Hawaii, Honolulu - Amerika Serikat | Pearl Harbour, 05.30 PM
Suasana tegang dan mencekam tengah dirasakan para pengunjung perayaan hari angkatan laut yang sedang menyaksikan para marinir di medan perang.
Bukan … Ini bukan perang sesungguhnya. Ini hanya sebuah opening ceremonial hari angkatan laut untuk memeriahkan acara dan menunjukkan aksi terbaik para tentara terlatih yang selalu melakukan tugasnya dengan benar.
Terdiri dari empat kapal yang dipimpin langsung oleh para kapten kapal. Dua diantaranya dipimpin oleh Rainer bersaudara.
Beberapa tamu pilihan dapat menumpangi kapal-kapal itu dan bisa secara langsung melihat para pemimpin dan awak kapalnya bekerja seperti kejadian disaat perang. Membuat hati pengunjung berdebar ikut terpacu dan merasa tegang, karena dibuat seperti sedang menghadapi musuh sesungguhnya.
Setelah bersitegang dengan gugurnya dua kapal, kini tersisa dua kapal yang masih bertahan karena memiliki strategi yang baik dalam menyerang titik palsu yang dibuat lawan.
“Arahkan titik koordinat ke 2.3.7!” seru Daxon kepada salah satu awaknya.
Layar monitor besar terpampang di hadapannya menunjukkan titik lawan yang siap ia serang.
“Peluru ke titik koordinat 2.3.7 siap diluncurkan menunggu perintah, Sir!” jawab Walter -pengontrol senjata-.
Daxon terlihat serius menunggu pergerakan titik yang dengan cerdiknya sang kakak menggerakan umpannya demi menyelinap dan menyerang kapalnya.
Titik radar yang bergerak semakin mendekat, membuat suasana semakin tegang. Bahkan Lexy yang dengan beruntungnya mendapatkan ruang untuk berada di kapal Daxon, merasakan aura mengerikan ditunjukkan oleh Daxon begitu serius memerhatikan titik radar yang bekelit ke kiri dan kanan hingga hampir mendekati titik yang ditentukannya tadi.
“Sir, kapanpun kau yakin. Kami siap,” peringat Walter.
“Wait, Walter,” desis Daxon.
Oh c'mon, brother! I know your trick! batin Daxon menunggu selama beberapa detik lagi.
One, two …, “Now, Walter!” Perintah Daxon.
Dan seketika sebuah torpedo meluncur bebas menyerang ke arah titik yang sudah ditentukan.
Semua memerhatikan gambar bergerak di layar besar yang berada di hadapan mereka. Terdiam sejenak menunggu hasil, hingga sebuah ledakan terjadi dan guncangan cukup terasa di kapal— akibat mereka mengguncang dan mengadukan sebuah kapal buatan yang digerakan dengan alat pengendali dari milik Raven.
Itu adalah yang terakhir. Seluruh awak dan pengunjung di kapal Daxon bersorak girang saat mereka dinyatakan menjadi pemenang dari games pembukaan acara tersebut.
Daxon menatap Lexy yang memandangnya kagum dan takjub dengan caranya memimpin dan memenangkan permainan.
“Terima kasih untuk kerja keras kalian. Sekarang kita kembali ke pangkalan,” pinta Daxon. dan mendapat jawaban ‘ya’ dari awaknya.
Daxon menghampiri Lexy yang tersenyum kagum padanya. Sejak tadi ia sudah sangat ingin menyapa gadis itu ketika melihat Lexy menjadi salah satu pengunjung terpilih yang mendapatkan tempat untuk melihat aksinya memimpin.
Jujur saja, Daxon sempat khawatir akan membuat kekacauan seperti pada latihan sebelumnya. Namun, entah kehebatan dari mana membuatnya mampu memenangkan sebuah permainan di depan banyak orang termasuk di depan wanita incarannya.
“Hei, kau disini?” tanya Daxon berbasa basi.
Lexy menunjukkan kartu pengunjung yang terdapat warna hijau sebagai tanda ia mendapatkan tempat di kapal Daxon.
Daxon tersenyum mendapat jawaban singkat dari pertanyaan bodohnya.
“Oh, my bad. Beruntungnya aku mendapat tamu istimewa secantik putri laksamana,” ujar Daxon mengganti sapaannya. Sambil meraih tangan kanan Lexy dan menciumnya sekilas, sebagai tanda menghargai wanita penting itu.
