Pov Bima**"Masuk, Nak." Kujejalkan kaki memasuki rumah besar dan luas tapi bercorak kuno itu. Cat dindingnya yang berwarna putih sudah banyak yang mengelupas butuh dicat kembali. Di ruang tamu rumah itu aku disuguhkan aneka perabotan yang juga termakan usia, hanya tirai jendela dan pintu yang mengikuti model jaman sekarang. "Rumah lama, Nak. Kami membelinya puluhan tahun lalu dari orang lain. Rumah yang banyak kenangan sehingga saya enggan mengganti segala sesuatu yang berkaitan dengan almarhum istri saya," ujar Pak Udi melihatku memandang sekeliling. "Tunggu saya buatkan kopi.""Tak usah, Pak, hanya merepotkan Bapak saja," larangku. Namun, Pak Udi tak menggubris, dengan jalan terpincang-pincang ia memasuki ruang dalam. Tak beberapa lama dia muncul dengan nampan di tangan, buru-buru aku mengambil alih nampan itu sebab ia agak kewalahan. "Dicoba, Nak. Kopi saya terkenal enak ... Kata anak saya," kekeh Pak Udi. Aku menyeruput kopi dari pinggiran gelas. Betul, terasa nikmat dan
Part 10Pov Raline**Pak Lim sedang menatap layar ponselnya ketika aku masuk. Pria bermata sipit itu menyuruh duduk tanpa melepas pandangannya dari layar. Aku jengah dengan kesibukannya dan mengabaikanku yang sedari tadi duduk di sini. "Sorry, Lin. Ada hal penting yang ingin dibicarakan Alex." Sudah kuduga ini yang akan disampaikannya sebab aku telah memblokir nomor Alex. Lemah sekali dia melibatkan orang tua dalam masalahnya, dasar anak mami! Makiku dalam hati. "Kalian harus menyelesaikan kesalahan pahaman ini. Kau tahu, Mama Alex sampai tak tidur memikirkan ini.""Apa, Pak Lim? Sampai segitunya?" tanyaku tak percaya. "Iya. Alex telah menceritakan semua pada kami. Nah, itu dia datang." Pak Lim menunjuk ke pintu. Aku mendengar langkah kaki Alex memasuki ruangan ini. Ia duduk di sampingku sama-sama menghadap Pak Lim. "Aku tinggal, silahkan kalian bicara berdua." Pak Lim berdiri lalu berderap ke luar. Hening, hanya detak jarum jam di dinding terdengar sebagai irama kesunyian dia
Part 11**Aku melukis wajah dibalik topi dengan kacamata hitam itu dibenakku. Perlahan ia berjalan ke arahku. "Hallo Raline, apa kabar? Masih berniat menghindariku." Akhirnya aku menyadari siapa yang berdiri di hadapanku sekarang. Kututup pintu mobil yang sempat kubuka tadi. "Kau berhasil menghancurkan karirku, Ngga. Tapi sayang tidak sepenuhnya," ucapku datar. "Ya, paling tidak itu hukuman bagi orang yang suka mempermainkan perasaan orang lain." Rangga mencebik. Aku mendesah, dalam situasi seperti ini tak ada jalan lain selain mengalah. "Baiklah! aku minta maaf, Rangga. Aku ingin berdamai dan tak ingin memperpanjang perdebatan kita.""Apa maksudmu?" Rangga memasang topinya miring seolah mengejekku. "Jauhi aku! Karena aku akan menikah, kalau tidak ... " Aku mengeluarkan ponsel dari balik blazer, menscroll album mencari kartu mati untuk Rangga. Kuperlihatkan sebuah foto yang mampu membuat wajah Rangga pias, ia langsung membuang wajah dari foto itu. Diperbaikinya letak topi dan
**Baru kali ini aku pulang ke Surabaya pakai acara dijemput sebab Ayah bersikeras agar aku bertemu langsung dengan calon suamiku itu. Suasana bandara yang ramai sudah menjadi ciri khas setiap aku pulang sehingga aku tak canggung untuk pulang sendiri. Setelah melewati bagasi mengambil koper, aku melangkah tegap menuju ruang kedatangan. Beberapa orang nampak berdiri di depan pintu membawa tanda untuk dikenali orang yang akan mereka jemput. Aku mencari-cari laki-laki yang menjemputku itu diantara kerumunan orang yang memadati antrian penjemputan. Namun, tak kutemukan orang yang disebut ciri-cirinya oleh Kak Mila. "Tinggi, tegap agak berisi. Memakai kemeja kotak-kotak putih biru dipadu celana jeans hitam.""Kenapa dia tak menelepon saja kalau sudah sampai, Kak?" tanyaku sebelum pesawat landing. "Hapenya ketinggalan di toko, tak mungkin dia balik, nanti malah terlambat menjemputmu."Aku menuju ke sisi kiri antrian kedatangan, menyandarkan tubuh pada tembok agar tak terlihat oleh taxi
**Pov