"Halo, Ibu. Maaf, aku baru aja sampai rumah," sapa Valentino.
"Iya, nggak apa-apa. Bagaimana kabar kamu di sana?" tanya Hera.
"Aku baik-baik saja, Ibu. Bagaimana kabar Ibu?" tanya Valentino balik.
"Yah, tentu Ibu baik-baik saja. Daddymu seperti biasa masih memanjakan Ibu," ucap Hera.
Valentino tertawa pelan.
"Tentu saja daddy memanjakan Ibu. Daddy kan cinta mati sama Ibu," goda Valentino.
"Hm. Kami udah tua, Valentino. Sudah bukan waktunya lagi untuk memikirkan cinta segala. Yang penting kami hidup berdua rukun aja udah nyaman rasanya," ujar Hera.
Valentino tersenyum, namun tentu saja ibunya tak bisa melihat senyum itu.
"Aku senang banget karena kalian selalu rukun," ucap Valentino.
"Sudah-sudah berhenti membicarakan soal kami. Kamu bagaimana? Kapan kamu menikah? Usia kamu sudah menginjak tiga puluh tahun. Memangnya tidak ada ya wanita yang bisa menarik hati kamu?" tanya Hera.
Valentino sebenarnya tak suka dengan arah pembicaraan ibunya ini. Dia sebenarnya juga bosan selalu diingatkan tentang pernikahan.
"Ibu, Ibu kan tahu aku kembali ke Indonesia bukan untuk mencari seorang wanita. Aku bahkan belum memikirkan hal itu sama sekali. Yang aku pikirkan adalah sekarang aku harus mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang kejadian di balik meninggalnya ayah yang menurutku mencurigakan. Dan belum lagi aku harus berusaha merebut perusahaan milik ayah dari tangan si brengsek itu," ucap Valentino.
Darah Valentino seketika mendidih ketika ingat tentang mereka yang sudah merebut apa yang menjadi miliknya.
"Valen, sebenarnya Ibu tak ada masalah kalau soal perusahaan itu. Tapi memang kematian ayah kandung kamu itu sangat mencurigakan. Kalau untuk soal ini, Ibu mendukung kamu sepenuhnya sampai kamu bisa mengungkap kejadian dibalik kematian ayah kamu itu," ucap Hera.
Valentino benar-benar merasa kalau ibunya itu memang seorang malaikat. Ibunya dulu bercerai dari ayahnya karena sang ayah terlibat hubungan dengan wanita jahat itu, Rosa Melinda.
Saat itu dirinya masih muda. Namun, dia sangat ingat dengan pasti kalau wanita yang sudah merebut ayahnya dari sisi ibunya itu memang sengaja masuk kedalam rumah tangga orang tuanya.
Budi Araya saat itu benar-benar buta karena sudah terpikat oleh kecantikan palsu yang dimiliki oleh Rosa Melinda.
Dan karena Hera sudah tak tahan dengan kelakuan suaminya yang dengan terang-terangan berselingkuh di depan matanya, dia memilih untuk mengakhiri rumah tangganya dengan Budi.
Setelah bercerai, Hera membawa serta anaknya untuk tinggal di Inggris. Dan di sanalah dia bertemu dengan seorang pria asli keturunan Inggris yang mencintainya dengan tulus dan kemudiam menikahinya. Pria itu adalah Thomas Miller.
Thomas adalah seorang pengusaha properti yang belum pernah menikah sama sekali. Dirinya yang usianya lebih muda lima tahun dari Hera, bersungguh-sungguh untuk menikahi wanita yang sudah memiliki anak yang memasuki usia remaja kala itu.
Thomas juga menerima Valentino dan merawatnya seperti anak kandungnya sendiri.
"Terima kasih, Ibu. Dukungan dari Ibu itu paling penting buat aku. Oh ya Daddy di mana sekarang?" tanya Valentino.
