Kania mengeluarkan sebuah gelas bekas dipakai Andra minum direstoran tadi dan sebuah foto postcard dari dalam kotak, foto dirinya berdua dengan Andra yang tadi diambilnya waktu mereka makan siang di restoran milik Citra.
Kania menerbitkan senyum smirk khasnya sambil membatin, 'nanti malam aku akan membuatmu tunduk padaku, dan setelah itu kita tunggu kehancuranmu.'
Tengah malam, Kania memulai kembali ritualnya, kali ini sasarannya tidak hanya Andra. Kania juga menambahkan Arga sebagai sasaran tembaknya yang kedua. Dia akan membuat dua orang lelaki tampan itu tergila-tergila dan memperebutkan dirinya, bila perlu rela mati demi dirinya.
'Arga dan Andra ... hmm duet duo A yang menggairahkan, mulai malam ini akan aku buat kalian berdua menjadi budak cintaku, agar kalian tahu rasanya disakiti, hahaha,' desis Kania penuh angkara.
Dupa dinyalakan dan wangi asap dupa mulai memenuhi ruangan berbaur dengan wangi bunga kantil yang baru dipetiknya. Harum wangi bun
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di pintu kamar mandi mengejutkan Arga yang tengah melamun, sehingga membuat dirinya terburu-buru menyelesaikan acara mandinya. Ketika keluar dari kamar mandi, dilihatnya Rasti sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. "Lama amat mandinya, Mas. Aku sudah nunggu dari tadi mau mandi juga. Mas, nggak apa-apa 'kan? tanya Rasti mengkhawatirkan Arga yang menurutnya sudah terlalu lama di kamar mandi. "Iya, aku nggak apa-apa. Hanya saja tadi aku tiba-tiba agak sakit perut, jadi lama di kamar mandi. Ya udah, kamu cepetan sana mandi, lalu kita salat Subuh berjamaah, Yang," ajak Arga kepada istrinya, Rasti. "Iya, Mas," jawab Rasti lalu melangkah ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara menunggu Rasti mandi, Arga membuka Al-Qur'an dan berniat membaca salah satu surah, ketika angannya kembali kepada Kania. Ingatan saat dia memberi Kania mas kawin berupa seperangkat alat salat lengkap dan sebuah Al-Qur'an, yang lan
Setelah kurang lebih menempuh satu jam perjalanan, akhirnya Rasti sampai juga di pinggiran kota Jakarta, Rasti langsung menuju ke sebuah rumah sederhana milik seorang dukun yang terkenal ahli dalam hal pelet, sudah banyak orang yang meminta bantuan darinya termasuk Rasti yang sudah menjadi langganan Mbah Kromo, demikian biasa dia dipanggil. Tok! Tok! Tok! Perlahan Rasti mengetuk pintu rumah Mbah Kromo. "Masuk!" Terdengar perintah dari seorang laki-laki tua di dalam rumah. Ceklek! Kriet! Derit pintu rumah Mbah Kromo terdengar sangat nyaring di telinganya, sehingga membuatnya sedikit berjengit. "Permisi, Mbah," ucap Rasti meminta ijin masuk ke dalam rumah. "Masuk! Masuk! Langsung saja ke dalam! Mbah ada di tempat biasa!" perintah Mbah Kromo masih tanpa wujud. Mendengar perintah yang diberikan oleh Mbah Kromo itu, membuat Rasti bergegas mendatangi arah suara. Tanpa menemui kesulitan, Rasti bisa langsung menem
Di lain tempat di kota Jakarta, Arga tengah kesal dengan dirinya karena sejak malam tadi dia terus saja mengingat Kania, wanita yang sudah diceraikannya sejak beberapa tahun silam. Arga merasa geram karena bayang-bayang Kania seakan tak mau lepas begitu saja dari ingatannya, "aaarrgh! Kania! Kenapa mau harus hadir lagi dalam ingatanku! Kenapa!" Arga terus menjambaki rambutnya bahkan terkadang dia memukuli kepalanya demi menghilangkan bayang-bayang Kania. Namun, semakin keras Arga berusaha, maka terasa sulit baginya untuk melupakan Kania. "Kaniaaaa!" teriak Arga frustasi karena saat ini bukan hanya bayangan wajah Kania saja yang muncul dalam benaknya, wangi aroma tubuh perempuan itu pun sudah merangsek masuk ke dalam otaknya, seolah ingin membius jiwa Arga agar terus mengingat Kania. Dalam keadaan sudah setengah gila, Arga tiba-tiba teringat kenangan manis disaat dirinya menikahi Kania.
