Hari-hari yang Ayu jalani terasa sangat berat. Ayu menjalani kehidupannya seperti biasa walaupun bedanya ia sudah bukan lagi menjadi istri dari Anton. Ayu menjalani hari-harinya menjadi seorang ibu yang baik bagi Rey, pun menjadi seorang kakak yang bijaksana bagi Vika.
Ayu selalu tampil sempurna di hadapan orang lain. Padahal kenyataannya, itu hanyalah topeng belaka. Di balik senyum yang selalu Ayu tampilkan, menyimpan duka yang Ayu pendam dalam-dalam. Ayu memaksa dirinya untuk tetap tegar. Ia berusaha untuk tidak marah atau menangis. Ayu menguatkan dirinya ketika ia melihat Anton dan Vika. Ayu berusaha bersikap normal. Awalnya memang sangat sulit bagi Ayu untuk menjalaninya. Namun semua yang Ayu lakukan hanya untuk putranya, Rey. Ayu akan berjuang dan bertahan. Bagi Ayu, Rey tidak boleh kehilangan sosok seorang ayah. Ia harus bisa mendapatkan kasih sayang dari orangtua yang lengkap. Walaupun sebenarnya sudah tidak utuh lagi. Ayu ingin putranya tetap merasa bahwa orangtuanya baik-baik saja. Disisi lain, sebagai kakak, Ayu juga ingin mendampingi Vika dan memberi motivasi untuknya. Kondisi Vika cukup payah untuk kehamilan tri semester pertamanya. Vika cukup lemah, karena jarang mau makan. Vika selalu muntah saat mencium bau makanan. Untung saja, Vika masih mau makan buah-buahan. Selebihnya hanya susu untuk ibu hamil atau bubur. Vika sangat pemilih makanan. Sikapnya juga berubah. Vika menjadi sangat manja. Ayu berusaha memahami hal itu karena mungkin itu adalah bawaan bayi. Anton juga sering kewalahan menghadapi sikap Vika, namun dia enggan meminta tolong kepada Ayu. Ayu memang sering menghindari pembicaraan dengan Anton, walaupun mereka tinggal satu atap. Ayu dan Anton hanya bicaraa saat terdesak, seperti Rey yang menginginkan sesuatu dari ayahnya, dan Ayu akan berkomunikasi secara baik-baik dengan Anton. "Jauhkan makanan itu dariku, Mas! Aku pengen muntah, aku nggak tahan sama baunya." Rengek Vika yang sempat Ayu dengar. Ayu juga mendengar Anton yang terus menerus membujuk Vika untuk makan, namun itu tidak berhasil. Hingga akhirnya Anton menyerah. Anton memilih pergi ke dapur dan menyimpan kembali makanan yang ia bawa untuk Vika. Disitu, Ayu dan Anton bertemu. Saat itu Ayu sedang membuat telur ceplok untuk Rey. "Ayu.." panggil Anton lirih. Namun Ayu tidak menyahut. Ayu berpura-pura tidak mendengar dan terus melanjutkan aktifitasnya. "Ayu, kamu lagi masak apa?" Tanya Anton lagi. Kali ini Anton lebih mendekat kepada Ayu. Sontak saja Ayu merasa tidak nyaman dan tidak bisa mengabaikan Anton. Ayu terpaksa menoleh ke arah Anton. Ekpresi Ayu sangat ketus kepada Anton. Karena sampai saat ini Ayu masih belum bisa memaafkan Anton. "Kamu udah liat sendiri kan apa yang sedang aku masak, nggak usah banyak tanya!" Sewot Ayu. Ayu langsung mematikan kompor dan mengangkat telur ceplok yang ia buat ke atas piring. "Apa kamu nggak bisa memaafkanku, Yu? Aku ingin kita hidup normal seperti dulu. Nggak kayak sekarang, kita kayak orang asing yang tinggal satu atap." Anton membututi Ayu yang sedang mengambil nasi, namun Ayu masih tetap saja mengabaikannya. "Ayu, dengarkan aku! Aku ini suamimu!" Ucap Anton keceplosan. "Maksudku.... aku ini Ayah Rey, anak kita." Ralat Anton. Ayu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Anton dengan tajam. "Iya, kamu memang Ayah dari anakku, tapi kamu hanyalah orang asing bagiku. Jadi aku minta jangan memaksaku untuk mendengarkanmu!" Hardik Ayu. "Ayu, kau..." Anton nampak marah. Ia memelototi Ayu. Tangan kanannya juga terangkat ke atas. Ia ingin menampar Ayu, namun di urungkan. Ayu mendengus kasar lalu