"Ya ampun, Sil! Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?" tanya Fani sambil mengguncang-guncang tubuhku yang luruh di trotoar.
Aku hanya terkulai lemah sambil menangis pilu. Membiarkan Fani merengkuhku.
"Ya ampun, Sil. Maafkan aku! Maafkan aku, Sil!" Fani memelukku erat. Tangisku semakin pecah dalam pelukan Fani.
Fani, Reno .... Reno selingkuh! Reno sudah menikah lagi, Fan! Aku harus bagaimana?
Ingin kukatakan itu pada Fani, tetapi tenggorokanku tercekat sehingga tidak mampu berkata-kata. Kalimat itu hanya menggema di dada. Membuat batinku semakin tersiksa.
"Fani ...."
"Iya, Sil. Maafin aku!" ucap Fani sambil mengeratkan pelukannya. "Menangislah, Sil! Keluarkan semua!"
Aku semakin kencang menangis. Tak peduli orang-orang yang menantap heran kepadaku. Hatiku sakit. Sakit sekali.
Sejak tadi aku berusaha kuat. Berusaha untuk tidak meratap. Namun, akhirnya hatiku tak mampu lagi menampung kepedihan ini sendiri.
Tuhan, ini sangat berat. Bahkan aku masih berharap kalau ini semua hanya mimpi. Aku ingin segera bangun dari mimpi ini. Kemudian kembali melalui hari yang manis bersama Mas Reno.
Ini begitu mendadak, Tuhan. Bahkan aku tak punya persiapan apapun. Bahkan sekedar untuk menata hati agar mampu menerima semua ini.
"Maafkan aku, Sil!" ucap Fani berkali-kali.
Setelah cukup lama menangis, akhirnya aku sedikit lega. Aku merenggangkan pelukan Fani.
"Maafkan aku, Sil!" ucap Fani sambil menatap wajahku yang pasti sangat menyedihkan. Dihapusnya air mataku yang masih saja membasahi pipi.
"Ayo, kita ke mobil dulu!" ajaknya sambil memapah tubuh lemahku.
Melihat Fani kepayahan, Galang turun dari mobil dan membantu memapahku. Dibukanya pintu belakang mobilnya. Kemudian Fani ikut duduk di sampingku. Mobil mulai bergerak, perlahan membelah jalanan kota yang sudah mulai sepi.
"Kita kemana ini?" tanya Galang, suami Fani.
"Ke rumahku dulu gimana, Sil?" tawar Fani.
Aku mengangguk setuju. Aku belum bisa berkata-kata. Dadaku masih sesak. Bahkan masih sesenggukan karena tadi menangis cukup lama.
Sepanjang perjalanan tak ada yang bersuara. Fani hanya merangkulku dan mengusap-usap lenganku. Aku beruntung sekali memiliki teman sebaik dia.
Tiba di rumah Fani, kembali sepasang suami istri ini memapahku masuk. Kali ini telapak kakiku berlipat-lipat lebih nyeri. Aku sampai berjinjit-jinjit saat melangkah.
"Sil, digendong Galang aja gimana?" usul Fani melihatku kesulitan melangkah.
"Enggak, Fan!" tolakku. Malu kalau harus digendong laki-laki yang bukan pasangan sendiri. "Kita jalan pelan-pelan aja, ya!" pintaku.
"Okey."
Setelah sampai ruang tamu aku duduk di sofa paling dekat dengan pintu. Badanku rasanya sakit semua.
"Sil, kaki kamu luka!" Galang tampak terkejut melihat darah tercecer di lantainya.
"Oh, iya!" sahut Fani. "Tolong ambil kotak P3K, Yah!"
Bergegas Galang masuk mengambil kotak P3K sementara Fani mengangkat kedua kakiku ke meja.
"Ya ampun, Sil!" teriak Fani. Matanya seakan hendak keluar melihat telapak kakiku. "Ini kaki kamu kenapa?"
Aku kembali menangis teringat kejadian di rumah. Teringat kalau Mas Reno bukan milikku lagi.
Biasanya lelaki itu akan sangat khawatir jika aku sampai terluka. Dulu baginya aku seperti sesuatu yang begitu berharga, tak boleh terluka sedikit pun. Namun, sekarang justru dialah yang melukaiku paling dalam.
"Yah, kayaknya kita butuh dokter!" ucap Fani saat Galang kembali.
"Astaga!" Galang terperangah juga melihat telapak kakiku. "Aku telpon Dokter Liem dulu."