“Jangan berlebihan, Letnan. Aku yang tersanjung mendapat sambutan spesial dari pemimpin kapal pemenang.” Lexy membalas dengan anggun walau terselip nada gurauan disana.
“Mungkin karena kehadiranmu, kapal ini bisa memenangkan peperangan,” jawab Daxon sekenanya. Membuat semburat merah tercetak di wajah cantik Lexy.
“Well, itu artinya aku tak salah mendapat tumpangan jika memang terjadi sebuah perang.” Lexy menjawab membuat Daxon mengedarkan pandangannya sekilas sambil menebarkan senyuman tampannya.
“Mungkin aku harus membawamu ikut disetiap perang yang ku jajahi,” gurau Daxon menimpali.
Keduanya tertawa dan menunggu kapal mereka sampai ke pangkalan. Mereka akan merayakan hari marinir nasional dan memulai acara tersebut dengan sambutan dari Dereck Halbert D'Ryan.
***
Raven memeluk sang adik saat tiba di pangkalan. Mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Walau setelah itu terdengar bisik para marinir lain yang mengenal kedua Rainer yang terkenal akan kekompakannya dan keahlian mereka masing-masing.
“Selamat, Rav. Kau sukses membuat adikmu memiliki muka di depan banyak orang,” ejek seorang letnan setara Raven.
“Hei—”
Raven menepuk bahu Daxon yang hendak melayangkan protes. Sambil menggeleng, Raven menenangkan sang adik.
“Kau tahu aku tak akan melakukan itu, Dax. Jangan terpancing,” peringat Raven.
Daxon mengangguk walau tatapan tajam tertuju pada marinir yang mengejeknya tadi sedang mencari muka di depan komandannya yang tak lain ayah Lexy.
“Ya, Rav. Sepertinya tak ada yang mengharapkan kemenangan atasku.” Daxon menenggak minumannya, “So … enjoy the party, Brother! Aku tak ingin di sini,” sambung Daxon.
“Hei, Dax. Kau tak marah ‘kan?” tanya Raven.
“Mana mungkin aku marah padamu, Rav. Tenang saja, aku memiliki caraku untuk bersenang-senang. Aku akan kembali nanti sebelum pagi,” ujar Daxon mendapat anggukan dari Raven.
Daxon merasa muak dengan semua marinir yang lebih percaya kepada Raven yang mengalah demi dia, memilih keluar dari pesta menuju ke halaman parkir. Mengendap perlahan menjauh dari kerumunan di tengah kerlap kerlip lampu yang menyala di sepanjang pangkalan.
Dia memilih menyelinap pergi dan mencari hiburan di seluruh pantai Hawaii yang terkenal dengan keindahannya. Tanpa Daxon sadari, seorang wanita mengendap mengikutinya hingga terpergok saat Daxon membuka pintu mobilnya.
“Apa kau akan pergi dari pesta membosankan itu?” tanya suara lembut itu.
Suara yang membuat Daxon mengulas senyum di kala hatinya mengadu kesal. Daxon berbalik dan mendapati Lexy yang sibuk menatap ke belakang seolah memastikan tak ada orang lain selain mereka.
“Oh ayahku pasti sudah menyadari aku tak ada di sana!” seru Lexy menerobos masuk ke mobil Daxon setelah menggiring pria itu untuk masuk juga. Membuat Daxon sedikit terkejut dan mengikuti kegilaan wanita itu.
“Hei, aku bisa ditenggelamkan ke palung laut jika ayahmu mengira aku menculikmu!” tukas Daxon.
Walau Daxon tetap menginjak pedal gasnya. Bergegas meninggalkan pangkalan untuk semalam. Kenakalan biasa yang ia lakukan disaat sedang bosan dengan acara yang menurut Daxon tak menginginkan dirinya ada di dalam acara tersebut.
“Nona! Lebih baik kau kembali, sebelum aku—”
“Tutup mulutmu, Dalmore! Aku sedang menghubungi ayahku, agar tak mencariku!” sela Lexy.
“Hallo, Dad. Aku keluar sebentar. Mencari udara segar, karena aku sedikit sesak dengan pengunjung di sana,”
“ ....”
“Ya … tenang saja, Dad. Aku akan kembali sebelum pagi. See you and i love you,” ujar Lexy mengakhiri laporannya.
