“Aku—” Noah semakin mundur. Giselle benar-benar membuatnya kualahan. “Saya hanya bodyguard. Saya bodyguard yang sudah terlatih.” Noah menatap Giselle. “Saya keren bukan? Saya seperti anggota FBI.” Giselle mengerjapkan mata. “Kau terlalu percaya diri.” Noah menatap bangunan tua itu. “Kita harus ke sana. Kita harus memastikan mereka semua baik-baik saja.” “Noah…..” Giselle menghentakkan kakinya ke bawah dengan lelah. “Aku sungguh lelah. Lebih baik menunggu saja di sini. Lagi pula kau sudah menghubungi Jordan. Tidak lama pasti dia akan ke sini. Ayo tunggu saja di sini.” Giselle mengambil duduk di samping pohon. Ia menyandarkan tubuhnya di pohon itu. Ia berharap semua ini hanya mimpi. Setelah ia tidur—ia akan berada di kasur kamarnya. Kemudian berangkat ke pemotretannya. Hampir saja matanya terpejam. Tapi sebuah tarik di tangannya membuatnya kembali tertarik pada kenyataan. “Noah!” jerit Giselle. “Tidak ada waktu.” Noah mendorong Giselle agar berada di depannya. Kedua tangan Noah m
“LEPASKAN AKU SIALAN!” Giselle memberontak. Namun dengan mudahnya penjaga itu memutar kepalanya. Memegang ubun-ubunnya hingga kepalanya tidak bergerak. Lalu sejak kapan ada penjaga lagi. Dari belakang tubuhnya disergap. Mulutnya dibekap dengan kedua tangan yang cengkram ke belakang. Giselle terbelalak. Mereka telah berkumpul sejak tadi di belakangnya. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyergapnya saja. Sekitar 10 orang yang tersisa. Mereka semua berada di belakang Giselle yang disergap. “Bawa ke depan.” Giselle tidak bisa berbuat apa-apa. Ia pasrah digiring ke depan. Di sana sudah ramai orang-orang. Ada beberapa penjarah yang ditangkap oleh polisi. Namun jumlahnya masih banyak yang kini berada di belakang Giselle. “Serahkan uangnya jika ingin perempuan ini selamat,” ujar seorang yang membekap Giselle. Kini juga mengarahkan pisau tajam ke leher Giselle. Giselle memandang Noah yang berada di tengah-tengah polisi. Ia berharap pria itu bisa segera bertindak untuk menyelamatkann
“Semua akan baik-baik saja.” Noah tidak menolak pelukan Giselle. Ia mengerti setelah apa yang dialami oleh wanita itu. Pasti Giselle sedang terguncang. Entah hati ataupun pikirannya.“Jangan pergi,” ujar Giselle sangat pelan. “Aku tidak mau sendirian.” “Saya tidak akan pergi.” Noah tidak berbohong untuk sekedar menenangkan Giselle. Memang ia tidak akan pergi karena tugasnya memang menemani Giselle. “Kenapa dia begitu jahat?” keluh Giselle. “Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Sampai kapan aku harus terus bersama iblis seperti itu? Aku ingin pergi…” Giselle melepaskan pelukannya. Kemudian mengusap air matanya. Kembali berbaring. Kali ini menyamping—memunggungi Noah yang senantiasa masih berada di sampingnya. “Jangan lihat aku. Tidurlah,” ujar Giselle tanpa mau menoleh ke arah Noah. “Pakai selimut anda dengan benar.” Noah menaikkan selimut rumah sakit itu ke tubuh Giselle. Menutupi hampir seluruh tubuh Giselle. “Saya akan mematikan lampu.” Noah ingin acuh—namun tidak bisa. Jika m
Giselle mendadak terdiam. Ancaman Jordan berhasil membuatnya merinding. Ia memilih diam. Dengan menatap lurus ke depan. Tidak membutuhkan waktu lama. Mereka sampai di sebuah halaman sebuah gedung. Ada begitu banyak wartawan yang ingin meliput. Banyak selebriti yang datang. Untuk yang pertama—mereka akan berjalan ke red karpet. Berpose kemudian menerima banyak kilatan flash kamera. “Lakukan yang terbaik.” Jordan memeluk pinggang Giselle.Mereka berjalan dengan mesra. Bodyguard yang bersama mereka mengambil tempat berjaga. Setiap satu orang hanya bis membawa satu bodyguard. Ada dua bodyguard yang bersama mereka, salah satunya adalah Noah. “Giselle hadap ke sini!”Giselle tersenyum dengan tangan yang memeluk lengan Jordan. “Giselle iam your fan!” teriak seorang pria. Pria itu berteriak di tengah kerumunan para wartawan yang lain. Giselle melambaikan tangannya. “Thank you.” Ia merasakan cengkraman tangan Jrodan di pinggangnya kian erat. “Apa kau senang mempunyai banyak penggemar?”
