“Edbert.”
“Edbert.”
“Edbert.”
“Edbert!” pekik Brandon dengan pelan, tepat di telinga kanan Edbert.
Edbert sedikit terlonjak kaget karena pekikan Brandon di telinganya.
“Fuck Brandon!” maki Edbert dengan kesal.
“Apa yang sedang kau lihat, hah? Mahasiswi itu?” tebak Brandon dengan sangat penasaran.
Edbert hanya bisa diam dan menutup mulutnya rapat-rapat. Brandon tersenyum dengan sangat tipis. Dia tahu apa arti dari diamnya seorang Edbert Bravey. Brandon mengalihkan pandangannya pada mahasiswi cupu yang sedag di-bully oleh Michalina dan geng-nya. Ada perasaan kasihan pada mahasiswi cupu itu. Padahal, ini adalah hari pertama bagi mahasiswi itu untuk menuntut ilmu di kampus bisnis ini.
Brandon menyentuh airpods yang terpasang ditelinganya. Dengan perasaan malu dan kesal, Brandon berucap pada orang diseberang sana.
“Sara, cepatlah pergi ke rooftop. Aku tunggu di sana,” ujar Brandon pada Sara melalui airpods.
“T-tapi kenapa, Darl?” panik Sara tanpa sadar kalau dia terus diawasi oleh Brandon.
“Cepatlah! Pergi sekarang! Ada hal penting yang harus aku bicarakan,” geram Brandon dengan penuh perintah yang tidak bisa dibantah oleh Sara.
“Kenapa Say-”
“Pergi sekarang atau kita putus sekarang?!” ancam Brandon.
“I-iya, aku pergi sekarang,” balas Sara dengan ketakutan.
Brandon kembali menyentuh airpods-nya setelah Sara pergi menuju pintu keluar ruang makan. Edbert menyenggol pelan lengan kekar Brandon yang tertutupi oleh jaket kulitnya.
“Apa kau yang menyuruh Sara pergi?” tanya Edbert.
Brandon mengangguk. “Jujur saja aku malu memiliki kekasih sepertinya. Sudah berulang kali aku larang untuk berteman dengan Michalina, Tania, dan Tanisa, tetap saja dia berteman dengan mereka. Mungkin sudah waktunya hubungan aku dengan Sara berakhir,” ucap Brandon panjang lebar sebelum pergi begitu saja meninggalkan Edbert yang masih terdiam karena ucapan sahabatanya barusan.
“Siapa namamu?!” tanya Michalina dengan tatapan mengejek.
“S-shelley,” jawab Shelley dengan berupura-pura ketakutan.
“Hanya itu saja? Apa kau lahir dari wanita yang tidak memiliki suami, sehingga kau tidak memiliki nama belakang?” ejek Tanisa.
Shelley hanya diam. Dia berusaha meredam emosi yang mulai bergejolak di dalam diirnya.
“GUYS, NAMA LENGKAPNYA ADALAH SHELLEY VALIERE!” ujar mahasiswi dengan kerasnya setelah melihat pada layar ponselnya.
“Darimana kau tahu?” tanya Tania pada mahasiswi yang berucap tadi.
“Dari ibuku,” ujarnya.
“Dia anak dari Mrs. Clavia,” bisik Tanisa tepat di telinga Tania.
Tania yang mendapat bisikan dari saudari kembarnya, hanya bisa mengangguk percaya pada Tanisa.
“Kenapa kau diam, hah?!” pekik Michalina dengan amarah yang terlihat jelas di kedua bola mata miliknya.
Shelley hanya diam dan tidak bergerak sama sekali. Sorot matanya masih tertuju pada sepatunya yang lusuh. Kedua tangannya terus memegang dua buku tipis yang sedari tadi di dekapnya.
“JAWAB AKU SHELLEY!” pekik Michalina sambil menarik rambut Shelley yang diikat kuda.
Shelley berusaha melepas tarikan tangan Michalina yang berada di rambut indah miliknya. Tanpa sadar, Shelley meneteskan air mata karena menahan rasa sakit yang diberikan oleh Michalina. Bola mata indah miliknya tidak terlihat lagi, karena kedua kelopak mata yang terpejam dengan sangat erat.
