“Sebaiknya kau diam sebelum kesabaranku habis, Laura!” desis Smith, suaranya bagaikan bilah pisau yang mengiris udara pagi dengan tajam dan dingin.Laura melirik sekilas ke arah suaminya, matanya yang redup memantulkan bayangan ketegangan yang menggantung seperti kabut tebal di antara mereka.Ia menghela napas panjang, tarikan udara terasa berat di dadanya, seolah dunia sendiri menolak memberinya ruang untuk bernapas.Ia bahkan tidak tahu apa dosanya pagi itu—atau mungkinkah Smith sedang marah pada Louis? Tapi kenapa? Toh, lelaki itu jarang sekali peduli, tidak padanya, tidak pula pada apa pun yang benar-benar penting.Saat mobil berhenti di depan gedung kantor, Laura membuka pintu dengan gerakan tegas, langkahnya ringan namun sarat dengan kegelisahan yang ia tutupi rapat.Udara dingin pagi itu menyambutnya, menusuk kulit seperti pengingat bahwa realita selalu lebih kejam daripada sekadar kata-kata. Ia mempercepat langkah, masuk ke lift, dan menekan tombol tanpa menoleh ke belakang.“
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan suasana di lobi Allera Hotel terasa lebih hidup dari biasanya.Langit di luar bersih tanpa cela, memancarkan sinar matahari yang hangat ke kaca-kaca tinggi, menciptakan kilauan keemasan di lantai marmer yang mengilap.Deretan staf hotel berdiri dengan rapi, masing-masing mengenakan senyum profesional yang memancarkan rasa hormat dan antusiasme.Di tengah mereka, Smith, Vincent, Louis, dan Laura tampak menonjol, auranya memancarkan wibawa yang sulit untuk diabaikan.Mobil hitam mewah berhenti dengan elegan di depan pintu utama, bannya seakan menyentuh lantai dengan kehalusan seperti dalam adegan film. Ketika pintu mobil terbuka, seorang pria berwibawa dengan jas abu-abu rapi melangkah keluar.Walikota Alexander, sosok yang sudah dikenal karena karisma dan prestasinya, tampak seperti lambang kemapanan itu sendiri. Aura kehadirannya begitu kuat, hingga seluruh ruangan seolah berhenti untuk sesaat.“Tuan Alexander!” seru Vincent dengan penuh ke
"Siapa juga yang akan menceraikannya, Dad!" ucap Smith, suaranya menggema dingin seperti angin malam yang menyelusup melalui celah pintu yang terbuka.Vincent menaikkan alis, menatap putranya dengan sorot mata yang penuh arti. "Bagus, jika kau tidak memiliki niat seperti itu," ucapnya datar sebelum berbalik, langkahnya bergema di lantai kayu ruang kerja Smith yang sunyi.Smith mengusap wajahnya perlahan, jari-jarinya terasa berat seakan menahan beban dunia. Napas panjang meluncur dari bibirnya, menghembuskan sisa-sisa harapan yang tercecer."Apakah aku harus menghamili perempuan itu, supaya dia tidak memiliki alasan untuk berpisah denganku?" gumamnya, nyaris seperti bisikan rahasia kepada dirinya sendiri. Pipinya menggembung sesaat, namun kekosongan di matanya tak mampu disembunyikan.Dia tahu, Stella sedang menunggunya. Wajahnya yang seperti boneka porselen itu selalu tampak tegar, namun di balik topengnya, Smith dapat melihat api yang mengintai, api yang siap membakar apa pun demi e
