(POV ZARA)"Miranda ... Miranda harus mati, dia jahat! Gara-gara dia Dina meninggal, Miranda wanita luknut!" ucapnya lagi dengan mata membeliak dan napas ngos-ngosan.Aku tercenung menatap Om Burhan menyebut-nyebut Tante Miranda, apakah yang ia maksud itu Miranda gundik ayah? atau Miranda yang lain?"Naima, panggil suster," titah Nenek, bunda pun mengangguk lalu keluar "Miranda ... semua gara-gara Miranda!" Om Burhan menangis sambil menjambak rambutnya yang mulai gondrong."Burhan, tenanglah, Nak," ucap Nenek sambil mengelus punggungnya, tapi Om Burhan masih meracau menyebut nama Miranda.Aku dan Jessica disuruh keluar, sementara bunda dan nenek masih di dalam ngobrol dengan dokter berkerudung itu.Di sampingku Jessica duduk sambil melamun, kasihan juga dengan gadis menginjak remaja ini, sejak dua tahun lalu ia sudah kehilangan ibunya, lalu disusul ayahnya yang menderita depresi."Kamu laper ga, Jes? jajan yuk," ajakku."Ga ah, Kak, kita nunggu Nenek aja di sini," jawab Jessica denga
Aku menghirup napas dalam-dalam dengan rahang mengeras, lalu menatapnya dengan pandangan menantang."Bangga banget lo jadi anak pelakor?"Ia mengibaskan rambutnya ke belakang, hingga aroma shampo tercium olehku."Kalau gue jadi lo sih duh pasti malu banget. Camkan ya, bunda gue itu ga murahan, dia bisa dandan, tapi dandannya hanya dilihat sama suaminya, ga kaya nyokap lo kemana-mana umbar aurat.""Menjijikkan banget sih manusia kaya kalian itu, bisa tenang makan dan tidur dari hasil ngerebut suami orang." Aku menyunggingkan senyum lalu masuk kamar."Dasar Mak lampir!" Terdengar Tiara mengumpat****Hari demi hari kulalui di rumah ini, tak dapat dipungkiri tinggal satu atap dengan gundik ayah membuatku kadang stres dan tertekan, dan selama beberapa bulan ini berbagai macam usaha kulakukan untuk membuat retak hubungan ayah dan gundiknya Namun, yang membuatku jengah adalah ayah selalu baikan dengan Tante Miranda sekalipun mereka bertengkar hebat.Hubungan mereka bagaikan sebuah karang d
"Apa? Burhan mau ke rumahmu?" tanya bunda sambil menengadah menatap ayah."Iya, dia ga bisa datang ke acara wisuda Zara makanya datang ke rumah, tapi anterin Bundamu dulu gapapa, biar Ayah pulang duluan.""Ya udah kita pulang aja yuk, Bun, aku mau ketemu Om Burhan, sama Jessi 'kan ke rumahnya?" tanyaku semangat, semoga kuntilanak itu ada di rumah.Ayah berdiri sambil meraih kunci mobil. "Ga tahu tuh kalau Jessi, ya udah kalian berdua aja, Ayah duluan ya."Usai menghabiskan makanan aku pulang mengantarkan bunda ke grosirnya, setelah itu aku balik arah menuju rumah.****"Kak Zaraaa!" teriak Jessi saat turun dari mobilnya.Semenjak ayahnya sembuh dari penyakit kejiwaan anak itu berubah menjadi periang dan sering bercanda, gairah hidupnya telah kembali."Rambut baru ya?" tanyaku saat ia mencium punggung tanganku.Rambut anak itu dipotong pendek sebahu, membuat wajah bulatnya makin kentara, bukan hanya periang tapi sekarang tubuh Jesica sudah mulai berisi."Iya baru dipotong, bagus 'kan?"
