Titan masih merasa nyaman bergelung di alam mimpinya sendiri. Setelah melewati dua mata pelajaran sambil molor, ia akhirnya terbangun karena suara grasak-grusuk di sebelahnya. Rheva sepertinya sedang sibuk.
"Hoaaam.... berisik banget dah lo, Rev. Nyari apaan, sih? Grasak-grusuk mulu dari tadi." Titan melirik malas pada Rheva yang masih terlihat rusuh membongkar semua isi tasnya seperti sedang mencari sesuatu.
"Jas lab gue ke mana, njir? Gue ingat gue taroh di laci meja." Rheva masih sibuk mencari bahkan sudah berjongkok karena siapa tahu jasnya itu jatuh di lantai. Sementara bel mata pelajaran ketiga sudah berbunyi dan sekarang kelas XII IPA 4 harus menuju ke Laboratorium Biologi.
"Oh, tadi pas istirahat jatuh di bawah meja lo. Mau gue taruh di laci lo, eh penuh banget jadi daripada en
Hari ini Titan tidak banyak molor di kelas. Ia justru lebih banyak melamun sepanjang pelajaran. Matanya sendu menatap ke arah ubin kelasnya. Hanya penjelasan dari Bu Fatimah yang mencegahnya agar tidak kesambet. Rheva yang jadi temannya saja sampai heran."Tumben lo nggak molor?" Rheva menepuk jidat sahabatnya dengan pulpen, menyadarkan Titan kalau-kalau temannya itu beneran kesambet."Sssh!" Titan berdesis tapi tatapannya tetap kosong ke depan.Sekarang pulpen Rheva sudah berpindah posisi ke lipatan ketiak Titan. Rheva menggelitiki Titan tapi tak berpengaruh sama sekali. Cewek itu tetap bergeming.Wah kesambet beneran nih anak, batin Rheva.Rheva lalu menarik kunciran rambu
Titan lapar. Cacing-cacing di perutnya memang paling tidak bisa diajak buat kompromi. Di luar langit sudah gelap dan Aldo belum pulang juga. Titan membuang napas kasar lalu beranjak menuju meja belajarnya. Ia mengambil dompet dan berjalan keluar kamar. Menuruni tangga lalu keluar rumah dan mengunci rapat pintu rumahnya.Demi cacing-cacing di perut, Titan datang!!!Ia beranjak keluar kompleks menuju ruko-ruko di depan kompleks perumahan. Ada minimarket di daerah belakang deretan ruko tersebut. Karena letaknya di belakang, maka minimarket tersebut tidak terlalu ramai karena hanya segelintir orang yang tinggal di dekat ruko atau kompleks depan yang tahu letaknya.Titan menarik napas dalam-dalam. Merasakan tiap desiran angin malam yang menyapu anak rambutnya. Tiap tarikan napas ya
Rheva membuang napas kasar. Ia menengok ke jam berbentuk kepala doraemon yang tergantung di atas dinding kamarnya yang bernuansababy blue.Pukul 21.00. Dengan malas, ia beranjak turun dari kasur dan keluar kamar menuju lantai satu. Tiap sudut rumah terang-benderang namun rumahnya selalu benar-benar sepi. Sendiri. Entah kapan terakhir kali suasana rumah ini pernah terasa hangat baginya. Ia sudah terbiasa hidup seperti ini.Ia membuka kulkas namun lagi-lagi hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika melihat isinya yang kosong melompong. Ia mengingatkan diri sendiri agar besok meminta mbak yang selalu datang pagi untuk bersih-bersih agar sekalian membelikannya bahan makanan. Akhirnya, ia cuma meminum segelas air di kursibardapurnya.Merogoh kantong celana, Rheva membuka daftar kontak dan mengamati