Giselle membeku. Pertama kalinya Jordan menciumnya. Semenjak menikah, mereka tidak pernah melakukan kontak fisik intim seperti ini. Bahkan hari di mana mereka mengikrarkan janji pernikahan, Jordan hanya mencium dahinya. Giselle mendorong dada Jordan sekuat tenaga. Dadanya berdetak dengan cepat. Perasaan macam apa ini?“Kau terlalu mabuk Jordan. Kau akan menyesali perbuatanmu besok pagi.” “Aku tidak peduli.” Jordan menarik pinggang Giselle. Memiringkan kepala dan kembali melumat bibir Giselle. Pahit bercampur rasa nikotin. Giselle memejamkan mata—Jordan tidak melepaskannya begitu saja. Tangan pria itu dengan erat mencengkram pinggangnya. Semakin lama—ciuman mereka berubah menjadi liar. Jordan tidak seakan tidak bisa melepaskan Giselle. Ia menggigit bibir bawah Giselle agar terbuka. Saat sudah terbuka—lidahnya masuk. Bergeraka menyusuri semua hal di sana. Giselle menggeleng pelan. Ini salah—ia tidak ingin melakukan hal seperti ini di saat tidak sadar. Jordan bahkan tidak melihatnya
Ada sebuah undangan ulang tahun dari Selena. Perempuan itu berulang tahun ke-28 tahun. Tempatnya berada di sebuah klub terbesar di kota. Giselle mau tidak mau memang harus datang. Meksipun ia sebenarnya tidak suka acara keramaian. Apalagi Selena berasal dari kalangan selebriti. Akan banyak artis dan selebgram sepertinya yang akan datang. “Aku akan datang ke ulang tahun Selena.” Giselle mamakan rotinya. Setelah kemarin ia menjauhi Jordan. Pagi ini bersikap biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Melakukan aktivitas seperti biasanya. Sarapan bersama. Giselle yang heran, bagaimana bisa Jordan memaksanya untuk sarapan bersama. Padahal pria itu juga tidak memeduliakan kehadirannya di meja makan. “Di mana?” tanya Jordan tanpa menoleh. “Di klub.” “Datang saja.” “Kau serius?” padahal ada sedikit harapan Giselle Jordan akan melarangnya datang. Bukan apa-apa, ia bisa beralasan pada Selena jika tidak diperbolehkan datang oleh Jordan. “Ya.” Jordan mengangkat kepalanya. Pria itu sama dingin
Giselle membiarkan Aland pergi. Kenapa? Ia masih bertanya-tanya. Ia berakhir di pinggir bar. Memesan minum berakohol. Tidak peduli apakah nantinya bisa mengontrol dirinya saat mabuk. “Giselle?” panggil seseorang. Giselle menoleh. Wanita berpakaian seksi, seperti wanita penghibur. Musuh bebuyutan Giselle!“Tidak usah menggangguku.” Giselle memutar bola matanya malas. Ia meminum minumannya yang baru saja jadi. “Pergilah aku tidak ingin melihatmu.” “Bagaimana kalau kita foto? Satu saja, aku ini adikmu.” Giselle tertawa remeh. Wanita gila ini lancang meminta berfoto dengannya. “Naomi, dengarkan aku. Aku tidak pernah menganggapmu dan ibumu itu keluargaku. Sampai kapanpun. Jangan berharap aku menerima kalian.” Naomi berdecih. “Aku juga tidak memintamu menerimaku. Yang terpenting ayahmu itu menyayangiku dan ibuku. Bahkan lebih menyayangiku daripada kau anaknya sendiri.” “Terserah.” Giselle meneguk kembali minumannya. Rasa pahit disertai kerongkongannya yang terasa terbakar. Namun anehn
Giselle mengambil tasnya. Di belakangnya ada Noah yang siap sedia mengikuti ke manapun ia pergi. Selena masuk ke sebuah lorong di mana samping kiri dan kanan ada banyak pintu tertutup. kemudian sampai di sebuah pintu ke tiga. Ia membukanya—Giselle ikut masuk dengan ragu. Tidak ada suara apapun di sini. Sunyi dan sepi. “Giselle jangan kaget.” Selena menatap Giselle. “Jangan berbicara pada orang lain. Beginilah caraku dan teman-teman menghilangkan stres.” Giselle berhenti. Otaknya seperti berputar sangat keras mencerna keadaan yang ada di depannya. Teman-teman selebriti Selena ada selebgram juga. Mereka semua berkumpul di sini. Minum, rokok, alkohol dan obat. “Itu nark0b4?” lirih Giselle. “Tidak.” Selena menggeleng. “Itu hanya obat-obatan yang mirip dengan nark0b4. Tapi itu bukan—ya tapi mempunyai efek yang hampir sama.”Selena menarik tangan Giselle. “Bergabunglah. Kita di sini mempunyai situasi yang sama. Aku bisa menjamin, tubuh dan pikiranmu akan terasa ringan setelah—” Gisell