Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering.
"Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...." Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan. "Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan. "Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ...." "Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku. "Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah. Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia bergegas mengangkat panggilan telepon tersebut yang aku yakini berasal dari istrinya. Kini aku hanya tersenyum getir, sembari mengamati laki-laki itu yang sibuk berbicara dengan istri, dan anaknya. Raut wajah Mr Alex, tampak begitu bahagia. Di saat itu pula, aku pun menyadari jika aku memang bukan siapa-siapa bagi Mr Alex. Kaki ini, aku melangkah pergi, keluar dari apartemen tersebut, tanpa berpamitan lagi pada Mr Alex. Toh, dia juga tidak peduli dengan keberadaanku. Jadi, apa untungnya aku berada di sana? Aku sadar, aku hanyalah sebatas pecundang tak berharga bagi Mr Alex. "Maafkan aku, Mr Alex. Tidak seharusnya, aku mencoba menggodamu. Aku terlalu percaya diri dengan kecantikanku, sampai aku lupa jika rasa cinta itu tumbuh, bukan hanya berdasarkan melihat penampilan fisik semata." *** Sejak kejadian malam itu, aku kian menjaga jarak dengan Mr Alex. Lebih tepatnya, tak hanya aku, tapi dia juga. Mr Alex pun sudah tidak memberikan jam pelajaran tambahan lagi untukku. Lagipula, nilai fisikaku pun tidak terlalu buruk. Aku kembali pada jati diriku yang sebenarnya yaitu menguasai pelajaran fisika. Menjauhi orang yang kita cintai rasanya memang berat. Sejujurnya, tak semudah itu aku bisa melupakan Mr Alex. Terkadang, aku masih sering kali mencuri pandang padanya sekilas. Ya, hanya sekilas. Tak terasa, hari demi hari berlalu begitu cepat. Aku akhirnya berhasil menyelesaikan studyku, dan malam ini adalah malam terakhir aku di sini. Keesokkan harinya setelah pesta perpisahan ini berakhir, aku akan kembali ke rumah. Aku memutuskan untuk pulang, dan tidak melanjutkan study di Singapore. Sejujurnya kedua orang tua angkatku, memintaku untuk melanjutkan kuliah di sini. Namun, aku menolak. Aku hanya ingin melupakan hal yang pernah terjadi antara aku, dan Mr Alex, cinta pertamaku. "Nay turun yuk!" ajak Cecil, sembari menarik tanganku. Namun, aku menggelengkan kepala, memilih duduk bermalas-malasan di sofa. Entah mengapa pesta ini membuatku tidak bersemangat. Mungkin, terasa begitu berat karena ini artinya aku harus berpisah dengan Mr Alex, tapi mau tak mau aku harus melakukan itu. Aku tak mau terbelenggu pada cinta yang hanya akan membuatku terluka. "Nggak asik ah lu, Nay. Pada semangat gitu, lu sendiri yang lesu. Percuma aja pake gaun mahal sama dandan di salon selama berjam-jam kalo lu lemes gini!" Aku pun menghela napas. Lalu, mengikuti Cecil. Memang benar apa yang dia katakan. Malam ini aku memang tampak kian cantik dengan sapuan make up bold, dan strapless dress warna hitam yang membungkus tubuh indahku. Belum lagi, tatanan half updo pada rambut coklatku, tentu saja, sukses membuat penampilanku terlihat begitu menawan. Teriakkan disertai alunan musik pun menggema di seluruh penjuru ruangan. Kerlap-kerlip lampu, serta kertas metalik, dan balon udara juga kian menyemarakkan dekorasi prom night ini. Semua orang terlihat bahagia, kecuali aku. "Gue ke toilet sebentar ya!" Aku pamit pada temen-temenku, dan mereka hanya mengangguk sekedarnya. Ketika aku baru saja memasuki toilet, toilet tersebut tampak begitu ramai. Aku pun memutuskan untuk pergi ke toilet yang ada di lantai tiga. Meskipun aku harus menaiki anak tangga, itu tak masalah. Bagiku, hal tersebut jauh lebih