"Kenal sih engga 'kan belum ketemu." Om Burhan terkekeh.Aku mendelik, ga jelas banget sih, apa jangan-jangan penyakit jiwanya itu belum sembuh total lagi?"Han, makan yuk, makanan udah pada mateng tuh," ucap ayah menghampiri kami."Masih kenyang, Mas," jawab Om Burhan."Tapi Jessi laper, temenin makan yuk, Kak," sahut Jesica sambil memegang perutnya.Aku terpaksa berdiri. "Ya udah ayok, tapi Kakak ga makan masih kenyang soalnya."Sambil menemani Jesica makan aku berselancar di aplikasi WhatsApp, melihat story' dan tak sengaja aku melihat status Tiara.Ternyata ia sedang belanja di sebuah mall terbesar di kota ini, di poto itu nampak Tiara sedang berdiri dan tersenyum menjinjing paper bag sebuah brand ternama.Sial*n! Berani-beraninya ia belanja barang mewah menggunakan uang ayah, aku saja anak kandungnya mikir lagi kalau mau belanja barang branded.Poto kedua menunjukkan Tante Miranda sedang tersenyum di sebuah restoran, di hadapannya tersaji makanan yang berharga fantastis.Geram, a
"Ada tamu, Yah?" tanya Tante Miranda.Wajah oval yang sudah mengendur itu mencoba kembali tenang setelah barusan merasa tegang, bibir tipisnya dipaksa tersenyum menutupi kegugupannya."Ini Burhan, adikku," jawab ayah"Oh adik, kok aku baru lihat, Mas?" tanya Tante Miranda sambil gabung duduk di sofa, sementara Tiara masuk ke dalam membawa barang belanjaan."Dia ... baru pulang," jawab ayah ragu.Setahuku selama Tante Miranda menikah dengan ayah ia tak pernah mengenal tentang silsilah keluarganya, bahkan restu saja tak pernah ia dapatkan dari ibu mertuanya.Nenek menentang keras perceraian ayah dan bunda juga pernikahan barunya dengan Tante Miranda. Namun, ayah sudah terlanjur dibutakan cinta hingga nasihat ibunya tak pernah dianggap.Sejak mereka menikah nenek tidak pernah lagi datang ke rumah ini, dan jika ayah mengunjungi nenek maka wanita tua itu selalu bersikap dingin."Dari mana? luar negri?" "Ga usah pura-pura bego!" sahutku dengan tegas.Sontak saja semua mata tertuju padaku.
"Selingkuh?" tanyaku tak percaya.Ternyata wanita itu memang sudah bakat menjadi pelakor sejak dulu, jika saja ayah tahu hal ini tentu ia akan jijik pada istrinya itu.Aku merenung sejenak saking sibuknya dengan aktivitas sendiri sampai tak tahu masalah sefatal ini yang menimpa saudara sendiri."Berarti Tante Dina bunuh diri gara-gara?" tanyaku sambil menganga.Om Burhan mengangguk. "Iya, gara-gara ga kuat lihat suaminya ini berselingkuh dengan wanita lain."Setitik air mata jatuh dari dari matanya, ia memandang jauh ke arah jendela yang terbuka."Om emang ga punya hati, Ra, istri sebaik Tante Dina malah disia-siakan sampai ia tak tahan lalu ...." Om Burhan sesenggukan.Dapat kulihat ada penyesalan besar di matanya, karena aku tahu betul Tante Dina istrinya itu sangat baik dan ramah, tak jauh beda dengan bunda.Aku jadi heran kenapa wanita-wanita yang baik seperti mereka harus menerima pengkhianatan dari suaminya?"Terus, hubungan kalian sampai sejauh mana? apa pernah menikah?" tanyak
"Kenapa hubungan Om sama Tante Miranda bisa putus?" tanyaku antusias."Selang beberapa bulan Tante Dina meninggal Om jadi terpuruk hingga usaha Om jadi bangkrut, gara-gara itu Miranda ninggalin Om, ternyata selama ini Om hanya dijadikan sapi perah saja, Ra." Ia menundukkan wajah.Aku mencebik, wajar saja Tante Miranda menjadikannya sapi perah, toh ia juga menjadikan perempuan itu pelampiasan nafsu."Dan karena ini juga Om jadi ... depresi?" tanyaku agak hati-hati.Ia menghela napas lalu merenung sejenak."Pertama Om terpuruk karena merasa bersalah sama Tante Dina, yang kedua Om juga putus asa karena bisnis yang selama ini diperjuangkan mati-matian hancur begitu saja.""Dan yang ketiga yang membuat Om tambah hancur adalah Miranda memutuskan hubungan kita lalu membina hubungan dengan lelaki lain.""Waktu itu Om mengira Miranda akan memberi kekuatan atas keterpurukan yang Om hadapi, nyatanya dia malah pergi.""Dan hal itu yang membuat Om merasa tertekan dan merasa semakin bersalah sama T
Keesokan paginya aku sarapan dengan semangat, bahkan beberapa kali bunda menangkap wajahku sedang senyum-senyum sendirian."Kenapa sih?" tanya Bunda menyelidik."Ga papa." Aku mengulum senyum."Lagi ... jatuh cinta yaaa."Aku mengeringkan mata, di usia dua puluh tiga tahun ini aku memang tak pernah mengenal cinta, bahkan berteman dengan lelaki pun sangat terbatas."Sama siapa, Arvin?" Bunda menautkan sebelah alis."What? Arvin? ngaco, dia itu bestie aku, Bun, jangan ngarang deh.""Ya ga apa-apa, Bunda lihat dia lelaki baik dan sopan, ganteng lagi, masa sih kamu ga suka, bukannya selama ini sering jalan bareng?"Setelah melihat ayah selingkuh aku jadi takut menjalin hubungan dengan lelaki, jangankan menikah berpacaran pun rasanya ogah, terlebih katanya pacaran itu suatu perbuatan haram karena mendekati zina."Kalau kalian saling suka mending langsung nikah aja, jangan pacaran-pacaran, dosa!" tegas bunda lagi.Aku menegak susu lalu bicara. "Siapa yang pacaran sih? siapa juga yang jatuh