“JAWAB BURUK RUPA!” ujar Michalina.
Michalina yang tidak mendapat balasan dari Shelley pun semakin gencar untuk menarik rambut lembut milik Shelley. Dia tidak peduli kalau rambut Shelley rontak karena ulahnya. Dia pun tidak peduli dengan rintihan Shelley yang sanagt pelan. Ketika dia melihat kedua keloapk mata yang tertutup itu mengeluarkan air mata, entah kenapa dia semakin bersemangat untuk menarik rambut si buruk rupa.
“Oh, rupanya Si Buruk Rupa tidak ingin membuka suaranya. Atau mungkin dia tidak bisa berbicara?” ujar Michalina disela-sela menarik rambut Shelley.
“Heum, bagaimana kalau kita kotori pakaian Si Buruk Rupa dengan saus atau jus?” saran Tanisa sambil mengambil dua botol saus sekaligus yang ada di meja belakang tubuhnya.
“Kalau hanya saus, sepertinya masih sangat kurang untuk memberinya pelajaran. Bagaimana kalau sekalian kita sirami dengan saus dan kuah kari? Mungkin itu lebih baik,” timpal Tania sambil mengambil dua mangkok yang berisi kuah kari.
Byur...
Tanpa menunggu aba-aba, kuah kari yang semula berada di mangkok mulai mengotori seluruh pakaian bagian depannya yang berwarna soft blue. Tidak berhenti sampai di situ saja, Tanisa mulai menyemprotkan saus yang berada di dalam botol, tepat pada pakaian Shelley yang sudah dipenuhi oleh noda kuah kari.
Kini pakaian yang tadinya bersih tanpa noda, sudah kotor dengan noda kuah kari dan saus sambal. Tanisa tidak hanya menyemprotkan isi saus sambal ke pakaian Shelley saja, tetapi dia juga menyemprotkan saus itu pada rambut Shelley.
Tawa riuh dari para mahasiswi dan mahasiswa yang ada di raung makan mulai menggema. Mereka sangat suka ketika disuguhi oleh drama yang dilakukan oleh Michalina dan geng-nya. Tidak sedikit dari mereka mengabadikan momen dimana Michalina dan geng-nya membully habis-habis si objek bully.
“Sepertinya ini akan menjadi trending di kampus kita,” ujar salah seorang mahasiswi setelah mengiriim video hasil rekamannya pada grup sekolah yang berisi seluruh mahasiswi dan mahaisswa yang menuntut ilmu di kampus elit ini.
“Semoga saja Michalina terus-terusan membully mahasiswi cupu itu,” timpal mahasiswi disebelahnya.
“Kalau dilihat-lihat, mahasiswi itu sangat pantas untuk menjadi korban bullying dari Michalina. Coba lihatlah cara berpakaian mahasiswi baru itu. Tidak ada yang terlihat branded dari pakaian yang dikenakannya. Dia juga tidak terkesan elegant seperti mahasiswi yang ada di kampus ini,” ujar mahasiswi lainnya yang mendengar pembicaraan dua mahasiswi itu.
“Kurasa, dia adalah mahasiswi yang salah memilih kampus,” balasnya.
Kedua mahasiswi itu mengangguk setuju pada mahasiswi yang satu ini.
“Upss, sorry Shelley.” maaf Tania dan Tanisa dengan nada merendahkan.
“Apakah dia sudah cocok seperti boneka Barbie?” tanya Tanisa pada semua orang yang melihat kejadian ini.
“Ya, sangat mirirp!” balas mahasiwi yang sedang duduk di atas meja makan.
“Apa kau dengar apa yang diucapkan mahasiswi dengan rambut blone itu?” tanya Michalina pada Shelley yang tidak bereaksi apa-apa sejak awal dia bully.
“Ini adalah balasan kalau kau tidak hormat dan tidak membalas ucapanku. Jika kau masih terus-terusan seperti ini, maka aku pastikan setiap harinya kau terus mendapat hal yang sama bahkan lebih parah dari ini. Camkan itu!” ujar Michalina panjang lebar sambil mengacungkan jari telunjuknya pada Shelley.
