"Apa yang kamu lakukan di sini?!" Arga menajamkan kedua matanya dan mengepalkan kedua tanganya erat setelah melihat sosok Teresia memasuki ruangan kerja Ayahnya.
"Eh penguntit! Harusnya lo yang ngapain di sini?!"
Ayah Romi terbatuk pelan ketika mendengar panggilan yang Teresia gunakan untuk Arga.
Membuat kedua pasang mata menatapnya bingung.
Entah apa yang terjadi pada putranya dan wanita tersebut sehingga Teresia bisa memanggil putranya dengan panggilan penguntit.
Karena bagaimanapun, Arga tidak mungkin menguntit seorang wanita jika pria itu selalu takut dan tak nyaman di dekat wanita.
Wajah Arga memerah penuh kekesalan, dan belum pria itu membuka suara untuk membalas ucapan tak sopan Teresia, Ayah Romi rupanya menengahi dan menyudahi pertikaian di antara keduanya.
"Arga cukup! Teresia kemarilah" panggil Ayah Romi pada Teresia agar mendekat.
Teresia mendengus menatap Arga dan melangkahkan kakinya mendekat pada sofa tempat Ayah Romi duduk.
Ia melintasi sosok Arga yang hanya Teresia lewati saja hawa dinginnya terasa menembus kulit telanjangnya. Tatapan kedua mata Arga yang menatap padanya membuat Teresia berdebar.
"Duduklah di sini, dan Arga kamu juga duduk" perintah Ayah Romi yang dituruti keduanya.
Teresia menjaga jarak dari sosok Arga yang mengambil duduk di sebelahnya.
Ayah Romi yang mengamati itu hanya mendesis geli dan menahan bibirnya agar tak membentuk sebuah senyuman.
Melihat reaksi Arga pada Teresia membuat keyakinan di hati Ayah Romi terbukti. Arga tidak mual dan takut di dekat Teresia, namun sebaliknya. Pria itu justru terlihat kesal dan marah.
Hal ini bisa menjadi langkah awal untuk menyembuhkan trauma Arga.
"Karena kalian sudah ada di sini, jadi kita mulai saja pembicaraannya"
Ayah Romi mengamati sejenak wajah kedua manusia di hadapannya yang wajahnya sama-sama tegang dan tidak ada yang mau saling melirik satu sama lain.
"Kalian akan menikah!"
Arga yang paling cepat bereaksi, dengan bangkit dari duduknya dan menatap sang Ayah dengan pandangan tak percayanya.
Sementara Teresia hanya mampu membuka bibirnya kaget karena menyadari bahwa pria yang duduk di sebelahnya inilah yang akan menjadi suaminya.
"Ayah?! Dia?!" Arga menunjuk kepala Teresia dengan tatapan tak percayanya.
"Arga tenanglah, dan duduk. Dengarkan Ayah bicara sampai selesai dulu"
Arga mendengus dan kembali duduk mendengarkan pembicaran Ayahnya yang baginya tak menarik sama sekali.
Sedangkan Teresia setelah keterkejutannya itu, diam-diam melirik wajah Arga dari samping.
Ia harus mengakui bahwa Arga itu terlihat sangat tampan dengan rahang tegas dan kedua alisnya yang tebal serta mata tajamnya. Dan jika di perhatikan lebih jauh lagi bibir Arga yang berwarna pink pucat itu terlihat sangat menggoda.
Namun pandangan mata Teresia yang awalnya terpesona berubah menjadi tatapan sinis dan jijik ketika teringat bahwa pria tampan yang duduk di sebelahnya ini adalah seorang gay.
Merasa di perhatikan, Arga menolehkan tatapannya pada Teresia yang tengah memicingkan kedua mata padanya.
"Kenapa kamu melihatku?!" ujar Arga dengan suara sinisnya.
Bibir Teresia berkedut "gue cuman perhatiin sekilas wajah lo, dan merasa apa yang gue pikirkan itu benar!"
Arga menatap Teresia dengan tatapan tajam seolah kedua matanya bisa mengeluarkan laser dan melubangi kepala Teresia. "Apa yang kamu pikir itu benar?"
"Semua gay itu pasti adalah laki-laki tampan! Gue mengakui kalau lo itu memang tampan, tapi gue tetap aja jijik sama lo" Teresia bersidekap dan menatap merendahkan pada Arga yang wajahnya mulai memerah.
"Sialan-"
"Cukup kalian berdua!" Ayah Romi menginterupsi keduanya.
Arga menarik napas dan menghembuskannya pelan, mengabaikan Teresia yang tersenyum lebar penuh kemenangan. Kali ini Arga mengalah, namun tidak untuk hari-hari selanjutnya. Bibir Arga tertarik membentuk senyum kecil, dia akan membuat hidup Teresia di neraka andai gadis itu benar-benar menyetujui untuk dinikahkan dengannya.
