Share

Thalita

      "Thalita! Manager memanggilmu.” panggil Renata dari belakang. Thalita menghentikan tangannya yang sedang menyusun pakaian untuk di pajang.

      "Ada apa?”

      "Entahlah, aku pun enggak  tahu,” jawab Renata. Dia mengambil alih pekerjaan Thalita. 

        Thalita berjalan ke ruang manager. Mall ini belum buka, biasanya sebelum pukul 9 semua staf dan karyawan sudah mempersiapkan pembukaan mall.

      Thalita menatap Ronald dengan mata menyala. Keputusan Ronald belum bisa dia terima. Bisa-bisanya Ronald memecatnya. Jangan bilang masalah pribadi dijadikan alasan. Thalita pernah menolak perasaan Ronald.

      "Keputusan sudah final Thalita. Percuma kau memaksa,"ucap Ronald, setengah pantatnya duduk di atas meja dengan tangan berlipat.

      "Memecat orang tanpa alasan yang kuat. Tidak masuk akal. Aku tidak akan menerima keputusan kalian,” geram Thalita. Baju seragamnya yang fress body membuatnya sesak.

      "Kami mengurangi tenaga kerja. Aku menyodorkan namamu. Maaf Thalita, pekerjaanmu untukku kurang memuaskan," ujar Ronald. Laki-laki berkumis tipis itu menatap Thalita penuh arti.

      "Pekerjaan atau kau pakai alasan pribadi?”

      "Terserah apa yang kau pikirkan yang jelas kau dipecat. Dan sekarang kau boleh pergi,” usir Ronald. Tangannya menunjuk pintu keluar.

      "Dengar ...Aku akan protes pada atasan,” ucap Thalita. Manager bukanlah jabatan paling atas bukan.

      "Percuma karena aku sudah memblacklist namamu dari sini.” Ronald tegas. Matanya mencetak kemenangan.

      Thalita menggertakan giginya. Entahlah apa yang dilakukan Ronald padanya hingga Ronald berhasil memecatnya. Thalita seorang karyawan yang taat peraturan dan rajin. Thalita membuka pintu dengan kesal.

       "Thalita.” Thalita menoleh, “ Selamat untuk pertunanganmu yang gagal.”

      "Terima kasih,” sahut Thalita.

      Thalita menatap tajam pada laki-laki yang sudah duduk di bangkunya itu. Thalita, bersyukur tidak menerima cinta laki-laki itu dulu. Dia seorang laki-laki bangsat. Thalita meruntukinya. Kenapa dia dikelilingi laki-laki yang tidak punya otak. 

Apa di dunia ini ada banyak laki-laki yang seperti Morgan dan Ronald. 

      "Kau dipecat!" teriak Renata. Dia menemani Thalita membersihkan lokernya. Baru Thalita sadari isi lokernya terlalu banyak. Sebagian besar hadiah dari Morgan. Thalita membuang ke tong sampah dekat loker. Tidak ada gunanya menyimpan barang-barang dari orang yang tidak pernah menghubunginya lagi.

      "Entahlah Ree... Aku sudah menerima keputusan itu. Daripada harus melihat wajah Ronald setiap hari!" tukas Thalita. Tangannya memasukkan barang ke dalam kardus dengan kesal. Demi apa pun ia meruntuki nasibnya.

      "Sabar Thalita. Aku tahu kau sedang dalam masa yang sangat ..." Renata memeluk Thalita. Tidak bisa membayangkan berada diposisi temannya itu.

      "Aku stress Ree...Rentenir mendatangiku. Morgan menjual namaku saat meminjam uang,” keluh Thalita. Ia berusaha menahan air mata supaya tidak turun. Beberapa hari ini banyak rentenir mendatanginya.

      "Morgan. Laki-laki brengsek!" umpat Renata.

      "Kau benar." Thalita terisak. 

        Setelah semua barangnya selesai di packing ke kardus kecil. Thalita memegang  kardus itu di depan dadanya sambil berjalan. Semua kawan-kawannya melihat kepergian Thalita. Percayalah, tidak semua ikut bersedih. Ada juga yang menyunggingkan senyum sinis melihat kepergian Thalita. Itu biasa dalam pekerjaan. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai kita. 