'Kania, kamu boleh tertawa sekarang. Tapi nanti, aku akan membuatmu hancur begitu juga dengan keluargamu. Mereka semua akan hancur,' batin Rasti penuh kebencian. "Pengantin wanita, silahkan. Bisa dibawa keluar sekarang." Terdengar suara pak penghulu memanggil Kania untuk ikut bergabung bersama mereka. Mendengar suara penghulu memanggil, Citra dan Rasti mengajak Kania untuk menemui penghulu dan Arga di depan. Wajah Kania tampak semakin mempesona dengan semburat merah di pipinya, tampak semakin memancarkan aura kebahagiaan dari hatinya. Arga tampak begitu terpukau saat melihat Kania tampak begitu mempesona, kebaya putih berleher rendah yang hampir saja memperlihatkan belahan dadanya dipadu dengan sanggul modern dan hiasan bunga-bunga segar di kepalanya ditambah dengan make-up natural menambah kesan anggun dan ayu Kania. "Waduh, Mas Arga sampai lupa berkedip melihat Mbak Kania, sabar Mas ini masih terlalu pagi. Masih banyak waktu untuk kalian berduaan na
Sore itu Rasti mengundang Arga, Kania dan Andra menghadiri acara pengajian kirim doa untuk Sasti kembarannya yang sudah meninggal. Kania yang kebetulan hari itu pulang dari pabrik lebih awal memutuskan datang lebih dulu sepengetahuan Arga, suaminya yang kebetulan tidak bisa menghadiri undangan Rasti karena ada pertemuan dengan klien dari Amerika. "Hai! Kania, kok elu datang sendiri, mana Arga?" tanya Rasti ketika mendapati Kania datang ke rumahnya seorang diri. "Iya, Ras. Maaf ya, Arga nggak bisa datang. Dia ada meeting sama kliennya nanti habis makan malam, jadi gue sendirian deh ke sininya. Nggak apa-apa 'kan?" Kania balik bertanya kepada Rasti. "Nggak apa-apa. Yuk, masuk, sebentar lagi acara dimulai," ajak Rasti menggandeng tangan Kania masuk ke dalam. Baru saja mereka akan melangkahkan kaki melewati pintu depan, ketika terdengar suara bariton milik lelaki yang mereka kenal. "Jadi, gue nggak disambut nih sama tuan rumah?" tegur pemilik suar
"Hei, kalian berdua kenapa? Kalian sakit? Kok wajah kalian merah begitu?" tanya Rasti pura-pura tidak tahu. "Aku ... engh ... ahh." Kania berusaha keras menahan rasa yang ada, tetapi suaranya malah lebih mirip dengan desahan. Tatapan keduanya tampak kosong seperti manusia tidak bernyawa, bahkan mereka tidak bereaksi terhadap apa pun selain suara Rasti saja, dan itu membuat Rasti menyeringai puas, 'ternyata hebat juga sihir Mbah Kromo, mampu menghipnotis ahli ibadah seperti Kania, nggak sia-sia aku bayar dia mahal," batin Rasti senang. Rasti yang sudah menunggu hal itu segera mengantarkan mereka berdua masuk ke dalam kamarnya setelah memastikan papa dan mamanya sudah berada di kamar mereka. Di dalam kamarnya, rupanya Rasti sudah siap memasang sebuah kamera cctv dan sebuah lilin aprodisiak yang akan semakin menaikkan libido mereka berdua. Ketika syahwat sudah di ubun-ubun, tidak ada lagi logika dan etika selain rasa ingin segera menuntaskannya dalam per