Aku pasrah saja atas perhatian mereka. Aku janji, suatu saat aku akan balas semua kebaikan mereka ini.
"Bi! Bi!" Fani berteriak memanggil ARTnya. Tak berselang lama, perempuan setengah baya datang ke ruang tamu.
"Iya, Bu!" ucapnya.
"Tolong buatkan teh panas, ya! Bawa makanan ringan juga!" perintah Fani sementara tangannya sibuk membersihkan telapak kakiku.
Beberapa saat kemudian dokter yang barusan ditelepon Galang datang. Dokter keluarga Fani itu membawa peralatan cukup lengkap. Aku pasrah saja saat dokter itu melakukan berbagai tindakan pada telapak kakiku.
"Tolong jangan dibawa jalan dulu, ya!" pesan dokter usai membalut telapak kakiku. "Lukanya lumayan parah, kalau dipakai jalan bisa pendarahan lagi."
Aku bingung mendengar pesan dokter tersebut. Lalu aku harus bagaimana? Tak mungkin aku merepotkan Fani seperti ini. Namun, untuk kembali ke rumah, itu lebih tidak mungkin.
Beberapa saat kemudian, dokter tersebut pamit. Fani membantuku meminum obat yang diberikan dokter.
"Sil, enggak apa-apa, ya, Galang gendong kamu ke kamar?" pinta Fani.
Aku menatap mata sahabatku cukup lama. Tak enak dengan semua kebaikan yang ia lakukan.
Akhirnya aku setuju juga. Daripada kakiku lebih parah lagi. "Tolong, jangan kasih tahu Reno kalau aku di sini, ya, Fan!" pintaku.
Meskipun aku belum cerita apapun pada Fani, sahabatku itu menyetujui. Dia pasti sebenarnya tahu apa yang sedang terjadi antara aku dan Reno.
Buktinya ia akhirnya mencariku. Dan aku percaya, kalau sebenarnya Fani berdusta saat berkata sedang di rumah mertuanya. Karena tak mungkin hanya dalam waktu kurang lebih satu jam sudah sampai di kota ini kembali.
Besok pagi, aku akan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Malam ini aku ingin istirahat dengan tenang. Tubuh dan pikiranku sudah terlalu lelah hari ini.
"Kamu istirahat dulu aja, ya, Sil?" pinta Fani setelah aku berbaring di kamar. Di tutupnya separuh tubuhku dengan selimut.
"Iya, Fan. Makasih, ya!" ucapku.
Usai Fani meninggalkan kamar yang kutempati. Tak lama aku langsung tertidur. Mungkin pengaruh obat yang baru saja aku minum juga.
Aku terbangun saat merasakan sesuatu menempel di kening. Kubuka kelopak mata yang masih terasa sangat berat. Samar-samar aku melihat seseorang terantuk di bibir ranjang.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali kemudian menguceknya. Aku tersentak saat melihat dengan jelas siapa yang tertidur dengan kepala di bibir ranjang. Seketika aku langsung beringsut duduk. Ternyata gerakanku justru membuatnya terbangun.
"Sayang!" ucapnya terkejut melihatku terbangun.
"Mas, ngapain di sini?" tanyaku tak suka melihat Mas Reno di kursi sebelah ranjang."Mas nyariin kamu kemana-mana, Dek!" akunya."Mas, tolong, aku sudah enggak bisa meneruskan pernikahan kita! Biarkan aku pergi!" Kuambil kain basah yang menempel di keningku. Rupanya aku demam sehingga Mas Reno mengompresku. Hah, aku bahkan sampai tak memikirkan kondisi tubuhku sendiri."Dek, Mas mohon! Beri Mas kesempatan!""Enggak, aku enggak bisa!""Dek, Mas mohon!""Enggak, Mas!"Mas Reno mengacak-acak rambutnya. Lelaki di depanku ini terlihat begitu frustasi. Kedua tangannya kini bertaut di kepala belakangnya. Beberapa saat, Mas Reno menunduk dalam.Sedang aku berusaha tak peduli padanya. Hatiku terlanjur hancur oleh perbuatannya. Mungkin kalau kesalahan lain, aku bisa memaafkan. Namun, untuk kesalahan Mas Reno yang satu ini aku benar-benar tidak bisa mentolerir.Mas Reno kembali menatapku dengan sorot memohon. "Dek, kita pulang, ya!" bujuknya. "Enggak mungkin, kan, kamu dalam kondisi begini ada
