Tania tiba di Paris dan mendapati Davin telah menunggunya di bandara. Lelaki itu menyambut kekasihnya dengan seikat lili favoritnya. Sungguh Davin tampak begitu keren meski hanya mengenakan hoodie hitam dari brand miliknya, Casualads. Rambut aslinya coklat gelap dan terkadang ia mewarnainya, kini ia memiliki highlights pirang di rambutnya. Sepasang matanya hijau dan tinggi sekitar 180 cm, membuat orang-orang berpikir bahwa ia adalah model dan bukan desainer. Memang, seringkali Davin menjadi model untuk produknya sendiri.
“Bienvenue à Paris, mon amour.” Davin meraih tangan Tania dan mengecupnya seraya mengucapkan selamat datang untuk kekasihnya itu.
“Jadi kau sudah pastikan bahwa kau tak akan berurusan dengan pekerjaanmu dulu selama dua minggu ke depan, kan?”
“Tentu. Aku sudah berjanji. Minggu ini kita akan habiskan waktu di Paris untuk menemui Ayahku. Lalu minggu berikutnya kita ke Munich untuk bertemu ibuku.”
“Tunggu, apa?” Tania mengerutkan dahi. “Kau tidak bilang kita akan melakukan kunjungan ke Munich? Dan kenapa ibumu ada di sana sedangkan ayahmu di Paris?”
“Maaf aku belum sempat bercerita banyak padamu. Well, ibu dan ayahku sudah berpisah bertahun-tahun lalu dan sampai sekarang hubungan mereka masih belum membaik.” Davin menjelaskan sambil memberi isyarat agar mereka melangkah keluar dari bandara. “Biar kubawakan kopermu.”
“Astaga, maafkan aku,” ucap Tania pelan.
“Tidak masalah, ayahku juga tidak tinggal di Paris, sih. Dia sangat sibuk dan sering melakukan perjalanan bisnis, jadi aku tidak tahu bagaimana kesehariannya sekarang. Kami jarang sekali bertemu kecuali saat Natal,” Davin kembali menjelaskan, “tapi tenang, karena besok adalah peresmian salah satu cabang dari tokoku, maka dia akan datang. Sudah kukatakan padanya bahwa aku punya kejutan dan ini sangat penting.”
“Lalu dia bersedia datang?”
“Yep, dengan sedikit paksaan.” Davin terkekeh sambil memasukkan barang-barang Tania ke dalam BMW X1 miliknya lalu membukakan pintu untuk Tania.
Keduanya pun menuju rumah Davin yang berkisar dua puluh menit dari bandara.
“Kuharap kau tidak keberatan melihat rumahku yang berantakan.” Davin membuka pintu. “Please, come in.”
“Tidakkah rumahmu terlalu besar untuk kau tinggali seorang diri?” Tania memandang seluruh sisi rumahnya. Setiap kali ia datang ke Paris untuk mengunjungi Davin, ia tak pernah berkesempatan mampir karena mereka sama-sama sibuk. Biasanya mereka hanya berjalan-jalan, makan malam lalu mampir sejenak untuk minum di salah satu bar favorit Davin.
“Tepat sekali, itulah kenapa aku tak sabar untuk mengisinya bersama seorang partner.” Davin tersenyum pada Tania. Wajah kekasihnya langsung menghangat dan merona. Usia mereka berdua masih sangat muda untuk menikah, tapi sikap Davin yang dewasa dan cintanya pada Tania membuat perempuan itu tak lagi meragukannya. Tania berpikir mungkin untuk saat ini, ia akan sering berkunjung dan tinggal di rumah Davin untuk membiasakan diri tinggal bersamanya.
“Baiklah, karena besok acaranya pagi sekali, maka kau harus dapatkan istirahat yang cukup, Tuan Putri,” gurau Davin sambil membawa barang-barang Tania ke dalam kamar.
“Terima kasih!” Tania memeluknya bahagia.
***
Rasa gugup Tania telah dimulai sejak ia bangun tidur dan bersiap untuk pergi ke acara peresmian salah satu cabang Casualads. Tania terus mencari-cari artikel di internet mengenai bagaimana sikap yang benar saat bertemu dengan orang tua kekasih, meski tetap saja jika rasa gugup menguasainya, ia mungkin tak akan bisa mengingat semuanya.
“Kau kelihatan gelisah, ada apa?” Davin menghampirinya. Ia telah siap dengan gaya berpakaiannya yang biasa—kaus lengan pendek berwarna nila, jelana jeans hitam dan sepasang trainers dari Casualads—tapi ia tetap menawan.
“Aku gugup, bagaimana jika ayahmu tak menyukaiku?” Tania menatap kekasihnya cemas.
“Jangan begitu. Ayahku orang yang ramah dan mudah bergaul. Dia pasti akan senang mengobrol denganmu, calon menantunya.” Davin menyentuh rambut Tania yang telah dikepang ala Perancis.
“Semoga saja.” Tania menghela napas panjang.
“Ayo.” Davin meraih tangan Tania dan mereka pun berangkat.
Belum ada banyak tamu yang datang saat mereka tiba di sana. Hanya beberapa karyawan Davin yang memberikan sentuhan akhir di beberapa sudut ruangan.