"Kita akan membahas mengenai pernikahan kalian! Ini demi nama baik keluarga Anata dan juga kehidupan Teresia yang sebentar lagi akan berubah" Ayah Romi mengambil satu kertas dari laci meja kerjanya dan menyerahkan benda tersebut di atas meja, tepat di hadapan kedua orang tersebut.
"Ini adalah syarat dariku untuk kalian berdua. Masing-masing dari kalian bisa mencantumkan satu syarat"
Arga serta Teresia sama-sama melirik ke dalam kertas tersebut yang sudah tertulis satu syarat dari Ayah Romi.
1. Arga dan Teresia harus tidur di satu ranjang dan kamar yang sama, dan dalam waktu satu tahun Teresia harus bisa mengandung anak Arga untuk penerus keluarga Anata.
Kedua mata Teresia membulat lebar saat membaca satu syarat dari sang Kakek untuk dirinnya dan cucu pria tersebut.
"Maksud Ayah apa?! Ayah tau jelas aku tidak bisa bersentuhan dengan wanita!" protesnya sudah Arga salurkan, dan Teresia hanya bisa menganggukan kepalanya menyetujui protes Arga.
"Ayah tau itu, tapi Ayah sudah memperhatikan interaksi kalian sejak tadi, sama sekali kamu tidak merasa mual atau takut saat berhadapan dengan Teresia. Dan Ayah juga menginginkan cucu darimu sebelum Ayah mati!" sesungguhnya kertas tersebut tak pernah ingin Ayah Remi keluarkan. Namun melihat reaksi dari keduanya dan bagaimana Arga yang tak menatap Teresia dengan pandangan jijik memberanikan Ayah Romi untuk memberikannya pada Arga dan Teresia.
Wajah Teresia memerah malu, membayangkan ia disentuh oleh seseorang yang memiliki kelainan seks menyimpang.
"Aku tidak mau!"
"Saya juga!"
Ayah Romi mengangguk mengerti "kalian bisa menolaknya, namun untukmu Arga, Ayah tidak akan memberikanmu warisan seperserpun. Kamu harus memulai bisnismu sendiri dari awal dan tanpa bantuan dari Ayahmu, seluruh harta Ayah lebih baik Ayah sumbangkan pada yayasan dan sebagian akan Ayah beri pada Revo untuk mengelolanya! Dan untukmu Teresia, kamu akan kembali hidup susah tanpa pekerjaan dan sulit untuk mencari tempat tinggal!"
Sebuah ancaman yang Ayah Romi yakinkan akan memberatkan kedua anak manusia di hadapannya ini. Terlihat dari bagaimana wajah Arga yang menegang dan tak percaya lalu pada wajah Teresia yang pucat pasi.
"Dan biarkan ggsip buruk tentangmu akan tersebar di seluruh penjuru di dunia ini, apa kamu menginginkan itu Arga?" tambah Ayah Romi yang membuat wajah Arga memerah kesal.
"Hal ini menjadi keputusan kalian, apa kalian mau menyudahinya dan mengakhirinya?"
Teresia dan Arga saling diam dan melirik satu sama lain. Teresia membuang pandangnya dan gadis itu mengangguk pelan.
"Saya setuju harus menikah dengan orang itu" ujarnya tanpa mau memandang wajah Ayah Romi maupun Arga yang kian mendesah pelan.
"Baiklah! Aku menerimanya"
Diam-diam Ayah Romi tertawa dalam hatinya. Keduanya pasti tidak akan sanggup menolak keinginannya.
"Kalau begitu, tulis syarat dari kalian berdua di bawah ini"
Arga mengambil pulpen di dekatnya dan menuliskan syarat nomor dua.
2. Tidak saling mencampuri urusan masing-masing.
Setelah menulisnya, Arga mendorong kertas tersebut pada Teresia. Namun Teresia justru menolaknya dan menyingkirkan kertas tersebut, mengembalikannya pada Ayah Romi.
"Saya tidak perlu menuliskan syarat apapun. Selagi saya mendapat apa yang anda janjikan saya akan menuruti semua syaratnya" Teresia tak peduli mendapat pandangan sinis dari Arga, yang berpikir dia pasti wanita yang haus akan uang.
Teresia mengakui itu, karena keputusannya untuk menikah dengan Arga memang karena ia butuh uang dan juga mewujudkan cita-citanya untuk bisa hidup berfoya-foya dan membeli banyak barang yang dia suka.
"Baiklah, kalau begitu perjanjian ini resmi!"
