Aku menautkan kedua alis mata merasa heran, main di sungai dengan duduk di atas batu di tengah-tengah derasnya air sungai apa Nenek itu tidak takut? Pikirku saat itu.“Nenek tidak takut jatuh? Kalo Nenek jatuh nanti Nenek kebawa arus air sungai Nek,” ujar ku setengah berteriak mengkhawatirkannya, namun Nenek itu malah tertawa lagi.“Ini tempatku, Nenek tidak takut karena sudah biasa disini hihihi…,” balasnya lagi.“Ayo sini kamu ikutan main air sama Nenek,” lanjut Nenek uban, sambil melambaikan tangan memintaku untuk menghampirinya.Aku menggelengkan kepala karena takut menghampirinya, bukan takut padanya tapi takut pada derasnya air sungai yang harus dilintasi dengan arusnya yang sangat deras.“Kenapa? Kamu takut? Ayo di sini menyenangkan sekali. Kamu bisa melihat ikan di dalam sana, ini pegang tongkat Nenek. Berjalan kesini hati-hati sambil berpegangan pada tongkat Nenek, ayolah jangan jadi penakut seperti itu. Kalau kamu jatuh nanti Nenek akan menolong kamu,” bujuk Nenek Uban sambil
“Tunggu di sana jangan turun dari batu itu, Kakek akan menghampiri dan membawamu dari sana, tetap di sana Sarah jangan bergerak sedikitpun!” Perintah Kakek dengan berteriak dan nada suara yang sangat khawatir, dapat dipastikan Kakek khawatir kalau aku bergerak dan terpeleset lalu jatuh dari batu besar ini, tentu akan hanyut terbawa derasnya air sungai. Sedangkan saat itu aku masih berusia delapan tahun, dengan badan yang juga kurus ini pasti akan sangat cepat hanyut terbawa derasnya arus air sungai.Itulah tentunya yang Kakek khawatirkan, sedangkan dia berada cukup jauh mungkin tidak akan sempat untuk menyelamatkan aku.Aku yang sedang berdiri di atas batu besar dan berada di tengah-tengah sungai, kebingungan apa yang harus dilakukan. Lalu aku pun menoleh dengan menundukan kepala pada Nenek Uban yang sedang duduk di batu besar itu.Nenek Uban tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang tinggal tidak seberapa lagi dan berwarna hitam. Tetapi kenapa bulu kuduk ini merinding ketika
Nenek Uban masih tetap menundukan kepalanya di depan pintu rumah yang sudah kubuka, dengan kedua tangan memegangi tongkat yang dipakai untuk menopang tubuhnya yang sudah bungkuk. Aku menautkan kedua alis mata melihat Nenek uban yang tidak bergeming di tempatnya, apakah dia tidak mendengar perkataanku?.“Ayo Nek, kenapa diam saja, ayo masuk ke dalam, aku akan memperkenalkan Nenek pada Kakek,” pintaku.Namun tetap saja Nenek Uban tak bergeming seolah tak mendengar perkataanku, dia hanya terpaku berdiri di depan pintu rumah dan masih saja menundukan kepalanya. Tiba-tiba aku mendengar suara Kakek dari belakang, “Kamu bicara dengan siapa Sarah? Siapa yang datang?” tanya Kakek.Aku langsung membalikan badan menoleh pada Kakek, yang sudah berada di belakang sekitar tiga langkah dariku. Kakek sedang berdiri di belakang menatapku sambil mengerutkan keningnya sepertinya Kakek sedang kebingungan.“Ini Kek, Nenek Uban yang aku ceritakan tadi pada Kakek, dia yang datang mengetuk pintu rumah. Sekar
Kakek menganggukan kepalanya menjawab pertanyaanku dengan tersenyum tipis, meyakinkan bahwa dia percaya bahwa aku memang melihat Nenek Uban yang bukan manusia itu, tapi makhluk halus tak kasat mata yang tidak bisa dilihat oleh Kakek ataupun manusia lainnya, dan hanya akulah yang bisa melihatnya.“Kakek percaya kamu bisa melihatnya Sarah, tapi Kakek dan orang lain tidak bisa melihatnya. Karena yang kamu lihat sebagai Nenek-nenek itu adalah makhluk halus tak kasat mata, yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Hanya kamu yang bisa melihatnya atas seijin Tuhan dan mungkin, karena kamu anak kecil yang masih polos dan tidak berdosa, atau entahlah Sarah mungkin Tuhan punya rencana lain untuk mu, hingga kamu bisa melihat makhluk halus yang tidak bisa dilihat oleh manusia,” jawab Kakek lalu tertegun, seperti sedang memikirkan sesuatu.“Entahlah hanya Tuhan yang tahu kenapa kamu bisa melihatnya, tapi untuk saat ini Kakek sebagai Kakekmu yang sangat menyayangimu. Kakek hanya ingin melindungi Sarah
