“Mak, Emak bangun,” ucapku lirih yang kini membelai rambutnya. Wajah keriput yang terlihat begitu teduh. Dibalik omelan-omelannya selalu saja ada petuah yang terselip.
“Emak ….”Emak seperti tak merespon, hingga aku tersadar tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. “Mas Ammar, Mas. Emak, Mas,” teriakku dengan panik.Mas ammar berlari mendekat, dan memastikan keadaan emak. Masih ada denyut nadi yang terasa meskipun sangat lemah. Dengan cepat ia membawa emak ke puskesmas, hingga sampai sana langsung diminta ke rumah sakit. “Ya Allah, Mak. Kamu kenapa?”Dengan naik mobil ambulance yang disediakan oleh puskesmas, aku terus memegang tangan keriput yang selama ini merawat dan membesarkanku. Kukecup keningnya dan kubelai rambut yang kini tertutup oleh jilbabnya. Selang oksigen dimasukkan di kedua lubang hidung itu, hingga perlahan mata emakku membuka. “Emak, ini Dijah, Mak. Ini Dijah,” ucapku yang kini sesenggukan. Pikiranku terus menerawang ke jauh, takut jika terjdi apa-apa dengan wanita yang telah melahirkanku. Baru saja kemarin kulihat wajahnya tersenyum sumringah meihatku dipelaminan, kini wajahnya sayu dengan pandangan yang redup. “Emak, ini Dijah, “ ucapku yang kini mencium punggung tangan emak, dengan tangis yang tak berhenti reda. Dalam hati terus berdoa, agar wanita di depanku ini segera diangkat penyakitnya. Aku belum sanggup kehilangan dia. Aku bahkan belum pernah membahagiakan emak ataupun membuatnya bangga.“Dijah,” ucapnya lirih.Aku mengangguk. Emak tersenyum, dan kini menggenggam tanganku. Hingga tiba-tiba emak mengucapkan kalimat yang layaknya sebuah wasiat sebelum benar-benar meninggalkan kami di dunia ini. “Pernikahan itu ibadah, Nduk. Berbuah pahala. Ingat, aib rumah tangga jangan sampai terendus siapapun. Jadilah istri yang soleha, nurut kepada suamimu.” Aku tersenyum saat itu, hingga akhirya emak menitipkan Dinda. Sungguh, ini adalah hal yang berat, ketika melihat emak menutup matanya masih dalam pangkuanku. Tatapannya, senyumnya terbingkai jelas dimataku. Bahkan setetes air mata juga turut luruh melihatku yang tak hentinya menangis. “Emakk …”Salah satu petugas dari puskesmas mengecek nadinya. Hingga akhirnya kalimat istirja keluar dari bibir wanita berseragam itu. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” “Emak ....” Dinda kembali pulang, setelah mendengar berita duka itu. Ia dijemput Mas Ammar karena aku takut terjadi apa-apa dengan adikku. Ya, melakukan perjalanan hampir dua jam lamanya dalam keadaan hati yang berduka, sangatlah berbahaya. Masih ingat jelas dikepala, bahwa emak menitipkan Dinda kepadaku. “Emak ...” teriak Dinda yang kini langsung mendekat tubuh yang terlentang dan tertutup kain jarik bermotif coklat ini. Disingkapnya ujung benda tersebut, hingga wajah emak yang sudah seputih susu itu tampak, dengan dua buah kapas bulat yang ditutupkan di kedua lubang hidungnya. “Emak, maafin Dinda,” ucapnya parau. Aku memeluk adikku, dan membenamkannya dalam pelukanku. Tangisnya pecah, ia terus terisak sambil menyebut nama emak.“Maafin dinda, Mak. Harusnya dinda di rumah nemanin emak, gak langsung berangkat,” ucap wanita cantik itu yang terlihat menyesal. Kubelai jibab instan yang dipakainya, seraya terus membujuk Dinda untuk sabar. Mencoba menguatkan diri, meskipun hati ini juga tak tahan dengan rasa penyesalan. Jika aku tak menikah dengan Ammar, mungkin Dinda gak akan berangkat secepat ini. Emak juga gak dikungkung rasa rindu, dan mereka bisa bersama dengan senyum yang melebar. Andai ...