baik dibandingkan aku harus mengantre bersama dengan teman-teman seangkatanku yang seringkali bersikap reseh padaku. Mungkin saja mereka tidak terlalu menyukaiku, karena aku sering mendapat perhatian lebih dari murid laki-laki yang ada di sini. Akhirnya aku pun sampai di lantai tiga, lantai tempat ruangan para guru yang mengajar di sekolah ini. Bergegas aku menuju ke toilet yang ada di ruangan ini. Akan tetapi, ketika aku baru saja masuk, tiba-tiba ada yang menarik tanganku secara paksa. Lalu, menghempaskan tubuh ini ke salah satu bilik yang ada di toilet wanita tersebut, dan sialnya toilet di lantai atas memang sepi, tak ada satu orang pun di sini selain aku, dan orang itu. Aku yang tak menyangka akan mendapat serangan mendadak pun tak kuasa melawan, dan hanya bisa pasrah sembari mengamati sosok yang saat ini berdiri sambil mengunci bilik toilet ini. Namun, aku tak dapat mengenali sosoknya, karena dia memakai masker. Sebenarnya tanganku memberontak, tapi dia kian erat mencekal tangan ini. Aku pun berteriak, tapi dengan gerakan cepat, dia mendekat dan membungkam mulutku. "Jangan teriak, Kanaya!" bisiknya, mengudara tepat di samping telingaku. Dia kemudian melepaskan masker yang menutup wajahnya, dan betapa terkejutnya aku ketika mengetahui jika laki-laki itu ternyata adalah Mr Alex. "Mr Alex ...?" Dia pun mengangguk, lalu mendekat ke arahku, dan menatapku dengan tatapan datar, yang sulit kuterka. "A-Anda mau apa?" "Aku mau bicara sama kamu Kanaya. Aku tunggu kamu di ruanganku ya." "Bicara apa? Maaf tapi ...." "Tidak ada kata tapi, Kanaya. Aku pergi dulu, jangan membuatku menunggu terlalu lama." Setelah mengucapkan itu, Mr Alex keluar dari bilik toilet ini. Meninggalkanku yang kini dilanda kebingungan. "Aku harus bagaimana?"KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,
"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d
"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama
"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
"Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
POV AUTHORAlan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya.Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan.Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan.Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya.Akan te
Suara langkah kaki Stela terdengar tergesa-gesa di lorong. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran saat dia mencari sosok Rain. Dia menyusuri kursi-kursi tunggu, melihat ke dalam ruangan, hingga akhirnya menemukan Rain duduk sendirian di sudut ruangan sembari menempelkan ponsel di telinganya. Entah menghubungi siapa, Stela pun tak tahu. Matanya kosong, tatapannya lurus ke arah depan, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Stela kemudian mendekat dengan hati-hati."Rain ...!"Ketika Stela sudah kian dekat, Rain menutup sambungan telepon tersebut. Lalu, Stela duduk di sampingnya."Rain … dari tadi aku cari kamu."Rain mengangkat wajah perlahan, suaranya lirih dan lelah. "Aku sedang butuh waktu buat sendiri, Stela …"Stela tersenyum tipis, menggenggam tangan Rain dengan hangat, yang Stela tahu, Rain terlihat sedih seperti ini, karena melihat kondisi ibunya. Namun, di balik itu, ada hal lain menyita perasaan, dan pikiran Rain."Aku tahu kamu cemas, tapi aku punya kabar baik."Rain menatap Ste