"Hey, Sayang. Kalau lupa kalau perbedaan waktu antara Indonesia dan Inggris itu tujuh jam? Sekarang ini di sini masih jam sebelas siang. Tentu saja dia masih ada di kantor," ucap Hera.
Valentino menepuk jidatnya karena baru sadar akan hal itu.
"Ibu, maafkan aku. Aku lupa," ucap Valentino.
"Hm. Kamu pasti sangat kecapean karena terlalu banyak pekerjaan di sana sampai lupa hal seperti ini," ucap Hera terdengar cemas.
"Nggak, Ibu. Aku tak capek tapi hanya sedikit mengantuk. Mungkin karena itu konsentrasiku jadi kurang," ucap Valentino.
"Hm. Ya sudah kamu mau mandi kan? Mandilah dan makan malam lalu istirahat. Ibu tak ada di sana bukan berarti Ibu tak bisa mengawasi kamu. Ibu akan telepon Ruslan kalau kamu tidak melakukan apa yang Ibu katakan tadi," ancam Hera.
Valentino tersenyum.
Ibunya itu masih sama saja. Masih sangat mencemaskan dirinya. Tapi dia tak keberatan karena dia tahu ini adalah bentuk rasa peduli ibunya terhadap dirinya.
"Ibu tutup dulu. Sampai nanti, Nak," putus Hera.
"Sampai nanti, Ibu," balas Valentino.
***
Valentino sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor dan seperti biasa dia menggunakan taksi untuk pergi ke AL grup.
Salah satu orang kepercayaannya sebenarnya menyarankan dirinya untuk menggunakan jasa sopir taksi yang tetap namun dia menolaknya.
Ini karena dia tidak mempercayai orang-orang yang selain orang yang dia bawa dari Inggris.
Saat dia sedang mencegat taksi, sebuah mobil berhenti di depannya.
Agusta menjulurkan lehernya ke luar sedikit.
"Ayo masuk!" ajak Agusta.
Valentino mendekat ke arah mobil Agusta. Dia sedikit membungkuk.
"Bro, apa kau tahu Alfredo, atasanku dari bagian produksi sudah mulai curiga tentang hubungan kita?" tanya Valentino.
"Who cares? Lagipula dia kalaupun curiga tak bisa berbuat apa-apa," sahut Agusta santai.
"Sudahlah, masuk saja! Kau bisa turun di depan gedung jadi si Alfredo tak akan tahu," lanjut Agusta lagi.
Valentino ragu namun akhirnya dia memutuskan untuk ikut temannya itu saja.
"Oke, aku turun sebelum sampai di depan gedung," ucap Valentino.
Agusta segera membukakan pintu mobilnya untuk Valentino.
"Aku sudah mulai membuat proposal untuk kerjasama dengan Reis Ltd," ucap Valentino.
Agusta yang sedang berkonsentrasi mengemudi itu langsung menoleh ke arah Valentino.
"Reis Ltd? Perusahaan milik pengusaha asal Italia itu?" tanya Agusta terkejut.
"Iya, pemiliknya Antonio Cassano. Aku pernah berkerja sama dengannya saat di Inggris. Dia memiliki anak perusahaan di sana," jelas Valentino.
"Wow, that's wonderful, man! Aku nggak menyangka jika kamu kepikiran untuk mengajaknya kerja sama lagi. Tapi ini kan atas nama AL Group. Apa menurutmu dia akan menerimanya?" tanya Agusta ragu.
"Tentu saja dia akan menerima proposal buatanku. Aku tahu betul bagaimana membuat dia tertarik untuk berkerja sama," ucap Valentino.
Agusta menyeringai.
"Kau sungguh luar biasa. Tapi semoga saja si bodoh itu tak mengacaukan presentasinya," harap Agusta.
Valentino tersenyum masam.
Agusta benar, sebaik apapun sebuah proposal namun jika sang presenter tidak bisa menjelaskan dengan baik dan tidak mampu menarik minat sang investor ya sama aja tidak akan lolos.
