Share

Agreement..

Pagi itu matahari terasa terik, seorang gadis berjalan dari stasiun bawah tanah dengan tergesa. Sesekali ia melirik jam tangannya. Lalu lalang para pekerja memadati jalanan Ibu Kota Jakarta di hari itu. Tak sedikit orang yang berjalan menuju halte untuk sampai ke tujuannya. Seperti gadis berkulit putih dengan setelan kemeja putih dipadu rok midi plisket berwarna nude. Ia berjalan melewati beberapa pejalan kaki yang langkahnya lebih santai, tidak seperti dirinya yang seolah tengah diburu waktu. 

Datanglah jam 8 pagi. Temui beliau di ruang eksekutif. 

Pesan teks itu membekas di ingatannya. Dengan penuh harap, ia berjalan untuk sampai tujuan. 

Tok Tok Tok.

Suara ketuk pintu terdengar tiga kali, seseorang yang telah menunggu di kursi tersebut menengok ke arah pintu. “Itu pasti dia, bukalah!” Seorang pria memerintahkan pria lain disana. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya seseorang masuk ke ruangan itu. 

“Selamat pagi, Tuan,” sapa seorang gadis sambil melangkah mendekatinya.

“Hai! Pagi!” Pria itu beranjak lalu mendekati sofa yang ada di ruangan tersebut. Senyumnya terukir tipis sambil menyambut kedatangan seorang gadis disana.

“Teh atau kopi?” tawar pria disana tanpa basa-basi setelah berhasil duduk dihadpaan gadis itu. 

“Eung … kopi b-boleh,” jawabnya dengan gugup.

“Baiklah.” Lagi-lagi senyum tipisnya menyambut gadis itu dengan hangat. “Kris, tolong bawakan kopi untuknya,” pinta pria itu pada asisten disana. 

“Ya, Tuan!” 

Kris berlalu. Anjani berdeham. Ia terlihat begitu gugup. Jemarinya tak berhenti mengepal. Sesekali ia menoleh kesamping, menunggu pria itu memulai pembicaraan. 

“Kau pasti terkejut karena aku tiba-tiba memanggilmu.” 

Akhirnya kalimat yang ditunggu-tunggu terucap. Anjani pun mengangguk. “Tentang proyek itu—” Arjuna menggantungkan ucapannya, ia melihat Kris datang bersama office girl dengan membawa morning coffee untuk tamunya.

“Terima kasih,” ujar gadis itu pelan.  

Setelah office girl berlalu. Arjuna melihat ke arah Kris yang masih berdiri disisinya. 

“Kris, can you leave us?” 

Kris menoleh heran. Begitupun Anjani yang langsung memandang ke arah Arjuna. 

“Oh, ya, baiklah.” 

Detik berlalu setelah Kris meninggalkan ruangan itu. Mereka menatap dalam diam sesaat, sampai akhirnya Arjuna berdeham. “Ini kontrak untuk proyek yang terakhir kali kau presentasikan.” 

Arjuna menyodorkan dokumen ber-map merah disana. Anjani yang tak tahu bahwa proyek ini akan dengan cepat disetujui, begitu terkejut. Benarkah? Secepat itukah? Monolog Anjani. Diantara keheningan, Anjani berhati-hati meraih dokumen itu. Lalu meminta izin untuk membacanya secara seksama. Arjuna pun mempersilahkannya. 

This Memorandum of Agreement (hereinafter referred to as the "Agreement") was made and entered into in Jakarta on Monday, February 14, year two thousand and twenty-two (02/14/2022), by and between Arjuna Barathawardana and Anjani ...

Anjani tidak melanjutkannya. Menurutnya, ada yang aneh dengan agreement ini. Apa ini? Mengapa perjanjian kerjasama bukan atas nama institusi?

“Apa ini tidak salah tulis?” Anjani meyakinkan dirinya, bahwa ia sedang tidak salah baca. 

“Tidak. Agreement ini dibuat memang untuk kita.”

Kita? Anjani tertegun. Ia tidak mengerti. Sungguh. “Coba ulangi, Tuan? Maaf? Maksudnya?”