Beberapa lembar uang dan kartu debet kumasukkan ke dalam saku. Perlahan, kusingkap selimut dan turun dari ranjang. Begitu telapak kaki menapak tanah, rasa sakit menyerang sampai terasa ke ubun-ubun."Ah, aku belum minum obat," gumamku.Segera kuambil obat di nakas dan meminumnya dengan air putih di sampingnya.Kuhela nafas panjang kemudian bergumam, "aku harus kuat!"Aku tak bisa kembali bersama Mas Reno, karena tahu hatiku tak akan mampu untuk berbagi. Apalagi dengan Bulan. Dia salah satu alasan dulu aku sempat putus dengan Mas Reno saat masih kuliah. Ternyata setelah putus mereka benar pacaran. Lalu sekarang, wanita itu kembali masuk dalam kehidupan kami."Loh, Sayang?" Aku terkejut saat tiba-tiba Mas Reno berdiri di depan pintu."Mau ngapain?" tanyanya.Meskipun jantungku berdegup kencang, sebisa mungkin kubuat semua terlihat biasa saja. Aku tak mau lelaki itu mengetahui rencanaku."Minum obat," jawabku ketus."Oh, kenapa enggak nunggu Mas dulu?" protesnya. "Harusnya kamu tiduran
"Apa yang anda lakukan?" pekik Dokter Rahardian saat tiba-tiba tanpa permisi Mas Reno menyibak tirai.Jantungku rasanya mau meloncat keluar. Kusembunyikan wajah dibalik tubuh Dokter muda itu. Kupegang erat-erat selimut yang menutup tubuhku sampai batas leher. Keringat dingin semakin bercucuran."M-maaf, saya ...."Dokter Rahardian langsung memotong ucapan Mas Reno. "Silahkan pergi, kami sedang memeriksa pasien!" titahnya.Sepertinya Mas Reno langsung pergi. Aku masih sangat khawatir kalau-kalau dia kesini lagi.Kulirik bagian kaki, untung saja perawat sudah menutupnya dengan selimut. Jadi Mas Reno tak melihat luka di kakiku."Ada-ada saja!" gumam Dokter Rahardian sambil geleng-geleng saat membaca catatan medis dari perawat yang memeriksaku."Bu, demamnya cukup tinggi," ucap Dokter Rahardian. "Rawat inap, ya? Takutnya ada infeksi."Aku tertegun mendengar itu. Siapa yang akan mengurus administrasi dan yang lainnya."Gimana, Bu?" tanya Dokter Rahardian. "Apa ada yang bisa dihubungi?" "T
"Ren, jawab Mami!" bentak wanita berkacamata dengan bingkai emas tersebut. "Kamu apakan Sisil?"Mami menatap tajam pada anak lelakinya itu. Sementara Mas Reno tak berani menatap wanita yang telah melahirkannya tersebut. Lelaki berkaos hitam itu hanya mengusap-usap tengkuknya."Ren?" kejar Mami. "Lihat mata Mami!"Takut-takut Mas Reno menatap wajah Mami, tetapi tak lama menunduk lagi."Kamu enggak mau ngaku?" ancam Mami.Mas Reno masih membisu. Aku menahan diri untuk tak membuka suara. Ingin kulihat apakah Mas Reno berani jujur pada Mami atau tidak."Apa gara-gara masalah ini Sisil sampai sakit?" cecar Mami lagi."Mi, ... Reno ... Reno ...." Mas Reno tergagap."Apa? Ngomong yang benar!" bentak Mami lagi.Aku belum bisa merasa tenang walaupun Mami memarahi Mas Reno seperti ini. Karena kalau nanti Mami tahu Bulan sedang hamil, bisa jadi Mami bisa menerima pernikahan mereka. Dan aku tersingkir.Perhatian kami tiba-tiba buyar saat terdengar suara pintu dibuka. Seorang perawat datang sambil
