Suara ketukan pintu membuat si pemilik kamar terbangun dari tidur nyenyaknya. Dikira pusingnya bakalan ilang, ternyata masih berasa sampai pagi. Rasanya seakan malas untuk beranjak dari tempat tidur.
Mencoba mengabaikan ketukan pintu, tapi justru malah makin terdengar jelas di pendengarannya. Hingga akhirnya bangun dan berjalan gontai menuju pintu.
Pintu terbuka, mendapati seorang wanita paruh baya tengah berdiri dihadapannya.
"Non, Nyonya bilang Non Karel harus segar bangun. Karena harus sekolah," jelasnya.
Karel mengangguk tak bersemangat saat mendengar penjelasan itu. Ya, sekolah. Rasanya begitu malas untuk sekolah. Bisa tidak, menghentikan waktu agak beberapa jam ... agar ia bisa kembali tidur.
"Iya Bik, aku ambil ponsel dulu," ujarnya.
Kembali ke dalam kamar. Merapikan rambutnya dan menyambar benda pipih yang ada di kasur. Kemudian segera keluar dari kamar, berjalan menuju ruang makan.
Sampai di sana, terlihat Kiran sudah duduk di kursi yang ada di meja makan bersama dengan suaminya.
"Pagi, Om, Tante," sapanya langsung duduk di samping Kiran masih dengan tampang mengantuk berat. Saking beratnya matanya untuk melek, berasa mau tidur sambil duduk rasanya.
"Masih ngantuk, ya," respon Kiran melihat raut muka Karel di sampingnya.
"Nanti malam ulang lagi, ya," tambah Arland terkekeh melihat tampang gadis belasan tahun itu yang terlihat sekali kalau dia memang tak baik baik saja.
"Om ngeledek aku, ya."
"Bukan ngeledek Karel, tapi hanya memberikan saran," balas Arland.
"Udah, jangan bikin dia kesal terus dong," komentar Kiran saat suaminya malah ikut ikutan meledek Karel. Kemudian beralih pada gadis yang masih menyenderkan kepala di meja dengan kedua lengan sebagai bantalannya. "Ayok, Nak ... sarapan dulu. Nanti habis sarapan biar diantar supir."
"Kak Ziel aja yang ngaterin," responnya cepat.
"Ziel udah berangkat dari tadi," ujar Kiran.
Karel yang posisinya masih malas malasan, langsung shock.
"Serius, Tante?"
"Ada kerjaan di luar kota, jadi mesti berangkat pagi pagi biar nggak terkena macet." Arland ikut memberikan penjelasan.
"Nanti kalau aku pulang, trus Papa marah gimana?" Mulai memasang wajah penuh kecemasan. Berharap kalau sama Ziel, kan lumayan bisa meredam kemarahan papanya. Lah, ini Ziel malah pergi tanpa memberitahunya.
Kembali merasa tak bersemangat lagi untuk pulang ke rumah. Apalagi berangkat sekolah.
"Kalau nggak salah, Papa kamu nggak akan marah Karel," komentar Arland.
"Tapi kata Kak Ziel aku yang salah."
"Kata Ziel?"
Memutar bola matanya. "Iya, Om ... iya aku yang salah. Makanya aku takut kena marah sama Papa. Udahlah, aku nggak mau pulang. Aku nggak mau sekolah."
"Iya, libur saja biar sekalian kena marahnya double double nanti sama Ziel," sambung Kiran memperingatkan.
Semalam ia masih merasa aman karena ada Ziel, sekarang cowok itu tak ada di sampingnya dan ia menciut. Ingin rasanya pingsan saja, biar nggak pulang ke rumah dan ketemu sama papanya.
"Buruan makan. Biar Om yang antar."
Akhirnya ia pasrah. Terserahlah, gimana nanti papanya bakalan mengomel indah padanya.
Selesai sarapan, ia pulang ke rumah diantar oleh Arland, papanya Ziel. Demi apa ia merasa takut kali ini. Kebiasaan sembunyi dibalik sosok Ziel, saat dia tak ada rasanya langsung menciut.
Mobil memasuki area pekarangan rumah setelah satpam membukakan pagar setinggi dua meter itu. Keduanya turun dan masuk ke dalam rumah yang pintu utama sudah terbuka lebar.
Bibik segera menghampiri Karel dan Arland yang datang.
"Bik, Papa mana?" tanyanya sambil celingak celinguk mencari sosok papanya.
"Tuan sudah berangkat, Non. Baru saja."
"Ke kampus?"
"Iya, Non."
"Sana mandi dan beberes, Om antar ke sekolah," ujar Arland.
"Nggak usah, Om. Aku berangkat sendiri aja," tolaknya ada penawaran Arland.