Anjani menyergahnya. Ia bertanya tanpa jeda. Meminta penjelasan dari si empunya perjanjian tersebut. Matanya menelisik lebih dalam, melihat gelagat Arjuna yang mulai kebingungan. Ada yang aneh pikirnya. “Akan aku jelaskan, tapi bisakah kau lanjut baca diktum pertama?” Arjuna meminta Anjani untuk terus membaca perjanjian itu tanpa protes. Mendengar perintah itu, Anjani pun mengarahkan pandangannya pada secarik kertas disana sambil membaca diktum pertama seperti yang diminta pria itu. 

The purpose of this agreement is to bind the PARTY to each other to establish terms and conditions regarding the rights and obligations of the PARTY regarding the financing of digital technology-based real estate projects to the SECOND PARTY by the FIRST PARTY. So, the FIRST PARTY has the right to ask for compensation from the SECOND PARTY as a mutual agreement.

“Mutual agreement?” Anjani masih tidak mengerti. Jika ini menyangkut proyek, mengapa perjanjian ini tidak dibuat atas nama insitusi, mengapa Arjuna hanya mengikat namanya dalam perjanjian tersebut.

“Aku ingin kau jadi istriku …” tegas Arjuna. Anjani begitu terkesiap, matanya membulat lalu memandangnya dengan penuh tanda tanya. “Kontrak,” lanjutnya. Pernyataan pertama cukup membuat Anjani terkejut, ditambah dengan pernyataan selanjutnya membuat Anjani merasa sangat kesal. “Apa maksudmu?” Wajahnya mulai mengeras. Mood Anjani rusak seketika. Anjani beranjak. 

“Tenanglah!” Arjuna pun beranjak, dengan memohon pada gadis itu agar kembali ke posisinya semula. “Aku akan jelaskan—tapi bisakah kau tetap tenang?” Arjuna menatap mata gadis itu yang berkilat. 

***

Seseorang melangkah dengan gontai. Ia tak habis pikir, entah apa yang telah merasukinya saat itu. Berkali-kali ia berpikir atas keputusannya. Dasar bodoh. Mengapa Anjani menyanggupinya. Gadis itu mengutuk sambil berjalan dengan tatapan kosong. Tak sekali ia menabrak pundak pejalan lain. Namun ia tak menggubrisnya.

“Aku tahu saat ini dirimu tinggal sebatang kara … dan aku yakin, hidupmu sangat kesulitan di negeri orang.” Seseorang disana bergeming. Ia mengepalkan jemarinya, merutuki bahwa perkataan pria itu semuanya benar. “Aku akan membantumu bertahan hidup. Aku akan menjamin kehidupanmu. Tapi—aku butuh bantuanmu untuk sementara waktu.” Ia mendongak. Sejujurnya wajah pria itu tidak begitu menakutkan. Justru, wajahnya begitu teduh hingga membutakan hatinya. Tatapan itu, menghangatkan jiwanya. Suara itu, mampu meredam amarahnya. “Aku akan tetap mendanai proyek di Malaysia. Namun setelah itu kau harus menetap disini. Jadilah istri sekaligus rekan bisnisku.Anjani terus memandang dalam diam. “Dalam jangka satu tahun, tolong bantu aku sampai rapat akhir tahun dewan direksi.” Arjuna mendekatkan tubuhnya sedikit ke seberang meja gadis itu. Menatapnya lekat, seraya memohon agar gadis itu mengabulkan permintaannya. 

“Hei! Kau buta, ya!” seru seorang wanita paruh baya, kesal. “Ah! Maaf, Bu! Aku tak sengaja,” jawabnya linglung. Seseorang lainnya menarik lengan gadis itu menuju sudut lobby kantor tersebut. 

“Kau baik-baik saja?” 

“Eung?” Anjani menoleh. Ia melihat Naomi memandangnya heran. “Anjani, apa kau baik-baik saja?” tanyanya untuk kedua kali. Selama satu dekade bersahabat, Naomi tidak pernah melihat Anjani sebingung itu, bahkan ketika kedua orangtuanya meninggal pun, Anjani terlihat begitu tegar.