Titan mendengus kesal karena ucapannya tidak dihiraukan. Ia melangkahkan kakinya menuju toilet perempuan dan memperbaiki ikatan rambutnya di sana. Karena jam pertama adalah olahraga dan ia tidak mau kegerahan karena rambut panjangnya sendiri.Seperti biasa, toilet perempuan akan ramai saat pagi hari dipenuhi siswi-siswi yang berdandan. Mereka memakai berbagai macam dempul yang menurut Titan terlalu tebal. Beberapa dari mereka sudah selesai dan keluar setelah mereka melipat roknya menjadi lebih pendek.Muka kok putihnya udah kayak tukang sapu jalanan aja, ia membatin heran.Setelah selesai memperbaiki kuncirannya, ia hendak beranjak keluar, namun gerakan tangannya untuk membuka pintu terhenti kala mendengar suara salah satu siswi."Eh, lo yang mau keluar, lo yang disamperin Tristan waktu basket kapan lalu kan?" tanya seorang siswi sambil memakailiptint.Titan hanya memandangnya dengan kening berkerut, menunggu lanjutan ucapan
"Lo boleh jadiin temen lo itu buat jadi wasit," ujar Tristan sambil menunjuk Rheva yang berada di pinggir lapangan."Oke," Titan menghampiri Rheva dan berucap, "Rev, jadi wasit gih.""Lo serius nerima tantangan tadi mau ngalahain dia?" Rheva menaikkan sebelah alisnya. Mereka lalu kembali ke tengah lapangan."Iya, gapapa. Lagian kalau kalah juga dia nggak mi-""Enak aja! Kalau lo kalah ya lo juga harus ngabulin dua permintaan gue lah, gimana sih?! Di mana-mana ya gitu aturannya, bego!" potong Tristan yang bisa menebak arah pembicaraan Titan.Bahkan jadi babu gue buat seminggu penuh, Tristan membatin."Cih," Titan hanya berde
Bel istirahat pertama berbunyi. Kali ini, tanpa menunggu kelas sepi, Titan langsung ngacir keluar kelas. Sementara Rheva tidak mengikutinya karena hari ini cewek itu dibuatkan bekal oleh asisten rumah tangganya.Titan tahu ke mana kakinya harus melangkah. Area belakang sekolah. Ia akan menagih piala kemenangannya.Benar saja, ia melihat ada empat cowok yang sedang merokok di sana. Titan datang menghampiri Tristan yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Keempat cowok itu terlihat asik sekali sampai tidak sadar akan keberadaan Titan yang semakin mendekat.Langsung saja, Titan mengambil rokok di tangan Tristan lalu membuang dan menginjaknya di tanah. Tristan yang kaget otomatis langsung kesal begitu melihat siapa yang datang. Bukan lagi kesal karena rokoknya, melainkan karena ia tahu
"Makasih ya, minyak goreng." Titan turun dari motor Bimo lalu melepas helm dan mengembalikannya pada si empunya."Pala lu minyak goreng. Seenak jidat kalau gonta-ganti nama orang. Kenapa sih, lo nggak pernah bener manggil nama orang? Kalau panggilannya bagus aja gak apa. Sekali-kali panggil gue si cakep lah." Bimo menerima lalu memakai helm itu, kemudian merapikan rambut Titan yang berantakan."Cerewet lo, soalnya nama kalian pada susah-susah sih." Titan cuma balas nyengir."Terserah udel lo aja lah. Yaudah, gue duluan ya," ujar Bimo."Hm...." Titan tersenyum singkat sambil melambaikan tangannya pada Bimo yang sudah berlalu dengan motornya, lalu ia berbalik ingin mengetuk-ngetuk gembok pagar rumahnya.
Mereka berjalan melewati beberapa rumah. Tristan dan Timo di depan, sementara Titan hanya mengikuti beberapa langkah di belakang mereka dalam diam."Adaw!" Titan menabrak bahu Tristan."Melamun aja mulu. Ini rumah gue," ujar Tristan sambil maju lalu membuka pagar dengan sebelah tangannya yang menganggur tidak menggendong Timo."Eh iya." Titan mengamati rumah di depannya.Rumah dua lantai di depannya ini terlihat sangat asri. Dimulai dengan pagar pendek di ujung kiri yang langsung mengarah pada garasi terbuka. Dari samping garasi,ada jalan berbatu dengan kerikil putih yang membelah halaman berumput.Halamannya terbilang cukup luas, terbukti dengan beberapa pohon yang tumbuh di sana da