Beberapa Saat Yang Lalu ....Rain menatap layar ponselnya, melihat sebuah nama yang membuat hatinya yang terluka semakin tergores.Kanaya, nama itu tentu saja tak bisa lepas dari sosok Arumi yang begitu mengakar kuat di dalam hatinya. Kanaya, sosok yang masih terhubung dengan masa lalunya, masa lalu yang telah lama pergi, tapi tak benar-benar hilang.Rain memang memutuskan untuk menghubungi Kanaya, setelah tadi malam dia memutuskan sambungan telepon dadi gadis itu saat ibunya tiba-tiba pingsan.Dengan napas tertahan, Rain menekan tombol panggilan. Satu dering, dua, tiga, dan akhirnya panggilan itu terjawab.[Halo ....]Suara di seberang terdengar lebih dewasa dari yang dia ingat, tapi masih memiliki nada yang sama. Rain menelan ludah, tiba-tiba merasa ragu. Apakah langkahnya ini sudah benar. Namun, tatkala mengingat Kanaya yang tadi malam tiba-tiba menghubunginya, Rain yakin pasti ada sesuatu hal yang penting. Mungkin, ada hubungannya dengan Arumi.[Halo, Kak Rain.]Ada jeda sunyi, s
Di Sisi Lain ....Di sebuah ruang perawatan yang sunyi, hanya terdengar jarum jam yang berdetak, seiring cairan infus yang menetes. Lampu redup memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan tipis di sepanjang dinding. Aroma antiseptik bercampur dengan kesenyapan, membungkus ruangan dalam ketenangan yang hampir menyerupai tidur itu sendiri.Seorang wanita melangkah perlahan, nyaris tanpa suara. Tumit sepatunya yang tipis hanya menyentuh lantai sekilas sebelum beringsut lagi ke depan. Napasnya teratur, tapi jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.Dia mendekati ranjang, tempat seorang wanita terbaring dalam tidur yang tampak begitu damai. Selang infus menggantung di sampingnya.Dia berdiri di sisi tempat tidur, menatap wajah yang tertidur itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Jemarinya bergerak ragu, lalu perlahan-lahan menyentuh punggung tangan wanita itu—hanya sekilas, seperti ingin memastikan sesuatu. Ada keraguan yang terpendam dalam sorot matanya, seolah-olah dia ingin
"Kamu udah telat? Telat berapa hari?" tanya Alan, dengan ekspresi yang sulit Kanaya terka."Sebenarnya baru telat dua hari sih.""Coba nanti kalau udah telat satu minggu, kamu tes. Kamu tenang aja, aku nggak akan ninggalin kamu. Sebentar lagi kita juga menikah."Kanaya mengangguk ragu, antara cemas, juga takut. Alan menarik napas dalam, kemudian menarik tubuh Kanaya ke dalam dekapannya, membiarkan kehangatan tubuh Kanaya menyatu dengan tubuhnya.Di balik jendela kamar, matahari masih bersinar terang. Sinarnya menyengat, bagaikan cinta kedua insan itu yang begitu membara.Alan bisa merasakan helaan napas Kanaya yang masih tersengal, bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam—keraguan, mungkin juga ketakutan.“Sayang, kamu kenapa? Takut?"Kanaya tak langsung menjawab. Jemarinya yang mungil menggenggam selimut, seakan mencari pegangan dalam pikirannya sendiri. Alan mengecup puncak kepalanya, mencoba menyalurkan ketenangan.“Kalau sesuatu terjadi, dan Papa sampai tahu, aku takut, Mas."Ala
Dengan suara tenang, tapi penuh wibawa, Alan mengangkat telepon. "Ya, ada apa?" tanyanya, matanya tetap fokus menatap ke depan.Suara anak buahnya terdengar dari seberang, melaporkan sesuatu dengan nada tergesa. Alan mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk meskipun orang di seberang tidak bisa melihatnya. Wajahnya tetap datar, hanya sesekali alisnya berkerut saat mendengar detail yang tidak dia sukai.Di atas pangkuannya Kanaya memperhatikan tanpa bersuara. Mata Kanaya menelisik ekspresi Alan, mencari tanda-tanda emosi di balik ketenangan yang selalu dia tunjukkan. Jemarinya yang ramping menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin, tapi perhatiannya tidak lepas dari pria di depannya.Setelah beberapa saat, Alan akhirnya menghela napas, menutup telepon dengan gerakan yang nyaris tanpa suara. Dia menoleh sekilas ke arah Kanaya yang masih mengamatinya dengan tatapan penuh arti."Bagaimana? Apa sudah ada petunjuk?" tanya Kanaya, suaranya lembut, tapi mengandung rasa ingin tahu.