“Dimana ayahmu?” bisik Tania. Mereka sedang mengobrol di bagian belakang toko mengenai beberapa hal. Terlalu ramai jika mengobrol di depan. Davin tertawa lalu mengusap punggung Tania.
“Dia masih belum tiba. Bersabarlah dan tetap tenang, tak perlu gugup.”
“Davin, ayahmu baru saja tiba.” Salah seorang karyawannya menghampiri.
“Sungguh? Ah, speak of the devil!” Davin tersenyum lebar pada Tania lalu menariknya menuju pintu masuk toko. “Sepertinya itu dia!”
Tania mengikuti arah pandangan Davin yang mengarah ke seorang pria yang tengah duduk di sofa dan membelakangi mereka. Pria itu tampak sedang menelepon. Davin segera menarik Tania dan melangkah menghampiri pria itu.
“Ayah!” Davin berseru penuh antusias. Sedetik kemudian pria itu berdiri dan berbalik untuk melihat orang yang memanggilnya.
Kemudian di saat itulah, jantung Tania seolah terhenti. Ia membulatkan mata saat melihat wajah pria itu.
Begitu tak asingnya dia.
Dia, ayah Davin.
Ayah kekasih Tania.
Dia ….
“Tania, let me introduce you to my dad, Mr. Gerald Bentley!”
Sugar daddy-nya!
Davin adalah putra Gerald. Dia putra sugar daddy Tania.“Jadi, Ayah … ini adalah kejutan yang kubicarakan di telepon saat aku memintamu untuk hadir di sini,” Davin bercerita tanpa senyum terlepas dari wajahnya. “Gadis ini, Tania Wood, adalah kekasihku. Aku bermaksud mengenalkannya padamu.”Hanya dalam waktu beberapa detik Tania merasakan lututnya melemah. Secara spontan ia meraih lengan Davin agar tak terjatuh.“Kau baik-baik saja?” Davin berbisik cemas. “Kau tidak mau bersalaman dengan ayahku?”Tania masih memandang Gerald, antara memastikan bahwa itu memang dia atau berharap penglihatannya salah. Tapi tidak, itu memang dia. Gerald Bentley. Davin sudah menyebutkan namanya. Gerald balas memandang Tania dengan ekspresi yang tak pernah ia kenali sebelumnya. Apa itu? Apakah itu ekspresi terkejut? Marah? Tidak percaya?Entahlah. Ekspresinya sulit ditebak.Namun, tak lama kemudian ia
Tania pernah ke Jerman beberapa kali, tapi ia tak pernah ke Munich. Hanya Berlin. Kini saat ia akhirnya menginjakkan kaki di kota itu, mendadak ia jadi begitu gugup. Bukan hanya karena akan menemui ibu Davin, tapi juga karena menyadari kenyataan bahwa ia akan bertemu Catherine, mantan istri dari sugar daddy-nya.“Ibuku orang yang menyenangkan, dia pasti akan sangat menyukaimu!” Davin menggandeng tangan Tania saat mereka keluar dari taksi menuju sebuah rumah sederhana dengan kotak pos berwarna coklat tua di halamannya.“Jangan cemas, ibuku tidak sesibuk ayahku. Dia tidak akan pergi begitu saja setelah kukenalkan kalian berdua,” lanjut Davin, “lagipula ini rumahnya, dia selalu tahu bagaimana menyambut tamu dengan baik.”Davin memencet bel beberapa kali dan pintu terbuka, menampakkan sosok wanita paruh baya yang cukup tinggi—kurang lebih sama dengan Tania, mengenakan kaus longgar dan celana panjang. Sekilas ia terl
Sudah lebih dari seminggu lamanya Tania tak menerima panggilan atau pesan apa pun dari Gerald. Mungkinkah Gerald begitu sibuk? Atau ia sangat marah?Catherine tidak ada di rumah hari ini. Ia bekerja sebagai salah satu tutor di sebuah kelas memasak yang tak jauh dari rumah dan mengajar setiap akhir pekan. Ia sudah berpesan pada Davin dan Tania bahwa mereka boleh pergi berjalan-jalan dengan mobilnya dengan catatan tetap membiarkan rumah terkunci, tapi sepasang kekasih itu sepakat bahwa mereka hanya akan bermalas-malasan di rumah seharian dan menghabiskan camilan yang memenuhi lemari.“Kau kelihatan gelisah, apa yang kau cemaskan?” Siang itu Davin menghampiri Tania yang sedang duduk termenung memandangi halaman belakang. “Apa kau bosan berada di sini?”“Tidak.” Tania menggeleng cepat.“Jangan khawatir, tiga hari lagi kita akan kembali ke Paris. Setelah itu kau bisa kembali ke London.”“Tidak, Dan.