"Mungkin kau harus mengajarinya," ucap Valentino enteng.
Agusta menoleh ke arah Valentino dengan tatapan sebal namun Valentino malah tersenyum tanpa dosa.
***
"Selamat pagi, Pak Agusta!" sapa salah seorang karyawan cantik.
"Selamat pagi!" balas Agusta.
Agusta berhenti di lobby kantor untuk mengangkat sebuah panggilan.
Valentino masuk tak lama setelahnya. Dia sengaja masuk setelah Agusta agar tak ada yang mencurigainya.
Saat Valentino berjalan dia tersandung oleh kaki seseorang. Dia terjerembab. Itu adalah kaki Levi.
Semua orang menertawakannya.
"Woi, culun! Kalau jalan itu mata harus lurus ke depan," ejek Diana.
Wanita itu menertawakannya.
"Atau jangan-jangan kacamata kamu itu kurang ya minusnya? Makannya nggak bisa lihat dengan jelas? Dah, sana ke dokter mata lagi. Periksakan mata kamu itu!" ucap Levi sambil tersenyum mengejek.
Tak ada satu pun diantara mereka yang menolongnya.
Agusta yang melihat semua itu mengepalkan tangannya.
Dia segera berlari kecil menuju temannya itu.
"Kau tak apa-apa?" tanya Agusta dan dia membantu Valentino untuk berdiri.
Semua orang yang ada di sana langsung terdiam dan terkejut karena seorang manager umum AL Group mau menolong karyawan rendahan seperti Aditya, nama samaran Valentino.
"Apa yang kau lakukan? Mereka bisa curiga," bisik Valentino pelan. Suaranya hanya bisa didengar oleh Agusta.
"Nggak akan," jawab Agusta.
"Kenapa kalian hanya diam saja saat melihat orang lain terjatuh?" tanya Agusta dengan setengah berteriak.
Agusta menatap tajam semua orang yang ada di area lobby itu.
Tak ada yang menyahut ucapan Agusta sama sekali. Mereka semua terdiam. Sebagian karena takut, sebagian lagi karena tak tahu harus bersikap bagaimana. "Kalian semua masih punya mata kan? Bisa melihat dengan jelas kan kalau ada orang lain yang terjatuh di sini? Bisa kan? Tapi kalian malah mengejeknya. Di mana rasa peduli kalian pada sesama rekan kerja kalian?" tanya Agusta tajam. Diana dan Levi saling lirik namun tentu saja mereka tak menjawab sindiran Agusta. Mereka tak mau dipecat hanya gara-gara masalah ini. "Kenapa kalian diam saja?" teriak Agusta kesal karena tak ada satupun dari mereka yang menjawabnya. Valentino memberi isyarat pada Agusta agar tak memperpanjang masalah tersebut. "Kalau kalian tahu dia siapa, kalian pasti tak akan berani menganggunya seperti sekarang," ucap Agusta. Diana mendongak. "Maksud Bapak? Memangnya dia siapa, Pak? Dia cuman karyawan baru bagian produksi yang kerjanya aja lelet," ucap Diana. Agusta menatap tajam Diana. Agusta berjalan mendekati Dia
