"YAKIN enggak mau ganti baju dulu?" tanya Raffa sewaktu Riri masuk ke mobilnya.
"Ngapain?"
Raffa mendesah kasar, entah hanya perasaannya saja atau memang Riri sedang berusaha mengabaikannya. "Baju lo tipis, Ri, celananya juga pendek."
"Namanya juga baju tidur, ya, gini."
"Baju tidur juga ada yang panjang, kan?"
Riri mendelik. "Gue lebih suka yang kayak gini." Padahal dalam hati, dia tidak bisa membeli pakaian yang lebih bagus daripada pakaian yang sedang ia pakai sekarang.
Dia bisa saja meminta uang pada kedua orang tuanya, tapi sekali lagi, dia merasa gengsi bukan main. Riri anak yang mandiri sejak ia kuliah, semua uang yang ia pakai, dia dapat dari hasil kerja kerasnya menulis. Walau tidak banyak, tapi semuanya sudah cukup untuknya.
Raffa mendesah kasar, dia mulai menjalankan mobilnya menuju bandara sesuai yang dikatakan Riri sebelumnya. Mereka ha
SETELAH Verga turun, entah kenapa Riri bisa menghela napas lega. Jantungnya terasa tidak keruan setiap kali berada di sekitar pria itu. Verga juga tidak banyak berubah, kecuali fisiknya yang semakin ... hot.Pipi perempuan itu memerah, membayangkan tubuh atletis Verga yang sering dilihatnya dulu, kini menjadi semakin indah. Dia jadi tidak sabar, ingin melihat Verga berenang seperti dulu.Raffa yang melirik perempuan itu dari samping dibuat penasaran bukan main. Pipinya yang memerah jelas-jelas menandakan kebalikan dari sifatnya pada Verga sebelum ini.Tunggu dulu, sepertinya Raffa telah melupakan sesuatu ...."Gila, gue penasaran, lo ngerayu dia pakai cara apa sampai dia bilang kalau udah punya calon suami?" Nayla berkata, lalu kembali terbahak-bahak. "Padahal, selama ini gebetannya aja dikacangi, tapi berani bilang sama playboy kayak lo aja kalau udah punya calon suami." Nayla tertawa lagi. "Gue penas
RIRI baru ingat, kalau semalam ia memakai jaket Raffa dan lupa mengembalikannya. Dia terlalu senang mendapat pinjaman jaket malam itu, karena, untuk pertama kalinya ada seorang laki-laki yang bersikap manis padanya.Pipinya sontak bersemu. Mengingat kejadian semalam sungguh membuatnya senang, tapi sayangnya, mengapa harus Raffa yang melakukannya? Kenapa harus pria itu? Kenapa bukan lelaki lain, misal Verga, mungkin?Riri menghela napas kasar, dia baru saja mandi dan mengenakan pakaian rumahnya yang kurang bahan. Kaus kekecilan dan celana pendek memperlihatkan paha. Tolong maklum, karena Riri memang missqueen.Dia sudah bersiap membuka laptop dan mulai menghibur diri sambil bekerja, saat pintu kamarnya terbuka begitu saja."Ri, gambar di pintu lo ini nggak bisa diganti sama gambar gue aja gitu?"Riri menoleh cepat, kepala dan wajah Raffa di hadapannya sukses membuat ide yang
JUJUR saja, Raffa sudah terbiasa memasuki mal bersama kekasihnya atau perempuan yang sedang ia kencani. Dia tidak akan kaget begitu mereka mengambil tas, baju, sepatu branded yang bisa menguras isi kantongnya.Raffa tidak pernah keberatan akan hal itu, karena akhir dari ceritanya pasti berada di atas ranjang. Uang-uang yang ia keluarkan pun hanya beberapa persen dari tabungannya sendiri untuk masa depan.Raffa bukan pria boros, juga bukan tipe pria yang suka mencari pelacur setiap malam. Dia hanya pria biasa yang suka berfoya-foya dengan sedikit hartanya, tak lupa membawa serta perempuan-perempuannya dan meniduri mereka like a bastard. Namun, Riri sedikit berbeda ... benar-benar berbeda."Ri, keranjangnya udah hampir penuh ini, bisa berhenti, nggak?"Riri berhenti, dia mendelik ke arah Raffa yang kini tampak lelah mengikutinya belanja. "Nggak boleh beli banyak-banyak emangnya?"