Akan tetapi, Kania sudah tidak bisa lagi ditenangkan, dia merasa sangat terhina dengan apa yang telah dilakukan Andra kepadanya. Harga dirinya bagaikan diinjak dan dibenamkan di tempat sampah paling menjijikkan sepanjang hidupnya. "Apa! Bisa-bisanya kau menyuruh aku diam dan tenang! Di mana perasaanmu, hah! Kau sudah seenaknya menodaiku dan sekarang kau suruh aku diam dan tenang! Brengsek kamu, Ndra!" maki Kania semakin keras. Ceklek! Suara pintu kamar yang terbuka, sontak mereka berdua memalingkan kepalanya masing-masing. Seperti dua orang pencuri pencuri yang tertangkap basah, mereka menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembunyikan ekspresi wajah masing-masing. 'Habis gue! Bakalan mati gue kalau sampai gue diseret keluar dan akhirnya dipukuli massa, walau pun gue nggak sepenuhnya bersalah,' rutuk Kania dalam hati. Sementara di sebelahnya, Andra melirik ke arah Kania, terlihat senyuman ... tidak ... bukan senyuman, lebih tepatnya sebua
"Ndra, gue minta tolong sama elu, ceritakan yang sebenarnya sama suami gue, Ndra tentang apa yang elu rasakan setelah elu minum sirup yang diberikan Rasti ke elu. Tolong gue, Ndra," pinta Kania mengiba. "Gue memang merasakan ada janggal dengan tubuh gue setelah minum sirup itu, tapi nggak seperti yang elu rasain, dan soal kejadian itu ... bukan gue yang ajak elu ke kamar Rasti, tapi elu yang ajak gue ke sana. Elu yang merayu gue, Kania," tegas Andra kepada Kania. Arga yang merasa frustasi dengan cerita mereka bertiga pun berpaling kepada Rasti untuk menanyakan apakah Rasti memiliki bukti akurat yang akan membuktikan siapa yang telah berkata tidak benar. Rasti tampak berpikir sejenak, dan akhirnya dia mengatakan bahwa di kamarnya ada sebuah kamera cctv yang pasti merekam semua kejadian tadi. Arga pun meminta Rasti untuk mengirim video rekaman cctv itu melalui pesan chat di aplikasi hijau kepadanya. Rasti menuruti permintaan Arga untuk mengirimkan
Suasana di dalam rumah duka semakin terasa berat. Waktu seolah berhenti, meninggalkan hanya isak tangis yang menggema di antara dinding.Rahayu masih terisak, wajahnya basah oleh air mata, sementara Roy tetap duduk diam, menatap lantai dengan pandangan kosong.Arga tak mengatakan apa-apa lagi. Semua yang perlu ia sampaikan sudah keluar. Namun, di dalam dirinya, perasaan bersalah tetap menyelubungi.Kania masih berdiri di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan ekspresi Arga. Ada sesuatu dalam tatapannya—sebuah kehampaan yang begitu dalam, seolah ia telah kehilangan lebih dari sekadar istri.Namun, ketegangan belum sepenuhnya reda.Sebuah suara lirih akhirnya keluar dari mulut Rahayu.“Jika Rasti memang sudah... pergi, kenapa aku masih bisa merasakannya?”Arga menoleh,
Langit kelabu seolah berduka, menurunkan gerimis yang tipis namun dingin. Angin membawa aroma tanah basah, menyelimuti pemakaman dengan kesunyian yang berat.Sejumlah orang berpakaian hitam berdiri di sekitar pusara yang masih merah, menundukkan kepala. Payung-payung terbuka, melindungi mereka dari hujan, tapi tidak bisa melindungi hati mereka dari luka yang menganga.Kania berdiri di antara mereka, tanpa payung, membiarkan hujan membasahi wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.Di depannya, Arga berdiri kaku, tatapannya kosong. Ia tak berkedip saat tanah perlahan menutupi peti Lilian. Di sampingnya, Darma hanya terdiam, wajahnya mengeras seperti batu, tapi tangan yang mengepal menunjukkan emosi yang ia tahan mati-matian.Kania tidak bisa menatap mereka lama-lama. Terutama Darma.Ia tahu, di mata Darma, dirinya adalah penyebab semua ini.Ketika doa terakhir selesai dibacakan, satu per satu orang mulai beranjak pergi. Beberapa menyentuh bahu Arga dengan lembut, memberi dukungan dalam di