“GUYS, AYO KITA PERGI! BIARKAN SI BURUK RUPA INI SENDIRIAN DI SINI. SIAPA YANG MAU AKU TRAKTIR BELANJA PAKAIAN BRANDED DI MALL MILIK AYAHKU? AYO IKUT AKU!” teriak Michalina dan kemudian dia pergi lebih dulu meninggalkan ruang makan yang mulai heboh karena Michalina membelanjakan mereka pakaian branded di pusat perbelanjaan milik ayahnya. Tidak lupa, Tania dan Tanisa berjalan mengkori Michalina.
Tanpa menunggu lama setelah tubuh Michalina, Tania, dan Tanisa tidak terlihat lagi, seluruh mahasiswi dan mahasiswa yang ada di raung makan berebut pintu keluar ruang makan. Tentu saja mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mungkin, inilah keuntungan yang mereka dapatkan ketika mendapat teman kampus yang merupakan anak satu-satunya dari pemilik pusat perbelanjaan terbesar ketiga di benua Amerika.
Shelley mendongakkan pandangannya saat melihat sepasang sepatu kets pria yang sudah berada di dekatnya. Pandangannya terkunci pada bola mata cokelat terang milik mahasiswa yang satu ini. Entah kenapa, saat sorot manik miliknya terkunci dengan manik milik mahasiswa ini, dia merasa sangat senang dan merasa lemas seketika. Jantunya pun terpacu begitu cepat, sehingga dia kewalahan untuk mengatur irama jantungnya.
“Sadar Edbert! Kau harus pergi sekarang,” batin Edbert memperingati dirinya untuk segera pergi dari mahasiswi baru dan cupu ini.
Tanpa sepatah kata apapun, Edbert langsung memutus kontak mata dan melangkahkan kakinya dengan angkuh menuju dua buah pintu besar yang merupakan pintu keluar-masuk ruang makan.
“Ada apa dengaku?” tanya Shelley pada dirinya sendiri sambil menatap bahu lebar dan tegap milik mahasiwa yang baru saja kontak mata dengannya.
Tanpa disadari oleh Shelley, masih tersisa dua mahasiwi yang berada jauh didepan Shelley. Salah seorang mahasisiwi itu menyenggol tangan mahaissiwi lainnya untuk melangkahkan kakinya menuju Shelley yang pandangannya masih tertuju pada tubuh Edbert.
“Shelley,” sapa salah satu mahasisiwi itu.
Dengan cepat, Shelley mengalihlkan pandangannya dari bahu mahasiswa tadi pada mahasiwi cantik yang ada di hadapannya.
Mahasisiwi itu mengulurkan tangannya dan dengan ramahnya dia memberitahu namanya. “Hai Shelley, aku Lizzie Stivan. Kau bisa memanggilku Lizzie.”
Dengan pelan, Shelley mengulurkan tangannya dan mengucapkan namanya dengan pelan. “Shelley Valiere.”
“Jangan takut Shelley, kami tidak sama seperti Mchalina. Tenanglah, mungkin kita bertiga bisa menjadi teman baik atau sahabat?” ujar Lizzie dengan senyumannya.
Shelley terenyuh. Dia tidak menyangka kalau masih ada orang baik yang bisa menerimanya. Dia pikir, tidak akan ada satu pun orang yang ingin berteman dengannya. Ternyata pikirannya sangat-sangat salah.
Dengan pelan, Shelley menyetujui ajakan Lizzie.
“Perkenalkan namamu, Na!” bisik Lizzie dengan sedikit kesal karena sahabatnya tidak dengan cepat mengatakan namanya.
“Oh iya aku lupa, namaku Alana Corda dan kau bisa memanggilku Alana,” ucapnya sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum ramah.
“Shell-”
“Aku sudah tahu namamu Shelley.” Potong Alana saat Shelley hendak memberitahu namanya.
Lizzie menyenggol lengan Alana dengan keras hingga Alana mengaduh kesakitan.