‘Semua salahmu, Dijah. Kamu penyebab dari semua musibah ini. Kamu merenggut kebahagiaan Dinda adikmu. Kamu juga menjadi sebuah sebab dari meninggalnya emakmu,’ batinku yang terus merutuki diri sendiri. “Mbak Dijah, emak kenapa? Kemarin aku masih lihat emak baik saja, dan kini ... emak...” Ia menunjuk wanita yang tubuhnya telah terbujur kaku di depannya. “Dek, doakan emak. Sekarang ini yang dibutuhkan emak adalah sebuah doa, bukan tangisan.”Dinda menyenderkan kepalanya dibahuku, hingga bacaan doa dimulai untuk mengantar kepergian wanita yang begitu kuhormati. Sesekali kulihat adikku itu sesenggkan, lalu menarik nafasnya yang terdengar sangat berat. “Sabar ya, Dek. Ini sudah garis Tuhan,” ucapku sambil menepuk pipinya dengan lembut. Aku, Dinda, dan Mas ammar mengantar emak ke peristirahatan terakhir. Turut menyaksikan dari awal beliau dimasukkan ke liang lahat, sampai di tutup kembali oleh tanah yang kini menggunung. Aku turut menaburkan bunga di atasnya, sedangkan dari tadi Dinda terus menangis tak ada hentinya.Hatiku terus teriris, menatap wajah dinda yang tampak belum ikhlas. “Dek, sudah. Kita pulang dulu yuk! Kita berdoa untuk emak di rumah,” ucapku setelah semua rombongan telah berlalu. Angin sepoi terus menyapa, bersamaan dengan langit yang mulai tertutup oleh awan hitam. Sepertinya tak lama lagi rintik hujan akan turun. “Mbak Dijah enak. Selama ini terus tinggal sama emak. Sedangkan dinda?” tanyanya yang sedikit berteriak. Ia terus menangis di depan pusara emak sambil memeluk batu bertuliskan nama wanita yang telah melahirkan kami. Cahaya terang menyala, bersamaan dengan suara petir yang menyambar. Tak lama kemudian turunlah air dari langit.“Dek, ayo pergi. Hujan sudah turun,” ucapku yang kini berlari kecil mencari pohon untuk berteduh. Tak ada langkah yang mengikuti. Hingga aku menoleh ke belakang, kulihat pemandangan yang memilukan hati. Dinda masih berada di posisinya, dengan memeluk nisan emak bersamaan linangan air mata. Sedangkan di belakangnya, tampak Mas Ammar yang membawa sebuah payung di tujukan di atas tubuh dinda. Membiarkan rintikan air hujan jatuh dan membasahi tubuhnya sendiri. Beginikah yang namanya sebuah cinta? Dimana semua saling melengkapi. Aku tersenyum, lalu berbalik badan dan berjalan pulang. Tak peduli seperti apa derasnya air yang mengucur ke bumi. Aku terus melangkah. Aku bahkan tak mampu lagi membedakan mana air mata, dan mana air hujan yang membuatku basah . semua menjadi satu. **“Mbak, kamu sudah pulang?” tanya Dinda yang kini melewati pintu rumah. Bajunya tak basah sedikitpun, hanya terdapat percikan tanah di celana bagian bawah yang dikenakannya. “Iya. Maaf Mbak pulang dulu tanpa pamit.” Dinda masuk ke kamar, berikut dengan Mas Ammar yang kini masuk dengan baju yang basah. Tubuhnya telrihat menggigil menahan digin, dengan ujung-ujung jari yang tampak keriput. “Mandi dulu sana, Mas. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu.” Kuambil panci yang memang sengaja kuisi air dengan penuh, dan kubiarkan terus berada di atas kompor. Ya, aku tahu Mas ammar pasti akan pulang dalam keadaan basah. “Terima kasih,” ucapnya yang langsung berlalu melewatiku. **Jika awal aku menikah, karena ingin melihat ibu bahagia. Lalu yang trjadi sekarang, apakah itu tanda untuk aku mengakhiri semuanya? Ada dinda yang masih menyimpan rasa kepada Mas ammar, juga dengan lelakiku itu yang menyimpan rasa yang sama. Haruskah aku mundur?Ini adalah hari ngunduh mantu, hari yang seharusnya aku tersenyum senang, karena diambil oleh keluarga besar Ammar. Namun, diposisi sekarang, keluargaku tengah berduka. Tepat tiga hari emak meninggalkan kami dari dunia ini. Masih teringat jelas bagimana kenangan di setiap inci rumah ini, yang selalu menjadikan tangis kala mengingatnya. Mak yang bawel dan suka menjewer telingaku meskipun di usiaku sudah sedewasa ini. Aku rindu.“Mbak Dijah, kok melamun,” ucap dinda yang terlihat tersenyum dengan gamis yang dikenakannya. Ya, dia satu-satunya keluarga intiku yang mengantar aku pindah. Juga ada bude dan paklek saudara dari emak yang turut menemani acara sederhana ini. Tak ada perayaan yang semestinya, hanya sebatas mengantar, dijamu oleh keluarga Ammar, dan mereka pulang. Ya, sebatas itu.“Assalamualaikum,” ucap saudara besarku yang kini berada di depan pintu Ammar. “waalaikumsalam,” suara ramah dari dalam rumah tersebut. Hanya keluraga inti saja, kedua orang tua serta kakak-kakak mas