      Thalita sudah memesan ojek online. Dia menunggu di pinggir jalan dekat post satpam. Baju seragamnya sudah ditutup sweater. Sayangnya dia tidak membawa sendal jepit. High'helsnya sangat menggangu. Sudah hampir lima menit dia menunggu.

      "Thalita?"

      "Iya ...,” jawab Thalita pada laki-laki yang ada di depannya. Penampilan laki-laki itu bukan seperti tukang ojek online.

       Jas hitam. Sepatu pantofel. Berbadan tegap dan kacamata hitam. Jelas, tidak ada tukang ojek memakai pakaian seperti itu. Thalita  mengeratkan tangannya pada kardus.  Apakah orang ini salah satu rentenir tempat Morgan meminjam uang?!

Morgan aku akan membunuhmu, bathin Thalita.

    "Silahkan ikut saya,” ucap laki-laki itu.

      "Maaf. Tapi aku bukan Thalita,”  ujar Thalita mundur selangkah dengan mata cemas.

      "Tadi kau menjawab saat dipanggil." Laki-laki itu menatap tajam.

      "Mungkin kau salah dengar,"sahut Thalita.

"Kau ingin cara kasar atau lembut?” tegas laki-laki itu membuka kacamata hitamnya.

          Thalita menelan saliva. Tadi malam dia menonton berita. Terlalu banyak tindakan kriminal. Begal, pemerkosaan dan laki-laki ini bisa saja memutilasinya dan menjual organ tubuhnya untuk melunasi hutang Morgan. Thalita terlalu banyak berfikir.

       "Kau enggak perlu melakukan apa pun. Aku akan ikut,” ucap Thalita, memaksa tersenyum.

        Thalita masuk ke  mobil mewah sejenis Toyota. Entahlah apa merk-nya. Thalita tidak terlalu mengenal tentang mobil mewah atau semacamnya. Setelah beberapa jam mereka sampai. Thalita masuk ke  hotel berbintang. Tempat yang tidak mungkin untuk melakukan pembunuhan atau semacamnya. Iya kan? 

Thalita menggigit bibir bawahnya, perasaan tidak tenang. Dia mengikuti laki-laki berjas hitam yang di depannya. Tangannya masih mendekap kardus kecil berisi  barangnya.

      "Silahkan..!"

Thalita masuk pada kamar yang di arahkan sebut saja bodyguard tadi. Kamar yang luas dan nyaman. Royal suite. Thalita mengedarkan matanya pada tiap sudut kamar. 

       "Selamat datang Thalita Aryashuta." Seorang laki-laki mendekati. Sejenak Thalita mengagumi laki-laki tinggi putih itu. Dia hanya sebahu laki-laki itu, mata hijau laki-laki itu menatap lekat pada Thalita.

Laki-laki ini lebih menarik dan berkharisma. Cukup, bukan saatnya terpikat pada laki-laki itu!

      "Kau mengenalku?" tanya Thalita. Laki-laki itu menyebut nama lengkap Thalita Aryashuta.

      "Sangat..."

      "Apa Morgan memberi tahumu?" suara lantang Thalita. Membuat laki-laki itu tersenyum. Dia tersenyum?

      "Morgan. Bukan! Aku sudah lama mencarimu,"ucap Arion. Dia duduk di sofa sedangkan Thalita masih berdiri sambil memegang kotaknya.

      Thalita menatapnya lekat-lekat. Dia tidak pernah mengenal laki-laki itu. Tapi, tunggu. Mereka pernah  bertemu. Tiba-tiba Thalita mengingatnya, sangat jarang ia menemukan laki-laki seperti ini. Mana mungkin terlupakan begitu saja.

      "Sudah lama mencari? Bukankah kau yang aku tabrak di hotel tempo hari,” tukas Thalita.

      "Kau mengingaku? Senang mendengarnya.” Arion tersenyum berkarisma membuat Thalita hampir lupa diri.

      "Kalau kau mau menagih hutang Morgan. Maaf... Aku enggak punya uang. Aku baru saja dipecat,” ucap Thalita, itu bukan curhat tapi menegaskan. 

