“Fika?”
Bening lantas berdecak, ketika melihat wajah muram adik yang berbeda ayah dengannya itu. Meskipun hubungannya dengan keluarga sang mama sudah membaik, tetapi Bening enggan mengakrabkan diri dengan kedua adiknya, yakni Dean, dan Fika.
“Mau ngapain ke sini?” lanjut Bening mempertanyakan kedatangan Fika, yang sudah duduk manis di sofa ruang tamunya. “Nggak kuliah?”
“Libur.” Fika mencebikkan bibirnya. “Tadinya, aku mau magang di Firmanya mas Abi, tapi dianya nolak.”
Bening memutar bola matanya, tanpa segan di depan Fika. “Cari tempat magang lainlah, jangan kayak orang susah! Papamu punya hotel, kan? Atau, magang di mana gitu, kek! Asal jangan magang di perusahaan suamiku! Langsung aku seret kamu keluar dari sana, kalau berani magang di perusahaan mas Aga.”
Fika menelan ludah. Berhadapan dengan Bening yang ceplas ceplos, terkadang bisa membuatnya bergidik. “Nggaklah, Mbak.” Mana mungkin Fika berani. Bisa-bisa, Bening akan benar-benar menyeretnya keluar dari perusahaan Aga, jika berani menginjakkan kaki di sana. Selain mulutnya yang tajam, Bening ternyata juga bisa berubah jadi preman.
“Atau … kamu mau magang di Firma Sagara Lexius?” tawar Bening, mendadak teringat dengan pria yang saat ini sudah menjadi tetangganya. “Aku punya channel ke sana, bisalah nanti bisik-bisik dibela ...” Mendadak, Bening tidak meneruskan ucapannya. Perutnya kembali terasa sebah, dan terasa ingin muntah. “Aku masuk angin kayaknya.”
“Mbak Ning, sakit? Mau aku antar ke dokter?” tawar Fika penuh perhatian.
Bening menggeleng, lalu bersendawa sembali menepuk-nepuk perutnya. Entah mengapa, belakangan ini kondisi tubuh Bening sangat rentan sekali. Cepat lelah, dan selalu ingin tidur kapan pun dan di mana pun. “Udah berapa hari ini nggak enak badan,” ujarnya lalu bersandar lelah pada punggung sofa. “Kamu pulang aja, gih. Di sini nanti cuma ngerepotin orang aja.”
Setelah “diusir” dari kantor Abi, kini Fika pun disuruh pergi dari rumah sang kakak. “Kamu nggak senang aku ke sini, ya, Mbak?”
“Nggak,” jawab Bening terus terang. “Udah tahu aku nggak enak badan, kan? Makanya, aku mau tidur. Jadi mending kamu pulang. Ngapain, kek, di rumah. Nemenin mama masak, atau apalah.”
“Aku malas pulang.” Fika memerosotkan tubuhnya di sofa. Berselonjor malas, dengan memelas. “Mama sama Babe, sebenarnya mau deketin aku sama mas Abi, tapi … mas Abinya nolak. Dia suka sama orang lain.”
Dengan mencebik, dan mata yang mulai mengembun, Fika menceritakan semua hal yang didengarnya dari balik pintu ruang kerja Abi. Saat Abi memintanya keluar dari ruang kerjanya, Fika tidak langsung menutup erat pintu kerja ruangan tersebut. Fika memberi celah, agar bisa menguping perbincangan yang terjadi di dalam sana. Setelah mendengar penolakan, dan kalimat Abi yang menurutnya kasar, Fika langsung pergi tanpa berpamitan. Mematikan ponselnya, lalu melajukan mobilnya ke rumah Bening.
“Vira?” Tiba-tiba saja, Bening menjadi tertarik dengan cerita Fika. “Kamu tadi bilang, mas Abi cinta sama cewek yang namanya Vira? Cewek yang baru aja meeting sama dia, waktu kamu sama Babe datang? Begitu?”
“Iya, Mbak.” Fika sampai mengedipkan mata berulang kali, agar tidak ada air mata yang menitik di pipinya. “Kayaknya Vira itu, pengacara juga. Orangnya cantik, tapi agak judes kelihatannya.”
“Bukan agak, tapi emang judes.”