“Ibu lega kau sudah mengenalkan Tania pada ayahmu, Dan.” Catherine memecah hening kala mereka menikmati makan malam. Tania memandangnya, mencoba untuk tersenyum. “Ayah Davin sangat kaku,” lanjutnya.“Dia sudah jauh lebih baik, sepertinya,” sambung Davin.“Mungkin dia sudah memiliki kekasih? Who knows?”“Ibu ....” Davin tampak tidak senang mendengar kalimat Catherine. Tania sendiri? Jantungnya berdetak lebih cepat. “Dia tak akan lakukan itu. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.”“Bagaimana kau tahu, Dan? Katakan, apa kau hanya berprasangka baik karena dia ayahmu?” Catherine bicara dengan lembut, di situasi ini Tania merasa bersalah, entah kenapa.“Well, maksudku, kurasa ayah tak akan mau repot-repot menikah lagi jika dia masih seperti itu. Semua orang yang mengenalnya tahu bahwa dia sangat dingin.&rdqu
Tania tiba di London dan segera menuju flat dengan pikiran yang kacau. Begitu banyak fakta yang harus ia terima dan ia bahkan tak tahu bagaimana harus menerimanya. Mungkin ia bisa menerima kenyataan bahwa sugar daddy-nya selama ini adalah ayah kekasihnya, tapi bagaimana ia bisa menjalani hidupnya sekarang dan setelahnya? Apa ia harus memilih di antara mereka berdua? Oh tentu, dalam hal ini, Davin adalah kekasihnya. Namun Gerald adalah orang yang telah memberi Tania kehidupan. Bisa dibilang, Gerald telah menyelamatkan Tania.Tania melangkah masuk ke dalam flat dan menyadari aroma marijuana. Segera ia melangkahkan kaki ke dapur dan benar, Gerald di sana. Duduk dengan selinting marijuana yang tinggal tersisa sedikit lagi di tangannya. Jasnya terletak di atas meja.“Kau sudah kembali, sweetheart,” suaranya terdengar berat, “dua minggu tanpa menelepon, rasanya lama sekali, ya?”Apa yang harus Tania katakan? Ia pun tak tahu.
Apa maksudnya ini? Apa tamu yang baru saja dibicarakan Gerald adalah Davin? Kenapa dia meminta Davin datang kesini? Apa dia sedang menyiapkan rencana untuk menjebak Tania? Jika ini memang rencananya, dia sungguh keterlaluan. Setidaknya itulah yang dipikirkan Tania.Davin terdiam di sana, sementara manajer restoran itu telah berlalu menuruni tangga. Tania dan Gerald saling berpandangan.“Tania? Kau ada di sini?” Davin mengangkat alis.“A-aku-”“Davin!” Gerald berseru tertahan lalu tertawa ceria. “Kau datang tanpa memberitahu?”“Ya, ini sangat mendadak. Aku sudah menghubungi Tania tapi dia tak menjawab telepon atau pesanku.” Jelas Davin masih dengan ekspresi bingung. “Kalian … sedang apa?”“Ahaha! Kau tahu? Ini kebetulan yang sangat gila. Ayah baru tahu ternyata Tania menjadi model di perusahaan agensi milik Ayah!” Gerald menghampiri putranya. Tania meng
Paris. Di kota inilah Tania akan menjalani kehidupan barunya, bersama Davin. Jelas ini bukan tempat yang buruk untuk memulai sebuah lembaran baru, meski Tania tidak yakin lembaran baru macam apa yang kini ia buka. Tampaknya bukan lembaran dari buku yang masih kosong, melainkan lembaran lama sebuah buku catatan berisi konflik tak berkesudahan.Walaupun panik, ia mencoba terlihat tenang dan berusaha untuk tak merepotkan Davin dengan membiarkannya terus-terusan bertanya apa Tania baik-baik saja karena sepanjang perjalanan Tania terus melamun. Ia terus-terusan membuka ponsel dan memeriksa media sosial, memastikan ia telah mengunggah foto bersama Davin dengan keterangan bahwa ia akan mulai tinggal di Paris hari ini.Beberapa teman-temannya berkomentar dan mengucapkan selamat, tetapi Tania sangat sibuk dalam dua minggu pertama karena selain harus beradaptasi, ia juga ikut membantu pekerjaan Davin dalam mengurus Casualads entah itu dalam hal perancangan atau mempromo
“Hei! Bagaimana jalan-jalannya?” Davin masih duduk di belakang meja kerjanya saat Tania kembali.“Tidak banyak jalan-jalan. Hanya mengobrol dan sedikit minum di bar,” jawab Tania seadanya. “Aku tidur duluan, ya?”“Tentu, selamat malam, sayang.”Pagi harinya, Tania melihat sebuah pesan di ponselnya. Dari Rob, yang dikirim jam 3 pagi. Ia mengirimkan sebuah lokasi dan meminta Tania agar datang saat jam makan siang dengan membawa akta kelahirannya.Inikah saatnya? Tania lebih penasaran dengan percakapan macam apa yang terjadi antara Rob dan istrinya malam tadi. Setelah sedikit panik saat Tania hampir tidak bisa menemukan secarik kertas bertuliskan nama serta tanggal lahirnya dan nama lengkap kedua orang tuanya, akhirnya ia berhasil menemukannya. Tania merasa dirinya cukup bijak dengan tidak menyepelekan benda itu walaupun ia hampir tak pernah berharap bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan orang tuanya lagi.