"Yakin?"
"Iya, Om."
"Yasudah, kalau gitu Om lanjut ke rumah sakit, ya."
Karel mencium punggung tangan Arland, sebelum laki laki paruh baya itu pergi dan berlalu dari hadapannya.
"Non semalam kabur lagi, ya?" tanya Bibik padanya sepergi Arland.
"Iya, Bik. Aku kabur bahkan nggak berniat untuk pulang lagi. Itu lebih menyenangkan daripada diam di dalam rumah ini," responny datar dan lanjut berjalan malas menuju kamar.
"Non ..."
"Jangan menggangguku. Hari ini aku mau istrirahat."
"Non nggak sekolah?"
Pertanyaan itu ia abaikan. Terus berjalan menuju kamar dan langsung mengunci pintu dari arah dalam.
Tak ada niatan untuk berangkat sekolah hari ini. Rasanya masih pusing dan tentunya kesal. Ya, ia memang takut ketemu papanya. Tapi tidak berharap juga di saat ia pulang laki laki yang ia panggil papa itu justru malah tak ada. Pergi pagi, pulang malam. Begitu saja terus, sampai sampai dirinya merasa dilupakan sebagai seorang anak. Atau, malah sudah tak dianggap anak.
Menyambar ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Ren, lo udah di sekolah?"
"Udah, ini baru nyampe."
"Ijinin gue, ya. Hari ini nggak masuk. Lagi nggak enak badan," jelasnya pas Rena.
"Lo sakit?"
"Masih pusing."
"Papa lo semalam nggak ..."
"Papa udah ke kampus," sambungnya langsung. Karena pasti sobatnya itu bakalan khawatir dengan dirinya yang bakalan kena omel.
"Oh, oke. Ntar gue temuin guru buat ijinin elo."
"Thank's."
Yap, seperti keinginannya tadi ... hari ini tak berminat sekolah. Ingin tidur dan istirahat seharian. Toh, nggak akan ada juga yang akan mengomeli dan memaksanya untuk bangun. Papanya? Sudah jelas, kan ... beliau sudah berangkat ke kampus bahkan sebelum dirinya balik ke rumah. Padahal tadi berharap dirinya disambut rasa khawatir. Tidak, bahkan omelan pun mungkin akan lebih bermakna daripada diabaikan begini.
Benar benar tertidur, tak memikirkan masalah yang tadinya membuat otaknya rada snewen. Hal yang biasa, sih, sebenarnya ... hanya saja jika terlalu ia pikirkan justru malah membuatnya sedih dan sakit hati.
Sebuah ketukan pintu terdengar di depan kamarnya. mengabaikan, karena ia yakini jika pelakunya adalah Bibik. Ya, siapa lagi di rumah ini selain wanita paruh baya itu.
"Ck, Bik! Apa, sih ... aku lagi istirahat!" teriaknya tak berniat untuk bangun.
"Non, Den Ziel nelpon. Katanya minta Non Karel nelpon balik!"
"Iya, iya ... nanti aku telpon!'
"Sekarang, Non!"
Rasanya benar benar bikin kesal, kan ... saat tidur nyenyak malah digangguin. Didiamkan, Bibik malah makin menjadi jadi di depan pintu kamar.
"Iya, Bik! Ini aku telpon!"
Setelah mendapatkan balasan darinya, barulah gedoran dan teriakan di depan pintu kamarnya terhenti.
Menyambar benda pipih yang ada dibalik bantal. Terlihat rentetan pangggilan tak terjawab dari sosok yang di maksud Bibik barusan di layar datar itu. Siapa lagi kalau bukan Ziel. Entah apa yang sedang dia pikirkan hingga menghubunginya hingga puluhan kali.
Baru juga mau menelpon balik, tapi Ziel lebih dulu menghubunginya. Menggeser tombol bergambar gagang telepon itu.
"Ya, Kak."
"Mau memintaku untuk pulang sekarang dan mengomelimu langsung, ya!"
Karel sedikit menjauhkan posisi ponsel dari indera pendengarnya saat omelan itu langsung menyerang.
"Apa sih, Kak?"
"Kenapa nggak sekolah? Kenapa nggak menjawab teleponku?"
Merebahkan badannya di kasur. "Aku malas sekolah. Tadi aku lagi tidur, ponsel ku silent."
"Malas?"
"Aku lagi kesal. Tidak, lebih tepatnya aku lagi sedih, aku mau nangis. Nangis, hingga bisa melupakan kekesalanku. Biasanya berhasil. Udah, itu saja yang mau ku lakukan."
"Om Leo marah?" pertanyaan Ziel sedikit lembut.
