"Berhentilah terus-terusan memandangi ponselmu itu," kata Mellisa sambil membersihkan sisa-sisa make up-nya di depan meja rias, sesekali matanya melirik Laura yang masih di atas ranjang.
Laura bergeming tanpa menanggapi.
Mellisa tampak menghela nafas, berjalan menghampiri Laura yang entah telah berapa lama hanya bergelung di kasur. Wanita itu terus saja memandangi ponselnya yang bahkan tidak pernah berdering.
"Kenapa tadi kau terlihat panik dan langsung mengajakku pulang?" tanya Mellisa sambil berbaring di sebelah Laura.
Pertanyaan Mellisa sontak membuat Laura menoleh, dan kejadian beberapa waktu yang lalu kembali memenuhi otaknya.
Flashback on
"No, because I'm a wife."
Laki-laki bermata biru itu memiringkan wajahnya semakin mendekat, sontak membuat Laura menutup mata. Jantung Laura berdetak sangat kencang dan dia takut kalau laki-laki itu sampai bisa mendengar detak jantungnya.
Laura bisa merasakan nafas hangat yang menyapu wajahnya, membuat tubuhnya meremang.
"Seorang istri tidak pantas berada di tempat seperti ini tanpa suaminya."
Kalimat itu membuat Laura membuka mata, mendapati laki-laki itu pergi meninggalkannya begitu saja. Laura meraup udara sebanyak-banyaknya seakan semua udara di sekitarnya tadi telah terenggut paksa
Flashback off
Laura mengerjap beberapa kali, refleks juga menggelengkan kepala seakan ingin membuang bayangan itu dari kepalanya.
"Nothing... Hanya ada laki-laki gila yang aneh," jawab Laura asal.
Mellisa menyipitkan matanya curiga dengan jawaban Laura. "Lalu apa yang membuatmu menangis tadi waktu sebelum berangkat?"
Pandangan Laura menerawangan ke atas, sesekali dia menghela nafas. "Malam ini Matheo tidak pulang lagi, dan seharian ini dia tidak menghubungiku. Bahkan saat aku mencoba menelponnya berkali-kali, dia hanya bilang kalau sibuk dan langsung mematikan telponnya."
"Apa kau tidak menanyai alasannya?" tanya Mellisa yang hanya dijawab dengan gelengan oleh Laura.
"Percuma," jawab Laura sambil bangkit dari tempat tidur untuk berlalu ke kamar mandi.
Mellisa hanya bisa menghela nafas.
"Kau terlalu baik untuknya Laura!" teriak Mellisa yang masih bisa didengar oleh Laura.
Laura mulai menanggalkan semua kain yang membalut tubuhnya, menyisakan kulit polos yang tampak berkilat. Tangannya terulur untuk untuk memutar kran shower, menyalakan air dingin di malam yang dingin. Dia membawa tubuhnya masuk ke dalam guyuran air, sesekali wajahnya menengadah untuk merasakan tetesan air yang cukup lebat.
Terkadang Laura merasa sangat bosan dengan rumah tangganya, bosan dengan hubungannya bersama Matheo. Sesekali terbesit rasa ingin berpisah, tapi dia terlalu takut hidup sendiri. Dia hanya bisa menyiasati untuk tidak hamil dalam waktu dekat, karena Laura sama sekali belum yakin pada masa depan rumah tangganya.
Laura mendesah lelah, mulai mematikan shower saat sudah merasa kedinginan. Dia meraih salah satu handuk bersih, lalu melilitkan di tubuh polosnya. Kakinya melangkah keluar dari kamar mandi, dan menemukan Mellisa telas tidur pulas di atas kasur. Sekarang dia memang memilih menginap di apartemen Mellisa daripada harus menghabiskan malam minggu sendirian dirumah.
==*==
Sinar matahari menerpa wajah Laura yang membuatnya mengernyit tidak suka, perlahan dia membuka matanya dan mulai bangkit bersandar di kepala ranjang. Laura memijat pelipisnya yang terasa berdenyut karna semalam dia tidak bisa tidur, memikirkan Matheo yang seakan benar-benar melupakannya.
Laura menghela nafas lelah, mulai berjalan ke kamar mandi. Dia berdiri di depan wastafel untuk mencuci muka lalu menggosok gigi, sekarang wajahnya terlihat lebih segar dan tidak sepucat tadi.
Dia segera keluar dari kamar, menuju ke arah dapur. Hal pertama yang dilakukan adalah membuka lemari es untuk mencari sesuatu yang bisa di makan. Laura hanya bisa mendengus kesal karena tidak menemukan apapun yang bisa dikatakan sebagai makanan, hanya ada segala jenis minuman berkadar gula tinggi.
"Lalu apa yang selama ini dimakan oleh gadis ini," gerutu Laura sambil menuang air di gelas.