Bima"Pak Udi sakit." Begitu kabar yang kudengar pagi ini dari Maya. Pak Udi memang sudah lama tak datang ke toko, beliau menyerahkan semua wewenang kepadaku sehingga aku terpaksa membatalkan niat mencari kerja lain. Dengan gaji yang lumayan diberikannya pada, aku sudah bisa mengumpulkan uang untuk pernikahan itu. Sebenarnya untuk masalah uang tentu bukan hal yang penting bagiku. Warisan yang ditinggalkan Ayah sudah cukup memenuhi kebutuhanku dan Ibu, tapi setidaknya uang yang kuhasilkan sendiri dari keringatku sendiri. Aku berniat nanti sore menjenguk beliau sekalian menyerahkan neraca akhir bulan. "Mas, aku kok nggak habis pikir kenapa Mas mau menerima perjodohan dengan anaknya Pak Udi?" Nita tiba-tiba bertanya saat sedang bersama-sama menata barang yang baru masuk. "Entah! Sudah jodoh kali, Nita," jawabku sembari menata steling besar tempat berbagai macam cat. "Mas sudah pernah bertemu sebelumnya?" Aku menjeda menyusun rak atas yang ketinggian. "Belum. Hanya sekedar b
**Mala menatap rintik hujan yang kembali turun dengan pandangan kosongnya. Wanita yang kuyakini masih waras itu mendesah beberapa kali. Dengan setia aku menunggu ia bercerita tentang gadis yang sering datang berkunjung ke rumah Pak Udi setiap weekend. "Aku ingin menemuinya, tapi rasa bersalah terlalu besar. Aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan tanpa berani menyapa." Mala mengalihkan pandangannya ke arahku. "Dan anehnya sekarang dia malah menjadi calon istrimu." Mala tertawa sumbang. "Aku akan datang ke pesta pernikahan kalian nanti untuk sekedar minta maaf. Selamat, ya, semoga dengan menikahinya karma buruk tak berlaku padamu... Tak sepertiku yang mengalami hal buruk terus menerus dalam hidupku." Mala mengusap sudut matanya lalu tersenyum lebar kemudian berdiri melangkah tertatih meninggalkanku. "Kuantar kau pulang, Mala," ucapku mensejajari langkahnya. "Pulang kemana?" tanyanya padaku. Aku jadi kebingungan mendapat pertanyaan yang aneh itu. "Ke rumahmu."Mala membuang waj
**Pov RalineAku terbangun di ruangan serba putih, bau obat-obatan menyengat ke indra penciumanku. Kutatap tubuh yang masih mengenakkan kebaya putih lengkap. "Apa yang terjadi denganku," gumamku. "Kamu sudah sadar, Lin?" Aku menoleh ke arah suara di bawah kakiku. Kak Mila duduk bersidekap di sana. "Apa yang terjadi, Kak?" Aku berinsut mencoba duduk walau kepalaku masih pusing. "Kau pingsan, kata Dokter akibat terlalu lelah dan tensimu yang rendah. Apa kau sudah merasa baikan?" Kak Mila berjalan ke sisi kiriku. "Hmm, tak terlalu pusing lagi.""Tunggu aku panggilkan perawat biar kamu diperiksa," ujar Kak Mila memutar tubuhnya. "Kak ... Tunggu! Aku mau bicara sebentar." Kak Mila mengurungkan niatnya lalu menarik sebuah kursi untuk duduk di sampingku. "Kakak tahu Bima itu siapa?"Kak Mila menggeleng. "Dia dan kawan-kawannya yang menjadi penyebab kesengsaraan dalam hidupku," paparku pada Kak Mila. Raut wajahnya berubah menjadi serius, ia semakin mendekatkan kursinya padaku. "Ma
**Pov BimaLelaki itu ada diantara para tamu yang hadir untuk mengucapkan selamat. Ia memakai baju batik coklat dipadu jeans hitam. Rambutnya dikucir ke atas hingga terkesan rapi. Aku masih memandang gerak-geriknya sejak awal masuk. Ia melangkah tegap ke depan menaiki panggung setelah tamu sudah mulai sepi naik ke panggung. "Hallo, Bro. Akhirnya status lo berganti juga, tapi kenapa lo cuma sendiri, mana gadis cupu itu?" tanyanya celingukan. "Aku tak mengundang lo, Bro. Siapa yang menyuruh lo datang?" Bukan tak suka atau membencinya, tapi kelakuannya yang pernah menjebakku itu yang membuatku demikian. Dion, sahabat dekatku sejak esempe hingga kuliah pun kami bareng hanya beda jurusan. "Gue disuruh Hendra. Ia masih belum pulih setelah jatuh dari kamar mandi."Jadi itu rupanya penyebab Hendra masuk rumah sakit lagi. Aku membuang muka ketika Dion mendekat ingin memberi selamat. "Sebaiknya lo pergi, lo bukan tamu undangan di sini," ucapku tanpa memandangnya dan membiarkan tangan Di