"HABIS ini, kita mau ke mana, Raffa?" Riri menoleh, matanya yang berbinar-binar membuat Raffa ingin menciumnya, terlebih bibirnya benar-benar terlihat menggoda baginya."Lo pengin ke mana?" tanya Raffa balik."Hm, ke mana, ya?" Perempuan itu tampak berpikir sejenak. "Kalau nonton gimana?""Mau nonton film apa?"Raffa mendesah kasar. Satu-satunya hiburan yang tidak bisa ia nikmati adalah menonton film. Dia sendiri tidak tahu alasannya, tapi setiap kali menonton film, Raffa pasti tertidur, jika dia menonton dengan cewek-ceweknya, pria itu akan berusaha menahan kantuk dan menanggapi semuanya dengan balasan singkat.Kalau perempuannya bertanya kenapa atau marah padanya, Raffa hanya tinggal membungkam bibirnya dengan ciuman.
ANGIN berembus kencang menebarkan udara panas dari mentari yang bersinar terik di atas sana. Riri melangkah keluar, sedang Raffa mengikuti di belakang. Di sana tidak ada apa pun, hanya ada atap biasa tanpa sedikit pun kejutan yang mengikutinya.Riri menoleh ke belakang. "Apa maksudnya?"Raffa berdiri di hadapannya. Riri mendongak, senyum di bibir pria itu membuat Riri menatapnya tak mengerti. Apa yang Raffa rencanakan? Bukannya sebelum ini dia menghubungi seseorang untuk memberinya kejutan, lalu mana? Di mana semua kejutannya."Gue bukan cowok yang romantis, walaupun gue playboy, bukan berarti gue sering nembak cewek dengan kata-kata manis."Riri tersedak ludahnya sendiri."Hubungan kita pasti akan sampai akhir, tapi sebelum semua itu terjadi ...," Raffa tiba-tiba berlutut, tangannya meraih tangan Riri dan menggenggamnya erat, "lo mau nggak jadi pacar gue?"Riri
"GIMANA hubungan kamu sama Riri?"Raffa tersedak sarapannya, kepalanya menoleh ke arah Rosa yang sedang menunggu jawaban dengan kedua tangan menopang dagu."Gimana, maksudnya gimana, Ma?""Iya, gimana perkembangannya? Mama tahu, kamu sering banget ngapelin Riri ke rumahnya, enggak malam, enggak pagi, enggak siang, sering banget kamu main ke sana, bahkan lebih sering daripada kamu main ke sini."Raffa menatap August yang juga tengah memandanginya. Apa mereka benar-benar sedang penasaran saja atau ...."Kalian nggak ada masalah, kan?" tanya August kemudian.Raffa menggeleng. "Enggak, Pa, minggu lalu kami bahkan jadian.""Jadian? Kamu nembak dia? Sekarang kalian pacaran gitu?" tanya Rosa beruntun.Raffa mengangguk. "Kenapa, Ma?""Astaga! Kalian masih pacaran saja, harusnya kamu udah lamar dia! Minggu depan kalian tu
SEJAK mengenal Verga beberapa tahun lalu, Riri memang paling suka melihatnya berenang. Entah mengapa, gerakannya di dalam air begitu lembut dan terasa menghanyutkan. Namun, ada satu hal lain yang membuat Riri betah, yaitu bentuk tubuh bagian atas Verga yang terlihat jelas. Lengannya yang kekar, dadanya yang membidang sempurna, perutnya yang sukses membuat kaum perempuan mana pun dibuat meleleh dengan roti sobeknya.Elo emang makhluk Tuhan yang paling seksi, Kak! Tepukan di bahu membuat Riri menoleh. Seorang pria paruh baya tersenyum padanya. "Suka berenang juga?"Riri terkekeh canggung. "Enggak, Pak.""Lho, kirain."Riri terkekeh lagi. "Dulu pernah latihan beberapa kali sama Kak Verga, tapi abis itu nggak pernah lagi. Pas mau renang sendiri, saya tenggelam dan nyaris mati.""Ada yang nolongin, kan?"Riri mengangguk. "Tapi udah kapok."
"KAKAK kok nggak pernah cerita kalau udah punya pacar?" tanya Riri saat keduanya sudah berada di mobil Verga yang sampai beberapa hari lalu, mobil itu juga yang digunakan Verga sebagai alat transportasi menjemput Riri tadi pagi. "Nggak pernah ngenalin juga."Verga tersenyum masam. "Kalaupun gue cerita, emangnya lo mau denger cerita gue, Ri?""Bukannya gue pendengar yang baik, ya, selama ini?"Verga menghela napas kasar. "Gue mau cerita, tapi gue bingung mau mulai dari mana.""Ya udahlah, nggak apa-apa, penting sekarang gue udah tahu, kan? Terus, nggak ada rencana buat ngenalin dia ke gue gitu, Kak?"Verga tersenyum tipis. "Ada rencana, tapi sampai sekarang aja gue nggak bisa ngehubungi dia.""Lho, kok bisa?" Riri terkejut, matanya melebar menatap Verga yang sibuk dengan jalan raya."Sebenernya, gue kayak loss contact sama dia sebulan yang lalu. Gue pulang