membuang pandangan. Sejenak kemudian Ayu meninggalkan Anton yang masih mematung. "Vika nggak mau makan. Aku nggak bisa membujuk dia." Ucap Anton cukup keras, dan membuat Ayu kembali menghentikan langkahnya. "Dia hamil muda, harusnya kamu lebih sabar menghadapinya." Balas Ayu. "Aku tahu, tapi dia sangat berbeda dengan kamu waktu hamil dulu. Kamu tidak merepotkan seperti—" "Cukup, Mas! Rey udah lapar, aku mau menyuapinya dulu." Ayu memotong ucapan Anton. Ayu tidak suka mendengar ucapan Anton yang membandingkan kehamilan Ayu dulu dan kehamilan Vika sekarang. Ayu bersyukur, waktu ia hamil dulu ia bisa melakukan aktifitasnya dengan normal dan tidak merepotkan siapapun. *** "Rey sayang... makan dulu yah. Ini telur kesukaan Rey, udah Bunda buatin, loh." "Suapin yah Bun." Ucap Rey. "Iya, tapi Rey berdoa dulu dong." "Siap Bunda. Rey kan udah hafal kalau doa mau makan." Ucap Rey dengan bangganya kemudian mengangkat tangannya dan mengucapkan doa makan. Ayu merasa bahagia melihat Rey. Dia seperti menjadi obat di saat luka yang Anton dan Vika torehkan untuknya. "Sekarang, buka mulutnya." Rey pun dengan patuh membuka mulutnya ketika Ayu menyuapi makanan. "Rey, mau makan sama Ayah?" Anton tiba-tiba datang, dan hal itu membuat Ayu terkejut. "Ayah, temani Rey main mobil-mobilan. Kita balapan, yah." Ucap Rey dengan girang. Ayu menatap Anton dengan tatapan tak suka. Suasan yang membuat Ayu sangat tidak nyaman. Ayu tahu, Anton ini adalah waktunya dengan Rey, namun Ayu masih saja merasa risih dengan kehadiran Anton. "Iya, nanti kita balapan mobil. Tapi Rey makan dulu yah, Ayah yang suapin." Rey tak menimpali ucapan Anton, karena anak itu sedang asik bermain mobil-mobilan. "Sini, biar aku yang menyuapi Rey." Pintah Anton sambil meminta piring yang ada di tangan Ayu. "Nggak perluh, ini udah jadi tugas aku sebagai ibunya." Tolak Ayu. "Sini Rey, buka lagi mulutnya!" Ayu kembali memasukan satu sendok makanan ke dalam mulut Rey. "Tolong bujuk Vika! Dia pasti nurut kalau sama kamu. Rey biar aku yang temenin makan dan bermain." Akhirnya Anton mengutarakan maksudnya yang sebenarnya. Ia menghampiri Ayu, bukan demi Rey, melainkan demi Vika dan bayi yang sedang di kandungnya. Hati Ayu terasa sakit mendengar ucapan Anton. Walaupun Vika adalah adiknya, tapi tetap saja. Ayu hanyalah wanita biasa yang bisa merasakan sakit dan kecewa. "Ayu, aku mohon. Vika itu adikmu, kasihan dia. Kata dokter, jika dia terus-terusan nggak mau makan, itu bisa berakibat buruk pada kandungannya." Ucap Anton yang terlihat putus asa. Ayu tidak tega dengan Vika. Ayu tahu wulan masih sangat muda, dan sebenarnya masih belum siap untuk hamil. Psikologisnya pasti terguncang dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Ayu tidak bisa berkata-kata lagi. Ayu hanya menyerahkan piring berisi makanan Rey yang belum habis ke tangan Anton. Setelah itu, Ayu beranjak pergi menuju ke kamar Vika. Karena sebagai seorang kakak, Ayu tidak bisa melihat adiknya menderita. "Trimakasih, Ayu." Ucap Anton sebelum Ayu meninggalkan kamarnya untuk menemui Vika.Rasanya begitu berat bagi Ayu, saat ia hendak mengambilkan makanan untuk Vika. Ayu sadar Vika adalah adiknya yang paling ia sayangi, namun disisi lain Vika jugalah perusak rumah tangganya. Rasa marah, benci, kecewa, semua tercampur aduk menjadi satu, sehingga tidak bisa di deskripsikan dengan kata-kata. Ayu menghela napas dalam-dalam ketika ia berdiri di depan pintu kamar Vika. Ayu mencoba menenangkan diri dan menekan emosinya. Setelah merasa siap, akhirnya Ayu mengetuk pintu kamar Vika. "Vik... ini aku." Ucap Ayu sembari membuka pintu, dan melangkah masuk. "Kak Ayu." Ayu bisa melihat dengan jelas saat ini Vika sedang terbaring lemas. Wajahnya juga terlihat pucat. "Kakak bawakan makanan untuk kamu. Makanlah!" "Aku nggak lapar, Kak." Sahut Vika yang terdengar lirih. Ayu meletakan nampan berisi makanan di atas nakas, lalu duduk disisi ranjang. Ayu membantu Vika untuk bersandar. "Kakak akan menyuapimu. Makanlah biar sedikit." Bujuk Ayu, lalu menyodorka