Lexy mematikan sambungan teleponnya dan menatap Daxon yang menggeleng diiringi kekehan kecil.
"Well, sekarang kau yang menculikku atau aku yang menculikmu?” tanya Daxon.
Lexy memiringkan tubuhnya dan menatap Daxon yang tak mudah dilewatkan.
“Apa pertanyaan itu penting untuk kita bahas?” tanya Lexy.
Lagi-lagi sukses membuat Daxon menggeleng sambil mendecakkan lidahnya tak percaya.
“We have fun together?” tanya Daxon melirik sekilas.
“Why not? Let's go to the real party!” seru Lexy.
Membuat Daxon terkekeh mendengar Lexy yang begitu riang seolah habis keluar dari kumpulan orang yang membuat gigi mereka kering, karena harus memasang senyum setiap saat orang menyapanya.
Wow… pelarianku saat ini sangat menarik. Kali ini kau sungguh terjebak bersamaku, naughty girl. Dan aku tak akan mabuk kali ini, lets play with me baby! seru Daxon dalam hati.
**
Suasana bising di sebuah klub yang terdapat di dekat pantai Hawaii terlihat ramai saat hari semakin malam. Bertambahnya pengunjung membuat keadaan semakin sesak dan tak lagi terlihat nyaman bagi Daxon dan Lexy.Hingga keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan di dekat bibir pantai menikmati semilir angin yang menerpa kulit mereka. Daxon dengan senang hati memberikan jaket kulitnya untuk dikenakan Lexy, sebagai bentuk kelemah lembutannya.Hanya dalam hitungan jam mereka tampak akrab karena pembicaraan mereka yang selalu sama setiap kali menebak. Membuat Lexy merasa nyaman dan tak berhenti tertawa dengan semua lelucon yang dilontarkan Daxon di sepanjang kebersamaannya.“Ya, dan saat aku mengejek Walter. Wajahnya malah semakin kaku seperti habis melihat medusa,” ujar Daxon terkekeh.Membuat Lexy ikut terkekeh saat mendengar cerita Daxon tentang kebodohannya mengejek Walter.“Aku bisa bayangkan wajah hitamnya yang menegang, saat meliha
Beberapa minggu kemudian ...“Hei Kap, jadi kau ambil cuti liburan natalmu?”Walter, sang anak buah berlari menyapa saat melihat Daxon berjalan keluar dari ruang kantor administrasi pangkalan tempat mereka bertugas. Daxon menyikut perut bawahan yang sudah dianggap sebagai temannya itu karena sebenarnya mereka hampir seumuran dan sangat dekat.“Bagaimana dengan kau? Tidak natal bersama keluarga?” tanya Daxon yang sudah merangkul bahu pria yang kalah tinggi dengannya itu.Walter hanya mengendikkan bahu, menjawab, “Tahun ini giliranku yang standby. Mungkin aku pulang setelah tahun baru.”“Poor you. Itu artinya wanitamu harus menunggu lebih lama, bukan?”“Aku tidak punya kekasih lagi, bila kau ingin tahu.”“Why?”“Dia memutuskanku karena tidak bisa selalu bersamanya.”Daxon menepuk bahu Walter menya
Hari ini adalah hari penting bagi Daxon. Dia sudah siap dengan penampilannya yang bersih dan rapi. Cukup lama ternyata memilih antara kaos dengan kemeja di lemarinya yang hanya itu - itu saja. Akhirnya dia memutuskan untuk memakai kaos putih berlapis blazer hitam pemberian ibunya yang tak pernah dia pakai. Ditambah dengan jeans hitam dan sepatu berwarna putih juga agar terkesan kasual. Tema hari ini adalah black and white. Daxon suka itu.Bila biasanya dia sangat cuek dengan caranya berpakaian. Namun, kali ini tidak. Dia harus terlihat pantas bila bersanding dengan si seksi Lexy saat berjalan nanti. Wajah tampan saja tidak cukup. Dari kepala hingga kaki harus terlihat sempurna, dan jangan lupakan satu hal lagi. Parfum!Ya, benda yang satu itu hampir tak pernah dia pakai
Kendaraan klasik beroda empat milik Daxon masih berjalan setelah hampir dua jam perjalanan mereka habiskan dengan senda gurau saling menceritakan sisi buruk masing-masing, lalu mengejek lawannya. Sebuah gurauan seru jika dalam perjalanan untuk mengusir rasa kantuk saat berkendara.Mereka terlalu merasa nyaman hingga tak lagi merasa malu walau untuk mengatakan dirinya tidur begitu berisik dan mendengkur saat tidur. Daxon mengakui Raven sering menceritakan dan mengejeknya demikian. Begitu juga dengan Lexy yang selalu bernyanyi di dalam kamar mandi, walau ibunya sering protes akan suara sumbangnya.Sudah diceritakan sebelumnya bahwa hubungan keduanya berjalan karena mereka selalu mengutamakan rasa nyaman di atas segalanya. Mereka merasa menjadi diri sendiri adalah rasa nyaman yang tak bisa digantikan dengan materi."