“Sama kayak Mbak Ning,” ungkap Fika keceplosan.
Ingin rasanya Bening menghardik. Namun, saat merasa perutnya kembali mulas, Bening pun mengurungkannya. Pada akhirnya, Bening merebahkan diri, dan memiringkan tubuhnya. “Bu Vira itu, mantan istrinya mas Aga. Mamanya Awan. Elvira Danuarja.”
“Ma-mantan istri, suaminya Mbak Bening?” ulang Fika terkejut, tidak percaya. “Mamanya Awan.”
“Ke THT, gih, Fik! Periksa telinga,” decak Bening lalu menghela. “Udahlah, cari cowok lain aja. Aku malas kalau harus kres lagi sama bu Vira. Apalagi gara-gara masalah percintaan begini.”
“Tapi aku sudah terlanjur sayang sama mas Abi, Mbak.”
“Heh!” Akhirnya, Bening mengeluarkan tenaganya untuk menghardik. “Cowok di dunia ini bukan cuma Abi. Terus, Fik, kalau mau menjalin hubungan sama orang, cinta sama sayang aja nggak cukup! Kamu mau tetap dijodohin sama Abi, tapi dia cintanya sama bu Vira? Siap-siap makan hati!”
Mengingat Vira, Bening jadi teringat dengan papanya. Apa kabar Ilham sekarang? Setelah resmi bercerai dengan Riva, Bening sudah tidak pernah mendengar kabar pria itu sama sekali.
“Tapi, Mbak—”
“Nggak usah tapi-tapi.” Dengan malas, Bening bangkit dari tidur dan mengulurkan tangan pada Fika. “Mana hapemu.”
“Aku matiin,” kata Fika sambil mengeluarkan ponsel dari tas.
“Nyalain, biar aku telpon mama,” kata Bening tegas, dan sedikit meninggikan intonasi bicaranya.
Meskipun tidak ingin, tetapi Fika tidak berani menolak Bening. Setelah kembali mengaktifkan ponselnya, Fika menyerahkan benda tersebut pada sang kakak. “Mbak Ning, mau apa?”
“Aku mau bilang …” Bening mencari nomor Clara di ponsel Fika, dengan melihat history panggilannya. “Jangan lagi jodoh-jodohin kamu sama Abi. Urusan Babe, nanti biar aku yang telpon dia. Belum-belum aja sudah dibikin sakit hati, gimana ke depannya, Fik. Kalau aku kesel, nanti aku suruh mama ganti penasihat hukum sekalian. Biar aja si Abi itu kehilangan satu klien besarnya.”
“Mbak Ning, jangan gitu.” Sepertinya Fika sudah salah langkah. Menceritakan keluh kesahnya pada Bening, bukanlah jalan yang terbaik. Untuk itu, Fika segera menghampiri Bening lalu duduk di sebelahnya. “Aku nggak enak sama mas Abi, nggak enak juga sama Babe.”
“Jadi orang, jangan banyak nggak enaknya,” hardik Bening sudah menempelkan ponsel Fika di telinga. “Entar kamu yang dinjak-injak. Mau dijadiin keset? Ihh, aku, sih, ogah!”
Tidak perlu menunggu lama, panggilan Bening langsung diangkat oleh sang mama.
“Fika, ya ampun, Fika! Kamu di mana!” cecar Clara histeris sekaligus terdengar khawatir.
Mendengar hal tersebut, Bening terdiam sebentar. Ia kembali mengingat luka, yang sebenarnya sudah ia tutup rapat-rapat. Perhatian yang diberikan Clara pada Fika, sungguh membuat Bening iri dan kembali mengingat masa lalunya.
Namun, sudahlah. Semua sudah berlalu dan Bening tidak boleh berdiam dan kembali dalam masa lalunya. Ia sudah memiliki Aga, dan keluarga yang sangat mencintainya.
“Mama, ini aku, Bening. Bukan Fika.”
“Ha?” Clara terdiam untuk beberapa detik. “Fika sama kamu? Bukannya dia itu ha—”
“Jangan lagi jodoh-jodohin Fika sama mas Abi,” potong Bening yang memang tidak pernah bisa berbasa-basi. “Mas Abi itu sukanya sama cewek lain. Udah nggak zamannya lagi jodoh-jodohan, Ma.”