“Naomi, apa yang harus kulakukan?” Anjani menggenggam tangan Naomi dengan erat, seolah memohon untuk mengeluarkannya dari situasi saat ini. 

“Ayo, ikut aku!” Naomi menarik tangan sahabatnya. Menuntunnya menuju kafe di seberang kantor. Mereka melangkah dengan tergesa. Setibanya disana, Naomi duduk berhadapan dengan gadis itu. Sesekali Naomi menyeruput hot cappucino-nya sambil menatap Anjani yang masih bergeming. 

“Ada apa? Kau bisa cerita?” Naomi menuntut gadis itu berkali-kali, sejak mereka duduk lima belas menit yang lalu, Anjani tetap bergeming dengan memainkan jemarinya. 

“Anjani? Kau bisa mendengarku?” Naomi mengetukkan meja tiga kali di hadapannya. “Naomi menurutmu apa aku gadis matre?” sergahnya tanpa intro. Naomi yang sama sekali tak mengerti arah pembicaraannya, memicingkan mata lalu menatap serius Anjani. Tak lama, terdengar gelak tawa memecah keheningan. Di kafe itu, terlihat tiga barista dan beberapa pengunjung yang sibuk dengan urusannya, langsung menoleh ke arah mereka. Anjani menengok kekanan dan kekiri, meyakini semua orang tengah membicarakan mereka, setelah itu menunduk malu. “Kenapa bisa kau berpikir seperti itu?” Ditengah gelak tawanya, Naomi bertanya. Namun Anjani tetap terdiam sambil menyembunyikan wajahnya yang saat itu tak mampu menahan malu. 

“Aku mengenalmu hampir sebelas tahun, Anjani—“. Naomi menetralkan tawanya sambil berdehem. “Kalau kau matre, aku tidak akan berteman denganmu.” Anjani masih tak percaya ucapan itu, ia masih terdiam menatap Naomi yang juga menatapnya. Sesaat terdengar hela nafas panjang. Hela nafas penuh keputusasaan. 

“Memangnya kenapa? Siapa yang berani menyebut dirimu matre?”

Anjani menggeleng cepat.  Ia kembali teringat ucapan itu. “Aku akan transfer biaya hidupmu per bulan, kau akan difasilitasi dengan berbagai macam fasilitas sepertiku, mulai dari tempat tinggal, mobil, kartu kredit, dan lainnya hingga kontrak selesai.” 

“Hanya saja …” Anjani menggantungkan kalimatnya. “Tuan Arjuna memintaku untuk …” 

Naomi tak sabaran, ia pun menyambar ucapan Anjani dengan meluap-luap. “Untuk apa?” 

“Untuk jadi istri kontraknya.” Anjani menghela nafas setelah berhasil menceritakannya. 

“Gila!” seru Naomi dan membuat pengunjung disana kembali menatap sinis mereka. “Dasar gila!” Dengan tanpa sadar, Naomi menyumpah serapahi atasannya. Naomi adalah sekretaris manajemen di kantor Arjuna dan juga salah satu kepercayaan pria itu, mereka menjadi dekat karena satu almamater, meski beda tingkatan, intensitas yang sering, membuat Naomi lambat laun menjadi akrab hingga lupa bahwa mereka terpaut jarak usia tiga tahun. 

“Hust!” 

“Kenapa bisa? Ada masalah apa?”

“Aku juga tidak tahu. Tapi—aku diminta untuk jadi istrinya hingga rapat akhir tahun dewan direksi.” 

Naomi menerka. Ia merasa ada yang tidak beres dari atasan sekaligus temannya tersebut. 

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
setelah pertemuan bisnis..anjani dosodori kontrak .dikira kontrak bisnis..tapi arjuna membuat kontrak nikkah
goodnovel comment avatar
Rubby
Gue jadi anjani juga terkejoet, diajak nikah kaya ngajak nonton dangdutan ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status