“Aku hormati pilihanmu.” Erhan menyeringai sebelum membuka serangan.
Diawali dengan guntingan horizontal dari kedua sisi, Erhan melanjutkan dengan kombinasi gerak berputar lalu sabetan yang silang menyilang dari kedua Khopesh. Gesit dan bertenaga, langsung menyasar dada dan leher Wira.
Gemerincing suara berdenting melatari bilah senjata milik keduanya yang saling bentur tatkala tempo pertarungan kian meningkat drastis, layaknya paron yang ditempa berulang-ulang dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Erhan terus melepaskan serangannya bak penari yang luwes.
Sedangkan Wira berusaha mengukur lawannya lebih dulu, kebanyakan dengan elakkan dan blok atau menangkis sebelah tangan. Dalam hati ia menggerutu karena harus tetap memegang serangka pedangnya di tangan kiri.
Tak dinyana, perhatian yang sejenak teralih membuka ruang dalam pertahanannya. Tahu-tahu Khopesh milik Erhan sudah mengunci Katana Wira dalam guntingan erat, dan memilinnya terbalik.
Wira yang kaget sesaat, berusaha mengikuti arus dengan melepaskan genggamannya, dan bersamaan dengan itu Erhan menyabet lurus lehernya dari arah kanannya.
Sepersekian detik bergulir, Wira dengan refleksnya berusaha berkelit dan membendung serangan melalui pukulan serangkanya ke pergelangan tangan Erhan.
Ia berhasil mencegat bahaya dan mendapat pedangnya kembali, tetapi gagal berkelit dari terjangan keras ke dadanya. Wira terjungkal keras beberapa langkah.
Panas dan sesak sontak menjalar cepat di dadanya bagai semburat api. Ia terbatuk-batuk keras, berupaya mencari napas.
“Harus kuakui, kupikir semuanya selesai tadi,” celetuk Erhan, “Ternyata gurumu mengajari dengan baik. Aku terlalu meremehkanmu.”
Wira kini sudah berdiri tegak lagi dengan kemeja yang sebelahnya sudah keluar dari keliman celana, dan dasi yang lecek terpijak. Ia juga sadar, nyawanya hampir putus, yang barusan itu sekedar refleks yang mujur.
Tetapi kemujuran acapkali tidak terjadi untuk kedua kali, sehingga kali ini ia mempersiapkan diri tatkala Erhan mendatanginya lagi.
Wira berusaha menutupi kekurangannya secara fisik dengan langkah kaki yang solid. Tubuhnya ikut menari mengelakkan serangan beruntun dari Erhan yang tidak hanya kuat secara tenaga, tetapi juga giras untuk ukuran orang yang berpostur sebongsor dirinya.
Pedang milik Wira seolah tengah bersenandung pada gesitnya ayunan yang memandunya, berdenting sengit ketika kedua Khopesh emas itu berusaha mencacah ruas matanya, menggeliat oleh lonjakan arus yang mengalirinya.
Koreografi Erhan dan Wira pun berakhir pada sebuah tumbukan keras yang memuntahkan lengking tinggi serta percikan bunga api.
Wira sekuat tenaga membendung kedua mata Khopesh yang sedari awal bermaksud memancung lehernya, serangkanya sudah ia lempar, kedua tangannya kini mencengkram gagang pedang.
Lututnya sedikit menekuk oleh sedemikian besarnya tekanan yang Erhan berikan.
Mata bilah ketiga pedang bergemeletuk saling mengikir. Keduanya saling dorong.
Pandangan mereka saling bersirobok, yang satu menggambarkan nafsu bertarung yang membara, sedangkan yang lain penuh semangat untuk bertahan hidup.Wira mencengkram gagang pedangnya lebih erat, seketika itu pula ia melepaskan lonjakan energi menuju bilahnya.
Untuk sepersekian detik, hal ini mengusik indra bertahan Erhan, memantik refleksnya, Wira memanfaatkan momen ini untuk mementahkan himpitan Khopesh-nya, menggusah dengan satu tebasan melintang yang memang dimaksudkan untuk memberi ruang.
Erhan yang terkejut memang akhirnya melompat mundur untuk mengelak. Tidak menduga sama sekali.
“Kau menguasainya cukup baik, untuk ukuran seorang non-Aeternum, dan mungkin belum bangkit sepenuhnya.”
“Terima kasih,” jawab Wira yang tengah mencari napas.
Sialan! Tidak hanya unggul secara alamiah dalam tenaga, tetapi juga tak kalah lincahnya, Wira kembali membatin.
“Gurumu mewariskan kekuatan yang luar biasa. Akan jadi sebuah kehormatan ketika aku memilikinya.”
“Tidak!” Wira menantang dengan pedang terhunus.