Karel menggeleng sambil terisak. Mencoba agar isakan tangisnya tak terdengar oleh Ziel. "Enggak, Kak. Papa nggak marah, malah aku belum ketemu sama Papa. Gimana aku mau kena marah." Terkekeh dibalik isakan tangisnya.
"Rel ..."
"Udah, Kak. Aku nggak kenapa kenapa. Sekarang aku mau mandi. Sampai ketemu nanti. Bye!"
Langsung menutup percakapan dengan Ziel begitu saja tanpa menunggu balasan dari cowok itu. Kemudian sesuai dengan perkataannya tadi, ia langsung menangis sejadi jadinya. Mengeluarkan semua perasaan yang seakan sedang menyerang hatinya.
Seharian hanya menangis sepuasnya. Kebiasaannya memang begini bahkan dari saat ia tahu rasanya sedih. Setidaknya saat semua tangis ia keluarkan, setelah itu hatinya lumayan akan jauh lebih baik. Turun ke lantai bawah setelah mandi dan berbenah diri. Duduk di sofa sambil menonton televisi. Tak lama terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarangan rumah. Yap, papanya pulang. Terdengar derap langkah memasuki rumah dan berjalan mengarah padanya yang masih duduk. Pandangannya beralih pada sosok yang memberikan tatapan dingin padanya. Karel beranjak dari posisi duduknya. Menyambar kemudian mencium punggung tangan laki laki paruh baya itu. "Papa ..." "Ini yang kamu mau?!" "Aku ..." "Sekarang kamu yang harus mendengarkan papa, Karel!" Bentakan papanya membuat Karel seketika terdiam. Bahkan matanya sampai terpejam saat suara bass itu tertuju padanya. "Sudah berapa kali Papa bilang untuk bersikap layaknya an
Selesai berdebat bahkan sebuah tamparan ia terima dari papanya. Jangan berpikir jika sikap itu bisa ia lupakan begitu saja. Bahkan ia tak berniat melupakan itu semua, karena yang melakukan adalah papanya sendiri.Kurang apa ia selama ini sebagai seorang anak? Pintar, penurut, berprestasi, yang kemana mana harus dapat ijin ... semua sudah dilakukannya demi mewujudkan keinginan papanya. Hanya demi mendapatkan perhatian dari laki laki paruh baya itu. Tapi semua percuma.Masih menangis, meskipun ia tak ingin menangis. Toh, menangis sejadi jadinya pun tak akan mengubah hati papanya. Tetap ia yang salah dan jadi anak yang tak diinginkan.Mengambil sebuah bingkai foto yang ada di nakas. Mengusap lembut gambaran seorang wanita yang sedang tersenyum."Apa aku memang tak diinginkan untuk lahir ke dunia ini? Aku bingung dengan sikap Papa. Setidaknya jika ada sebuah penjelasan, mungkin aku bisa berbenah diri demi mewujudkan apa yang Papa mau. Tapi alasan itu tak ku d
Keduanya masuk ke dalam mobil dan berlalu dari sana. Diam, hanya itulah yang terjadi sepanjang perjalanan hingga sampai di rumah.Baru sampai di pintu masuk, di sana sudah ada Arland dan Kiran yang ternyata sudah menunggu."Karel, kamu kenapa, Sayang?" tanya Kiran melihat wajah sembab Karel yang tentu saja ia paham kalau dia habis menangis.Karel langsung saja memeluk Kiran. Tak memiliki seorang Mama, setidaknya ada sosok Kiran yang selalu membuatnya merasa nyaman dan bisa melepaskan rasa keinginannya akan pelukan seorang Mama."Ada apa?" Giliran Arland yang bertanya pada putranya.Bukan apa-apa, hanya saja keduanya merasa kepikiran sedari tadi. Karena saat sampai di rumah, setelah mendapatkan telepon, Ziel langsung bergegas pergi dengan raut khawatir."Om Leo benar benar membuatku emosi. Karel ku bawa ke sini," ungkapnya singkat."Apa yang dia lakukan?" tanya Arland."Aku istirahat sebenta
"Antusias banget mau tahu alasanku begitu baik padamu." Ziel tersenyum melihat reaksi Karel yang menurutnya tak biasa."Jadi?""Tentu saja karena ..." Ziel menghentikan kata katanya. Kemudian melirik jam di nakas. "Ini sudah larut malam, Rel. Sebaiknya kamu tidur sekarang, ya."Berasa dipermainkan oleh makhluk yang ada dihadapannya ini. Padahal kan ia penasaran. Jangan jangan Ziel baik padanya karena ada maunya. Misalnya, mau mengambil ginjalnya untuk dijual atau mau mengambil bola matanya."Kenapa wajahmu begitu?" tanya Ziel heran melihat wajah cemberut Karel."Kakak masih bertanya kenapa wajahku begini? Harusnya kamu paham situasi dan kondisi. Ish ... kamu nggak peka sekali jadi cowok," ocehnya memberengut kesal akan sikap Ziel.Ziel menyambar tangan Karel yang hendak memukul dadanya, kemudian menahan agar tak bisa bergerak. Tak sampai di situ, ia