“No!” sergah Smith, suaranya menggema di ruangan, seperti palu godam yang memukul dinding kepercayaan di antara mereka. Ia menggelengkan kepala dengan tegas, menolak mentah-mentah dugaan Laura.Di hadapannya, Laura berdiri terpaku. Kekecewaan merebak seperti luka yang terbuka, menyesakkan dadanya. Tangannya gemetar, namun ia mengepalkannya erat, mencoba menahan badai emosi yang mengancam untuk meluap.Matanya yang biasanya penuh dengan ketegasan kini meredup, seolah seluruh cahayanya direnggut paksa.“Baiklah,” ucapnya pelan, suaranya serak, seperti daun kering yang jatuh di musim gugur. “Kau memang tidak pernah percaya dengan apa yang kukatakan.” Jemarinya yang dingin menyambar dokumen dari meja, dan gerakannya terasa seperti pisau yang mengiris jarak di antara mereka.“Aku memang salah jika memintamu menyelidiki semuanya,” tambahnya, nada pahit menggantung di udara seperti bayang-bayang senja yang memanjang.Tanpa menunggu balasan, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan ruang
“Daddy, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Soal pekerjaan,” ucap Laura, suaranya terdengar mantap meskipun ada nada lelah yang terselip.Ia memutuskan menelepon Vincent begitu tiba di ruang kerjanya, tidak ingin menunda-nunda lagi.“Datanglah. Aku ada di lantai tiga puluh, Laura,” jawab Vincent dengan nada ramah namun tegas.Laura menutup panggilan tersebut. Dengan langkah tergesa, ia menuju lift. Pikirannya terus dipenuhi kekesalan terhadap Smith.Karena suaminya enggan membantunya, ia tahu Vincent adalah satu-satunya harapannya sekarang. Lift berdenting, pintunya terbuka perlahan, dan Laura melangkah keluar menuju ruang kerja Vincent.Tok tok.“Masuk!” suara berat Vincent terdengar dari balik pintu.Laura membuka pintu dengan hati-hati, lalu masuk ke ruangan luas yang dihiasi dinding kaca, memberikan pemandangan cakrawala kota yang menakjubkan.Udara di dalam ruangan terasa tenang, tetapi juga membawa wibawa yang tak terbantahkan.Vincent, dengan rambut peraknya yang tertata rap
“Di mana ini?” bisik Laura, suaranya serak dan nyaris tenggelam dalam keheningan yang dingin. Kepalanya terasa berat, seolah dunia berputar dalam kabut yang tebal.Matanya perlahan terbuka, menangkap bayangan remang sebuah ruangan yang gelap dan lembab. Aroma apak dan besi yang menguar membuat perutnya mual.Ruangan itu tak seperti apa pun yang pernah ia lihat—dingin, kosong, dengan dinding batu yang basah oleh tetesan air.Di atas kepalanya, sebuah lampu redup berayun perlahan, menciptakan bayangan bergerak yang menari-nari di dinding seperti hantu yang mengintai.Laura mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku. Tangannya terikat erat dengan tali tambang kasar di belakang kursi yang keras dan dingin.Tiba-tiba, suara berat dan serak memecah keheningan. “Apa yang kau bicarakan dengan Vincent, Laura?”Laura menoleh perlahan, kepalanya masih terasa berat.Sosok pria bertopeng berdiri di hadapannya, siluetnya tinggi dan mengintimidasi, dengan tangan yang kokoh menggenggam sebilah pis
Smith tiba di rumah tepat pukul delapan malam, wajahnya mengeras seperti granit, sorot matanya menyala penuh kemarahan.Ia melangkah lebar dengan hentakan yang menggema di lantai, setiap langkahnya seolah memancarkan bara yang siap membakar. Bibirnya menggeram saat mendapati kamar Laura gelap tanpa tanda-tanda kehadiran.