“Ning, Mama mau bicara sama Fika.” Bicara dengan Bening dalam keadaan emosi, tidak akan pernah menemukan jalan keluar. “Masalah perjodohan, nanti bisa kita bicarakan lagi.”
“Ya, bicaralah,” ujar Bening setuju-setuju saja. Yang terpenting, ia sudah mengutarakan pendapatnya pada sang mama. “Asal jangan ada pemaksaan di dalamnya. Lagian, Fika juga masih muda, masa’ sudah dijodoh-jodohin segala. Fika itu cantik, jadi pasti banyak suka di luar sana.”
“Iya, Ning, iya.” Karena kesalahan di masa lalu, dan pernah berutang nyawa pada Bening, Clara pun tidak pernah mau berdebat ataupun memiliki masalah lagi dengan putrinya itu. “Mama mau bicara dulu sama Fika, kenapa dia mendadak kabur dari firmanya Babe.”
“Nggak usah bicara di telpon,” ujar Bening. “Fika mau aku suruh pulang habis ini. Orang mau tidur siang, dia malah datang.”
Fika mengerucutkan bibir, mendengar perkataan Bening. Lagi-lagi, kakaknya itu mengusirnya tanpa basa-basi.
“Pulang, gih,” usir Bening sekali lagi, setelah mengakhiri panggilannya dengan Clara. Ia meletakkan ponsel Fika di pangkuan gadis itu, sambil berujar, “mama nunggu di rumah, dan mau bicara masalah mas Abi.”
Fika mengangguk tanpa kata. Sudah berkali-kali diusir, Fika tidak lagi punya alasan untuk tinggal lebih lama di rumah Bening. Fika beranjak mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya dengan perasaan yang tidak menentu.
“Fika! Ada banyak opsi yang bisa kamu lakuin, setelah tahu mas Abi nggak mau dijodohin sama kamu,” kata Bening ingin memberi sedikit nasihat pada sang adik. “Pertama, teruskan kuliahmu sampai lulus dan nggak usah dulu mikirin cowok sama sekali. Kedua, kamu tetap mau dijodohkan tapi siap-siap makan hati dan nggak bahagia. Ketiga …” Bening tersenyum miring seraya beranjak menuju pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi, lalu memegang handlenya. “Jual mahal! Taklukan mas Abi, dan … habis itu terserah, mau kamu tinggal atau …. Semua terserah kamulah, karena kamu yang ngejalani, bukan aku. Jadi, pulang sekarang, dan bicarakan semua dengan mama.”
~~ 0 ~~Say hiii, dulu sama Bening, Mba Beb :-*
“Aku nggak mau dijodohin sama mas Abi lagi,” kata Fika sudah memikirkan semua perkataan Bening, selama perjalanan pulang ke rumah. “Aku … masih mau kuliah.”Setelah mengatakan hal tersebut pada sang mama, Fika segera melipir pergi ke arah dapur. Meninggalkan sang mama yang hanya bengong di teras samping, dan belum memberikan pendapatnya. Fika tidak suka berdebat, dan lebih memilih menghindar dari masalah. Terkadang, Fika ingin bisa menjadi seperti Bening, yang bisa menyuarakan semua hal tanpa memiliki rasa segan sedikit pun. Namun, Fika tetap tidak bisa melakukannya.“Fika …” Clara segera bangkit, dan beranjak menyusul putri kesayangannya. Apa yang merasuki pikiran Fika, hingga berubah pikiran seperti sekarang. Clara bisa melihat jelas putrinya itu menyukai Abi, karena itulah, ia sempat berbasa-basi dengan Rasyid untuk menjodohkan Fika dengan Abi. Tidak disangka, gayung pun bersambut. Rasyid tidak menolak, dan menyetujui perjodohan tersebut. “Fika, siapa yang bilang kamu nggak bisa ku
