Mas Hada membuatku mati kutu semalam. Sampai pagi, aku tidur dengan menutupi seluruh tubuh karena malu. Dia bilang pengin nyium, pas aku memejamkan mata bilang enggak jadi. Kan malunya sampai ubun-ubun. Jadi, kesannya kok aku kayak keganjenan, sih! Kalau bisa, rasanya semalem aku ingin menghilang dari hadapannya.Hari ini jam pagi kosong, dua dosen enggak masuk. Menurut informasi yang dikirimkan melalui WA group, cuma isi absen saja. Aku memutuskan untuk menitip absen sama Kiki, itung-itung ngirit ongkos kalau mau bolak-balik ke kampus . Ini pertama kalinya aku diam di rumah, karena biasanya kuliah dari pagi hingga sore. Aku keluar kamar, lalu menuju ke belakang, terlihat ada Bik Romlah yang sedang memasak di dapur.“Masak apa, Bik?” tanyaku mendekat ke arahnya.“Ini, Nak. Si Hada minta masakin tumis daun pepaya sama bunga-bunganya. Kalau kami ngomongnya kembang kates. Kalau kalian apa ngomongnya?”“Kembang kates juga, sih, Bik. Soalnya Ibu orang Jawa. Cuma, katanya rasa daun dan kemb
Aku memberi jarak, setelah cukup lama. Mas Suhada tersenyum sembari mengelus lembut pipiku yang merona. Modal nekat maju duluan, daripada seperti semalam, kan malu enggak ketulungan.“Mas berasa mimpi, kamu melakukan semua ini. Makasih, ya,” katanya menarik kepalaku, dan menyembunyikannya dalam dada.Aku melingkarkan tangan ke pinggangnya seraya memejamkan mata. Sepertinya, aku memang sudah memiliki rasa.“Eh, lihat Mas bawa apa?” katanya sambil menuntunku duduk di kursi kayu. Segera dia membuka isinya, ternyata bebek goreng plus sambal.“Ada yang kasih tip, saat Mas bikinin kopi. Jadi Mas beliin ini buat kamu. Di warung itu, terkenal dengan bebek gorengnya yang super lezat. Kamu harus coba.”Dia ke belakang dan kembali ke depan sudah membawa piring dan sendok. Diletakkannya bebek goreng dalam piring, mencuilnya sedikit dan dicolek ke sambal, setelahnya memintaku membuka mulut.“Coba, Han. Pasti enak. Yuk, aaa!” ucapnya memintaku membuka mulut.Aku tersenyum samar, lalu membuka mulut.
POV : Suhada ***“Saat aku pulang, kau bisa meninggalkan Hana. Aku akan mengurusnya,” kata Prio melalui sambungan telepon.“Bagaimana kalau aku nggak mau?”“Kau bercanda? Hana itu milikku, aku yang memintamu menikahinya! Kalau bukan karena aku, kau tidak akan mengenalnya, Hada! Sudahlah, setelah aku pulang, kembalikan dia padaku. Akan kupastikan, Ibu bisa melihat indahnya dunia setelah ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, Hana itu milikku, dan sudah sepatutnya kembali padaku."Sambungan telepon langsung dimatikan ssetelah pria sialan itu mengatakan hal yang sangat mengganggu pikiran. Aku memasukkan kembali gawai ke saku celana, dan mencoba kembali fokus bekerja. Meskipun aku berusaha bersikap baik-baik saja, nyatanya hati ini menolak keras permintaan Prio barusan. Kepingan hatiku seolah retak mendengar permintaan tersebut.“Meja delapan,” kata salah seorang teman sembari memberikan sebuah nampan berisi beberapa gelas kopi untuk kuantarkan.Aku mengangguk dan menerimanya, lalu berjala
Sampai di rumah, Bik Romlah heran dengan kedatanganku, juga Ibu. Aku mengatakan alasan yang sama dengan apa yang kukatakan pada Hana semalam. Saat Bik Romlah menanyakan sepeda motor, kukatakan kalau sepeda motor kutitip di rumah teman. Beruntung baik Ibu maupun Bik Romlah tidak bertanya lebih jauh, sehingga aku langsung membersihkan diri dan berangkat ke kampus.Sampai di kampus, aku segera menuju ke gedung ekonomi. Ke kelas Hana. Mengendap-endap, aku mengintip dari ujung jendela berkaca bening. Terlihat dari sini Hana duduk di bagian tengah. Wajahnya tampak muram, dan tangan wanita itu berpangku dagu. Aku merogoh saku celana dan memutuskan mengirim pesan, supaya dia tak mengkhawatirkan keadaanku.[Assalamu’alaikum, Han. Maaf, Mas telat datang ke kampus, soalnya nganter teman ke berobat dulu.]Terlihat dia memeriksa tas, lalu seperti mengetik balasan. Tidak berapa lama,gawai dalam genggaman kembali bergetar, segera aku memeriksanya.[Wa’alaikumsalam. Iya, Mas enggak apa-apa.][Jangan
