Tidak sekalipun hal gila ini pernah terlintas di kepalanya. Meski dia masih menyimpan dendam dan luka yang belum mengering sejak bertahun-tahun silam, namun, Saka tidak pernah mengharapkan pertemuan itu. Namun, ketika takdir membawanya kembali bertemu dengan satu-satunya wanita yang pernah membuatnya terpuruk, rasa dendam dan luka itu semakin menguat hingga Saka ingin membalas semuanya.
Malam itu, ketika dia menemukan Renata sedang duduk seorang diri di bar, Saka tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari sosok Renata. Kilas masa lalunya yang menyakitkan membuat Saka pada akhirnya membiarkan teman kencannya pergi dengan perasaan kesal karena Saka hanya terus mengamati Renata. Lalu ketika ada seorang lelaki datang menghampiri Renata, berusaha menggodanya sedangkan Renata terlihat mabuk, tanpa Saka sadari, kedua kakinya bergerak begitu saja, melangkah cepat menghampiri mereka lalu mendorong kasar tubuh lelaki itu dan mengusirnya. Renata benar-benar sudah kehilangan kesadarannya, bahkan untuk duduk dengan benarpun dia tidak lagi bisa. Saka tidak mengatakan apa pun padanya, hanya terus mengamatinya. Renata masih terlihat sama. Cantik, sederhana dan juga... rapuh. Saka tersenyum dingin kala itu, ketika masa lalunya yang menyakitkan kembali berpendar, satu tangannya yang memegang lengan Renata mencengrkram kuat. Hingga dia dalam waktu sesingkat itu, tanpa bisa berpikir jernih, dia ingin membalasnya. Saka ingin menyakiti Renata seperti dulu Renata menyakitinya. Bahkan, lebih parah dari itu. Maka di malam itu, Saka membawa Renata ke sebuah hotel, melakukan sesuatu yang selama ini belum pernah dia lakukan terhadap wanita mana pun. Saka sudah meniduri banyak wanita, tapi, tidaka da satu pun dari mereka yang naik ke atas ranjangnya dengan paksaan. Namun kali ini, Saka tidak peduli jika keesokan harinya, Renata akan sangat membencinya. Ketika melihat tubuh telanjang Renata, gairahnya begitu menggebu dan sebuah perasaan yang telah lama dia lupakan kembali meluap begitu saja, membuat seperti lelaki sakit jiwa yang terlihat bernafsu mencumbu Renata, meskipun Renata hanya bisa menggeliat dengan mata terpejam dan meracau tidak jelas. Namun, kemarahan Saka kembali memuncak ketika akhirnya dia menyadari sesuatu. Renata... sudah tidak lagi perawan. Hal itu membuat napasnya tersengal hingga tanpa berpikir ulang, dia semakin membenci Renata. Malam itu, Saka sudah memulai balas dendamnya. Dia tidak lagi peduli apa yang akan terjadi pada Renata setelah ini. Yang pasti, Renata harus merasakan hal yang sama sepertinya. Sebuah kehancuran. Dan kini, setelah mendapatkan seluruh informasi mengenai Renata dari salah satu anak buahnya, Saka terlihat santai selagi mengemudi. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, satu tangannya memegang kemudi sedangkan satu tangannya yang lain bertumpu pada jendela yang terbuka. Ada banyak skenario jahat dalam kepala Saka saat ini, di mana seluruh skenario itu akan berkahir sama. Namun, Saka akan memilih skenario terjahat mana yang dia miliki. Mobil Saka berhenti di sebuah parkiran rumah sakit. Matanya mengamati bangunan itu lekat. Dokter anak... gumamnya di dalam hati. Lalu kilasan senyuman manis dan teduh Renata di masa lalu berpendar dalam ingatannya. Saka masih mengingat semuanya dengan sangat jelas. Keramahannya, kelembutannya, suara merdunya yang mendayu, semua itu... tidak pernah bisa menghilang dari pikirannya. Membuat kesulitan mengenyahkan seluruh perasaan yang dia miliki hingga semuanya berimbas pada rasa benci yang