"Mas, suapin Vika." Rengek Vika pada Anton, suaminya. Pasangan suami-istri itu sedang berada di meja makan untuk sarapan. Sementara Ayu melewati mereka untuk ke dapur dan membuatkan sarapan untuk Rey, karena Rey ingin dibuatkan nasi goreng dengan telur ceplok. "Sayang... pengen telur ceplok." Ayu mendengar dengan jelas rengekan Vika. Entah mengapa firasat Ayu mengatakan bahwa saat ini, Vika sengaja membuatnya cemburu dan ingin memanas-manasi Ayu. "Vik, kamu kan nggak suka telur ceplok. Biasanya kan kamu nggak mau." Ucap Anton yang juga bisa di dengar oleh Ayu. "Iya, tapi aku kan lagi hamil, Mas. Biasanya ibu hamil suka yang aneh-aneh, kan? Anakmu yang minta loh, Mas. Kamu mau anak kamu nanti ileran kalau nggak di turuti? Buatin aku telur ceplok, aku maunya itu! Nggak mau yang lain!" Entah mengapa kini Ayu merasa jengkel dan benci mendengar rengekan Vika kepada Anton. Apakah Ayu cemburu? Sebenarnya, Ayu sangat ingin meninggalkan rumah itu tempat dimana V
Seperti yang sudah Ayu rencanakan kemarin, hari ini Ayu akan pergi ke makam orantuanya, dan setelahnya jalan-jalan sebentar. "Rey, udah siap?" Tanya Lily yang datang menjemput Ayu dan Rey. "Siap Tante." Jawab Rey dengan antusias. "Nanti Rey pengen beli es krim, yah." Ucap Rey yang sudah berada di pangkuan Lily. Sementara Ayu sendiri tengah sibuk memakai kerudungnya. "Iya, nanti Tante belikan." "Hore... Rey suka es krim cokelat sama Vanilla." Ucap Rey. "Tapi Rey nggak boleh makan es krim terlalu banyak, yah?" Ucap Ayu mengingatkan, karena Rey sangat muda terkena flu jika makan makanan yang dingin-dingin. "Iya Bunda. Rey ingat, biar nggak sakit, kan?" Tanya Rey dengan polos. "Iya sayang. Sini pake sepatu dulu." "Biar aku aja yang pakaikan, kak." Ucap Lily dan segera mengambil sepatu Rey. "Terimakasih ya, Ly." Ayu tersenyum kecil lalu mengemasi dompet dan ponsel, lalu memasukannya ke dalam tas. "Sama-sama, kak." Ucap Lily membalas senyu
Pagi ini Ayu terbangun dengan kepala yang terasa berat. Pusing sekali rasanya. Ayu juga merasa mual dan ingin muntah. Ayu mengoleskan ke perut dan ke sekitar hidungnya. Ia berharap itu dapat membuatnya merasa lebih nyaman. Ayu tidak beranjak dari ranjang, hingga tiba-tiba Rey terbangun dan ikut membangunkan Ayu. "Bunda..." panggil Rey. Ayu hendak bangun, namun tubuhnya terasa sangat lemas. "Bunda kenapa?" Tanya Rey yang menatap Ayu dengan lekat. "Maafin Bunda sayang, Bunda lagi nggak enak badan," tutur Ayu. "Bunda sakit apa?" Tanya Rey khawatir. "Nggakpapa sayang, sepertinya Bunda cuma kecapean dan masuk angin. Kemarin kita kan habis jalan-jalan." Rey memeluk Ayu dengan erat, "Bunda cepat sembuh, ya." "Iya sayang." "Ayu, Rey.. kalian di dalam?" Panggil Anton sembari mengetuk pintu kamar. "Ayah..." teriak Rey yang langsung berlari ke arah pintu dan membukanya. "Rey baik-baik saja?" Tanya Anton begitu Rey membukakan pintu. "Iya, Re