Darah membanjiri tanah.Tubuh Kania gemetar. Nafasnya tersengal. Luka di perutnya menganga, mengalirkan cairan merah yang tak henti-hentinya.Matanya kabur, kepalanya pening.Dia seharusnya mati.Seharusnya…Tapi, di depan matanya—Darma yang kini telah berubah menjadi makhluk kegelapan tengah menatapnya dengan senyum menyeramkan.Di sampingnya, Rasti berdiri penuh kemenangan.“Kau sudah selesai, Kania,” ujar Rasti dengan nada penuh kepuasan. “Terimalah takdirmu. Tak ada lagi yang bisa menolongmu.”Kania mengatupkan giginya.Tidak.Aku belum kalah.&nb
Lorong itu menjadi saksi keheningan yang mencekik.Sisa energi dari tubuh Lilian masih berpendar di udara, bercampur dengan bayangan yang kini berputar liar, seperti haus akan korban baru. Darma masih membeku, tangannya gemetar di atas lantai yang dingin."Lilian..." Namanya meluncur dari bibirnya seperti doa yang tertunda—sebuah panggilan yang tak akan pernah dijawab lagi. Arga mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Brengsek!"Matanya menatap Rasti—atau makhluk yang kini bersemayam dalam tubuh Rasti—dengan api amarah yang menyala-nyala.Tapi sebelum Arga bisa bergerak, Kania sudah lebih dulu maju.Wajahnya berubah. Bukan lagi ketakutan. Bukan lagi keraguan.Hanya dendam.Dan sesuatu yang lebih gelap dari itu. "Aku akan menghabisimu." Suara Kania lirih, tetapi menggetarkan udara di sekitar mereka. Makhluk dalam tubuh Rasti hanya menyeringai."Oh? Apa kau benar-benar yakin, Kania? Aku sudah mengambil satu. Kau mau jadi yang berikutnya?"DUARRR!!Kania tidak menjawab dengan
Lorong itu meledak dalam lautan energi ghoib.Cahaya ungu dan kegelapan pekat saling menghantam, menciptakan dentuman yang mengguncang tanah hingga serpihan batu berjatuhan dari langit-langit.Lilian dan Darma masih terperangkap dalam jeratan bayangan hitam."AAARGHHH!!!"Lilian berteriak, tubuhnya bergetar hebat saat sesuatu merasuk ke dalam dirinya. Bayangan itu bukan hanya mencengkeram, tapi menyusup ke dalam darahnya, merayapi sarafnya seperti racun.Mata Lilian melotot, berubah pekat seiring jeritan pilunya. "Darma!" Arga berlari, nekat menerjang kegelapan untuk menarik Lilian keluar. Tapi begitu tangannya menyentuh kulit Lilian, sesuatu menghantamnya dengan keras. DUARR!!Tubuh Arga mental ke belakang, terpelanting hingga menghantam batu dengan suara keras. Sementara itu, Darma masih tersekap dalam pusaran bayangan yang menyedotnya lebih dalam. "TIDAK! AKU... AKU TIDAK AKAN TAKLUK!"Tapi suaranya semakin melemah. Bayangan itu mulai melilit erat tubuhnya seperti akar hidu
Lorong itu kini telah berubah menjadi medan perang.Energi hitam dan ungu berputar liar di udara, menghantam dinding-dinding batu hingga retak. Jeritan makhluk-makhluk tak kasatmata bergema, seolah ikut merayakan kebangkitan sesuatu yang lebih besar. Di tengah pusaran kekacauan itu, Rasti dan Kania saling berhadapan. Tapi kini, sesuatu yang lain ikut masuk ke dalam permainan. Dari dalam tubuh Rasti, sosok raksasa dengan mata merah menyala semakin keluar. Tangannya yang hitam pekat mencengkeram tubuh Rasti, seolah ingin merobeknya dari dalam. Rasti berusaha melawan, tubuhnya bergetar hebat. “Tidak… aku yang mengendalikanmu! Aku yang berkuasa di sini!” Makhluk itu tertawa pelan, suaranya dalam dan bergema di segala arah. “Kau? Mengendalikan aku?”“Tidak, Rasti. Kini, akulah yang mengendalikanmu.” BRAK!Tiba-tiba, tubuh Rasti mencelat ke belakang, menghantam dinding dengan keras. Darah hitam menyembur dari bibirnya, dan seketika aura di sekelilingnya berubah. Dia bukan lagi Ras
