“Pandu?” Bisik Renata.
Laki-laki itu sedang dalam posisi tiarap seperti dirinya, mereka sama-sama bersembunyi di kolong tempat tidur.
Langkah kaki terdengar semakin jauh, Renata kini bisa dengan bebas berbicara walaupun masih dengan suara pelan.
“Kamu darimana?” Renata bersungut kesal. Bisa-bisanya laki-laki itu meninggalkannya dalam keadaan seperti ini.
“Maaf,” kata Pandu menyesal. “Tapi Renata, semuanya baik-baik saja, kamu bisa melakukan apapun disini. Termasuk melawan para Jepang itu.” Kata Pandu yakin.
Renata mengangkat kedua alisnya, masih kurang yakin terhadap kemampuannya.
“Coba lihat kursi di sebelah sana,” tunjuk Pandu pada sebuah kursi kayu yang bersandar pada din
Pagi minggu yang cerah gagal menarik perhatian Renata dari layar laptopnya. Gadis itu berencana menghabiskan hari ini dengan mencari lebih banyak tentang kemampuan Oneronaut yang sedang ia pelajari.Sudah dua jam berlalu, Renata sengaja mandi lebih pagi seperti hari-hari biasa ia berangkat sekolah. Padahal khusus hari minggu, gadis itu selalu menetapkan jadwal mandi paginya menjadi diatas jam sebelas.Suara ketukan pintu menghentikan pencarian yang dilakukannya.“Dek?” Panggil Tian dari luar kamar Renata.Renata bergegas membuka pintu kamarnya sedikit, “ya, kak?”“Lagi ngapain?” Tanya Tian penasaran sambil menengok ke dalam kamar adiknya.&ldquo
Pandu duduk di kursi taman, melipat kakinya. Matanya terpejam menikmati terpaan sinar matahari pagi dan angin yang begitu sejuk.“Apa yang terjadi?” Tanya Pandu tiba-tiba.Renata mengerjap kaget setelah menatap Pandu cukup lama, “apa?”Pandu memajukan tubuhnya untuk mengamati wajah Renata dengan jarak dekat, “kamu sedang sedih Renata, terlihat jelas,” gadis itu menarik tubuhnya sedikit ke belakang karena merasa jengah.Renata diam, ia masih harus mempertimbangkan cerita Haris-Siska. Ia tidak ingin Pandu berpikir bahwa ia masih menyukai Haris, ya walupun masih, sedikit.“Ceritakan saja padaku.”Renata akhirnya bercerita mengenai segal
“Hormat gerak!” Teriak salah seorang teman Renata di tengah lapangan. Seluruh siswa-siswi SMA Harapan serentak mengangkat tangan, hormat kepada bendera yang sedang di gerek para petugas. Baru setengah tiang, kepala Renata kembali berdenyut. Sejak tadi pagi, kepalanya memang terasa pusing sekali. “Mau ku antar ke UKS?” Dena mulai khawatir. “Nggak, makasih Den. Aku bisa sendiri.” Tolak Renata halus. “Oke, tapi hati-hati ya.” Sebenarnya dia juga ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja di UKS. “Renata?” Seseorang yang sebenarnya sedang ingin dihindarinya malah m
Renata menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur. Sejenak memikirkan kembali obrolannya dengan Dena. Anehnya, semakin dilarang, rasanya semakin ia ingin bertemu dengan sosok Pandu itu sekali lagi. Ia menggeleng, berusaha mengalihkan pikirannya. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, mandi, kemudian belajar mempersiapkan ulangannya besok. Sudah pukul sembilan, matanya kini benar-benar terasa berat. Renata yakin kelelahan bisa membuatnya tidur lebih nyenyak. Namun perkiraannya salah, ia justru sadar dalam tidurnya. Kini ia berjalan di lorong gelap. Renata merasa janggal, karena sejauh apa pun ia berlari, semuanya gelap.
“Ren, kamu yakin?” tanya Dena khawatir. Renata memandang Dena ragu, kemudian mengangguk. "Aku akan mencobanya sekali lagi, nanti. Setelah aku mengerti cara kerja proyeksi astral yang kamu ceritakan itu." - Sudah seminggu Renata berhenti berani bermain-main dengan proses tidurnya.Kini ia sedang disibukkan dengan persiapan menjelang ujian tengah semester yang sebentar lagi akan dihadapinya. Sesekali tubuh “lain”nya itu memang terpisah saat Renata tertidur. Tapi ia malah menggunakan tubuhnya untuk belajar. Membaca beberapa materi yang masih belum ia mengerti. “Besok-besok jika aku terbangun dalam keadaan seperti ini lagi, lebih baik
Sepanjang sore itu dihabiskan Renata dengan melamun, tentang apa saja. Ia membebaskan pikirannya kemanapun sesukanya. Ia sedang tidak dalam kondisi perasaan yang baik untuk melakukan apapun. Semua dimatanya salah. Bunyi berisik yang ditimbulkan angin sore juga salah, termasuk senja yang tak begitu tampak karena awan gelap sedang menyelimuti langit sore ini.Perasaannya benar-benar buruk setelah bertemu orang itu. Renata ingin menghapus setiap memori yang berisi tentang ia dan Haris.Renata gusar, ia tak tenang. Ia kesal dan marah. Tapi ia hanya terdiam, bahkan untuk melampiaskan berbagai perasaan itu ia tak tahu bagaimana caranya.Seandainya sekali saja ia bisa kembali mengalami lucid dream. Sekali saja, hanya untuk berteriak sekencang-kencangnya. Ia hanya perlu melakukan itu.
Renata menurunkan buku yang sejak tadi menutup wajahnya. Ia melirik ke sekeliling perpustakaan, sepi."Tadi malam aku melakukannya lagi. Tapi, aku bertemu Pandu." Kata Renata berbisik.Dena melirik sekilas kemudian kembali sibuk dengan bukunya, "kau yakin? Mungkin itu cuman mimpi."“Beneran, sumpah!”Dena mendesah ragu.Renata mengacak-acak rambutnya gusar. “Tadi malam aku tidak bisa mengatur apapun. Kalau itu hanya bagian dari lucid dream, seharusnya aku bisa mengatur banyak hal kan? Dan sebelum pertemuan dengan Pandu itu, aku juga ke rumah Haris. Semuanya jelas sekali."Dena menoleh, "baiklah. Baik. Kita pastikan dulu, itu mimpi atau bukan."
Semua kejadian belakangan ini mengganggu Renata dan mengacaukan emosinya. Ia bahkan mendorong Desty karena menjegal kakinya hingga terjatuh. Renata bahkan menghabiskan waktu istirahatnya dengan menangis di dalam toilet setelah Haris dan Siska Dena membelai lembut punggung Renata, berusaha menenangkan. “Mungkin aku cuman perlu tidur. Sorry Den." “It's okay. Kurang tidur memang bikin orang sensitif.” Kata Dena maklum. Renata menyuci mukanya kemudian berjalan keluar bersama Dena yang menggandeng tangannya. - Sepanjang siang Renata tidur hingga malam tiba ia masih tertidur. Ibunya sempat membangunkannya namun hanya ditanggapi sebentar, kemudian ia kembali tertidur.