04.40 p.m. (pukul 16.40) ANNE Gadis bergaun klederdracht itu menanti-nanti saat pembantunya yang perempuan enyah dari ruang makan. Maka saat ayahnya meminta pembantu itu untuk mengantar si gadis asisten ke sebuah kamar tertentu di lantai dua, Anne tak bisa menahan senyumnya. “Bagaimana aku hari ini, Papa?” “Cantik.” “Cuma cantik?” “Seperti malaikat.” “Malaikat yang mana?” “Papa cuma pernah lihat satu malaikat.” Gadis itu girang. Lalu mendadak diam. “Papa masih kangen Mama?” Ayahnya tersenyum, lalu mengelus kepalanya dengan lembut. “Setiap Papa melihatmu, Papa pasti jadi ingat Mama.” “Jangan sedih, Papa. Sebentar lagi aku akan jadi Mama.” Ayahnya mengernyitkan dahi. “Yah, kamu akan semakin mirip Mama.” Gadis itu belum puas. Ia yakin bahwa ayahnya masih juga belum mengerti perkataannya. “Aku akan jadi Mama.” Ayahnya tersenyum ganjil. “Baiklah. Terserahmu saja. Jamuan ini sekaligus makan malam kita. Kembalilah ke kamarmu, Anne. Sampai besok.” Gadis itu kesal. Anne mengge
06.28 p.m. (pukul 18.28)LISALisa sempat tidur sebentar tadi. Kurang dari satu jam, tapi rasanya seperti tidur semalam suntuk. Ia sendiri tak percaya bisa terlelap sore tadi dalam keadaan sedingin itu, apalagi dengan adegan Tuan Bram dan Katemi terulang-ulang dalam benaknya. Bahkan ia terbangun sebelum penghitung mundur di ponselnya selesai dan berbunyi. Biasanya terjaga di tengah-tengah tidur lelap seperti tadi akan membuat kepalanya pening, tapi kali ini ia benar-benar merasa begitu bugar. Dan tak seperti kebiasaannya melanjutkan tidur, kali ini ia langsung beranjak dari kasur. Pekerjaan menumpuk dan itu harus selesai sebelum fajar.Sekarang, Lisa berada di sebuah ruangan bawah tanah vila itu. Sendirian. Ruang itu cukup besar dan berfungsi sebagai gudang. Sebuah lampu berdaya 5 watt menggantung di tengah-tengah, sesekali berayun tertiup angin malam yang berhembus lewat lubang udara di bagian teratas salah satu sisi tembok yang masih berada beberapa jengkal di atas permukaan tanah.
07.13 p.m. (pukul 19.13) LISA “Apa yang kamu lakukan?!” Lisa terjungkal ke belakang. Kepalanya membentur tembok. Sambil menggosok-gosok tempurung belakang kepalanya, ia menoleh ke arah pintu. Itu Kris. “Apa ini!?” Pemuda itu memungut papan Ouija dari lantai. “Aku baik-baik saja,” balas Lisa. Nadanya menyindir. “Oh...” Kris mengulurkan tangan. Ini kali pertama Lisa melihat wajah Kris seperti itu. Pemuda itu tampak menyesal. Ia meraih tangan Kris. Tiba-tiba semua kesalnya hilang. “Dari mana kamu dapat ini?” “Papan itu?” Lisa menunjuk ke suatu arah. “Dari peti itu.” Kris menghampiri peti itu dan mengamatinya beberapa saat. “Celaka,” celetuknya. “Apanya?” “Celaka!” Pemuda itu berbalik. Wajahnya pucat. Lisa tahu papan itu memang benda celaka. Hanya ada kejadian ganjil selepas papan itu dikeluarkan. Tapi pasti ada penjelasan di balik ini semua.