mendalam. Satu tangan Saka mengepal kuat, Giginya bergemelatuk tajam. Nata... dia menggumamkan nama itu di dalam hati. Lalu, bertepatan dengan itu, ekor matanya menemukan sosok yang sejak tadi dia pikirkan, sedang berjalan gontai dan terlihat tidak bersemangat, Saka mengernyit, tatapannya terpaku pada Renata yang kini berdiri diam di samping mobilnya, menunduk dalam. Bahkan ketika dia membuka pintu mobil, dia terlihat tidak bertenaga. Mobil Renata bergerak meninggalkan rumah sakit, Saka bergegas mengikuti Renata. Saka memposisikan mobilnya tepat di belakang mobil Renata. Sekitar lima belas menit, mobil Renata berbelok ke sebuah rumah sakit yang lain. Hal itu membuat Saka kembali mengernyit bingung. Apa yang Renata lakukan di sini? Atau mungkin... dia juga bekerja di rumah sakit ini? Rasa penasaran itu membuat Saka diam-diam mengikuti Renata. Dia menatap punggung kecil Renata selagi melangkah lambat, mengikuti langkah Renata yang seperti tak lagi bertenaga. Ketika Renata menemui seorang respsionis, Saka bersembunyi di balik tembok, namun, tidak melepas tatapannya sama sekali. Lalu Renata mengikuti seorang suster yang membawanya ke sebuah ruangan. Ketika Renata masuk ke sana dan pintu itu kembali tertutup, Saka melangkah lambat menuju ruangan itu, berdiri di depannya. Poli Obgyn. Kedua mata Saka sedikit terbelalak. Dia tidak perlu berpikir lama untuk mengetahui alasan Renata berada di sini. Tanpa sadar, Saka melangkah mundur. Perasaannya berubah gamang, tatapannya terlihat nanar kali ini. Untuk sesaat, Saka merasa kepalanya kosong, dia tidak memikirkan apa pun selain... Renata yang mengandung bayinya. Tidak. Bukan seperti ini. Saka memang ingin membalas dendamnya, tapi seorang bayi di mana ada darahnya dan juga Renata yang mengalir dalam tubuhnya jelas sekali bukan sesuatu yang dia harapkan. Tapi... semua ini sudha terjadi. Lalu apa yang harus Saka lakukan sekarang?***Renata mengangguk sopan dan berterima kasih pada Dokter kandungan yang baru saja dia temui. Seorang suster membukakan pintu untuknya, Renata keluar dari sana dan setelah itu, hanya bisa berdiri dan menunduk dalam. Tatapannya lirih dan sayu, wajahnya terlihat muram meski Dokter yang memeriksa kandungannya mengatakan jika kondisi janinnya baik-baik saja, hanya kondisi Renata saja yang terlihat tidak cukup baik. Ini kali pertama Renata memeriksakan kandungannya, dan perasannya... semakin tidak menentu. Dia sengaja memilih rumah sakit lain untuk memeriksakan kandungannya karena tidak mungkin melakukannya di rumah sakit di mana dia bekerja. Jika orang-orang tahu kalau dia sedang mengandung... Tidak, Renata menggelengkan kepalanya. Renata menatap sekitarnya, rasanya hampa. Lalu, tatapannya jatuh pada sepasang suami istri yang sedang duduk berdampingan, sang suami mengusap perut istrinya, lalu mereka tersenyum bahagia. Hal itu membuat Renata tersenyum miris. Sungguh beruntung wanita itu, mungkin, selain memiliki suami yang mencintainya, dia juga memiliki keluarga yang selalu ada untuknya, menemaninya disetiap keadaannya. Renata menggigit bibirnya perih. Dia juga ingin seperti itu, dia ingin sekali merasakannya. Namun, nasibnya selalu saja melangkah ke jalan yang lain. Jalan yang selalu menorehkan luka dan air mata. Renata menunduk lirih, menatap perutnya, menyentuhnya lembut. Setetes air matanya jatuh ketika dia menyadari jika hanya bayi itu yang dia miliki saat ini. Tidak ada siapa pun lagi, bahkan orangtuanya. Renata hampir tersedak oleh tangisnya, ketika kembali mengingat kekecewaan dan luka di