Bersamaan dengan tuntasnya ucapan Erhan barusan, ia melemparkan Khopesh-nya, Wira dengan sigap mengelakkan pedang yang datang layaknya baling-baling keemasan itu dan ganti mengejar lawannya.
Tanpa disangka, tubuh Erhan menghilang sekejap dari tempatnya berada, lalu muncul secara mengejutkan dengan hanya berjarak satu langkah dari Wira, tepat di tempat Khopesh-nya yang terelakkan tengah berada, bertitiran di udara kosong.
“Teleportasi!?” batin Wira.
Erhan meraih senjatanya dan menebas keras Wira yang kecele.
Pupil Wira hanya sempat membelalak terkejut, ganti insting bertahan hidupnya bekerja mendahului nalar. Ia tanpa sadar membuka kartu As-nya.
Wira membalik badan dengan segala sesuatunya melambat kecuali dirinya sendiri, bahkan Erhan yang tengah mengayunkan senjatanya pun melambat, laksana menonton sebuah proyeksi film yang diperlambat.
Kilasan kilat biru bersemburat dari sekujur badan Wira, tanpa buang waktu, ia mematahkan sabetan Erhan.
Trang!
Bunga api kembali muncrat dari tumbukan keras kedua senjata.
Erhan menyeringai girang, menetralkan posisinya dan mundur selangkah. Pertarungan mereka kembali terjeda, Wira kembali bernapas lega, kendati keringat dingin sudah beberapa kali merosot dari tengkuknya.
“Sudah kuduga.” Erhan mengutas senyum. “Ini bukan pertama kalinya kau bertarung dengan seorang Aeternum. Dan tebakanku, sebelum ini kau pun menang bukan…eh, siapa namamu?” tanyanya.
“Wira.”
“Okay, Wira. Dan yang barusan itu, Simulakrum yang kau kuasai bukan?” ungkap Erhan. “Jadi kau bisa bergerak cepat.”
Wira seolah berpikir sejenak sebelum menjawab, “Yang barusan rasanya seperti terlalu menyederhakan, tapi kurang lebih begitu.”
Erhan manggut-manggut dan meregangkan ototnya sedikit, lalu kembali berujar, “Okay, bagus. Kita lihat seberapa cepatnya kau.”
Kali ini Wira tidak lagi menunggu, ia menjemput bola. Ia dan Erhan bertukar serangan silih berganti belasan jurus sebelum masing-masing dari mereka kemudian menaikan tempo kembali.
Erhan yang lebih berpengalaman menujukan betapa besarnya perbedaan itu dengan bagaimana ia mengkombinasikan jurus-jurus fisiknya dengan simulakrum yang ia miliki.
Setelah kombinasi sabetan pendek yang ganas, Erhan dengan santai mengoper Khopeshnya ke balik punggung Wira dan muncul tepat di sana untuk melancarkan serangan lanjutan.
Terkadang dilemparnya di balik punggung sendiri ke udara, sembari berkelit dari tebasan Wira dan menampakkan diri untuk serangan menyergap dari ketinggian.
Ia dengan luwesnya bertransisi dari runtunan sabetan biasa ke trik dengan simulakrum lalu serangan biasa lagi, Erhan bisa muncul dari titik mana saja Khopeshnya berada, bahkan di udara sekalipun.
Sementara Wira sejauh ini hanya menggunakan kecepatannya untuk berkelit, sekedar satu dua langkah elakkan karena simulakrum cukup menguras tenaga. Agresi tak jarang berakhir dengan menebas udara kosong karena Erhan kemudian sudah berpindah lagi.
Kendati sabetan lengkung besarnya bisa dibendung atau dipecundangi, masih ada sikutan atau sepakan yang serupa beton yang sesekali masuk menghantamnya.
Napas. Wira butuh bernapas, ini tak ubahnya terjun berlaga di oktagon melawan musuh yang pandai berstrategi sehingga dirinya hanya buang-buang napas.
Erhan kembali menampakkan diri di udara di atas Wira untuk serangan menukik lainnya. Wira pun nekat.
“Ia cuma bisa berpindah ke tempat pedangnya berada. Ini kesempatan! Sekarang atau nggak sama sekali!” Wira membatin.
Terbasan vertikal yang datang diblok-nya frontal, lalu berputar dengan kecepatan kilatnya untuk mengelakkan silangan yang menyusul, tetapi tidak terlalu jauh beranjak.
Wira membalikkan serangan dengan tebasan vertikal dialiri petir kebiruan di katana-nya, dengan segenap kekuatan. Lampu penerangan di sekitar mereka pecah dan mati oleh ledakan energi yang lepas, lantai parkiran berderak hancur ditoreh.