Bagaimana bisa menunggu hingga dua bulan, kalau satu minggu saja Fika sudah merasa tidak betah berada di sisi Abi. Pria itu hanya menugaskan Fika untuk membuat minum, dan memfotokopi berkas yang diperlukan. Selebihnya, semua masalah pekerjaan diserahkan kepada Ina, wanita yang sudah menjadi sekretaris selama 15 tahun lebih.Fika merasa, Abi sengaja melakukan hal tersebut agar Fika segera mundur sebelum waktu dua bulan itu tiba.“Mas …” Fika menghampiri Abi yang baru saja berdiri, dan kembali mengenakan jasnya.“Ya, Fik?” Abi menoleh sekilas, kemudian kembali mengatur ujung lengan jas yang baru saja dikenakan.“Mas Abi mau pergi?” Bahkan, sebagai asisten pribadi, Fika sama sekali tidak mengetahui jadwal Abi.“Ya, ada janji dengan klien.” Abi mengancingkan jasnya, sambil menatap Fika yang berdiri berseberangan dengannya. Gadis itu berdiri tepat di sudut meja, dan terlihat gugup. “Kamu nggak usah ikut, kare—”“Dua bulan, Mas,” putus Fika memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Andai
“Sudah direkam semua?” tanya Abi setelah pertemuan dengan kliennya selesai. Cita yang duduk di sampingnya, hanya diberi tugas untuk merekam, dan menyimak seluruh pembicaraan yang ada. Abi ingin, Fika menajamkan insting dan melatih intuisinya. Karena Abi tahu benar, Fika bukanlah gadis seperti Vira. Fika terlalu lembut, dan cenderung tidak bisa bersikap tegas.“Sudah, Mas,” angguk Cita pelan.“Kalau begitu, aku mau kamu bikin resumenya dan kirim ke emailku,” lanjut Abi akan bersungguh-sungguh bersikap profesional kali ini. Walau masih setengah hati, karena kinerja gadis itu sedikit lambat bagi Abi.“Sekarang, Mas?”“Nanti aja kalau sudah di kantor,” geleng Abi. “Selesaikan sebelum kamu puuu … Vira? Di sini juga?”Abi tersenyum lebar penuh kehangatan, ketika melihat Vira menghampiri mejanya. Seperti biasa, wanita itu selalu terlihat rapi, elegan, dan penuh ketegasan. Abi sontak berdiri, lalu mengitari meja untuk menarik kursi yang berseberangan dengannya.Vira tersenyum formal pada Abi.
“Fokus aja jadi asistennya. Fokus magang, fokus kuliah.” Kalimat Bening itu, selalu Fika lafalkan dalam hati sejak bangun tidur pagi tadi. Kakaknya itu benar, Fika tidak boleh plin plan dan harus punya pendirian. Sepertinya, sudah saatnya Fika berpaling dari Abi, dan membuka hatinya untuk pria lain.“Ngapain, Ma?’” Dahi Fika mengerut saat melihat Clara sudah berada di dapur sepagi ini. Biasanya, semua hal akan dipersiapkan asisten rumah tangga, dan Clara hanya tahu beres. Namun, tidak kali. Fika melihat rantang susun di kitchen island, dan masing-masing sudah terisi dengan lauk yang sangat menggugah selera. “Ini, makanan buat mbakmu,” ujar Clara sambil menumpuk rantang susunnya satu per satu. “Kan, lagi hamil. Biar nggak makan sembarangan.”Fika ikut senang, ketika tahu Bening benar-benar dinyatakan positif hamil tadi malam. Meskipun, Fika mendengar Bening masih saja tidak percaya bahwa saat ini sedang mengandung anak Aga. “Oia.” Setelah menutup rantang susunya, Clara menghela pan
“Pagi, Mas Abi,” Fika segera berdiri, menyapa seraya memberi anggukan sopan pada Abi. Pria yang baru saja masuk ke ruangan kerjanya itu, tampak kusut dan tidak serapi biasanya. Rambut yang biasanya tertata rapi dengan pomade, atau gel rambut, kini terlihat kering dan cenderung tidak beraturan. Jika ditelisik lagi, Abi sepertinya hanya menyisir rambut seadanya dengan jari-jarinya. “Pagi,” balas Abi dengan anggukan yang sama. Sejurus itu, ia berhenti dan mengangkat tangan, untuk menghentikan Fika yang akan melangkah dari kursinya. “Nggak usah bikin kopi, saya sudah kebanyakan kopi dari semalam.”“Ohh.” Fika mengangguk. Kembali duduk dan berhadapan dengan laptopnya. Ini kali pertama, Fika membawa laptop untuk bekerja di firma Abi agar ia tidak hanya duduk bengong seperti yang sudah-sudah. “Saya sudah minta jadwal Mas Abi hari ini sama bu Ina. Hari ini Mas Abi ada sidang jam 10, dan jam dua siang, Mas ada janji dengan orang dari Perhumas, untuk membahas seminar kerja sama.”Tangan Abi be