kedua mata orangtuanya. Renata tidak marah pada keputusan Mamanya yang telah mengusirnya dan memutuskan hubungan mereka. Tidak, Renata memang pantas mendapatkannya. Jika dia hanya bisa menyakiti orangtuanya ketika mereka bersama, bukankah lebih baik Renata pergi dan membiarkan mereka hidup lebih tenang. Pembawa masalah, seperti itu lah dirinya saat ini. Menarik napasnya yang berat, Renata melanjutkan langkahnya dengan lunglai. Berjalan dengan tatapan kosong yang menyedihkan. Sampai ketika dia mendengar sebuah suara, baru lah dia menghentikan langkahnya. "Kamu hamil?" Kepala Renata bergerak lambat, menoleh ke samping. Kedua matanya terbelalak terkejut ketika menemukan Saka di sana, berdiri menyandar pada dinding dengan kedua tangan yang terbelenggu dalam saku celananya. Wajahnya tidak menggambarkan ekspresi apa pun. Terlalu dingin, terlalu gelap hingga tanpa sadar Renata melangkah mundurl. Satu tangannya mencengkram perutnya begitu saja, membuat Saka yang mengamatinya menipiskan bibirnya tajam. Perlahan, Saka beranjak dari tempatnya, langkahnya lambat namun pasti menghampiri Renata. Dia berdiri tegak dengan tatapan angkuhnya yang tajam, menatap tepat pada dua bola mata Renata yang menyimpan rasa takut. "Bayiku." Gumamnya pelan dengan suara baritonnya yang khas. Susah payah Renata meneguk ludahnya, dia membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, namun pada akhirnya, kembali mengatupnya saat tidak sepatah kata pun yang bisa dia ucapkan. Saka melirik ke arah ruangan yang Renata masuki sebelumnya, "Kenapa kamu harus jauh-jauh ke rumah sakit ini, padahal... kamu juga bekerja di rumah sakit lain." saat menatap Renata lagi, Saka tersenyum dingin. "kenapa?" "Saka..." lirih Renata terbata. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, Saka mendengar Renata kembali menyebut namanya dan itu membuat kedua tangannya terkepal hebat. "Na-nama kamu... Saka, iya, kan?" Saka mengernyit. "A-aku tahu dari kartu nama yang kamu berikan." Itu artinya... Renata sama sekali tidak mengenalinya. Saka tertawa hambar, rahangnya mengetat tajam, rasa bencinya semakin berkuasa hingga kini kedua matanya berkilat tajam menyimpan amarah. Renata bergerak gelisah, tidak tahu harus melakukan apa. "So-soal bayi ini..." Renata mengusap wajahnya gusar, peluh terlihat di dahinya, belum lagi wajahnya terlihat pucat. Lalu Renata menatap Saka memohon, "bisakah... bisakah kita mencari tempat yang lebih nyaman untuk bicara? Aku–" Saat melihat Renata hampir kehilangan keseimbangannya, kedua tangan Saka bergerak cepat menahan kedua lengannya. Wajah Renata semakin pucat ketika dia menengadah menatap Saka, membuat rasa iba menelusup dalam relung lelaki itu. Dan pada akhirnya, Saka memilih mengabulkan permintaan Renata.***Selama di perjalanan, Renata menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, menutup kedua matanya menahan rasa pusing. Dia tidak tahu kemana Saka membawanya, satu-satunya yang Renata butuhkan saat ini hanya berbaring dan istirahat. Sejak tadi malam dia tidak bisa terpejam sedetik pun. Setelah di usir dari rumah, Renata memilih kembali ke rumah sakit, menginap di ruangannya karena untuk kembali ke apartemen pun dia tidak bisa. Apartemen itu milik keluarganya dan lagi... terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana hingga satu-satunya tempat tujuan yang Renata miliki hanyalah ruang kerjanya. "Kamu bisa jalan sendiri?" Mendengar suara Saka yang bertanya padanya, Renata mengangguk pelan. Dia berusaha membuka matanya, namun kepalanya terasa semakin