Sayangnya kali ini pun serangan mematikannya hanya menebas angin dan beton. Erhan bukan cuma hilang begitu saja, tetapi muncul tepat di belakangnya.
"Celaka!" pekiknya dalam hati.
Kilasan emas terayun menyilang dari balik punggung Wira.
Ia paksa tubuhnya yang baru saja mengerahkan lonjakan simulakrum yang besar untuk kembali mengulanginya, melecut otot kakinya untuk segera minggat dari tempatnya berada.Wira mengatupkan rahangnya, ia bisa rasakan tiupan udara di tengkuknya hasil dari sabetan Khopesh yang amat dekat menghampiri, lehernya selamat tetapi punggungnya tidak.Ia tersabet sekaligus terjerembab parah oleh besarnya energi kinetik yang terlepas. Wira sigap bergulingan dan siaga akan serangan susulan. Perih menjalar dari luka di punggungnya yang kini terasa merembes di kemeja yang robek.Tetapi Erhan bergeming di tempatnya. Seolah sengaja menanti Wira untuk bangkit dan memulihkan diri. Entah maksudnya sekedar meremehkan atau memang bagian dari kesopan-santunan ksatria-nya.“Kau pasti berpikir simulakrum yang kumiliki terbatas pada sejauh apa senjatanya kulempar bukan?” Erhan memutar Khopeshnya kembali. “Kau mengkonservasi energimu, bertaruh untuk satu serangan tun
Wira sudah menduga kalau Erhan akan kembali berteleportasi untuk menghabisinya, ia hanya tidak bisa menebak dari arah mana Erhan akan menyergap. Sehingga ia pun berjudi kembali dengan keputusannya. Bertaruh pada pendengaran, kecepatan refleks tubuh, dan sedikit dorongan kecepatan kilat yang sengaja dihimpun. Sehingga ketika Erhan menyergap dari balik punggungnya, meski harus sedikit terpaksa memutar badan, ia sudah siap. Kilat selalu memukau dan mengejutkan, meski sebetulnya yang membuat bergidik adalah yang menyusul setelahnya. Petir. Mitosnya, Petir tidak pernah menyambar titik yang sama untuk kedua kalinya. Faktanya, Petir bisa, dan bahkan seringkali menyambar titik yang sama berulang kali. Dan malam ini, Petir yang dilepaskan oleh Wira sedetik pasca pedangnya tercabut, menyambar Erhan tiga kali berturut-turut. Sambaran pertama, terlontar bersama ayunan katana yang serta-merta menetralisir hujaman sepasang Khopesh-nya. Ia tercengang, senjat
Wira membaur dengan keramaian yang berduyun-duyun keluar meninggalkan Klab dan Gelanggang, bergabung dengan pengunjung Karaoke di sekitar mereka dengan dipandu oleh Sekuriti bermodal senter dan lampu LED darurat. Jalanan di hadapan mereka gelap gulita.Lampu lalu-lintas dan penerangan juga padam.Sirine mulai terdengar dari sayup-sayup dari kejauhan. Dalam sekejap, ratusan orang terdampar di sudut metropolitan sebesar Jakarta di tengah gelap gulita. Puluhan dari mereka gagal menyalakan motor dan mobil yang terparkir, terutama tipe terbaru dengan dukungan komputasi.Mereka yang tidak mampu mengganti kendaraan dengan keluaran terbaru justru yang tergolong beruntung. Mereka lebih dulu meninggalkan lokasi sementara ratusan yang lain kebingungan. Tapi, bukan itu yang utama dalam benak Wira.Ia seperti halnya yang lain, bermaksud untuk segera meninggalkan tempat ini, tetapi yang pertama ia perlu menjemput ranselnya dulu. Untuk sesaat ia berusaha mencari keberad
Aerternum, demikian mereka menyebut kaum mereka sendiri, atau paling tidak begitu yang Wira ketahui berdasarkan cerita mendiang gurunya. Aeternum secara sederhananya adalah kumpulan manusia kekal yang sudah ada entah sejak kapan, mungkin ratusan atau ribuan tahun yang silam, dengan satu tujuan hidup utama yang mengikat mereka. Turnamen Agung. Mereka adalah manusia yang menggemari pengetahuan, segala jenis dan tentu saja pengetahuan tentang cara menghabisi satu sama lain dengan efektif. Apakah tujuan dan hadiah kemenangan dari Turnamen Agung ini? Wira tidak tahu, karena gurunya pun tidak tahu, segalanya simpang siur. Hanya satu hal yang Wira tahu, Aeternum yang terakhir hidup yang akhirnya akan dapat menyingkap misteri ini. Demikianlah, takdir mereka untuk saling membinasakan satu sama lain digelar. Dan kini, Wira ikut terseret dalam benang kusut ini juga. Gurunya percaya, berdasarkan Aeternum lain yang pernah ia jumpai, bahwa pemenang terakhir