Kanaya melangkah dengan anggun di sepanjang koridor gedung perkantoran yang megah. Gaun pastel yang dia kenakan melambai lembut seiring gerakannya, sementara rambut hitam panjangnya tertata rapi, berkilau di bawah cahaya lampu. Di tangannya, sebuah tas berisi bekal makan siang yang telah dia siapkan dengan penuh cinta.Tatapan para karyawan yang berlalu-lalang tak luput memperhatikannya. Wajahnya yang lembut dihiasi senyum tipis, mencerminkan kebahagiaan kecil yang dia rasakan.Kanaya tahu betul betapa sibuk kekasihnya, sehingga sesekali, dia ingin memastikan pria itu tidak melewatkan waktu makan.Suasana kantor terasa lebih hidup dari biasanya. Karyawan yang biasanya duduk di depan layar komputer, kini sesekali melirik ke arah koridor, ada bisik-bisik pelan di antara mereka disertai lirikkan penuh rasa ingin tahu.Seorang karyawati bernama Rina, berbisik pada salah seorang temannya, "Eh, eh, lihat deh! Itu Kanaya, 'kan?Doni membungkuk sedikit, menurunkan suaranya. "Iya, beneran dia!
Mata Rain terus mengekor wanita yang saat ini sudah didorong kembali menuju ke sebuah ruang perawatan yang ada di rumah sakit tersebut.Rain akhirnya memutuskan untuk mengikuti, hingga langkahnya terhenti di depan ruang rawat nomor 307. Jantungnya berdegup kencang, matanya tak berkedip menatap sosok yang tengah duduk di tepi ranjang pasien. Cahaya lampu menerangi wajah itu, wajah yang tak seharusnya ada lagi di dunia ini.“Arumi?” Suaranya lirih nyaris tenggelam dalam gemuruh dadanya sendiri. Perempuan itu menoleh, sepasang mata beningnya menangkap tatapan penuh keterkejutan di wajah Rain. Namun, Rain bisa melihat, tatapan itu masih sama seperti beberapa saat yang lalu, tidak ada pengakuan di sana, tidak ada isyarat bahwa dia mengenali siapa yang berdiri di ambang pintu."Ini mustahil. Arumi telah pergi satu bulan yang lalu, meninggalkan dunia ini dengan derai air mata dan janji yang tak sempat ditepati. Lalu mengapa sosok itu kini ada di sana, dengan wajah yang sama, senyum yang du
Lorong rumah sakit terasa panjang dan sunyi, hanya diiringi suara langkah kaki dan dengungan mesin medis dari kamar-kamar pasien. Cahaya lampu neon di langit-langit memantulkan bayangan laki-laki itu di lantai yang mengilap. Napas Rain masih tersengal, belum pulih dari kepanikan yang membawanya ke sini semalam.Ibunya tiba-tiba sesak napas, tubuh renta itu terkulai lemah di ranjang sebelum dia membopongnya ke mobil. Sekarang, dia hanya bisa berjalan mondar-mandir di lorong ini, menunggu kabar dari dokter. Setiap perawat yang lewat dia tatap penuh harap, seakan bisa membaca jawaban di wajah mereka.Di dadanya, kecemasan berlipat. Bagaimana kalau dia terlambat? Bagaimana kalau ... tidak ada yang bisa dilakukan lagi? Rain menepis pikirannya, menggenggam erat ponselnya. Di lorong ini, dengan udara dinginnya dan tembok putihnya yang bisu, seakan menahan waktu berjalan lebih lambat dari biasanya.Kini Rain duduk gelisah di kursi ruang tunggu rumah sakit. Tangannya masih saling menggenggam e
"Maaf kakek, saat ini saya masih dalam keadaan berduka, dan belum ingin membahas pernikahan."Rain masih mengingat jelas, setiap kata yang tadi dia jawab pada Kakek Wang, memintanya untuk menikah dengan Stela.Tentu saja, Rain ingin menolak dengan tegas, dan mengatakan tak ingin menikah dengan cucunya itu. Namun, dia tak ingin penolakan darinya membuat Kakek Wang merasa tersinggung. Bagaimanapun juga, dia adalah sosok yang tanpa pamrih telah menariknya keluar dari jurang keputusasaan, yang membuatnya berdiri lagi saat semuanya terasa mustahil.Untungnya, Kakek Wang bisa mengerti dengan jawaban Rain, dan tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Dia paham, bagaimana sakitnya kehilangan sosok yang dicintai.Sebenarnya laki-laki paruh baya itu pun tak memaksa. Apalagi, dia juga tahu bagaimana masa lalu Rain dengan Arumi. Namun, di balik semua itu, ada tekanan lain, yaitu dari ibu kandungnya sendiri yang sangat menyukai sosok Stela, yang cukup akrab dengannya.Bu Hani, tampak begitu an