Share

Bab.7 Hujan

“Mak, Emak bangun,” ucapku lirih yang kini membelai rambutnya. Wajah keriput yang terlihat begitu teduh. Dibalik omelan-omelannya selalu saja ada petuah yang terselip. 

“Emak ….”

Emak seperti tak merespon, hingga aku tersadar tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. 

“Mas Ammar, Mas. Emak, Mas,” teriakku dengan panik.

Mas ammar berlari mendekat, dan memastikan keadaan emak. Masih ada denyut nadi yang terasa meskipun sangat lemah. Dengan cepat ia membawa emak ke puskesmas, hingga sampai sana langsung diminta ke rumah sakit. 

“Ya Allah, Mak. Kamu kenapa?”

Dengan naik mobil ambulance yang disediakan oleh puskesmas, aku terus memegang tangan keriput yang selama ini merawat dan membesarkanku. Kukecup keningnya dan kubelai rambut yang kini tertutup oleh jilbabnya. Selang oksigen dimasukkan di kedua lubang hidung itu, hingga perlahan mata emakku membuka. 

“Emak, ini Dijah, Mak. Ini Dijah,” ucapku yang kini sesenggukan. Pikiranku terus menerawang ke jauh, takut jika terjdi apa-apa dengan wanita yang telah melahirkanku. Baru saja kemarin kulihat wajahnya tersenyum sumringah meihatku dipelaminan, kini wajahnya sayu dengan pandangan yang redup. 

“Emak, ini Dijah, “ ucapku yang kini mencium punggung tangan emak, dengan tangis yang tak berhenti reda. Dalam hati terus berdoa, agar wanita di depanku ini segera diangkat penyakitnya. Aku belum sanggup kehilangan dia. Aku bahkan belum pernah membahagiakan emak ataupun membuatnya bangga.

“Dijah,” ucapnya lirih.

Aku mengangguk. 

Emak tersenyum, dan kini menggenggam tanganku. Hingga tiba-tiba emak mengucapkan kalimat yang layaknya sebuah wasiat sebelum benar-benar meninggalkan kami di dunia ini. 

“Pernikahan itu ibadah, Nduk. Berbuah pahala. Ingat, aib rumah tangga jangan sampai terendus siapapun. Jadilah istri yang soleha, nurut kepada suamimu.” Aku tersenyum saat itu, hingga akhirya emak menitipkan Dinda. 

Sungguh, ini adalah hal yang berat, ketika melihat emak menutup matanya masih dalam pangkuanku. Tatapannya, senyumnya terbingkai jelas dimataku. Bahkan setetes air mata juga turut luruh melihatku yang tak hentinya menangis. 

“Emakk …”

Salah satu petugas dari puskesmas mengecek nadinya. Hingga akhirnya kalimat istirja keluar dari bibir wanita berseragam itu.

 

“Innalillahi wainnailaihi rojiun.”

 

“Emak ....”

 

Dinda kembali pulang, setelah mendengar berita duka itu. Ia dijemput Mas Ammar karena aku takut terjadi apa-apa dengan adikku. Ya, melakukan perjalanan hampir dua jam lamanya dalam keadaan hati yang berduka, sangatlah berbahaya. Masih ingat jelas dikepala, bahwa emak menitipkan Dinda kepadaku. 

“Emak ...” teriak Dinda yang kini langsung mendekat tubuh yang terlentang dan tertutup kain jarik bermotif coklat ini. Disingkapnya ujung benda tersebut, hingga wajah emak yang sudah seputih susu itu tampak, dengan dua buah kapas bulat yang ditutupkan di kedua lubang hidungnya.

 

“Emak, maafin Dinda,” ucapnya parau. 

 

Aku memeluk adikku, dan membenamkannya dalam pelukanku. Tangisnya pecah, ia terus terisak sambil menyebut nama emak.

“Maafin dinda, Mak. Harusnya dinda di rumah nemanin emak, gak langsung berangkat,” ucap wanita cantik itu yang terlihat menyesal.

 

Kubelai  jibab instan yang dipakainya, seraya terus membujuk Dinda untuk sabar. Mencoba menguatkan diri, meskipun hati ini juga tak tahan dengan rasa penyesalan. Jika aku tak menikah dengan Ammar, mungkin Dinda gak akan berangkat secepat ini. Emak juga gak dikungkung rasa rindu, dan mereka bisa bersama dengan senyum yang melebar. Andai ...