berdenyut. Suara pintu mobil yang terbuka membuat Renata berusaha memaksakan dirinya, namun, tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya seperti terayun ke depan. Satu tangannya segera mencari pegangan, meremas kuat Renata merasa seperti melayang, membuat dahinya berkerut jelas. Dia berusaha membuka sedikit matanya, samar, dia menemukan wajah tajam Saka yang menatap ke depan. Baru lah Renata menyadari jika saat ini, lelaki asing yang baru saja dia temui sekaligus Ayah dari bayinya sedang menggendongnya, membawa tubuh lemahnya entah kemana. Lama Renata menatap wajah itu sekalipun dengan tatapan samar, hingga akhirnya kedua mata Renata kembali terpejam, satu tangannya berpegang erat pada bahu Saka sedang wajahnya menyandar nyaman di dada lelaki itu. Nyaman. Renata merasa matanya begitu berat hingga tanpa sadar, dia mulai terlelap.***Ketika membuka kedua matanya, Renata mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk susah payah karena kepalanya yang masih sedikit pusing meski tidak seperti sebelumnya. "Jangan bangun kalau masih sakit." Mendengar sebuah suara, Renata terperanjat dan menoleh cepat ke samping. Wajahnya terkejut menemukan keberadaan Saka, sedang duduk dengan gaya menawannya di sebuah kursi, menatap lekat padanya. Apa sejak tadi Saka menunggunya di sana? "Saka..." gumam Renata. Setiap kali mendengar namanya di ebut oleh Renata, Saka selalu saja merasakan reaksi yang dia benci dalam dirinya, hingga membuat Saka berusaha kuat mengenyahkan rasa itu. Kini Saka beranjak dari tempatnya, menghampiri Renata, berdiri di depannya. Renata tidak mengalihkan perhatiannya sedikit pun darinya. "Gimana keadaan kamu?" "Aku... ada di mana?" bukannya menjawab pertanyaan Saka,
Saka merasa menang saat ini. Kerapuhan Renata membuat pekerjaannya lebih mudah untuk menjalankan rencananya. Renata sedang bersedih sekaligus kebingungan, dia seperti butuh sebuah pegangan dan tentu saja Saka siap memberikannya. Ya, apa pun akan Saka lakukan demi membuat rencananya berjalan dengan baik. Seperti saat ini, Saka berhasil meminta Renata untuk tinggal di rumahnya. Saka bilang, mereka bisa merawat kehamilan Renata bersama-sama. Tadinya Renata ragu karena selain dia baru mengenal Saka, mereka juga tidak mungkin tinggal bersama tanpa status seperti ini. Tapi lagi-lagi Saka berhasil meyakinkan Renata jika ini adalah yang terbaik. Lagi pula, Renata tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang setelah keluarganya sendiri sudah mengusirnya dan tidak ingin lagi memiliki hubungan dengannya. 
Rintik hujan yang membasahi jendela kamarnya membuat Renata tertarik untuk mengamatinya. Dia bahkan sudah berdiri di depan jendela itu sejak sepuluh menit yang lalu, mengamati setiap tetes hujan yang jatuh. Dan seperti biasa, setiap kali menyendiri, pikirannya akan selalu berkelana. Renata kembali memikirkan bagaimana pertama kali dia jatuh cinta, pada Revan, sepupunya. Kemudian mereka menjalin kasih, saling menyayangi dan melengkapi satu sama lain seolah-olah Renata merasa tidak membutuhkan apa pun lagi selain cinta dan kasih sayang Revan. Asalkan ada Revan di sisinya, Maka Renata merasa baik-baik saja. Revan adalah apa yang dia harapkan dalam hidupnya yang selalu saja terasa membosankan bagi seorang Gadis pendiam yang selalu saja malu jika harus berinteraksi dengan banyak orang.&n