"Kalian berdua masih mau lanjut?" tanya Arland membubarkan adegan aneh dua sejoli itu."Aku siap siap dulu," ujar Karel langsung berlalu dari hadapan Ziel dengan langkah cepat. Takut pada Ziel dan takut telat juga untuk berangkat sekolah.Sementara Ziel, melihat reaksi Karel malah membuatnya tersenyum di sudut bibrinya. Kenapa dia jadi secanggung itu? Apa karena memikirkan perkataan dan sikapnya semalam? Begitu besarkah pengaruh kejadian semalam pada dia?"Papa nggak ke rumah sakit?" tanya Ziel mendapati papanya masih dengan pakaian rumahan."Hari ini Papa sama Mama mau ke rumah Kakek nenek kamu," jawab Arland.Dahi Kiran berkerut pertanda bingung dengan alasan yang dikatakan suaminya. "Kok nemuin Mama sama Papa, sih. Kita, kan mau ke ..." Seketika Kiran menyadari sesuatu saat mendapatkan tatapan menohok dari suaminya. Kemudian sedikit tertawa. "Hmm ... oiya. Mama s
“Ternyata manis juga, ya,” ujar Ziel tersenyum, sesaat setelah Karel memaksa ciuman itu terlepas.“Kamu jahat, Kak,” berengut Karel dengan wajah kesal langsung bangkit dari posisinya yang masih berada di atas badan Ziel. Dengan cepat langsung menyambar tas sekolahnya dan berlalu pergi begitu saja.Ziel malah tersenyum puas saat melihat aksi cemberut Karel atas sikapnya.“Dia ngambek,” ujarnya bangun.Menyambar kunci mobil dan ponselnya di meja. Kemudian segera berlalu menyusul Karel yang sudah lebih dulu menuju mobil.Waktunya sudah mepet, jika menunggu taksi, bisa bisa ia beneran telat nyampe sekolah. Alhasil, rasa kesalnya pada Ziel akan ia tahan untuk beberapa menit perjalanan.“Kamu kenapa, sih?” tanya Ziel tak langsung melajukan mobilnya.“Jangan banyak nanya. Buruan jalan ... nanti aku telat,” responnya masih dengan nada kesal.Dia pikir sikapnya tadi bisa dilupa
“Dia masih di rumah,” ujar Arland saat turun dari mobil bersama Kiran.“iya,” sahut Kiran membenarkan perkataan suaminya, karena mendapati kendaraan milik Leo masih ada di halaman.Keduanya mengetuk pintu utama, hingga seseorang terdengar dengan langkah cepat mengarah ke pintu ... hingga akses masuk itu terbuka lebar.“Tuan, Nyonya,” ujar Bibik yang menyambut keduanya.“Leo mana, Bik?”“Ada di dalam, Tuan,” jawab wanita paruh baya itu mengarahkan.Arland dan Kiran langsung saja masuk, berjalan menemui Leo yang mereka dapati sedang duduk di ruang keluarga. Yang membuat keduanya kesal adalah ... putrinya kabur dari rumah, sedangkan dia masih sibuk mengurus pekerjaan.Memang benar tebakan Ziel, jika orang tuanya sedang berbohong perihal tujuan keduanya. Buktinya, saat ini ... sebelum menuju ke kantor, ia mampir di kediaman Leo karena curiga.Memarkirkan kendaraannya di lu
Ziel segera berlalu dari kediaman Leo dengan langkah cepat. Rasanya begitu panas terus berada dihadapan laki laki yang bahkan tak memiliki perasaan sama sekali.Setengah perjalanan, rasa hatinya masih saja tak tenang ... hingga akhirnya menghentikan laju kendaraannya. Mengambil sebuah botol kaca berukuran kecil di samping kursi dan mengeluarkan beberapa butir pil di dalamnya. Setidaknya ia merasa sedikit tenang dengan benda benda ini.Ponselnya berdering, saat ia lihat ternyata mamanya lah yang menelepon. Apalagi kalau bukan mempertanyakan tentang sikapnya tadi.“Ya, ma?”“Ziel, kamu di mana? Kita perlu bicara.”“Aku mau ke kantor. Nanti saja bicaranya di rumah, Ma.”“Tapi ini ...”“Daah, Ma.”Langsung saja menutup percakapan di ponsel, kemu