Dia kembali melanjutkan langkah menuju ke ruang televisi. Di sana dia mendapati Mellisa sedang asik mengombrol dengan seorang laki-laki yang sepertinya tidak asing. Laura menyipitkan matanya, mencoba mengenali orang itu.
'Oh shit... Kenapa laki-laki ini ada di mana-mana,' batin Laura.
Laura memilih untuk munduk dua langakh, berniat berbalik badan untuk kembali ke kamar sebelum sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Apa dr. Walker juga tinggal di sini?" tanya laki-laki itu dengan senyum miring.
"Oh Laura, kau sudah bangun? Kemarilah!" seru Mellisa sambil menepuk sofa kosong di sebelahnya.
Dengan berat hati Laura menghampiri mereka dan duduk di sebelah Mellisa. Posisinya duduk tepat di depan laki-laki bermata biru itu.
"Kau tau Laura, ternyata dr. Alexander juga tinggal di apartemen ini. Tadi tidak sengaja kita bertemu saat jogging, dan aku memintanya untuk mampir." Mellisa menjelaskan kepadanya dengan wajah berbinar, tapi Laura hanya menunjukkan ekspresi seakan tidak peduli.
"Cukup panggil aku Christian kalau kita sedang di luar dan jangan terlalu formal," sela Christian tanpa mengalihkan pandangannya dari Laura.
"Apakah aku sudah menjawab pertanyaanmu kemarin Laura?" tanya Mellisa.
Laura hanya menaikkan sebelah alisnya tak mengerti.
"Ini adalah dr. Christian Alexander, dia adalah dokter spesialis bedah yang sekarang bekerja di Rumah Sakit kita."
Laura spontan langsung melihat ke arah Christian setelah mendengar penjelasan Mellisa.
"Dia terlihat masih muda untuk ukuran dokter spesialis bedah," batin Laura dengan padangan penasaran.
"Umurku 23 tahun kalau kau ingin tahu," jawab Christian seolah bisa mendengar kata hati Laura.
Christian terus menatap lekat ke arah Laura, sedangkan wanita itu seakan tak peduli. Walaupun jauh di dalam dirinya merasakan gelenyar aneh yang mengaduk-aduk perutnya saat ini.
"Jadi kenapa semalam kalian terburu-buru untuk pulang?" tanya Christian lagi, dan membuat Laura mengalihkan pandangan ke arah Mellisa seakan meminta penjelasan.
"Christian ini adalah sepupu dari temanku yang mengadakan pesta," jawab Mellisa seakan mengerti arti tatapan Laura. "Dan ya... Kita terburu-buru pulang karna Laura bilang ada laki-laki gila yang aneh."
"Uhhuk...uhhukkk...." Christian terbatuk-batuk karena tersedak orange juice yang sedang dia minum.
Sontak Laura langsung melotot kearah Mellisa, tapi wanita itu merasa tidak mengerti apa-apa. Mellisa hanya menggerakkan bibirnya membentuk kata 'why' tanpa suara.
Laura hanya bisa mendesah pasrah, sudah pasti sekarang wajahnya terlihat merah karna dia memang telah merasakan serangan hangat di pipinya.
Akhirnya suara dering dari telepon Mellisa membantunya dalam situasi yang sangat awakward ini. Sahabatnya itu terlihat segera mengangkat teleponnya dan meninggalkan mereka berdua.
"So... Laura, kenapa seorang istri malah tidur di apartemen seorang teman? Dan siapa laki-laki gila yang aneh itu?" tanya Christian dengan senyum geli.
"Its not your bussines, Sir"
#To be continue.....