“Tidak baik memotong ucapan orang lain, Na,” bisik Lizzie yang masih bisa didengar oleh Shelley.
“Maaf,” balas Alana dengan berbisik.
Shelley yang melihat hal itu, hanya bisa terkekeh pelan karena kekonyolan yang dibuat oleh dua teman barunya.
“Jadi, kita berteman atau bersahabat?” tawar Alana dan Lizzie bersamaan.
Shelley sedikit kaget karena tawaran yang diberiakan oleh Alana dan Lizzie. Dia tidak menyangka mereka akan dengan mudah menerimanya sebagai teman. Dan yang membuatnya lebih kaget lagi adalah saat Lizzie dan Alana menawarkannya untuk menjadi sahabat mereka.Shelley masih menimang-nimang ajakan kedua mahasiswi cantik yang ada di hadapan mereka. Tawaran yang mereka berikan sngatlah tulus. Dia bisa melihat ketulusan dari manik berwarna cokelat gelap milik Lizzie dan manik berwarna cokelat terang milik Alana.“Astaga, aku tidak menyangka mereka akan menawarkan hal ini padaku. Apa sebaiknya aku terima saja tawaran mereka? Tapi, apakah mungkin mereka serius menawarkan hal ini padaku,” batin Shelley dengan sangat bimbang.“Bagaimana Shelley?” tanya Lizzie dengan tatapan penuh harapan agar Shelley mau menerima ajakannya.“Terima lah Shelley. Kami memang tulus ingin berteman denganmu ... atau lebih baik lagi, kita bersahabat,” t
Lizzie yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam dan mengikuti segala yang dilakukan oleh pria tampan dihadapannya.“Alana dan ... Shelley, aku akan pergi bersama Lizzie. Kalian jaga diri baik-baik,” pesan pria itu sebelum pergi bersama Lizzie.“Dia kakak kembaranku,” ujar Alana setelah meneguk soda dingin miliknya.Shelley mengangguk kecil.Sambil membenarkan kacamata baca miliknya, Shelley mengucapkan pendapatnya tentang kembaran Alana. “Pantas saja dia menjadi idola kampus ketiga. Seharusnya kau bangga dengan kembaranmu, Alana,” pendapat Shelley.Alana memutar bola matanya malas. “Kuharap kau tidak keturalan virus dari Lizzie, Shelley. Huh, entah kenapa aku merasa tidak beruntung ketika mendapatkan kembaran seperti Adward.” Kesal Alana.“Tapi kenapa?”Jujur saja Shelley tidak paham dengan maksud Alana. Seharusnya Alana bangga dengan kakak kembarannya. Tetapi, kenapa in
Alana menatap pada dua cangkir coklat panas yang dia buat beberapa menit lalu. Alana mengambil satu cangkir berwarna kuning gelap yang ada di atas nampan kesayangannya. Dia memberikan cangkir itu pada Shelley dengan tersenyum.“Shelley, minumlah coklat panasmu,” ucap Alana.Shelley menerima cangkir itu dengan tersenyum, membalas senyuman Alana. “Terima kasih Alana.” Alana mengangguk.Setelah Shelley mengucapkan ucapan terima kasih padanya, Alana langsung mengambil satu cangkir yang tersisa dengan warna yang sama.“Hah, aku jadi teringat dengan Lizzie. Kira-kira, apa yang sdang dilakukan oleh Lizzie dan Adward, ya?” batin Alana bertanya-tanya.Coklat panas yang telah dibuatkan oleh Alana, mengaliri tenggorokan Shelley yang kering. Panas dari suhu coklat itu mulai menghangati tubuh Shelley yang sedikit kedinginan karena pakaian lengan pendek yang dia gunakan.Alana menaruh cangkir yang sudah tersisa
