimas mengenal Romi? Tapi apa hubungan antara keduanya? Aduh, semakin dipikirkan semakin membuat pusing.Aku sibuk dengan pikiranku sendiri samp
"Rom? Ada apa? Kenapa kamu menjadi gemetar seperti ini?"Aku mendekat ke arah Romi dan menepuk pundaknya. Berusaha membuatnya tenang."Nafas panjang dulu. Pelan-pelan."Romi memandangiku lalu menggerung perlahan."Romi! Anak Mama! Apa kabar Sayang? Mama rindu."Perempuan muda itu tiba-tiba memeluk Romi dan dua orang laki-laki berkaus tersenyum pada Romi dan duduk di kursi sofa yang memang merupakan fasilitas rumah sakit di kamar kelas satu.Aku menjauh dan membiarkan anak beranak itu berpelukan, meskipun dalam hati bertanya-tanya dan tidak percaya bahwa perempuan muda itu adalah ibu Romi.Romi terdiam saat perempuan itu mencium pipi kanan dan kiri Romi. "Suster baru ya kerja di sini? Bisa tinggalkan kami sebentar?"Aku tertegun. Biasanya kalau keluarga berkunjung ke bangsal pasien, perawat yang menemani akan duduk di kursi dalam kamar untuk mengantisipasi jika pasien membahayakan keluarganya."Tenang saja. Romi sudah lebih waras dibandingkan saat baru masuk dulu kok. Suster bisa tungg
"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....Hatiku berdebar kencang, berusaha untuk mendengarkan percakapan Om Andri lebih lanjut. Namun sayang sekali, meskipun kepala dan telingaku kutempelkan di pintu, aku tetap tidak bisa mendengarkan suara apapun lagi. Mungkin memang teleponnya sudah diakhiri. Berbagai pikiran buruk mampir di kepala tanpa bisa dicegah. Jangan-jangan memang om Andri punya hubungan dengan Bu Riana. Tapi apa ya? Ah, mana mungkin Om Andri berniat buruk pada salah satu pasiennya sendiri. Huft, semakin aku ingin tahu tentang hal ini, rasanya malah semakin banyak pertanyaan yang harus terjawab. Aku menghela nafas seraya menggeleng-gelengkan kepala, mencoba membuang segala pikiran buru
'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'Ehhh!Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya."Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa. "Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?""Boleh minta nggak?"Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel. "Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan. Romi mengangguk. "Rom,
"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh."Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!" "Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi. "Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"Aku mengangguk."Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."Roy melangkah maju. "Roy,
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. "Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri."Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku."Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami. Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?""Ssttt! Jangan keras-keras kalau bi
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu."Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku."Dim, aku tidak tahu apa yang kamu katakan," sahutku pura-pura bingung. 'Duh, ini pasti satpamnya yang semalam sudah ngadu ke dia.'"Kamu jangan pura-pura. Selama Ini kan kamu yang paling penasaran soal Romi dan Dion Alexander?"Aku mengernyitkan dahi. Berarti Dimas ini tahu sesuatu tentang keluarga Alexander, sekalian saja kukorek keterangan darinya saja. Semoga saja di rumah semalam, tidak ada CCTV di pintu gerbangnya."Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Apa Romi ada kaitannya dengan ... siapa tadi namanya? Dion Alexander?" tanyaku.Dimas duduk di hadapanku. Lalu meremas tanganku keras. "Jangan ikut campur urusan orang lain, Yul!""Aww! Sakit Dim!" Aku mendelik. Kubalas perbuatannya dengan meremas balik tangannya. Enak saja. Emang yang bisa meremas tangan cuma dia saja. Dimas terlihat kesakitan tapi masih terdi