Lily disuruh oleh Bi Sari untuk pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Jarak apotek dari rumah mereka memang sangat dekat, dan tidak butuh waktu lama bagi Lily untuk membeli alat tes kehamilan itu. "Ini Mbak tespacknya." Lily memberikan dua alat tes kehamilan kepada Ayu. "Kenapa beli dua tespack, Ly?" Tanya Ayu dengan tangan gemetar memegang dua benda itu. Lily disuruh oleh Bi Sari untuk pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Jarak apotek dari rumah mereka memang sangat dekat, dan tidak butuh waktu lama bagi Lily untuk membeli alat tes kehamilan itu. "Ini Mbak tespacknya." Lily memberikan dua alat tes kehamilan kepada Ayu. "Kenapa beli dua tespack, Ly?" Tanya Ayu dengan tangan gemetar memegang dua benda itu. Ayu benar-benar degdeg-an dengan alat itu, kalau dulu ia sangat berharap benda itu bergaris dua, kalau sekarang malah sebaliknya karena kondisinya yang sudah bukan lagi istri Anton. "Nggakpapa Yu. Bibi yang menyuruhnya, biar nanti k
Ada rasa malas yang menerjang Ayu untuk kembali ke rumah. Namun, apadaya itu adalah pilihannya sendiri untuk tetap bertahan dan Ayu juga harus menanggung konsekuensinya. Rumah yang dulunya tempat ternyaman bagi Ayu, namun kini semua telah berubah menjadi tempat yang menyimpan luka pada Ayu. "Ayu, tadi kata Lily kamu pergi ke dokter ditemani Bi Sari. Bagaimana hasilnya? Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Anton saat Ayu sampai dirumah. "Iya," jawab Ayu singkat. "Yu, aku sangat mengkhawatirkan kamu," ucap Anton menghalangi jalan Ayu saat ingin masuk ke dalam kamar. Ayu menghembuskan napas kasarnya, "Tolong minggir, Mas. Aku capek. Aku mau istirahat." "Apa kamu tadi melakukan tes kehamilan?" Tanya Anton. "Aku rasa pertanyaan itu nggak perluh kamu tanyakan," jawab Ayu. "Rey, mau ikut Ayah?" Tanya Anton pada Rey. Ayu tahu Anton hanya memanfaatkan Rey sebagai alasan. Padahal dia ingin tahu apa yang Ayu lakukan. "Nggak usah," ucap Ayu menghalangi Anton. "R
"Sayang, dengarkan Bunda, Nak. Bunda mau ngomong sama Rey." "Rey maunya sama Ayah, Bun. Rey mau Ayah temani Rey bermain," rengkek Rey masih menangis. "Iya, nanti Rey bisa bermain sama Ayah. Sekarang Rey berhenti nangis dulu, ya?" Pintah Ayu. Ayu menatap Rey lekat-lekat. Ia sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk memberitahukan kepada Rey mengenai kondisi antara ia, Vika dan Anton. "Rey... Rey sayang nggak sama Bunda?" "Iya, Rey sayang Bunda, sayang Ayah juga," jawab Rey dengan tangis yang sedikit mereda. Dengan lembut Ayu menghapus sisa-sisa air mata Rey. Ia harus menyampaikan kenyataan yang terjadi di antara ia, Vika dan Anton. Sebenarnya, Ayu tidak tega, namun Ayu harus tetap menyampaikannya agar Rey sedikit mengerti. Ayu menarik napas dalam-dalam, dan berusaha untuk tetap tenang. "Rey sayang, Bunda sama Ayah itu udah nggak sama-sama lagi," ucap Ayu dengan hati-hati. Rey yang mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan merasa bingung. "K
Vika masih tidak mengerti, padahal segala cara sudah ia lakukan, tetapi tetap saja ia merasa jika Anton masih belum bisa mencintainya sepenuhnya. Anton masih saja memperhatikan Ayu dan juga Rey. Vika merasa bahwa Ayu sengaja mencari perhatian Anton dengan memanfaatkan Rey, putra mereka. Namun Vika tidak akan mudah menyerah. Ia sudah melangkah sangat jauh, dan sudah banyak yang sudah ia korbankan demi mendapatkan Anton. "Hanya aku yang boleh memiliki Mas Anton. Sudah cukup selama ini aku mengalah dan menurut padanya," gumam Vika yang sedang berada di dalam kamarnya. *** "Sayang, hari ini jadwal kita pergi ke dokter kandungan. Kamu ingat kan?" Tanya Vika pada Anton. "Iya, tentu saja aku mengingatnya." "Sudah empat bulan usia kandunganku, semoga anak kita tumbuh sehat." "Aminn." "Aku yakin anak yang sedang di kandungku pasti laki-laki, dan pastinya akan setampan kamu, Mas. Mas Anton pasti akan sangat sayang sama dia," ucap Vika sembari mengelus-elus pe