POV : Hana **Aku memegang uang tiga juta. Hari ini, Mas Hada mengatakan akan mengajakku ke sebuah pasar tradisional untuk belanja mingguan. Kebetulan aku kuliah dari hari Senin sampai Kamis. Sedangkan Mas Hada tidak terlalu aktif, karena dia sudah menyusun skripsi. Malam dia akan ke kampus untuk membersihkan kelas, setelahnya kerja di sebuah kafe.“Mas, hari ini bawa uang berapa belanja ke pasar?”“Kita beli kebutuhan selama seminggu saja, Han. Bawa 300 ribu saja. Insyaallah cukup.”“Tiga ratus ribu, Mas? Dapat apa?”“Bawa saja, nanti Mas ajarin belanjanya.”Aku menurut, mengambil tiga lembar uang berwarna merah dan memasukkannya dalam tas. Setelah itu berganti pakaian, dan tidak lupa memakai masker penutup mulut. Tujuan pakai masker sebenarnya biar wajahku tidak dikenali orang-orang yang mungkin saja akan berpapasan di pasar.“Sudah?” tanyanya sambil menyisir rambut di depan cermin, memperhatikanku dari kaca.“Sudah, Mas. Yuk!” ajakku sambil keluar kamar.Kami pamit pada Ibu dan Bi
Mas Hada memandang lama, lalu bertanya,“Yakin?”“I-iya.”Dia tersenyum, lalu mendekat, kemudian mengucap bismillah sebelum merenggut nyawa si ikan. Mas Hada mengambil pisau dan talenan, dia mengajariku cara membersihkan ikan. Setelah ikan bersih,dia bertanya padaku mau dimasak apa. Aku bingung menjawabnya, jadi aku tanya balik.“Kalau Mas penginnya ikan nila ini diapain?”“Kalau kita panggang saja bagaimana?”“Oke. Bumbunya apa saja?” tanyaku, bersiap menyiapkan bumbu. Melihat itu,dia kembali tertawa. Sementara aku memasang wajah datar.“Bawang merah, bawang putih, ketumbar, jahe, kunyit, garam, sedikit penyedap jamur, terus ditumbuk halus.”Aku menyiapkan semua, kemudian dahi Mas Hada mengernyit melihat semua bumbu yang sudah aku siapkan. “Kenapa, Mas?”“Ini apa namanya?” Dia menunjuk salah satu bumbu.“Jahe, kan?”Tawa pria itu langsung tersembur.“Kenapa?” tanyaku bingung dengan bibir mengerucut.“Ini namanya kencur, Sayang. Bukan jahe,” katanya sambil mengacak hijabku. Dia menjela
“Aku pulang malam loh.”“Biarin.”Tiba-tiba, gawai Mas Hada berdering. Dia segera mengangkatnya. Ternyata itu dari salah satu dosen yang masih lembur di bawah.“Kamu tunggu di sini bentar, ya! Ibu Arin minta belikan makanan. Mas ambil uangnya dulu.”“Oke,” sahutku singkat.Sementara Mas Hada turun, aku lupa kalau kami belum menjalankan salat Isya. Akan kuajak dia salat Isya dulu, sebelum pergi dari kampus ini untuk membeli makanan. Aku duduk di salah satu tangga, menunggu kedatangan suamiku. Tiba-tiba ingat, dulu ditangga ini Mas Prio pernah membawa rangkaian bunga untukku, sekaligus melamar. Rumah kami memang berseberangan, tapi kami tidak terlalu dekat. Bertemu hanya pagi saat aku akan pergi ke kampus, dan saat itu dia akan berangkat ke kantor. Pernah suatu ketika, saat dia menawarkan mengantar sekolah, dan aku menyanggupinya.Saat itu kami sudah bertunangan. Saat sampai di depan kampus, mobilnya berhenti. Aku yang akan keluar ditarik lagi sampai tubuhku terjatuh tepat di hadapannya
Dia mengembuskan napas berat, lalu menghapus sisa air mata yang masih berjejak di bawah mataku. “Ya sudah, jangan nangis lagi. Mas enggak tenang kerjanya, kalau wajah kamu cemberut terus kayak begini.”Aku mengangguk, dan memaksa sedikit tersenyum.Mas Hada beranjak. Sebelum pergi, dia mengusap pucuk kepalaku sesaat. Kemudian meninggalkanku untuk kembali bekerja. Di sini, aku duduk diam, memperhatikannya. Sesekali dia menoleh ke arahku hanya untuk melempar senyum, kemudian kembali sibuk melayani para pengunjung bersama pelayan lain.Pria itu, andai aku tahu dari dulu kalau ada pria selembut dia, mungkin aku tidak akan begitu peduli dengan materi dan tampang semata. Bahkan, wanita seperti Maria rela melakukan hal seperti itu hanya untuk menarik perhatian Mas Hada. Kini aku sadar, kalau materi itu tidak bisa membeli sebuah kebahagiaan dan kenyamanan. Karena kini meskipun kami hidup sederhana dengan segala keterbatasan, rasa bahagia dan nyaman itu lebih terasa. Itu semua karena kami hidu