Jadi, Wira masih penasaran dengan lukanya sendiri. Ia meneliti perban di punggung dan yang sekujur lengannya pada pantulan cermin wastafel. Digerakkan juga sendi bahunya, masih sedikit terasa perih di balik perban yang membuatnya meringis. “Anjir!” umpatnya lirih. Semalam adalah peralunan terbesar setelah sekian lama ia menghindari konflik dengan sesama Aeter. Terakhir kali ia merasakan gejolak kekuatan yang sama besarnya seperti semalam adalah sepuluh tahun silam. Kesadaran yang membaling ini seolah menggambarkan betapa kemenangannya semalam sungguh tipis. Ia berharap yang terjadi semalam itu tidak perlu dialaminya kembali, tetapi ia juga sadar harapannya yang barusan itu konyol. Dinyalakannya keran air dan beberapa kali diraupnya banyak-banyak tangkupan air dingin. Rasanya tubuhnya sudah jauh lebih baik ketimbang semalam, kecuali sedikit nanar oleh pusing yang masih menggelayut. Ia bahkan tidak ingat apa-apa kecuali aroma parfum mobil Audrey
Wira tiba dikantornya tepat waktu jam makan siang, sudah berganti pakaian dan diantar oleh Audrey. Hari ini ia izin setengah hari, tetapi ia tidak yakin kalau izinnya diterima karena Vina hanya sekedar membaca pesannya. Dan tebakannya sesuai, singa betina itu masih saja galak ketika sesi rapat berlanjut selepas waktu ishoma. Wira duduk mengambil tempat agak di belakang rombongan leader sales yang hari ini dipanggil semuanya. Entah ini sekedar perasaannya atau bukan, satu-persatu orang yang duduk di dekatnya ditembaki oleh Vina perihal target yang masih belum tercapai. Kecuali dirinya yang sekarang tidak lebih seorang clerk. “Kalau semuanya tidak disiplin maka proyeksi bulan ini akan meleset, absensi sales kalian ke outlet juga saya perhatikan acak-acakan. Lantas bagaimana kalau bukan berikutnya kita akan perkenalkan produk baru di distributor dan mitra?” Vina memampangkan tabel pivot dari beberapa leader sales yang masih belum mencapai target areanya
“ECU-nya mati. Jadi mesin tidak bisa dinyalakan. Sehingga saya menumpang mobil teman perempuan saya untuk pulang, dan motor saya tinggal.”Untuk kedua kalinya Wira menjabarkan alasannya meninggalkan motor di parkiran Tropico, klab malam sekaligus sasana MMA amatir, malam itu. Ia menahan dongkol dengan bersandar pada kursi lipatnya karena si pendengar sepertinya budeg atau memang pandir.“Bukankah tadi anda bilang mesinnya baik-baik saja? Lantas kenapa ECU tidak menyala?”Entah polisi gaek yang mengetik dengan sebelas jari dan rokok terselip ini berusaha menyelidik atau memang dasarnya bebal, Wira lebih yakin alasan kedua sebetulnya.“ECU-nya…” Wira menarik napas lagi. “ECU yang mengatur sinyal kelistrikan usupaya ketika mesin dinyalakan, ada pembakaran untuk kompresi karena motor saya sistem injeksi.”“Seperti belasan motor dan mobil mereka juga di ruangan ini. Atau jutaan orang lainnya d
“Senin besok lo naik Ojol aja ya, kayaknya nggak bisa mendadak jemput lo juga kayak sore ini.” Audrey tiba-tiba berujar di tengah suasana hangat warung tenda nasi goreng pinggir jalan malam itu.“Ya gue juga nggak mungkin minta jemput terus. Mulai sibuk sama perkuliahan lagi? Apa banyak job?” Wira bertanya seraya menumpuk nasi gorengnya pada sepotong kerupuk mungil.“Gue dapet tawaran iklan dan peran pembantu gitu dari kenalan gue. FTV sih, tapi langkah awal bukan?” ujar Audrey dengan bangga.Wira sejenak memproses informasi ini sekaligus suapan nasi goreng di kerupuknya bersamaan. Ia tentu saja senang mendengarnya, Audrey sudah sejak lama mengejar mimpi ini dengan mengorbankan kuliahnya, sejak mereka saling kenal bertahun-tahun silam bahkan.“Kenalan apa kenalan tuh?” seloroh Wira. Lanjut mengosongkan sepiring Nasi Gorengnya.“Kenalan … ya tapi kalau dia ngarep gue jadi sugar babyn