“Huuu ....”“Wanita murahan!!”“Tidak tahu malu!”Sorak orang-orang itu! Mereka dengan mudah terprovokasi ucapan lelaki yang pandai bersilat lidah. Tanpa mencari tahu kebenaran mereka menyudutkanku. Apa karena aku mantan wanita simpanan? Hingga semua keburukan selalu menempel padaku?“Bohong! Lelaki itu berbohong! Aku tak serendah itu! Lelaki itu yang hendak melecehkan aku.” Aku berusaha membela diri. Mesk i aku tahu tak ada seorang pun yang mempercayai kalimat yang keluar dari mulut wanita sepertiku.“Mana mungkin aku melecehkan wanita mur*han seperti dia!” elak lelaki itu seraya menunjuk wajahku.“Aku tidak seperti itu,” ucapku parau dengan linangan air mata membasahi pipi. Namun percuma saja, tak ada satu orang yang mempercayaiku. Mereka justru menatap hina diri ini.“Cukup tak usah membela diri! Sekali wanita mur*han akan tetap menjadi wanita mur*han!” wanita itu menatapku tajam. Aku hanya bisa diam. Percuma membela diri. Semua orang tak akan percaya.“Dan kamu,pa! Ayo pulang!” Wa
Uhuuk ... Uhuuk.... Yasmin terbatuk mendengar ucapan Brian. Nasi yang belum sempurna dikunyah masuk begitu saja. Wajah Yasmin memerah dengan rasa panas menjalar di tenggorokannya. Uhuuk ... Uhuuk .... Brian dengan cepat mengambil air putih dan memberikan pada Yasmin. Dalam hitungan detik gelas itu sudah berubah kosong. Air putih sudah habis tak tersisa. Perkataan Brian membuat napsu makannya menguap ke udara. Tiba-tiba jantung Yasmin dipacu lebih cepat. Ada getaran yang tak bisa ia jelaskan. Ini bukan kali pertama Brian menyatakan perasaannya. Namun perkataan Brian kali ini membuat Yasmin berdebar. Tidak bisa dipungkiri ada rasa cinta yang mulai tumbuh di hati Yasmin. Rasa itu hadir saat Brian mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya dari Riki. Namun Yasmin berusaha mengelak perasaan itu. Yasmin ragu untuk menjalin hubungan karena takut kecewa untuk kesekian kalinya. "Kamu sudah baikan, Bil?" tanya Brian seraya memijit tengkuk Yasmin. "Sudah, Ri. Makasih." Brian melepas tangannya
"Mbak Fathiya membuat kaget saja," ucap Yasmin lalu menghembuskan nafas pelan. Yasmin pikir yang menyentuh pundaknya adalah salah satu dari ketiga wanita tadi. Yasmin bisa kehilangan kendali jika itu benar-benar terjadi. Yasmin dan Fathiya berjalan beriringan. Kemudian duduk di kursi plastik yang ada di depan ruko laundrynya."Mbak mau ....." Yasmin menghentikan ucapannya kala melihat Fathiya tak membawa kantung plastik berisi pakaian kotor. "Saya tidak mau mencucikan baju, Mbak. Hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja." Fathiya tersenyum manis. "Masuk ke dalam saja, Mbak." Yasmin mengajak Fathiya masuk ke dalam rumah. "Diminum dulu, Mbak. Seadanya." Yasmin meletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja. Kemudian menjatuhkan bobot tepat di samping Fathiya. Perlahan bulir bening nan hangat jatuh membasahi pipi putih Yasmin. Wanita dengan rambut panjang itu kian terisak. Dia ceritakan musibah yang menimpanya dua hari yang lalu. Yasmin sudah tak sanggup menahan beban hidup seora
Pov Farel"Pasien terakhir kan, Sus?" tanyaku. "Iya, Dok.""Alhamdulillah," ucapku seraya melepas jas putih yang menempel di tubuh. Masuk pagi pasien selalu antre hingga terkadang membuatku merasa kelelahan. Namun aku tetap menikmatinya karena menjadi dokter adalah impianku sejak kecil. "Dokter Farel ditunggu Dokter Pramana di ruangannya." Aku menghembuskan napas kasar lalu menganggukkan kepala. Dengan langkah gontai aku menuju ruangan papa. Entah apa yang ingin dia bicarakan padaku? Apa papa tidak tahu jika aku sedang terburu-buru? Setiap kali aku berpapasan dengan suster atau dokter saat menuju ruangan papa, mereka pasti tersenyum ke arahku. Menjadi putra pemilik rumah sakit membuatku seakan diistimewakan. Meski sebenarnya aku enggan. Pintu kudorong ke dalam setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Papa sudah duduk di sofa sambil melihat ke arahku. Tangannya menepuk sofa memintaku duduk di sebelahnya. Aku yakin ada hal penting yang akan ia bicarakan. Tapi apa? "Ada apa,