“Kurang ajar! Laura pulang tanpa pamit terlebih dulu padaku. Semakin hari semakin melunjak!” desisnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan ancaman yang menggantung di udara.Tangannya yang besar dan kokoh memutar kenop pintu dengan kasar, tapi tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu. Mata Smith menyapu ruangan dengan tajam, hanya kegelapan dan keheningan yang menyambutnya.“Pergi ke mana wanita itu? Kenapa dia tidak ada di kamarnya?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, sementara tangan lainnya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel.Jarinya bergerak cepat, menekan nomor Laura, namun suara dering yang terus berlanjut tanpa jawaban semakin menambah bara dalam d
Laura membuka matanya perlahan, kelopak yang terasa berat seperti menanggung beban seluruh dunia.Ruangan itu masih gelap, lembap, dan menyesakkan—seolah seluruh udara dipenuhi aroma ketakutan. Napasnya terdengar pelan, hampir seperti desis ular yang terjebak.Dari kegelapan, suara dingin memecah kesunyian. “Kau ingin menggagalkan rencanaku, huh?”Laura menoleh, gerakannya lamban, tubuhnya yang lemah nyaris menyerah. Ia menyipitkan mata, mencoba menangkap sosok di hadapannya.Bibirnya membentuk senyum tipis yang penuh sindiran meskipun rasa sakit menyelimuti tubuhnya.“Andy?” gumamnya dengan suara yang serak dan lemah, namun tak kehilangan tajamnya. “Ternyata kau, yang telah menculikku.”Andy melangkah maju, langkah kakinya menggema seperti detik-detik bom waktu. Ia menekan bahu Laura dengan kuat, menanamkan rasa sakit yang membuat napas Laura tersengal.“Katakan padaku,” ucapnya dengan suara yang menusuk seperti pisau, “Apa yang sudah kau katakan pada Vincent?”Laura terbatuk-batuk,
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai, menciptakan garis-garis keemasan yang menari di dinding kamar.Laura membuka matanya perlahan, dunia di sekitarnya masih terasa setengah nyata, seperti mimpi yang belum usai.Ia menoleh ke arah samping, hanya untuk mendapati bahwa Smith sudah tidak ada di sana.Namun, kehadirannya terasa begitu nyata dalam pikirannya. Ingatan semalam menyeruak, membanjiri benaknya seperti ombak yang tak bisa ditahan.Ia teringat bagaimana dirinya hanyut dalam belaian hasrat yang Smith berikan. Sentuhan itu begitu mematikan, seperti listrik halus yang mengalir di kulitnya, membuat tubuh Laura meremang hanya dengan membayangkannya kembali.“Ah! Aku sudah gila,” keluh Laura sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Jari-jarinya menggenggam erat rambutnya yang kusut, sementara bibir bawahnya tergigit pelan dalam upaya menahan rasa malunya.“Aku sudah seperti wanita murahan... astaga,” gumamnya, suaran
Ciuman itu kian memanas, menjelma api yang membakar setiap inci jarak di antara mereka.Smith mengangkat tubuh Laura dengan lembut namun penuh gairah, seperti membawa sebuah harta karun yang tak ternilai.Bibir mereka tetap menyatu, menyulam desir kehangatan di udara, sementara langkah-langkah Smith memimpin mereka menuju ranjang yang seolah menjadi altar penyatuan jiwa.Ia merebahkan tubuh Laura dengan hati-hati, seakan menyentuh porselen yang rapuh.Tatapan matanya yang gelap dan penuh intensitas menelusuri wajah Laura, seperti menatap lukisan yang baru ia temukan setelah bertahun-tahun tersesat.Jakun Smith bergerak naik-turun, menandakan gejolak yang tak mampu ia sembunyikan. Itu membuat jantung Laura berdegup lebih cepat, seakan mematuhi ritme yang diciptakan oleh gairah di antara mereka."Kau tahu? Kita sudah terlalu lama terkurung dalam dinginnya jarak," bisiknya serak, nadanya berat seperti suara badai yang menggema dari kejauhan.Laura mengangguk pelan. Mata cokelatnya yang b