Lorong itu telah lenyap. Yang tersisa hanyalah kegelapan yang seolah bernapas, berdenyut, menelan segala yang ada di dalamnya. Di tengah kehampaan itu, dua sosok berdiri berhadapan—Kania dan Rasti. Atau lebih tepatnya, dua entitas yang kini mengendalikan mereka. Arga, Lilian, dan Darma tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tersekap dalam ruang gelap yang seakan membekukan waktu. Nafas mereka tersengal, tubuh mereka terasa berat seolah ada ribuan tangan tak kasatmata yang menahan mereka tetap diam. Sementara itu, dua entitas yang menguasai Kania dan Rasti mulai bergerak. Rasti tersenyum tipis, atau lebih tepatnya makhluk di dalam dirinya. “Seharusnya kau tahu… tak ada tempat untuk dua penguasa dalam satu dunia.” Kania, dengan tatapan yang kini lebih tajam dan penuh keangkuhan, tersenyum sinis. “Dan seharusnya kau tahu… aku tidak pernah suka berbagi.” Udara di antara mereka bergetar. Kemudian, semuanya terjadi dalam sekejap. Bayangan pertama melesat.Sosok-sosok hitam men
Lorong itu bergetar, seolah merespons kehadiran mereka. Suara bisikan yang sebelumnya berlapis kini berubah menjadi jeritan melengking, memaksa mereka menutup telinga.Arga merapatkan genggamannya pada Rasti yang masih berdiri di ambang batas garam hitam. Kania bergerak ke samping, tubuhnya menegang, matanya tak lepas dari sosok yang kini menguasai tubuh Rasti.Darma menarik napas dalam, lalu menekan batu hitam di telapak tangannya. "Siapa sebenarnya kau?"Rasti, atau entitas di dalamnya, menundukkan kepala, lalu tertawa pelan. "Aku adalah penjaga. Aku adalah yang mereka panggil dengan berbagai nama. Tapi bagimu... aku adalah akhir."Tiba-tiba, tubuh Rasti mencelat ke depan, hampir menembus garis garam. Arga mundur dengan reflek, matanya melebar saat melihat bagaimana wajah Rasti berubah sesaat—matanya berputar putih, bibirnya merekah hingga menampilkan senyuman yang terlalu lebar untuk ukuran manusia.Lilian menjerit, tangannya mencengkeram erat lengan Darma. "Kita harus lakukan sesu
Keheningan di dalam ruangan kecil itu hanya bertahan sesaat sebelum suara napas mereka yang tersengal memenuhi udara. Lampu minyak di tengah ruangan berkedip pelan, menciptakan bayangan goyah di dinding yang seolah bergerak sendiri.Arga menatap Rasti yang masih terkulai di pelukannya. Dingin tubuhnya tak kunjung membaik. Ia menyentuh wajah Rasti, merasa ngeri melihat betapa pucatnya gadis itu.“Apa dia akan baik-baik saja?” tanya Lilian pelan.Darma mendekat, mengamati Rasti dengan sorot mata tajam. “Dia masih bernapas. Tapi… sesuatu telah mencengkeramnya.”Kania menegakkan tubuhnya, kedua tangannya mengepal. “Maksudmu makhluk itu?”Darma mengangguk, lalu menatap ke arah pintu yang baru saja ia tutup rapat. “Itu bukan roh biasa. Ia sesuatu yang lebih tua… dan lebih kuat.”Arga menghela napas berat, mencoba menenangkan dirinya. “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa terus bersembunyi di sini.”Darma mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik jasnya, membukanya, l