“Apa benar kau akan pindah ke negara lain?” tanya Shelley setelah Alana mengganti saluran TV. Alana menatap Shelley dan mengangguk. “Mungkin salah satu negara yang ada di benua Eropa,” ujar Alana dengan yakin. “Negara?” Alana menggeleng. “Entahlah, aku belum memikirkan negaranya.” “Sekarnag waktunya kau menceritakan tentang masalah hidupmu, Shelley,” pinta Alana. Shelley tersenyum tipis. “Aku tidak memiliki masalah apapun Alana. Kalaupun ada, sudah pasti aku akan berusaha menyelesaikan masalahku sendiri.” Alana memayunkan bibirnya. “Kau harus berbagi masalah pribadimu denganku dan Lizzie. Kami pasti akan membantumu keluar dari masalah itu,” ucap Alana panjang lebar. “Terima kasih Alana, tapi tidak semua hal bisa diberitahukan pada orang lain. Benar kan?” Alana mengangguk. “Benar, tidak semua masalah bisa diberitahukan pada orang lain.” “Shelley, jangan bilang kalau kau dibully oleh gengnya Michalina itu bukanlah
Saat ini, Shelley sedang berada di trotoar depan gedung apartemen Alana. Pandangannya terus tertuju pada jalan raya yang sangat sepi karena cuaca yang lumayan dingin dan habis hujan. Shelley berniat untuk memesan taksi online, tetapi dia harus menghilangkan niatnya untuk memesan taksi online karena ponselnya yang tidak bisa digunakan untuk memesan taksi online.“Sabar Shee, kau tidak boleh mengeluh. Ini jalan satu-satunya agar impianmu terwujud,” batin Shelley sambil menyemangati dirinya sendiri.Shelley memutar sedikit tubuhnya dan melihat sebuah halte pemberhentian bus yang ada dibelakang tubuhnya. Dia melangkahkan kakinya dengan perlahan. Shelley menyadari kalau kedua kakinya sudah menggigil karena cuaca yang lumayan dingin. Kalau saja dia memakai celana yang tadi terkena kuah kari dan saus, mungkin kakinya tidak akan semenggigil ini.Shelley mendudukan tubuhnya dengan perlahan. Tidak lupa dia merapatkan kedua kakinya. Shelley berharap, dengan beg
“Kau ...”“APA YANG KAU LAKUKAN EDBERT?!” teriak wanita itu dengan mata melotot.Edbert melerai pelukan hangatnya dengan Shelley. Edbert menangkup kedua pipi Shelley dengan kedua telapak tangannya yang hangat. Edbert pun tak lupa memberikan senyum menenangkannya pada Shelley.Tentu saja hal itu membuat jantung Shelley berdegup kencang. Shelley mulai merasa ada kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya."Tuhan, kenapa aku merasakan hal ini?" batin Shelley.Ibu jari Edbert mengusap jejak air mata yang masih basah di salah satu pipi Shelley."Kau tetap di mobil saja. Biar aku menangani wanita gila itu," ucap Edbert dengan senyum yang tak luntur.Shelley yang gugup, hanya sanggup mengangguk kaku. Shelley merasa, suaranya tersekat di tenggorokannya. Oleh karena itu, Shelley hanya bisa mengangguk, meskipun mengangguk kaku.Edbert menjauhkan kedua telapak tangannya dari Shelley. Edbert me
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s
“Shelley, kenapa kau diam?” tanya Edbert dengan pelan.Shelley masih saja terdiam. Edbert yakin kalau Shelley sedang memikirkan suatu hal, hingga dia tidak mendengar pertanyaannya. Dibalik keterdiaman Shelley, Edbert bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah mungkin ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Shelley?“Shelley,” panggil Edbert.“Iya, tentu saja aku mengenalnya,” jawab Shelley dengan sangat cepat.Edbert tidak menanggapi jawaban Shelley yang sangat cepat. Edbert memilih untuk mengalihkan pandangannya kedepan dan fokus pada jalan raya yang sangat sepi. Edbert berusaha untuk melupakan sikap aneh Shelley. Namun nihil. Dia tidak bisa menghilangkan sikap aneh Shelley dari benaknya.“Sepertinya ada yang sedang disembunyikan Shelley,” batin Edbert dengan pandangan fokus pada jalanan.Sama seperti Edbert yang sedang memikirkan sikap aneh Shelley, Shelley pun juga merasa bingung dengan sikapnya. T