“Ya. Tentu saja aku sangat serius dan yakin,” Smith menganggukkan kepalanya, tatapannya jatuh pada wajah Laura yang teduh namun penuh tanda tanya.Ia kemudian menggenggam tangan Laura, telapak tangannya terasa hangat, namun jemarinya sedikit bergetar, mencerminkan gugup yang tak ia tunjukkan di wajahnya.Smith menghela napas panjang, udara yang diembuskannya terasa seperti beban berat yang dilepaskan.“Mengharapkan yang tidak jelas tidak akan menemukan ujungnya, Laura. Sementara aku … aku harus mencari yang terbaik dalam hidupku,” katanya, suaranya merendah, seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri sekaligus kepada Laura.Smith menelan salivanya perlahan, tenggorokannya terasa kering. “Aku tidak pernah seyakin ini pada diriku sendiri, Laura. Aku … bahkan saat menjalin hubungan dengan Stella pun selalu ada saja keraguan dalam diriku.”Laura mengangkat alisnya, senyum tipis merekah di bibirnya, seolah ucapan itu berhasil menyentuh hatinya meski ia tak ingin menunjukkannya.“Lalu,
Hari ini adalah hari Minggu. Sinar mentari yang lembut menyelinap melalui dedaunan pohon besar di halaman rumah megah keluarga Vincent, memberikan kesan damai yang bertolak belakang dengan debaran di hati Laura.Langkah mereka terasa berat saat mendekati pintu utama, meskipun tangan Smith menggenggamnya dengan kokoh, memberikan rasa aman yang nyaris tak terungkapkan.“Smith?” panggil Laura dengan nada lembut namun penuh keraguan, tangannya sedikit menarik lengan pria itu.Smith menoleh, matanya menatap Laura dengan kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain. “Ada apa, Laura?” tanyanya, suaranya seolah membungkus kegelisahan Laura dengan ketenangan.“Apakah ibumu ada di dalam?” tanya Laura, suaranya hampir tenggelam dalam udara sore yang hangat. Ada kilatan was-was di matanya, mengingat setiap kata tajam yang pernah dilemparkan Maria, ibu mertuanya, seperti belati yang menggores harga dirinya tanpa ampun.Smith mengeratkan genggamannya, menatap Laura dengan tatapan yang seol
"Apa yang kau inginkan, Laura?" Smith kembali bertanya, suaranya serak namun penuh kesungguhan.Ia duduk tegak di sudut ruangan, memperhatikan Laura yang sibuk memasukkan sisa-sisa pakaian ke dalam koper.Laura menghentikan gerakannya sejenak, menghela napas panjang seperti mencoba meredam sesuatu di dalam hatinya."Apa kau belum bosan menanyakan apa yang aku inginkan, Smith?" tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan yang menyatu dengan udara di kamar itu.Smith menggeleng perlahan, matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya. "Tidak," jawabnya tegas, namun lembut."Aku tidak akan bosan menanyakan apa yang kau inginkan. Lagi pula, kau baru memberiku satu perintah."Laura tertawa kecil, suara itu seperti melodi lembut yang memecah ketegangan di antara mereka. "Berhentilah menanyakan hal itu padaku, Smith. Jika aku menginginkan sesuatu, aku pasti akan memberitahumu.""Sungguh?" Mata Smith berbinar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang paling ia dambakan.