      "Aku ingin memilikimu." Arion menatap Thalita dengan penuh keinginan. Ucapan yang tiba-tiba. Seperti anak kecil yang ingin permen, semudah itu.

Thalita terkejut. 

     "Sinting!"

Arion menatapnya tajam. Ia bangkit dari kursinya sambil mengancing jas hitamnya.

      "Kau tidak akan bisa menolakku. Sebut saja permintaanmu. Aku akan memberikan segalanya.”

      "Aku bukan pelacur bodoh! Aku tidak berniat jadi pelacur.” Thalita hendak pergi. Dia tidak peduli dengan penawaran laki-laki aneh itu.

      Semenit kemudian Arion menarik lengan Thalita hingga kardus di tangan Thalita  jatuh ke lantai. Matanya memancarkan kekuasaan. Thalita terkejut dengan tubuh yang sudah gemetar, namun ia mencoba menyembunyikan itu.

      "Aku bukan barang untuk dimiliki orang. Terlebih pada orang yang tidak aku kenal.” Thalita menghempaskan tangannya.

      Tidak perduli lagi kardus itu. Thalita berlari cepat mengarah pintu. Laki-laki itu membuatnya takut. Dari belakang Arion mengangkat Thalita seperti karung beras saat wanita itu sudah bersiap membuka pintu. Thalita meronta-ronta, kedua tangannya memukul bahu Arion keras.

      "Lepaskan ... Brengsek." Makinya.

       Arion meletakkan Thalita pada meja yang bersender di dinding. Gadis itu duduk di atas meja. Arion mendekatkan dirinya hingga mereka sejajar. Tidak laki-laki itu lebih tinggi. Arion menundukkan bahunya hingga mata mereka bertemu.

      "Dengar! Aku sudah lama mencarimu dan aku tidak akan melepaskanmu,” ucap Arion dengan mata dinginnya.

      "Bullshit!"

Arion menatap senang pada Thalita, walaupun gadis itu membangkangnya.

      "Kita akan menikah!"

      Thalita terbelalak kemudian menyeringai. Hal gila yang pernah dia dengar. Setelah kegagalan pertunangannya. Dia tidak lagi percaya laki-laki ataupun apa pun itu. Apalagi ikatan. Terlebih lagi pada pria yang baru saja dikenalnya. Tidak, Thalita tidak mengenalnya sama sekali.

     "Kau hanya perlu memilih. Menculikmu atau kau diikat dengan status. Aku tidak akan tinggal di Jakarta lama. Pekerjaanku menunggu. Tapi aku tidak akan melepaskanmu,” tegas Arion.

Mata Thalita membulat besar. Jika ini mimpi ia ingin segera bangun.

      "Pergilah ke neraka!" Thalita mendorong Arion menjauh darinya. Ia mencoba turun dari meja. Tapi, Arion mencekram rahang Thalita. Itu tidak akan membunuh gadis itu karena baginya Thalita berharga.

      "Aku akan membawamu paksa. Kemana pun aku pergi. Kau akan ikut denganku,” desih Arion di dekat kuping Thalita.

      "Lepas...,"erang Thalita. 

        Arion melepaskan tangannya. Mengusap wajahnya dengan frustasi. Dia menjaga jarak supaya tidak melukai gadis itu. Dia sungguh sudah tergila-gila pada gadis itu. Melihatnya sedekat ini membuatnya semakin ingin memiliki.

      "Aku akan memberikan waktu. Jika batas waktu itu habis dan jika semua yang kulakukan tidak bisa membuatmu mencintaiku. Aku akan melepaskanmu,” ucap Arion. 

Thalita mengangkat kakinya ke udara. Menarik high'helsnya dan melempar ke arah Arion dengan geram. Laki-laki itu menghindar dengan cepat.

      "Brengsek! Aku punya keluarga,” berangnya.

      "Biar kunasehati. Lebih baik kau mau terikat denganku atas pernikahan daripada kau ikut terpaksa tanpa ikatan,"ucap Arion. “ Apa pun pilihanmu. Aku akan tetap membawamu.”

Cuiiiihh 

Thalita melemparkan ludahnya ke wajah Arion. Laki-laki itu mengusap ludah Thalita tanpa rasa jijik. 