Waktu terus berlalu, detikan jam terus berjalan. Aku hanya terus memandang Mas Ammar yang selalu asyik di depan laptopnya. Sesekali ia menengok ke arah ponsel, dan tersenyum. Kemudian, ia kembali memainkan jari jemarinya di atas keybord warna hitam itu. “Mas, Khadijah ke bawah dulu ya, mau nyiapin makan siang,” ucapku.Ia menoleh ke arahku. “Hm ... terserah.” Lalu balik fokus ke laptopnya. Sungguh, keberadaanku di kamar ini seperti tak dianggap.Aku mengayunkan langkah, sambil menyeka air mataku agar tak kedahuluan membasahi pipi. Aku tak ingin ibu ataupun bapak memergokiku bersedih. Aku harus terlihat tersenyum. Aku tak ingin aib keluarga menjadi sorotan mata orang lain, meskipun itu keluarga ammar sendiri. Ya, seperti itulah yang diucapkan emak sebelum meninggalkan kami.“Khadijah, mau bantu masak?” tanya ibu yang terlihat welcome ketika melihatku datang. Ia tersenyum dengan mata teduh yang ditujukan kearahku. Aku mengangguk.“Sini, sini, kamu bantu siangi ikannya ya,” ucap ibu y
“Dijah, Ammar mana?” tanya ibu ketika aku duduk di kursi makan . Baik ibu dan bapak tidak tahu kalau Mas Ammar sudah keluar seusai shalat duhur. Kebiasaannya memang mengurung diri di kamar, dengan laptop yang disimpannya di tempat pribadi itu. Ya, kata Ibu pekerjaan Mas Ammar memang menghabiskan banyak waktu di laptop dari pada di luar.“Mas Ammar ijin keluar, Bu.”“Nongkrong sama temannya?”“Bukan. Katanya ada urusan pekerjaan,” dustaku. Ya, aku harus melakukan ini untuk menutubi aib rumah tangga kami.Ibu tersenyum. “Ya seperti itulah pekerjaan suamimu, Dijah. Dibilang kerja ya tidak seperti orang kerja pada umumnya. Tapi dibilang nganggur, sebenarnya menghasilkan,” ucap ibu . “Mari makan, jangan ngobrol dulu,” ucap bapak yang memandang kami bergantian.Aku menyuapkan makanan ini sedikit demi sedikit, lebih terkesan memainkannya. Rasanya aku tak nafsu, karena melihat bangku sebelahku kosong. Ya, aku sudah terbiasa makan bersama Mas Ammar. Ia adalah alasan untuk nafsu makanku kembal
Aku kembali masuk ke dalam kamar setelah melihat kendaraan yang dinaiki oleh mas Ammar berlalu. Kembali mendekat ke perpustakaan kecil itu, dan mendekat ke jejeran buku yang dikoleksinya. Aku masih penasaran dengan nama penulis yang sama persis dengan nama Mas Ammar. Kucari buku tersebut, tapi sekarang sudah tidak ada. Mungkinkah ia mengambilnya? Aku tersenyum sendiri. Bukankah Mas Ammar tidak suka aku mendekat ke perpustakaan miliknya, untuk apa aku mengulang kesalahan yang sama?Baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja. Bersebelahan tepat dengan laptop. Aku mendekat dan mengintip nama yang tertulis. “Dinda “ . mungkinkah ini alasan Mas Ammar tak bercerita kepadaku mau kemana? Aku membiarkan dering ponsel itu berlalu begitu saja, tak ingin masuk ke dalam hubungan mereka. Namun, sebuah panggilan atas nama Dinda kembali terdengar. “Assalamualaikum,” ucapku ragu yang kini mendekatkan ponsel Mas Ammar ke telingaku. Ini tindakan lancang, tapi aku