Aku terperangah melihat Papi tiba-tiba bangkit. Kemudian secepat kilat mendaratkan tamparannya di kedua pipi Mas Reno, sampai berkali-kali.Aku dan Mami sampai terpekik melihatnya. Aku baru pertama kali melihat, Papi marah sampai seperti ini. Papi adalah lelaki berwibawa, ketika marah biasanya Papi lebih memilih diam dan berbicara dengan bijak ketika dirasa waktunya tepat.Namun, kali ini kulihat napas Papi sampai terengah-engah, matanya seakan mau meloncat keluar dari tempatnya, rahangnya mengatup dan giginya sampai gemeletuk."Anak kurang ajar!" umpatnya. "Memalukan!"Dilayangkannya sekali lagi telapak tangannya. Hingga bunyi ceplak terdengar cukup keras ketika telapak tangan itu mengenai pipi kiri Mas Reno.Mas Reno hanya diam dan pasrah dengan apa yang diperbuat Papi. Seolah ia menerima dan merasa pantas diperlakukan seperti itu."Pergi!" bentak Papi. "Pergi sebelum kubunuh kamu dengan tangaku sendiri! Pergi!"Mas Reno bergeming. Ia tak peduli dengan ancaman Papi. "Sisil!" seru P
"Aduh, Ren! Mami pusing. Kenapa segampang itu kamu memutuskan?" sesal Mami."Saat itu Reno sudah benar-benar terpojok, Mi. Reno bingung kalau warga nekat melakukan sesuatu yang buruk pada Reno atau Bulan."Heh, Bulan terus yang dipikirkan! Apa saat itu dia tidak ingat kalau sudah punya istri?Aku membuang muka, enggan melihat Mas Reno lagi. Hatiku sakit, perih, mendengar Mas Reno sepeduli itu pada Bulan.Mami menghela napas panjang. "Harusnya, kan, kamu bisa telpon Papi, telpon polisi, atau siapapun yang bisa bantuin kamu.""Reno panik, Mi.""Haduuh, gini amat kamu, sih, Ren!" sesal Mami. "Mami sama Papi ini sudah tua, Ren. Pinginnya lihat anak-anak hidup bahagia, bisa dengan baik meneruskan usaha. Kalau sudah gini, terus kamu mau ngapain?""Reno tetap mau pertahanin pernikahan Reno, lah, Mi!""Dengan?""Ya Sisil, lah, Mi. Siapa lagi?" protes Mas Reno tampak sekali lelaki ini tersinggung dengan pertanyaan Mami."Loh, kan, sekarang istri kamu dua!" ucap Mami tidak suka, kemudian memija
Aku terpaku menatap wajah Bulan. Wajah yang dulu sewaktu kuliah khas dengan pipi cubynya, kini tampak begitu tirus. Dagunya menjadi lebih lancip dari sebelumnya. Bibirnya kini terlihat lebih tebal, mungkin itu yang disebut bibir sensual. Badannya juga padat berisi. Seksi dan menggoda iman lelaki. Balutan dress ketat berwarna lemon, benar-benar mampu memperlihatkan lekukan tubuhnya yang menggoda.Pantas saja akhirnya Mas Reno jatuh dalam pelukannya. Mana ada kucing yang menolak ketika ditawari ikan yang lezat?Kulirik lelaki yang berdiri di sampingku ini tampak terkejut. Mas Reno pasti tak menyangka, Bulan datang ke rumah ini."Ngapain kamu ke sini?" tanya Mas Reno."Ngapain?" tanya Bulan terlihat murka oleh pertanyaan Mas Reno. "Kemana aja kamu?"Mas Reno melangkah mendekati Bulan. Dicekalnya lengan wanita itu. "Pergi!" geramnya."Lepas, Ren!" bentak Bulan tampak sangat tak suka dengan yang Mas Reno lakukan. "Aku sudah bilang, kan? Kalau sampai kamu berani menghindar, aku akan ke sin
Detak jam di dinding seolah mengolok hatiku yang gelisah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Mas Reno belum juga pulang. Mungkinkah ia akan menginap di tempat Bulan?Berkali-kali kulihat layar ponsel, tetapi tak satu pun pesan masuk dari Mas Reno, apalagi meleponku. Saking asyiknya bersama Bulan, kah? Sampai tidak teringat padaku.Meskipun selama beberapa ini aku bersikap begitu dingin padanya, bahkan aku sampai berpikir telah mati rasa, tetapi nyatanya aku masih merasakan sakit juga memikirkan Mas Reno bersama Bulan. Apakah Bulan lebih istimewa dalam urusan ranjang? Memikirkan itu benar-benar membuat jantungku seperti terbakar.Heh, kenapa aku meminta Mas Reno menunda menceraikan Bulan? Kalau akhirnya hal itu menjadi boomerang untukku sendiri. Seandainya mereka sudah bercerai, tak perlu aku merasakan kesakitan ini?Namun, kalau Mas Reno kuminta menceraikan Bulan saat ini juga, bisa jadi setelahnya mereka tetap mencari celah untuk tetap bersama. Aku tahu, karakter Bulan tidak akan cepa