Renata sudah bangun, bahkan dia sudah mandi sejak satu jam yang lalu. Tapi, yang dia lakukan sejak tadi hanya lah duduk di tepi tempat tidur, berdiri tegak, jalan kesana kemari dengan wajah resah. Sungguh, Renata benar-benar bingung harus melakukan apa saat ini. Semua itu cumannya dan Saka tadi malam. Ya, ciuman yang mereka lakukan hampir lima belas menit lamanya. Dan ciuman itu terhenti karena ponsel di saku Saka berdering. Tahu apa yang Saka lakukan setelahnya? Dia mengusap bibir basah Renata, menyuruhnya meminum susu yang telah dia buatkan, lalu beranjak pergi begitu saja, meninggalkan Renata yang seketika di landa kebingungan. Bagaimana bisa?! Pekiknya di dalam hati. Bagaimana bisa dia da
Saka sedang berada di mobilnya, duduk nyaman di bangkunya sambil menatap ke arah jalanan. Supirnya sedang membawanya kembali ke rumah untuk menjemput Renata. Hari ini, sesuai rencana mereka, Saka akan menemani Renata memeriksakan kandungannya. Ini akan menjadi kali pertama Saka melakukan hal ini. Padahal sebelumnya, Saka sama sekali tidak memiliki minat untuk melakukan hal itu. Tapi entah mengapa. Semakin hari, dia semakin sering mendengar Renata bercerita mengenai perkembangan kandungannya. Bahkan bulan lalu, setelah pulang dari memeriksakan kandungannya, Renata bercerita dengan wajah riang mengenai betapa baiknya kondisi bayi mereka. Berat bayi mereka sudah semakin membaik dibandingkan dengan ketika Renata pertama kali memeriksakan kandungannya. Renata bilang, itu semua berkat Saka yang membantunya merawat bayi mereka. Semenjak Renata
Renata baru saja selesai membeli beberapa keperluannya di sebuah pusat perbelanjaan. Namun, ketika dia melewati sebuah toko perlengkapan bayi, langkahnya terhenti, dia menatap tempat itu lama. Menunduk untuk menatap perutnya, Renata tersenyum kecil kemudian memutuskan untuk masuk kesana. Renata menyusuri tempat itu, menatap sekelilingnya. Lalu. Tatapannya jatuh pada koleksi pakaian bayi. Kedua kakinya melangkah pasti kesana, dia mengambil sebuah pakaian bayi, jemarinya mengusap pakaian itu dengan gerakan lembut. Ada rasa hangat yang menjalari tubuh Renata ketika dia melakukannya. Membayangkan bayinya nanti akan memakai pakaian menggemaskan itu membuat senyuman Renata mengembang sempurna dan kedua matanya berbinar penuh harap. Semakin hari Renata semakin bersyukur a
TIGA TAHUN KEMUDIAN.Saka membuka pintu rumahnya, dia baru saja kembali setelah melakukan perjalanan Bisnis ke Hongkong. Wajahnya tampak lelah, namun, ketika dia menemukan putrinya yang berlari ke arahnya, senyuman Saka mengembang begitu saja. “Pa...” teriak putrinya, Gheana Adhiyaksa. “Hai, Ghea.” Balas Saka, dia hampir saja menggendong Ghea kalau saja suara Renata tidak mengintrupsi. “Papa mandi dulu, baru boleh peluk Ghea.” Saka melirik Renata, mencebik samar kemudian menghela napas malas. Begini lah kalau Mama dari anaknya adalah seorang Dokter anak, semuanya harus steril demi menjaga kesehatan putri mereka. “
Renata resah bukan main. Besok, Mamanya bersikeras untuk datang ke rumah Saka dan menemuinya beserta Ghea. Padahal Renata masih ingin mengulur waktu, tapi Mama dan Papanya seolah tidak peduli dan tidak bisa lagi bersabar. Dan kini, Renata benar-benar kebingungan. Dia takut Saka akan marah jika tahu mereka datang ke sini tanpa seizinnya. “Apa aku izin dulu ke Saka, ya...” gumamnya dengan wajah cemas. “iya, aku harus izin dulu ke Saka. Kalau di bicarakan baik-baik, Saka pasti mau mengerti.” Renata menoleh ke atas tempat tidurnya, Ghea masih tertidur pulas sejak pukul lima sore tadi. Setelah memastikan Ghea, Renata keluar dari kamarnya menuju kamar Saka. Dia mengetuk pintu kamar Saka beberapa kali hingga Saka membukakan pintu untuknya. “Apa?” tanya Saka. &n