‘Semua salahmu, Dijah. Kamu penyebab dari semua musibah ini. Kamu merenggut kebahagiaan Dinda adikmu. Kamu juga menjadi sebuah sebab dari meninggalnya emakmu,’ batinku yang terus merutuki diri sendiri. 

 

“Mbak Dijah, emak kenapa? Kemarin aku masih lihat emak baik saja, dan kini ... emak...” Ia menunjuk wanita yang tubuhnya telah terbujur kaku di depannya. 

 

“Dek, doakan emak. Sekarang ini yang dibutuhkan emak adalah sebuah doa, bukan tangisan.”

Dinda menyenderkan kepalanya dibahuku, hingga bacaan doa dimulai untuk mengantar kepergian wanita yang begitu kuhormati. Sesekali kulihat adikku itu sesenggkan, lalu menarik nafasnya yang terdengar sangat berat. 

“Sabar ya, Dek. Ini sudah garis Tuhan,” ucapku sambil menepuk pipinya dengan lembut.

 

Aku, Dinda, dan Mas ammar mengantar emak ke peristirahatan terakhir. Turut menyaksikan dari awal beliau dimasukkan ke liang lahat, sampai di tutup kembali oleh tanah yang kini menggunung. Aku turut menaburkan bunga di atasnya, sedangkan dari tadi Dinda terus menangis tak ada hentinya.

Hatiku terus teriris, menatap wajah dinda yang tampak belum ikhlas. 

“Dek, sudah. Kita pulang dulu yuk! Kita berdoa untuk emak di rumah,” ucapku setelah semua rombongan telah berlalu.

 

Angin sepoi terus menyapa, bersamaan dengan langit yang mulai tertutup oleh awan hitam. Sepertinya tak lama lagi rintik hujan  akan turun.

 

“Mbak Dijah enak. Selama ini terus tinggal sama emak. Sedangkan dinda?” tanyanya yang sedikit berteriak. Ia terus menangis di depan pusara emak sambil memeluk batu bertuliskan nama wanita yang telah melahirkan kami.

 

Cahaya terang menyala, bersamaan dengan suara petir yang menyambar. Tak lama kemudian turunlah air dari langit.

“Dek, ayo pergi. Hujan sudah turun,” ucapku yang kini berlari kecil mencari pohon untuk berteduh. Tak ada langkah yang mengikuti. Hingga aku menoleh ke belakang, kulihat pemandangan yang memilukan hati. Dinda masih berada di posisinya, dengan memeluk nisan emak bersamaan linangan air mata. Sedangkan di belakangnya, tampak Mas Ammar yang membawa sebuah payung di tujukan di atas tubuh dinda. Membiarkan rintikan air hujan jatuh dan membasahi tubuhnya sendiri. Beginikah yang namanya sebuah cinta? Dimana semua saling melengkapi.

 

Aku tersenyum, lalu berbalik badan dan berjalan pulang. Tak peduli seperti apa derasnya air yang mengucur ke bumi. Aku terus melangkah. Aku bahkan tak mampu lagi membedakan mana air mata, dan mana air hujan yang membuatku basah . semua menjadi satu. 

 

**

“Mbak, kamu sudah pulang?” tanya Dinda yang kini melewati pintu rumah. Bajunya tak basah sedikitpun, hanya terdapat percikan tanah di celana bagian bawah yang dikenakannya.

 

“Iya. Maaf Mbak pulang dulu tanpa pamit.”

 

Dinda masuk ke kamar, berikut dengan Mas Ammar yang kini masuk dengan baju yang basah. Tubuhnya telrihat menggigil menahan digin, dengan ujung-ujung jari yang tampak keriput.

 

“Mandi dulu sana, Mas. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu.”

 

Kuambil panci yang memang sengaja kuisi air dengan penuh, dan kubiarkan terus berada di atas kompor. Ya, aku tahu Mas ammar pasti akan pulang dalam keadaan basah.

 

“Terima kasih,” ucapnya yang langsung berlalu melewatiku. 

 

**

Jika awal aku menikah, karena ingin melihat ibu bahagia. Lalu yang trjadi sekarang, apakah itu tanda untuk aku mengakhiri semuanya? Ada dinda yang masih menyimpan rasa kepada Mas ammar, juga dengan lelakiku itu yang menyimpan rasa yang sama. Haruskah aku mundur?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nini
kisah yg rumit ..
goodnovel comment avatar
Nini
sedihhh ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status