Pov Farel"Ya Allah, Ma. Aku tak serendah itu, meski aku pernah satu kamar dengannya tapi aku tak pernah melakukan hal yang tidak-tidak. Yasmin juga tak serendah itu.""Satu kamar?" Mama menatapku tajam. Aku merutuki kebodohanku. Bisa-bisanya kelepasan bicara disaat yang tidak tepat. Mama pasti semakin membenci Yasmin. Jalan untuk mendapatkan restu sangatlah susah. "Jangan berpikir yang tidak-tidak, Ma! Farel akan ceritakan awal bertemu dengan Yasmin." Aku membalikkan badan, mata ini kembali menatap langit yang berwarna hitam. "Aku bertemu dengan Yasmin secara tidak sengaja. Tepatnya di jalan dekat pantai. Saat aku berlibur ke Bali beberapa bulan yang lalu ...." Aku mulai menceritakan semuanya. Mama diam seraya mencerna setiap kata yang keluar dari mulut ini. "Yasmin pernah meminta uang padamu?" tanya mama dengan suara lembut, tak setinggi tadi. "Yasmin tak pernah meminta uang sepeser pun, Ma. Aku yang menyewa kontrakan dan memberinya modal usaha. Semua kulakukan agar Yasmin bisa
Yasmin dan Brian menoleh bersamaan kala mendengar suara benda jatuh, tidak keras tapi mampu mengusik kemesraan mereka. Melihat kedatangan Farel spontan membuat Yasmin melepaskan genggaman tangan Brian. Kini ia melihat Farel dengan rasa bersalah. Yasmin berdiri lalu melangkah mendekati Farel. Dengan cepat Farel memasukkan kotak berisi cincin ke dalam saku celana. Lalu dia segera menundukkan tubuhnya untuk mengambil seikat bunga yang tak sengaja ia jatuhkan. "Bunga untuk siapa, Rel?" Yasmin mengambil seikat mawar putih lalu menciumnya. "Kamu suka?" tanya Farel datar. "Aku suka, sangat menyukai mawar putih. Tapi ini untuk siapa?" Yasmin menggeser seikat bunga dari depan wajahnya lalu menatap Farel lekat. Namun Farel justru mengalihkan pandangan ketika mata mereka saling bertemu. Yasmin mengembalikan seikat mawar yang ada di tangannya. Awalnya dia mengira bunga itu untuknya. Namun melihat sikap dingin Farel membuat Yasmin sadar jika bunga itu bukanlah untuknya. Brian mengepalkan tan
Farel menepikan kendaraan roda empat miliknya di pinggir jalan. Dia pukul stang mobil berkali-kali lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Farel menitikkan air mata. Menangis dalam kesendirian. Khayalan indah bersama Yasmin hilang dalam sekejap mata. Angan untuk bersama menjalin kisah indah nyatanya hanya fatamorgana. Farel terluka, tapi tak berdarah. "Ya Allah, kenapa sesakit ini? Harusnya aku sadar dari awal jika Yasmin tak pernah menaruh hati padaku. Harusnya aku pergi sebelum rasa itu merasuk lebih dalam di sanubari," gumam Farel. Cinta tak pernah bisa memilih ke mana dia akan berlabuh. Dan itu yang Farel rasakan. Hatinya telah menetap kepada Yasmin, meski dia tahu betapa kelam masa lalu Yasmin. Namun Farel tak memperdulikannya. Dan kini dia kecewa dengan rasa yang tumbuh di hati karena tak seiring takdir Tuhan. Setelah hatinya mulai tenang, ia segera memutar anak kunci mobil sesuai jarum jam. Perlahan mobil miliknya berjalan menuju perumahan mewah tempatnya tinggal
[Aku merindukanmu,Sayang]Aku mengernyitkan dahi membaca pesan dari nomor baru. Sebuah tanda tanya besar menari-nari di benakku. Siapa pengirim pesan itu? Farel atau Rian. Tapi tak mungkin Farel,kami sudah tak saling menanyakan kabar. Bahkan keberadaannya pun aku tak tahu. Dia seolah tenggelam di dalam Samudra Hindia. Rian? Ah,tak mungkin. Baru saja kami bertemu ,tak mungkin dia bilang rindu.Aku letakkan kembali ponsel di atas meja. Lebih baik menyetrika baju pelanggan dari pada sibuk memikirkan pesan dari nomor tak jelas itu.Kriingg... Kriingg.... Baru beberapa detik ponsel kuletakkan, kini benda pipih itu kembali bernyanyi. Sedikit kesal aku membalikkan badan lalu mengambil benda canggih itu. Sebuah panggilan dari nomor yang sama.Sebenarnya siapa dia? Sudah mengirim pesan tak jelas, telepon lagi."Assalamu'alaikum ...," salamku datar.“Ini kamu,sayang? Ya ampun,aku sangat merindukanmu, my baby.”DEGJantung seakan berhenti berdetak saat ini juga. Suara itu,suara seseorang yang in
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se