Daxon dan Lexy membuka pintu kamar penginapan mereka yang didominasi dengan kayu sebagai tema losmen di tempat yang cocok untuk menikmati musim dingin."Well, setelah dengan baik hatinya kau memberikan satu ruangan kosong untuk new family tadi. This is our room ... come in, Nana. Jangan mengeluh mendengar dengkuranku nanti," ujar Daxon bersandar di pintu dan mempersilahkan Lexy untuk masuk."Ya … mengingat masa kecilku tinggal di perancis bersama ibu dan bibiku. Aku rasa tak ada bocah kecil yang tak menyukai perm
Perjalanan pulang yang tak sehangat perjalanan pergi saat ini tengah terjadi. Pagi yang lebih baik dari semalam setelah badai salju, beruntung pagi tadi tim penyisiran salju di jalan, selesai dilakukan. Mereka kembali ke kota. Sepanjang jalan yang memberikan pemandangan putih itu membuat Lexy sanggup terdiam menatap pohon-pohon pinus yang berubah menjadi putih tertutupi salju. Lexy menyukainya dan Daxon menyukai tatapan kagum Lexy akan alam.Namun, Daxon menangkap sorot dari mata Lexy yang sesekali dilihatnya saat menoleh sekilas. Membuat pria itu memahami ada yang sangat dipikirkan oleh Lexy."Aku tahu kau takut, Nana. But, hei … aku yang harusnya takut." Daxon meraih tangan dingin Lexy dan mengecupnya, "kau layak diperjuangkan, Nana. Kau pantas mendapatkan itu. Dan aku tahu ayahmu tak akan semudah itu mengizinkanku mengencani putrinya. Mengingat sebera
Sepulangnya dari rumah Lexy, dengan cepat Daxon memasuki rumah dan buru-buru menuju kamarnya. Dia sedang menghindari kakaknya, Raven. Pintu pun sengaja ia kunci dari dalam. Antisipasi agar saudaranya itu tak asal sembarang masuk dan berakhir dengan dia diinterogasi.Daxon sama sekali belum siap. Ia takut salah ucap atau apapun yang berpotensi rahasianya dan Lexy terbongkar. Jujur saja, Daxon tidak pandai berbohong. Raven pun terlalu pintar untuk menilik itu semua. Kakaknya itu seperti pakar mikro ekspresi yang bisa membaca apapun hanya dengan melihat wajah.Keahlian yang sangat mengerikan menurut Daxon. Dia pikir dulu kakaknya cenayang saat masih bersekolah. Pemikiran bodoh macam apa itu?"Daxie! Kau mengunci pintumu?"Terdengar suara Raven yang mencoba membu
Part 08 • Indecision "Aku rasa, Nona D'Ryan cukup menarik. Bagaimana menurutmu, Daxie? Apa aku harus menerima tawaran paman Dereck?" Pertanyaan Raven terus berputar-putar semenjak hari dimana Daxon mengantar Lexy pulang dan malah mendengar perkataan Dereck yang menginginkan Raven bersama putrinya, yakni Nana-nya. Kini Daxon terpaksa memutar balik mobilnya. Setelah berusaha mengejar Lexy yang turun dari mobil dan menghentikan taksi, lalu melaju kembali ke rumah. Walau ia sangat menyesal telah membuat wanita itu kecewa. Namun, ia tetap ingin memastikan Lexy kembali dengan selamat. Setelah tiba di rumah dengan hati dan perasaan yang gundah, ia langsung menuju kamarnya. Jika saat bersama Lexy tadi, Daxon memikirkan ucapan