“Cuma sakit kepala, nggak perlu sampai masuk rumah sakit begini.” Sejak siuman dan mendapati dirinya berada di rumah sakit, Rasyid terus saja melontarkan protesnya. Ia ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah tanpa harus berteman dengan jarum infus.“Papa, jangan keras kepala.” Mau tidak mau, Abi harus bersabar menghadapi Rasyid. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana bisa Abi keluar dari rumah dan tinggal di tempat lain. “Kita tunggu sampai dua atau tiga hari ke depan.”“Justru kamu itu yang keras kepala!” balas Rasyid. “Papa ini sudah tua, dan cuma mau lihat kamu bahagia. Menikah lagi, punya istri, dan anak. Setelah itu, baru Papa bisa pergi dengan tenang.”Abi yang sedari tadi duduk di samping ranjang, hanya mengangguk. “Ya.”“Ya, apa?“Ya, Papa jaga kesehatan, dan—”“Sudahlah.” Rasyid tahu, akan percuma saja berdebat dengan Abi karena mereka sama-sama keras kepala. “Sekarang pergilah, pergi. Biar Martin yang temani Papa di sini. Mending ngobrol sama dia, daripada sama anak
“Ngapain ke sini?”Suara tawa di ruang rawat inap VIP itu, terhenti tiba-tiba saat Abi membuka pintu dan melenggang masuk tanpa beban. Rasyid yang masih merasa kesal itu, segera bertanya perihal kedatangan putranya tanpa basa-basi. “Numpang tidur,” jawab Abi santai sambil menghampiri Dean yang duduk di ujung ranjang pasien. Jika Abi menanggapi dengan serius, maka suasana ruangan tersebut akan tegang seketika. “Apa kabar Dean?” tanya Abi berbasa-basi, sambil menepuk pelan bahu pria yang merupakan kakak laki-laki Fika.“Baik, Mas!” Dean mengulurkan tangannya lebih dulu, dan langsung disambut hangat oleh.“Sehat, Fik?” Giliran Abi berbasa-basi pada Fika, meskipun sore tadi mereka masih bertemu di kantor.“Sehatlah, Mas,” sambar Dean seraya memberi tendangan kecil pada kaki Fika. “Berat badannya aja sampai naik sejak kerja di kantormu, Mas?”“Ha?” Abi melihat Fika dengan seksama. Namun, menurutnya tidak ada perubahan signifikan dari tubuh gadis itu. Fika yang dulu, dan sekarang, sama se
“Kamu di sini aja, nggak usah ikutin saya.”“Tapi, Maa … as.” Fika membuang napas panjang. Berdiam sebentar, lalu memutuskan pergi keluar pengadilan. Mencari tempat duduk yang nyaman, untuk beristirahat dan melihat kembali jadwal Abi setelahnya. Sementar Abi, segera pergi menuju kantin karena sudah membuat janji dengan seseorang. Sesampainya di sana, Abi melihat wanita itu duduk sendiri dan sibuk dengan ponselnya. Dengan segera, Abi menghampiri dan duduk di samping wanita itu, hampir tidak berjarak.“Pergi ke mana kamu semalam?” tembak Abi tanpa harus basa-basi.Vira tertawa garing mendengar pertanyaan dari Abi. “Helloow, gebetan bukan, pacar bukan, suami apa lagi. Jadi jangan sok posesif sama aku, Bi.”“Vir.” Abi semakin mengecilkan suaranya, dan melihat ke sekitar mereka. Memastika, posisi keduanya jauh dari keramaian. “Semalam, kamu pergi sama pak Ilham dan perempuan yang namanya Vania Sesya.”“Apa aku lagi dimata-matain sekarang?” Vira menjauhkan wajah dari Abi. Kemudian, ia juga