"Kau tahu, aku ini masih sangat normal, Agusta. Jadi jangan macam-macam!" peringat Valentino.Agusta tergelak."Valen, menurutmu memangnya aku doyan dada rata? Aduh, maaf saja. Aku masih doyan gunung besar," ucap Agusta."Bagus. Karena asal kau tahu saja tipeku cukup tinggi," sahut Valentino.Agusta tertawa."Oh, aku sekarang mengerti kenapa sampai sekarang kau belum memiliki seorang kekasih. Pasti karena tipe yang kau mau itu terlalu tinggi itu. Makanya tak ada yang bisa menarik hati kamu," ucap Agusta."Memang. Aku tentu saja tak ingin menyerahkan hatiku kepada sembarangan wanita. Lagi pula aku juga tak ingin membuang-buang waktuku dengan bersenang-senang dengan wanita yang enggak jelas," terang Valentino.Agusta tersenyum masam. Valentino sedang menyindirnya karena Agusta memang terkenal sebagai seorang player. Dan berkali-kali pria itu terlihat menggandeng wanita yang berbeda hanya dalam beberapa pekan."Kita itu masih muda, man. Tidak masalah kan kalau aku sedang menyeleksi calon
Aryan mengepalkan tangannya untuk menahan rasa kesalnya pada Rosa Melinda.Pemuda itu tak masalah jika dirinya dipanggil dengan sebutan anak kepala pelayan. Baginya itu adalah hal yang biasa saja. Karena dia pun juga tak pernah malu akan profesi ibunya dan memang seorang kepala pelayan."Apakah sedang menjenguk ibu tercinta kamu?" tanya Rosa."Iya, Bu. Baiklah, maaf saya harus permisi karena banyak sekali pekerjaan yang harus saya lakukan."Rosa menjadi tak suka karena melihat ada kesombongan di dalam diri anak kepala pelayan itu."Heh, anak kepala pelayan. Apa kau tak punya sopan santun, hah? Kau datang ke rumahku tanpa permisi kepadaku dan kau pun sekarang seenaknya saja pergi begitu saja."Sriani menahan lengan anaknya agar anaknya itu tidak berbuat yang tidak-tidak. Bagaimanapun juga Sriani mengenal anaknya dengan baik. Dia tentu bisa menduga jika saat ini anaknya sedang mati-matian untuk menahan rasa kesalnya.Sriani menggelengkan kepalanya ke arah Aryan.Aryan mengerti apa yang d
David Araya langsung mendorong Almyra ke dinding dan mengunci tubuh wanita cantik itu.Pria bertubuh padat itu dengan lapar melahap bibir Almyra yang ranum. David tak lupa mengabsen satu per satu gigi yang putih nan rapi milik Almyra.Setelah puas mengeksplor mulut Almyra, David beralih pada leher Almyra dan juga bahunya yang sangat mulus.Namun sayang, sebelum kegiatan panas itu berlanjut ke atas ranjang, David Araya harus mengakhirinya karena ponsel mewahnya yang harganya sama dengan harga motor itu berdering."Oh, shit!" umpat David.Dia menghela napasnya dengan kasar dan bergegas mengambil ponselnya yang dia letakkan di atas meja tamu.Almyra segera merapikan dirinya dan ikut penasaran siapa yang telah menganggu olahraga panasnya dengan David."Iya, Ma. Apa? Sekarang?"David mengambil napas sebelum mengembuskannya dengan perlahan. Rupanya dia harus menunda acara bercintanya dengan Almyra."Maaf, Sayang. Aku tak bisa melanjutkannya. Mama meminta aku untuk segera pulang," ucap David.