06.40 p.m. (pukul 18.40) BRAM Ada yang mengetuk pintu kamarnya. Ketukannya lemah dan memiliki jeda yang berbeda antar ketukan, membentuk suatu irama. Sekilas ingatannya berlalu. Bram ingat bahwa hanya satu orang yang mengetuk pintu dengan irama seperti itu di vilanya. Ia berusaha mengingatnya kembali, tapi sosok itu hanya melintas sekilas saja. Ia ingat, tapi juga sekaligus lupa. Itu perasaan terburuk yang pernah ia rasakan sepekan ini. Bram menyerah untuk menggali ingatannya dan menghampiri pintu. Ia membuka kunci pintu, tapi sebelum tangannya benar-benar mengenggam gagang pintu, bongkahan logam itu bergerak memutar dengan sendirinya. Lalu seorang perempuan bergaun kledercracht menghambur ke pelukannya. Bibir perempuan itu menyentuh bibirnya. Anehnya, ia tak merasa risih. Ketika bibir mereka bertemu, ada jeda sejenak. Bukan karena keraguan, tapi karena kerinduan yang entah dari mana tiba-tiba meluap-luap. Se
07.21 p.m. (pukul 19.21) LISA Lisa benar-benar dibuat ternganga oleh adegan yang sedang terjadi di depannya. Di koridor lantai dua itu, ia menyaksikan Anne sedang menindih Katemi. Anne memang aneh, itu kenyataan, dan gadis bule itu rupanya benar-benar sinting. Setidaknya itu yang akan Lisa teriakkan selain berbagai macam umpatan yang biasa ia lontarkan. Akan tetapi, ia tetap bergeming dan membiarkan Kris sendirian menangani dua perempuan yang sekarang sedang berguling-guling di lantai. Ia harap lelaki kurus itu tahu apa yang harus dilakukan. Anne terlihat seperti anjing gunung yang liar dan buas, dan sepertinya bakal bertambah ganas kecuali mulutnya segera disumpal dengan tulang. Kris memeluk Anne dari belakang. Tangannya berusaha mengunci kedua pangkal lengan Anne. Pemuda itu berusaha menarik Anne, tapi gadis itu bisa mempertahankan posisinya dengan mengaitkan kakinya ke pinggang Katemi sementara tangannya m
07.00 p.m. (pukul 19.00) KATEMI Katemi berada di antara mereka: majikannya, Bram; si pembantu lelaki, Kris; dan bahkan anak majikannya, Anne. Mereka sedang duduk mengelilingi meja makan persegi dengan pakaian dan dalam ruangan yang serba putih. Ia sendiri sedang berkeliling mengisi mangkuk-mangkuk mereka dengan semacam sup secara bergantian. Ia mengucek rambut Anne, yang kemudian dibalas cemberut yang menggemaskan, tapi akhirnya berujung senyum lebar yang memperlihatkan deret gigi yang ramah. Di pengisian mangkuk berikutnya, ia menepuk-nepuk pundak Kris, yang membalasnya dengan senyum teduh dan anggukan ramah; “Love you,” bibir pemuda bergerak tanpa suara. Terakhir, ia meletakkan kedua tangannya di pundak Bram, yang kemudian berbalas sentuhan lembut dari tangan hangat lelaki tampan itu. Begitulah, seakan-akan mereka adalah keluarga paling bahagia di muka bumi. Meskipun ia sendiri sadar bahwa itu semua mimpi belaka, ia ingin menikmati setiap detiknya. Sampai pada suatu detik, saat ke
07.57 p.m. (pukul 19.57) LISA Lisa melipir di salah satu sisi kamar. Ia memandangi Anne yang begitu pulas di atas ranjangnya. Katemi menangis tak henti-henti di atas sofa. Wajahnya ia benamkan dalam pelukan Kris yang wajahnya masih berlepotan darah. Sementara Tuan Bram duduk di tepi ranjang, di samping Anne, hanya bergeming dan tampak tak begitu terpengaruh dengan kejadian barusan. Wajah Tuan Bram datar dan menurut Lisa itu tampak sangat alami daripada seulas senyum yang dibuat-buat sepanjang sore tadi. “Maaf atas ketidaknyamanan ini,” kata Tuan Bram tiba-tiba. Senyumnya kembali. Lisa balas tersenyum. “Tak apa,” Lisa berhenti sebentar, agak ragu, “Tapi, boleh saya minta penjelasan?” Tuan Bram melirik ke arah Kris dan Katemi. Keduanya masih terpaku di dudukan masing-masing. Lalu ia menatap Lisa. “Kita bicarakan di ruang santai. Ruangan yang tadi siang.” Lisa mengangguk, lalu mengekor di
07.58 p.m. (pukul 19.58) KRIS “Aku duluan,” kata Katemi, perempuan yang dulu membawanya ke Vila Di Pegunungan bertahun-tahun yang lalu. “Aku takut setan cilik itu akan terjaga dan beringas lagi.” Kris mengangguk. Pemuda itu melepaskan rangkulannya dan tersenyum sebagai upaya menghibur Katemi. Bagaimanapun, ia pernah sangat dekat dengan Anne dan julukan yang dilontarkan Katemi sebenarnya membuatnya sedikit risih. Namun, ia juga berhutang terlalu banyak pada Katemi untuk sekedar membela pendapatnya sendiri. Dalam segala ketidak-enakannya itu, ia hanya bisa berharap semoga kejadian seperti ini adalah yang terakhir kali. "Lagipula, kenapa ini terjadi lagi?"Ini semua pasti karena kelakuan gadis asisten itu yang membongkar papan berhuruf yang sudah disembunyikannya bertahun lalu, pikir Kris, tapi kemudian ia kembali menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya ia menaati perintah majikannya untuk merapikan gudang. Seandainya dia menurut, ia punya kesempatan sekali lagi mengamankan benda itu,