Saat menyadari keberadaanku, perempuan dengan kemeja putih yang dipadukan rok span itu langsung memindaiku dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu berganti menatap ke Ara."Maaf Ibu siapa, dan ada perlu apa? Kalau mau minta sumbangan, bukan di sini tempatnya." Perempuan dengan warna rambut pirang, dan memiliki wajah cantik itu bertanya dengan nada merendahkan.Entah, apa maksudnya? Apa aku terlihat seperti pengemis? Kuakui wajahnya memang cantik, tapi tak secantik kalimat yang baru saja keluar dari bibir merahnya."Maaf saya bukan pengemis!" Aku menekan pada kalimat terakhir. "Saya kesini mencari Mas Elang," lanjutku."Ada perlu apa ibu mencari Pak Elang? Kalau memang ada yang penting katakan saja, nanti akan saya sampaikan! Pak Elang sibuk tidak bisa diganggu," ucapnya ketus. Tangannya terlipat di dada.Aku langsung menarik napas dalam. Lalu, membuangnya dengan masygul. Marah? Ingin sekali rasanya. Tapi, kutahan. Entah menjabat dibagian apa perempuan ini hingga bisa berkata begitu.
"Pak ini berkas untuk meeting pagi ini, dan perlu Bapak tanda tangani," ucap seketarisku."Oh iya, taruh saja di situ!"Namaku Elang Dirgantara seorang manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran.Aku memiliki seorang istri bernama Hanindia, biasa di sapa Hanin, dan juga Puteri cantik yang kuberi nama Kinara. Selain itu aku juga masih punya tanggungan, Mama dan adikku-Fariza. Sementara Papa sudah lama meninggal.Sebelum menikah, Hanin adalah seorang perempuan yang cantik, dan bekerja di sebuah media cetak sebagai editor. Hanin adalah tipe penyanyang keluarga dan sangat menghormati orang tua.Kami pertama kali bertemu di sebuah acara pernikahan teman, saat itu dia tak sengaja menabrakku dan tak sengaja menumpahkan air digelasnya kebajuku. Seperti sinetron memang. Tapi, ya begitulah pertemuan kami. Sejak itu kami sering bertemu, dan akhirnya memilih untuk melanjutkan ke hubungan serius.Dalam bayanganku tak salah jika aku memilihnya sebagai istri, dia pastinya akan me
"Iya juga sih." Akhirnya setelah sejenak terdiam Vania kembali bersuara. "Aku salut sama prinsip kamu, Nin ... Nanti kalau sudah nikah dan punya anak, sebisa mungkin aku juga gak mau menyuruh mertua atau orang tua buat ngasuh lagi. Sebagai anak, saat mereka di usia senja sudah sepatutnya kita membahagiakan. Kalau tak bisa memberi setidaknya jangan merepotkan," balas Vania."Nah itu dia, walau sebenarnya aku masih numpang tinggal di mertua," jawabku. Lalu, tertawa sumbang. "Ya mau bagaimana lagi, keadaan tidak memungkinkan," lanjutku."Ya setiap orang jalan pernikahnnya beda-beda. Sebenarnya setelah menikah, tidak ada anak yang mau menyusahkan orang tuanya lagi. kecuali, anak yang tak tau diri," balas Vania. Lalu, tertawa. "Eh ...BTW kalau gitu, kenapa kenapa kamu gak bayar baby sitter aja?" "Aku mana ada duit buat bayar baby sitter," jawabku jujur. Lalu, kembali mengambil sepotong kentang goreng. Setelahnya di dada terasa sesak, sementara di mata terasa ada yang memaksa untuk ke lua
Aku pun segera bersiap untuk menyusul Mas Elang, Mama juga Iza. Kenapa mereka tak ada keinginan mengajakku, bukannya aku ini juga bagian dari keluarga mereka, kerena telah menikah dengan Mas Elang.Ah, aku lupa kalau seorang istri, atau menantu itu setelah dibuang bisa jadi mantan. Jadi, aku ini orang lain yang kebetulan diikat oleh pernikahan.Ya ampun, aku tidak punya baju yang pantas untuk menghadiri sebuah pesta, apalagi pesta pertunangan anaknya bos Mas Elang, tentunya akan banyak orang kelas atas yang hadir.Tanganku terus memilih dan memilah, dan akhirnya berhenti pada satu brokat putih gading yang warnanya mulai memudar. Lalu, kupadukan dengan rok plisket berwarna putih. Untuk menyempurnakan penampilan aku memilih kerudung persegi warna coklat.Usai memilih baju, aku segera memoles bedak tipis ke wajah, dan lipstik merah yang warnanya mudah luntur. Tak ada bulu mata anti badai, tak ada istilah pasang alis. dari dulu, sebelum menikah aku lebih suka perawatan alami, kalau mau p