Valentino sedang kebingungan sekarang. Dia masih belum keluar dan pergi bekerja karena dia masih agak parno soal Almyra yang tiba-tiba saja kini menjadi tetangganya. Meskipun mereka tidak tinggal di lantai yang sama, Valentino tetap merasa tidak tenang. Kekhawatiran terbesarnya tentu saja berkaitan dengan penyamarannya yang bisa saja terbongkar karena terpergok oleh Almyra. Maka dari itu saat ini dia menunggu Almyra keluar dari unitnya dan pergi dulu ke kantor. Sebagai pemilik gedung Apartemen Gardenia Hills, tentu sangat mudah bagi Valentino untuk meminta anak buahnya mengawasi salah satu penghuni apartemen itu. Valentino tak ingin mengambil resiko karena jika identitas aslinya terbongkar, dia bisa saja gagal untuk mengungkap dibalik kematian ayahnya. Dan Valentino masih belum ingin identitasnya terbongkar. "Tuan, Nona Almyra sudah pergi ke kantor dijemput oleh Pak David," ucap Ruslan. Valentino tak terkejut sama sekali. Dia juga sudah mengetahui jika mereka berdua memang sepasan
"Di mana tetangga baru kamu itu?" tanya David yang melihat ke arah beberapa orang yang sudah hadir di dalam apartemen miliknya yang dia berikan pada Almyra itu. "Sebentar lagi pasti datang," ucap Almyra yakin. David yang melihat kekasih hatinya itu sedang bersemangat karena menunggu kehadiran tetangganya yang mereka temui di lift itu merasa sangat kesal. "Almyra, aku nggak mau ya kamu nanti bikin masalah," ucap David. Almyra menoleh ke arah David. "Masalah apa? Perasaan aku nggak pernah buat masalah sama siapapun deh, Sayang." "Maksud aku, aku nggak mau kamu nempel terus dekat-dekat dengan si pria di lift itu," ucap David. Almyra baru saja menyadari hal yang tidak disangkanya. "Kamu cemburu, Sayang?" tanya Almyra. David menatap Almyra dan memegang dagunya yang lancip namun tetap memesona. "Bukan cemburu lagi. Tapi aku benci jika ada laki-laki yang berusaha mendekati kamu. Aku benci jika kamu dekat dengan orang lain. Jadi jangan coba-coba, Almyra! Karena aku tak akan suka meli
"Tunggu dulu!" ucap David setengah berteriak saat dia melihat Valentino yang akan segera pergi dari acaranya. Valentino membeku di tempatnya. Mungkinkah dia ketahuan? Apakah penyamaran yang baru saja dilakukannya selama satu bulan lebih ini sudah terbongkar? Astaga, dia segera menyalahkan diri sendiri yang sangat bodoh karena mengambil resiko menggunakan nama 'Miller' untuk nama belakangnya. Tapi apakah mungkin David mengetahui jika marga itu adalah marga dari ayah tirinya? Pikiran Valentino sudah tak karuan saat David sampai ke tempatnya berdiri. Namun yang aneh, David malah menyunggingkan senyum ramah kepadanya. Alisnya terangkat sebelah. "Iya, Pak David. Ada apa?" tanya Valentino. "Ah, jangan panggil saya begitu. Panggil saya dengan nama saya saja. Kita sepertinya seumuran," ucap David. Valentino malah semakin ketar-ketir karena David sepertinya mulai mengetahui tentang Valentino lebih detail. "Ah, iya baik," jawab Valentino namun dia masih gelisah. "Oh iya, ada apa Anda ta
Valentino langsung berdiri, bukan karena takut tapi karena kaget. "Ma-af, Pak David. Sa-saya tadi disuruh Pak Agusta un-tuk... Untuk... " "Apa-apaan sih? Udah culun, sekarang tambah gagap. Aku heran kenapa kau bisa diterima perusahaan milikku ini? Apa ada orang dalam yang mendukungmu, Culun?" tanya David. Agusta melirik ke arah Valentino yang nampak menahan kesal. Kalau Agusta menjadi dirinya, sudah pasti dia akan membuat David babak belur karena sudah menghina dirinya apalagi David sudah mengatakan jika perusahaan ini miliknya. "Ti-dak Pak. Saya masuk lewat tes," jawab Valentino. "Ah ya sudahlah, sana keluar. Aku mau ada urusan dengan Agusta," ucap David. David mengibaskan tangannya ke arah Valentino yang saat ini sudah berdiri kaku. "Kenapa kamu masih diam saja?" tanya David yang melihat Valentino masih juga tak bergerak dari tempatnya. "I-iya, Pak. Maaf. Saya permisi dulu," pamit Valentino. Agusta melirik ke arah sahabatnya itu. Sebelum Valentino pergi, dia sempat mengedi