“Ayo siap-siap,” ucap Mas ammar usai mandi. Ia sedang memilah pakaian yang menggantung di almarinya.“Siap-siap? Kemana?” tanyaku bingung. “Khadijah, Bukannya kamu bilang mau ikut kalau aku ke tempat Dinda?” tanyanya.Aku mengangguk.“Ya sudah sana mandi dan siap-siap! Kenapa malah mematung disitu?”“Eh, iya.”Aku bergegas mengambil pakaian di almari dan membawanya masuk ke kamar mandi. Ya, selama ini aku masih nyaman seperti itu, karena malu berganti pakaian dalam kamar, sedangkan disana juga ada Mas Ammar. Keran kuputar, hingga terdengar suara gemericik dari air tersebut yang masuk ke dalam gentong berbahan keramik. Lalu dari tempat tersebut kubasuh tubuhku dengan gayung. Aku lebih menyukai mandi seperti itu, meskipun di sini terdapat shower yang siap digunakan.“Dijah, cepetan dikit!” teriak Mas Ammar dari luar pintu.Kupercepat mandiku, dan segera kupakai pakaian yang menggantung tak jauh dariku. Setelahnya, aku akan menyisir rambut di depan cermin di dekat kasur. “Maaf ya, Mas
“Mbak Dijah ....” teriak Dinda sambil melambaikan tangannya. Sontak seluruh anak-anak yang sedang dididiknya itupun menoleh ke arah kami.Terdengar bisikan-bisikan antara anak-anak dan para tenaga pendidik itu, yang aku tak ketahui jelas apa yang diucapkan. Hingga tak lama kemudian, terdengar suara bel sebagai tanda pelajaran telah usai. Anak-anak mulai berhamburan , mereka mengambil jajan ke arah gurunya, lalu berjalan ke pintu samping. Sedangkan adikku, kini mulai mendekat ke arahku dengan senyum yang tergambar jelas. “Mbak Dijah ikut kesini?” tanyanya.Ia menjabat tanganku dan mencium punggung tanganku, lalu kubalas dengan memeluk tubuhnya yang memiliki tinggi lebih dariku. Mas ammar pamit sebentar, sepertinya sengaja memberikan ruang untuk aku dan Dinda mengobrol, sedangkan sebelum pergi ia sedikit berbisik di telingaku. “Jangan bahas apapun tentang kita.”Aku tak paham maksudnya, niat awalku bertemu dengan Dinda karena ingin berbicara panjang kali lebar tentang hubungan mereka
“Dijah, apa yang kamu lakukan?” tanya Mas Ammar kaget. Ia melihat tas dan isinya yang berantakan. “E … ini, Dijah mau rapikan …”“Tidak usah, biar aku saja.”Ia setengah belari mendekat ke arahku, hingga handuk kecil yang menutup tubuh bagian bawahnya melorot. Reflek aku berteriak sambil menutup mataku dengan kedua tangan. Meskipun kami menikah sudah seminggu lebih, tapi aku tak pernah melihat ia polos sempurna, begitupun sebaliknya. “Eh, maaf,” ucapnya yang kini mengambil handuknya di lantai. “Aku tuh sudah pakai bagian dalamnya,” imbuhnya lagi. Aku membuka mata setelah selang beberapa menit, menunggu tubuhnya kembali tertutup.Wajahnya begitu memerah, dan ia langsung berlari setelah mengambil pakaian yang sudah kusiapkan. Benar-benar membuatku tertawa. Ini adalah hal terkonyol yang terjadi. “Mas, ganti pakaiannya sudah belum?” tanyaku yang menunggunya di depan pintu kamar mandi. Hampir lima belas menit lamanya ia belum keluar juga. “Aku mau mandi, Mas,” ucapku lagi sambil menge
“Aku ... e ....”“Bagaimana aku bisa tidak mencintaimu, Jah? Sedangkan sejauh ini namaku selalu kau sebut dalam doamu. Kau serahkan hatimu dengan sang maha pembolak balik hati manusia.”“Mas ammar ....”“Hm, apalagi?” tanyanya.“Jangan marah-marah.”“Bagaimana aku tidak marah sedangkan kamu membuatku kesal.”“Dijah minta maaf, Mas.”“Tidak gratis.”“Maksudnya?”“Ya bayar.”“Bayar pakai apa? selama ini Mas Ammar gak pernah beri Dijah uang belanja.”Lelaki itu menatapku untuk sesaat, lalu mengambil dompet dari saku celananya. Dibukanya benda tersebut, hingga menampilkan beberapa lembaran uang seratus ribuan. Namun, yang diambilnya bukanlah uang yang itu, ia mengambil bagian yang terselip, dimana lembaran uang itu kini berbentuk gulungan layaknya rokok, yang sudah pipih. “Ini jatahmu dari beberapa hari kemarin. Maaf baru memberikannya hari ini. toh kita makan juga masih numpang sama ibu kan?”Aku terdiam. Ini semua rasanya seperti mimpi bagiku.“Dijah, mau uangnya gak? Aku kembalikan la