"Jadi benar-benar karena uang, kamu menerima tawaran Ayah?" sinis Arga bertanya pada Teresia. Arga menghampiri sosok Teresia yang tanpa malu duduk di dapur rumahnya unuk meminta dibuatkan makan pada juru masak rumahnya. "Iya! Tadi gue udah bilang kan?" balas Teresia merasa kehadiran Arga mengganggu mood baiknya yang tidak sabar untuk mencoba masakan enak dari seorang chef profesional yang dipekerjakan di rumah pribadi Ayah Romi."Gue bisa kasih lo uang yang banyak, tapi bilang sama Ayah kalau lo nolak dan menyerah!" Teresia memutar kursinya menghadap pada Arga yang berdiri di sampingnya "dengar! Kita baru aja tanda tangan perjanjian nikah! Dan lo mau gue buat nyerah?! Gak akan! Lagian uang yang lo kasih pasti lebih sedikit dari Ayah lo! Pria tua itu sudah janji mau kasih setengah warisannya ke gue!" bangga Teresia di akhir kalimatnya. Arga menggeram kesal, dan bibirnya berkedut jengkel melihat Teresia justru keasikan bermain dengan kursi putar itu dan menghiraukannya. "Hanya uang
"Hai Chef Radit, lama tidak bertemu! Dimana Chef Artur?"Tak hanya Chef Raditya, Teresia juga ikut menoleh ke asal suara yang memanggil Chef Radit dari arah belakangnya.Pria tinggi yang berpenampilan santai dengan kaos oblong dan celana pendek nya itu berjalan dan duduk di kursi sebelah Teresia dengan kedua pandang yang masih menatap pada Chef Radit."Tuan Revo, lama tidak bertemu! Saat ini Artur sedang berbelanja Tuan"Pria itu yang bernama Revo!Teresia mengamati sosok Revo yang masih berbicara dengan Chef Radit, menduga-duga jika laki-laki di sampingnya juga ikut memiliki kesimpangan yang sama seperti Kakaknya itu.Merasa diperhatikan, Revo melirik ke sampingnya dan kedua matannya membulat sempurna melihat sosok Teresia yang kedapatan tengah menatapnya dengan lekat seolah menilainya."Logayjuga?" tanpa dicegah, pertanyaan itu meluncur mulus dari bibir Teresia untuk Revo yang
Hari yang dinanti Ayah Romi pun tiba.Pernikahan Arga dan Teresia! Di ruang tamu yang disulap menjadi tempat akad, pun sudah berjalan dengan lancar. Ayah Romi begitu bahagia meski sayang wajah Arga serta Teresia yang menikah tidak ada yang menarik bibir membentuk senyuman. Meski Pernikahan ini hanya diadakan secara privat, Ayah Romi tetap memerintahkan orang-orangnya untuk meliput kegiatan ini dan menyebarkannya. Membuktikan pada semua orang bahwa Arga bukan seorang Gay, dan bisa menikahi wanita. Meski nanti akan ada berita terbaru mengenai kedua wajah mempelai yang terkesan datar tak menunjukan ekspresi. Ingatkan Ayah Romi untuk menyuruh Teresia dan Arga tersenyum saat keluar rumah nanti. Teresia menarik tangan Arga untuk menciumnya yang kini sudah secara sah menjadi sang suami. Ia mencoba menarik sudut bibirnya untuk tersenyum ke arah kamera saat benda tersebut terarah padanya yang justru tak menunjukan sebuah senyum manis melainkan senyum konyol. Jangan ditanya bagaimana eksp
Arga menutup laptopnya dan meletakan di atas nakas. Ia mengambil sebuah dasi dari dalam laci dan mendekati Teresia yang mendadak gugup dengan apa yang ingin Arga lakukan padanya. "Akan aku buktikan bahwa ancaman yang aku beri padamu itu benar-benar nyata! Akan aku buat kamu menurut dan tidak lagi menantangku!" Arga menangkap kedua tangan Teresia dan mengikatnya menjadi satu di belakang tubuh Teresia. Teresia mulai panik dan memberontak untuk bisa lepas dari cekalan kedua tangan Arga. Terlebih lilitan kain di dadanya mulai mengendur dan terbuka akibat gerak tubuhnya yang tak beraturan. Arga benar-benar serius dengan ucapannya!"Iya-iya gue- ehh aku salah! Aku minta maaf!!" Teresia menjerit panik saat ia mulai merasakan angin berhembus di kulit dada telanjangnya. Kain kebayanya tepat berada di atas putingnya, dan jika Teresia bergerak sedikit lagi, kain tersebut akan jatuh dan menampilkan dada telanjangnya. Bodohnya dia yang menantang Arga tadi, kini dirinya sendiri dibuat panik set