       "Enggak akan pernah!  Aku akan melaporkanmu ke polisi. Kau sakit jiwa,” teriak Thalita.

      "Aku akan menyiapkan segalanya." Arion pergi meninggalkan Thalita. 

        Siapa dia? Otaknya tidak punya urat yang berfungsi atau dia punya penyakit kelainan. Thalita mondar-mandir di kamar, sambil menggigit kukunya. Bola matanya berputar mencari akal untuk lari. Thalita  mengambil tasnya dari dalam kardus. Dia lupa dengan ponselnya. Cepat-cepat tangannya mencari nomor seseorang mencari bantuan.

Krek.Krekk.

       Suara kunci pintu terbuka. Thalita tersentak. Dia menyembunyikan tangannya di belakang. Baru saja ia ingin mendial nomor Renata. Seorang pria berpakaian rapih dengan jas hitam mendekati Thalita. Entahlah apa perkerjaan mereka membuat Thalita menatap heran.

      "Aku Andre. Kau bisa memanggilku jika butuh sesuatu." Laki-laki bertubuh tegap itu memperkenalkan diri. Mata birunya menatap tajam dan dingin.

      "Aku tidak perduli!" Thalita berlari ke arah pintu, sayangnya Andre menahan tangan Thalita.

      "Maaf... Handphonemu aku sita.” Andre menarik handphone dari tangan Thalita dengan paksa.

      "Kalian sudah gila!” teriak Thalita.

      "Bukan aku yang gila. Tapi Arion! Dia yang tergila-gila padamu." Andre menatapnya dengan dingin, ia tidak mengerti mengapa Arion mencintai gadis ini. Menurutnya gadis ini biasa saja, jauh di banding wanita-wanita yang mendekati Arion. 

Arion! Thalita  baru pertama kali mendengar nama itu.

      "Aku hanya menjalankan perintah. Pintu kamar ini akan dikunci. Jika kau perlu sesuatu. Kau bisa menggedor pintu, di luar sudah ada pengawal," ucap Andre hendak pergi. Thalita terdiam memandang sekeliling kamar. Seolah-olah tidak rela akan terkurung di kamar mewah ini.

      "Aku akan melaporkan kalian semua ke polisi!" teriak Thalita.

      "Brengsek!"

Thalita melempar segala sesuatu pada pintu. Otaknya tidak bisa berfikir jernih kecuali lari dari sini. 

** 

        Dua hari Thalita berada di hotel. Segala keperluan Thalita Andre yang mengurus. Sesekali pelayan hotel membawanya makanan atas perintah Arion. Thalita terlihat kusut, rambutnya dibiarkan berantakan dan pakaiannya masih sama seperti pertama kali ia datang.

      "Aku sudah menghubungi keluargamu. Sepertinya mereka tidak keberatan kau hilang," ucap Andre. Dia datang membawa paper bag berisi pakaian.

      "Kau menelpon keluargaku?" geram Thalita terduduk di lantai.

       "Tidak. Aku menyuruh pelayan di sini berpura-pura menjadi temanmu,” jawab Andre. Thalita mendekati meja tempat Andre meletakkan pakaian.

       "Kalian tidak bisa menyuapku! Aku ingin keluar dari sini." Thalita melempar barang yang diberikan Andre.

      "Lupakan! Arion tidak akan melepaskanmu. Jika kau percaya aku juga mengharapkan kau pergi dari sini," ujar Andre dengan nada tidak suka.

      "Bagus. Kalau begitu kau bisa membantuku keluar dari sini,” pinta Thalita. Dia menantang Andre dengan senyum sinis.

      "Sayangnya, aku bukan tipe penghianat pada atasan.” Mendengar itu Thalita semakin frontal. Ia mengutip pakaian yang berserak di lantai dan melempar kembali ke wajah Andre. Laki-laki itu tidak memberikan reaksi apa pun.

      "Dimana bosmu itu,hah? Bilang padanya aku ingin bertemu. Suruh dia mengeluarkanku,” teriak Thalita seperti orang yang kesurupan.

     "Baik, nanti akan kusampaikan." Jawab Andre lalu keluar dari kamar. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status