"Iri bilang, bos!" ucapku. Lalu, berjalan santai di depannya. Kemudian aku berbalik."Hei, kamu!" ucapku penuh penekanan, dan melangkah mendekat. "Aku peringatkan ya! Jangan coba-coba lagi tangan kasarmu itu menyentuh ketenangan saya, atau kamu akan menyesalinya!" Aku berbisik pelan di telinganya. Kemudian melempar senyum termanis yang kupunya."Kamu!" Wajahnya langsung memerah, tangannya terkepal kuat. Tapi, hanya kubalas dengan senyum cemooh. Kemudian aku kembali melangkah dengan anggun.Bukan hanya dia yang terkejut dengan apa yang baru saja kulakukan. Tapi, Mas Elang, Mama dan juga Iza menatap tak percaya ke arahku. Lalu, mereka yang tengah berdiri di samping perempuan tersebut kulewati begitu saja.Aku berjalan ke arah meja prasmanan. Lalu, mengambil segelas minuman. "Eum ... Hanin?" sapa Mas Elang, tau-tau sudah ada dibekangku. Aku yang tak menyangka dia datang, hampir saja menjatuhkan gelasnya saking kagetnya."Apa kita saling mengenal?" tanyaku pura-pura sambil mengangkat gel
"Za, tolong kamu bukakan pintu pagarnya!" ucap Mas Elang begitu kami sampai rumah."Ih, kok aku sih, Kak. Suruh Mbak Hanin-lah!" jawabnya, sambil cemberut dan melipatkan tangan di dada."Kamu gak lihat, Mbak-mu lagi gendong Ara yang lagi tidur?" tanya Mas Elang."Kan, bisa di taruh dulu, gitu aja kok repot," jawab Iza sewot."Sudah jangan ribut, nanti Ara bangun." ucap Mama menengahi.Dengan kesal akhirnya gadis itu pun menurut. "Ih, ini semua gara-gara, Mbak Hanin. Jadi, aku, 'kan yang di suruh," gerutunya kesal. Lalu, turun dari mobil.Aku diam, malas berdebat, sudah malam. Apa lagi kalau sampai tetangga dengar, selain malu tentunya bisa mengganggu mereka yang lagi tidur.Setelah mobil terparkir di garasi aku segera turun, melangkah masuk ke rumah."Hanin, ingat kamu jangan dulu tidur!" ucap Mama kembali mengingatkan. Karena, lagi menggendong Ara aku memilih mengangguk. Aku pun langsung meletakkan tubuh Ara ke tempat tidur, sebenarnya kalau tak ada perintah Mama ingin sekali aku me
"Nin, kamu kenapa?" Tanya Mas Elang begitu, masuk ke rumah. "Memangnya aku kenapa, Mas?" tanyaku tak mengerti."Itu, Iza bilang kamu ngacak-ngacak baju kotor dia," jelas Mas Elang yang sebenarnya aku tak paham dengan apa yang diucapkannya."Enggak. Aku gak ada gitu, Mas. Lagian ngapain juga aku ngacak-ngacak baju kotor dia kurang kerjaan banget.""Alah ngaku aja, Mbak Hanin kalau gak mau nyuciin baju Iza gak apa-apa. Tapi, jangan gitu dong!" ucap Iza, tiba-tiba masuk dari pintu depan, tangannya terlipat di dada.Aku meringis mendengarnya, oh jadi anak ini sudah mengadu sama Mas Elang. Bahkan, Mas Elang belum sempat masuk ke rumah, dan sekarang malah memfitnah. Padahal, aku hanya meninggalkan cuciannya di dalam baskom, dan tidak mengacaknya sama sekali."Iza, kamu kenapa? Ada masalah sama, Mbak? Kenapa kamu bilang Mbak mengacak-ngacak baju kotormu ke Mas Elang. Ayo Iza bicara yang sebenarnya, jangan berbohong!" tegasku."Tuh, kan Kak Mbak Hanin gitu," Gadis itu mencebik, seolah apa ya
"Terus siangnya, Mama makan apa kalau kamu pergi?" tanya Mama terdengar putus asa.Aku berbalik, apa iya untuk urusan makan saja, Mama kebingungan kalau tak ada aku? Padahal tubuh Mama masih terlihat sehat dan kuat."Mama bisa beli saja dulu di depan ada rumah makan, atau Mama beli sayur di warung, Bi Jum dan masak," ucapku memberi saran."Jangan keterlaluan dong, Mbak! Mbak mau enak-enakan di luar. Sementara orang tua di rumah di telantarankan. Ingat, Mbak bagaimanapun, Mama orang tua dari suami Mbak itu artinya Mama Mbak juga. Bisa kualat nanti," ucap Iza panjang lebar begitu mendengar saran yang kutawarkan.Anak ini belajar dari mana dia, bisa berkata begitu?"Ingat ya adek ipar Mbak yang paling manis, memaksa orang tua untuk berbohong itu jauh lebih tidak baik." jawabku lembut sengaja menyinggung perihal yang terjadi kemarin.Wajah Iza yang tadinya merasa sudah menang seketika berubah merah padam, ia menatapku geram."Ya udalah.Dari pada Mama bingung-bingung, sebelum pergi, aku ak