Teresia sudah selesai membersihkan tubuh, dirinya juga sudah selesai berkemas menggunakan pakaian yang menurutnya paling bagus.Siang ini dia akan pergi berbelanja banyak pakaian baru untuk dibawanya berlibur sore nanti. Teresia akan menemui Ayah Romi dan menuntut haknya untuk menghabiskan uang milik orangtua tersebut.Sentuhan terakhir di wajahnya, Teresia memoles lipstik miliknya membuat bibirnya lebih cerah dan berwarna. Setelah dirasa ia sudah lebih cantik dan siap, barulah Teresia berjalan menuju pintu kamar"Astaga hari yang gue pikir gak akan pernah datang sekarang bisa jadi kenyataan!" pekiknya menahan kesenangan.Namun ketika tangannya memegang kenop pintu dan mencoba menariknya, senyum perlahan luntur dari wajahnya.Pintu tersebut tidak bisa terbuka!Teresia kembali menarik dan mendorong pintu tersebut lebih kuat, namun hasilnya tetap sama. Pintu tersebut memang terkunci dari luar."Arga b
Setelah mendapat pelepasannya yang tak meninggalkan perasaan puas di rumah Sony, justru yang Arga rasakan hanya perasaan hampa dan sebuah perasaan salah. Dia lansung bergegas pergi tanpa menghiraukan panggilan Sony yang memintanya tinggal dan tetap bersamanya. Arga pergi ke club favoritnya untuk memesan minum. Ia sedang kalut dengan pikirannya sendiri mengenai seseorang wanita asing yang sangat aneh dan masuk ke dalam hidupnya. Wanita itu Teresia, tidak membuatnya takut, tidak membuatnya mual dan tidak mengingatnya tentang trauma masalalunya jika ia melihat gadis itu. Apakah Teresia adalah wanita pilihan Tuhan yang diberikan untuknya? Arga masih mencoba mendalaminya dan perlahan-lahan akan menerima Teresia. Hanya saja ia sedikit kesal pada gadis itu yang bersikap tidak seperti wanita pendiam melainkan sangat berisik dan menyebalkan. Merasa sudah cukup untuk minum, karena Arga tidak ingin mabuk berat di siang hari. Arga berpikir untuk
"Arga temui Ayah di ruang kerja Ayah sekarang!" Arga baru saja masuk ke dalam rumahnya ketika ia selesai membakar habis seluruh baju Teresia, tak ada perasaan bersalah sama sekali di dalam benaknya setelah melakukan hal tersebut. Kejam? Ya, kini Arga sedang melakukan peran sebagai ibu tiri. Entah kenapa Arga ingin sekali melihat gadis itu marah dengannya dan Arga melakukan hal kekanakan tersebut, namun bukannya marah Teresia justru menangis.Tapi tak berlansung lama karena gadis itu kehilangan kesedihannya dan lansung pergi meninggalkannya. Menyingkirkan sejenak tentang Teresia, Arga kini lebih mempertanyakan tentang apa yang ingin Ayahnya bicarakan dengannya, sampai harus memanggilnya ke ruangan kerjanya. "Kak" Arga menghentikan sejenak langkahnya mendengar suara Revo yang memanggilnya dan menahan ia untuk berjalan. "Ada apa?" "Kamu tidak menemani istrimu?" Arga berdecak pelan mendengar Revo yang terus saja membahas Teresia dengannya. "Aku tidak mau menganggapnya sebagai is
Dua hari setelahnya, Teresia sudah siap dengan koper besarnya berisikan banyak baju yang baru ia beli untuk ia bawa ke Bali, tentunya juga berbagai macam bikini yang baru dibelinya untuk ia coba pakai di pantai nanti.Teresia ingin menggoda bule-bule di Bali, mungkin jika ada dari mereka yang tertarik padanya Teresia bisa meninggalkan Arga dan memilih bersama para bule tersebut. Memikirkan itu membuatnya terkikik geli sendiri hingga Arga yang diam-diam meliriknya berkerut dahi. Tak hanya dengan sikapnya yang aneh, Arga melirik Teresia dengan koper besarnya seolah Teresia ingin pulang kampung dengan waktu yang lama.Padahal ia dan Teresia hanya akan pergi berlibur selama lima hari, meski Ayahnya meminta Arga memperpanjang liburannya, namun Arga tak menginginkan itu."Nikmati liburan kalian ya!" Ayah Romi mengusap kepala Teresia dengan lembut yang diangguki gadis itu dengan senyum cerah di bibirnya."Aku akan membeli banyak oleh-oleh untuk orang rumah"Ayah Romi terkekeh pelan mendenga