Melihat Nenek Uban yang menundukan kepala dan terlihat sedih, karena mengetahui aku kini takut padanya. Aku pun yang saat itu masih lugu merasa kasihan, lalu perlahan mencoba memberanikan diri untuk mendekati Nenek Uban dan berbicara padanya.“Eng…, enggak kok Nek…, Sarah…, Sarah tidak takut sama Nenek,” ujarku terbata-taba, sambil mencoba untuk menenangkan diriku sendiri.Nenek Uban mengangkat wajah dan menoleh padaku sambil tersenyum, memperlihatkan sebagian giginya yang sudah ompong dan sebagian lagi terlihat ada yang menghitam, sepertinya Nenek Uban tidak pernah gosok gigi pikirku, tapi saat itu senyum nya begitu ceria dan tulus.“Beneran tidak takut sama Nenek? Jangan takut Nenek gak akan mencelakai kamu, malah Nenek akan menjaga Sarah dari orang-orang atau makhluk halus lainnya yang ingin mencelakai Sarah. Asal kamu mau berteman sama Nenek, kamu mau nerima Nenek menemani kamu,” terang Nenek Uban dengan bersungguh-sungguh. Akupun menganggukan kepalaku dan tersenyum.“Boleh Nenek m
“Bukan kah Nenek Uban juga makhluk ciptaan Tuhan Kek? Seperti yang Kakek bilang makhluk seperti Jin itu sama halnya dengan manusia ada yang jahat ada juga yang baik dan Sarah yakin Nenek Uban Jin baik Kek.”Aku masih mencoba untuk meyakinkan Kakek agar mengizinkan Nenek Uban menemui, menemani dan menjadi temanku. Tak ada jawaban dari Kakek dia meneruskan menikmati sarapannya lalu beranjak berdiri dengan membawa piring kosong di tangannya, sambil berkata, “Cepat habiskan sarapanmu, kamu harus pergi sekolah jangan sampai kesiangan, kalau sudah habis nasi gorengnya bawa piring kosong itu ke tempat cucian piring, sekalian cuci sambil kamu cuci tangan,” ujar Kakek, sambil beranjak pergi melangkahkan kakinya menuju dapur.“Tapi Kek, Kakek ijinin Nenek Uban jadi teman Sarah kan?” tanyaku dengan merengek, Kakek menoleh pada ku lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.“Kamu ini Sarah ada-ada saja, masa minta ijin untuk berteman dengan makhluk halus,” jawab Kakek, aku menundukan kepala dengan waj
“Kakek kamu jatuh di kamar mandi Sarah, entah bagaimana tapi kami menemukannya sudah tidak bernafas terbaring di lantai kamar mandi, sepertinya Kakek kamu selesai mengambil air wudhu,” terang Bu Mila.Sakit sekali hati ini seperti ada sebuah pisau yang menusuknya sangat dalam, aku yang sedang menoleh pada Bu Mila mendengar keterangan yang Bu Mila katakan, sambil tanpa sadar memegangi dadaku karena terasa sakit sekali, serta air mata yang mulai mengalir dengan deras.“Kakek…” rintihku, lalu menutup wajahku ini dengan kedua telapak tangan. Bu wida guru wali kelas yang duduk di sebelahku langsung memelukku dengan erat sambil berkata, “Yang sabar Sarah, kamu harus kuat, ini sudah takdir yang Maha kuasa kita harus menerimanya sudah waktunya Kakek mu kembali kepada Sang pencipta, kita semua pasti akan menyusul kelak pada waktunya semua makhluk hidup ciptaanNya pasti akan kembali padaNya.”Kubuka kedua telapak tangan yang menutupi wajah, Bu Wida guru wali kelasku itu melonggarkan pelukann
“Kamu harus bisa mengikhlaskan Kakekmu Sarah, yang sabar yah,” ucap seorang pria dengan suara berat sambil menyentuh pundakku lalu duduk di sebelahku.Aku yang sedang duduk sambil tertunduk di hadapan jasad Kakek yang terbujur kaku ditutupi kain itu, hanya bisa menghela napas berat lalu sekilas aku menoleh pada pria yang baru saja duduk di sebelahku yang tak lain adalah Pak Rt.Aku pun mengangguk perlahan membalas ucapan Pak Rt lalu mendongakan tubuhku sambil tanganku membuka kain yang menutupi wajah Kakek. Dengan lembut kukecup kening Kakek untuk yang terakhir kalinya, walaupun dengan berat hati aku harus mengikhlaskan kepergian KakekTeringat pesan Kakek yang mengatakan bila nanti Kakek pergi untuk selamanya aku harus ikhlas dan Kakek tak ingin melihatku bersedih karena kepergiannya, lalu aku pun berbisik di telinganya, “Sarah Ikhlas Kek, pergilah dengan tenang semoga Kakek di tempatkan di tempat yang layak disisi-Nya. Sarah akan selalu berdoa untuk Kakek.”“Sarah, Bapak sudah menel