“Apa?” seru Laura dengan suara terkejut, tubuhnya berputar cepat ke arah Smith, sementara matanya membesar seperti bulan purnama di langit gelap.Smith hanya mengerutkan keningnya, tampak bingung melihat ekspresi Laura yang terkejut seolah mendengar hal yang mustahil. Wajahnya tetap tenang, meski ada sedikit senyuman kecil yang terselip di sudut bibirnya.“Ada apa, Laura? Bukankah kita ini sepasang suami istri? Apa salahnya jika kita tidur dalam satu kamar?” tanyanya, nada suaranya datar namun penuh keyakinan, seperti angin lembut yang menyapu dedaunan tanpa meminta izin.“A-aku tahu,” sahut Laura terbata-bata, rona merah tipis mulai merayap di pipinya.“Hanya saja, selama ini kita tidak pernah tidur dalam satu kamar, Smith!” protesnya dengan nada yang sedikit lebih tinggi, seolah berusaha menyembunyikan kegugupannya.Smith terkekeh kecil, suara itu serupa gurauan kecil dari ombak yang berbisik pada pantai. “Ya, tapi mulai detik ini, kita akan tidur dalam satu kamar,” ucapnya sambil m
“Aku harus berpamitan terlebih dahulu pada Rafael dan karyawan di sana. Walau bagaimanapun, aku sudah bekerja di sana selama dua bulan lamanya,” ucap Laura, memecah keheningan yang telah menggantung di antara mereka selama hampir lima menit.Suaranya terdengar lembut, tetapi ada sesuatu di baliknya—sebuah kenangan yang enggan ia lepaskan begitu saja.Smith menerbitkan senyum, kali ini lebih lebar dari biasanya, seperti matahari yang menembus awan tebal.Kata-kata Laura barusan membangkitkan harapan dalam dirinya, membuat dadanya terasa penuh oleh sesuatu yang hangat.Itu berarti Laura mau kembali padanya. Tanpa ragu, ia mengangguk cepat, penuh semangat yang sulit disembunyikan.“Ya. Aku akan menemanimu ke sana untuk berpamitan,” ucapnya, nadanya mengandung kegembiraan yang hampir seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru.“Huh?” Laura menoleh dengan alis terangkat, wajahnya dipenuhi kebingungan. “Bukankah kau tidak ingin orang lain tahu tentang pernikahan kita?” tanyanya dengan
Brugh!Suara berat menggema di ruang tamu saat Smith meletakkan boneka sebesar tubuh manusia dewasa di atas sofa. Laura tersentak, matanya membulat, tubuhnya seolah membeku sesaat.“Astaga, Smith,” gumamnya dengan napas tercekat. Tatapannya terpaku pada boneka itu, sebuah mahakarya berbulu lembut yang tampak terlalu besar untuk ruangan mereka, seperti raksasa yang salah tempat.“Aku pikir kau bercanda akan membeli boneka sebesar ini,” ucap Laura akhirnya, suaranya terdengar antara tak percaya dan terhibur. Mulutnya menganga lebar, seolah tak mampu menampung kejutan yang baru saja terjadi.Smith menaikkan satu alis dengan gaya khasnya, ekspresinya mencampurkan keangkuhan dan kebanggaan.“Apa maksudmu, Laura? Bahkan aku bisa memberimu yang lebih besar dari ini. Hanya saja, di toko itu hanya ini yang paling besar,” ujarnya sambil mengusap pelan ujung jaketnya, seolah ingin menegaskan bahwa ini hanyalah hal kecil yang bisa ia lakukan.Laura mendesah pelan, namun hatinya tersentuh. Ada ras
"Keinginan yang sangat di luar nalar. Bisa-bisanya dia meminta boneka sebesar manusia," gumam Smith dengan nada jengkel, langkahnya terdengar berat menghentak lantai keramik mall yang berkilauan seperti kaca yang membingkai langit.Mall itu terletak tak jauh dari rumah sakit, tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya belakangan ini.Vicky—asisten pribadinya yang baru, menggantikan Laura yang telah pergi meninggalkan dirinya seperti angin yang enggan singgah—akhirnya tiba untuk membantunya mengangkat boneka jumbo itu.Wanita muda itu mengenakan blazer hitam yang rapi, langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang meniti tali di atas jurang.“Warna apa yang diinginkan Nyonya, Tuan?” tanyanya dengan nada sopan, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang halus.Smith berhenti sejenak, keningnya berkerut. Ia lupa menanyakan hal sepenting warna boneka itu. Dalam pikirannya, Laura, yang dulu selalu begitu detil, kini terasa jauh seperti mimpi yang memudar saat pagi me