Laura kembali ke kamar Mellisa setelah tadi Christian pamit untuk kembali ke apartemennya. Laura bergegas melihat ponselnya yang terus berdering, nama Matheo terpampang di sana."Kau di mana Laura? Aku sudah pulang daritadi dan kau tidak ada, apa kau tidak membawa ponselmu?puluhan kali aku menelpon tapi kau baru mengangkatnya," cerocos Matheo di sebrang sana. 'Apa apaan ini, harusnya aku yang marah, kenapa sekarang jadi dia yang marah' batin Laura kesal."Aku menginap di apartement Mellisa," jawab Laura sambil berjalan menuju balkon, menikmati angin musim semi sangat segar menerpa wajahnya."Pulanglah, aku menunggumu," kata Matheo tanpa basa basi dan langsung mematikan telephonenya.Laura menatap layar ponselnya jengah, tapi bagaimana pun juga dia hanyalah seorang istri yang memang seharusnya ad di rumah saat suaminya pulang. Dia kembali masuk ke dalam kamar untuk mengemasi barangnya.Laura tengah memasukka baju kotor kedalam tas, bersaan dengan itu, kamar terbuka. Terlihat Mellisa y
Laura mematut dirinya di depan cermin. Dia terlihat mengenakan atasan berbahan chiffon warna putih, dipadukan dengan skiny skirt selutut warna cream, dan coat oversize warna senada. Perpaduan tersebut telah menyempurnakan penampilannya pagi ini. Laura memang bukan tipe wanita yang terlalu mementingkan penampilan, karena hanya dengan make up tipis dan rambut panjangnya yang di ikat kebelakang dirasa sudah cukup baginya. Satu keyakinan yang selalu dia pegang 'Cantik itu tidak harus berlebihan'.Mungkin bagi orang lain penampilannya terlihat membosankan, tapi selama Matheo tidak pernah komplen, itu tidak akan menjadi masalah buatnya. Setelah dirasa cukup, dia turun ke bawah untuk menuju ke ruang makan, melakukan rutinitas sarapan bersama dengan suaminya. Dia duduk di hadapan Matheo, menatap kebiasaan suaminya itu dengan pandangan kesal. Terlihat Matheo sedang menyesap kopinya dengan pandangan tak lepas dari posel. "Dari mana kau mengenal laki-laki kemarin itu?" tanya Matheo setelah me
Sudah tiga puluh menit Laura menunggu di depan bioskop, tapi masih tidak ada tanda tanda akan kehadiran Matheo. Laura mendesah frustasi sambil merogoh ponselnya di dalam tas berniat untuk menghubungi Matheo, tapi ternyata telah ada pesan masuk dari Matheo.From : MatheoSayang maafkan aku, hari ini aku tidak bisa menemanimu nonton. Karena ada klien yang ingin bertemu saat ini juga. Aku janji besok kita akan makan malam di luar.'shit...' umpat Laura kesal. Jari-jarinya mulai bergerak lincah menekan tanda telepon di pojok atas layar poselnya, berusaha menghubungi Matheo. Sayangnya tidak ada jawaban dari pria itu.Laura berjalan dengan kepala tertunduk lesu. Tidak mungkin sekarang dirinya menghubungi Mellisa untuk memintanya datang, karena wanita itu pasti akan marah besar terhadap Matheo dan Laura tidak ingin Matheo disalahkan. Dirinya terlalu percaya bahwa Matheo benar benar bekerja untuk masa depan mereka.Alih alih pulang kerumah, Laura malah membelokkan langkahnya ke sebuah caffe
Matahari terasa hangat, semilir angin terasa lembut menyapu kulit, bunga bunga bermekaran dengan indahnya. Terlihat seorang gadis kecil dengan rambut panjang sebahu yang tergerai, sedang berlarian kecil memetik bunga. Sebuah senyum indah tak lepas dari bibirnya.'Braakkk' Gadis itu berjingkat kaget saat mendengar sesuatu terjatuh, disertai pekikan suara seorang anak laki laki. Gadis kecil yang tak lain adalah Laura itu berlari menghampiri sumber suara, terlihat seorang anak laki laki duduk di samping sepeda sambil memegangi lututnya yang berdarah. Anak lelaki itu menatap tajam ke arah Laura, tiba-tiba Laura berlari meninggalkan anak lelaki itu.Tak berselang lama Laura datang lagi dengan kotak putih di tangannya. Dia duduk di depan anak lelaki tadi, dengan tangan mungilnya yang mulai mengobati luka anak lelaki itu seakan dia adalah dokter profesional."Aku kira kau berlari karena takut padaku," kata anak laki laki itu yang membuat Laura mendongak menatapnya.Pandangan mereka bertemu,
Hari ini Matheo benar benar menepati janjinya. Dia menjemput Laura tepat saat jam kerja Laura telah selesei. Mereka menuju ke restoran yang cukup romantis untuk makan malam. Seharusnya Laura sangat bahagia karna sangat jarang sekali Matheo mengajaknya pergi berdua apalagi dinner romantis seperti saat ini, tapi entah kenapa Laura tidak bisa menghilangkan kejadian beberapa jam yang lalu dari pikirannya. Dia masih memikirkan bagaimana ciiuman Christian yang terasa lembut dan menggebu gebu terasa secara bersamaan, benar benar membangkitkan gairah liarnya yang tak pernah dia rasakan saat bersama Matheo. Bahkan dia masih merasakan panas bibir Christian di bibirnya saat ini, dia juga selalu merasa seperti sebuah de javu saat bertatapan dengan Christian.'ah... Aku benar benar sudah gila' batin Laura sambil menggelangkan kepalanya pelan.Matheo terlihat tidak suka dengan sikap Laura yang mengabaikannya."Apa ada yang menggangu pikiranmu, Laura?" tanya Matheo kesal."Ah maafkan aku... Aku h
Laura pergi ke poli bedah untuk bertanya pada perawat di sana tentang keberadaan Christian, tapi ternyata Christian sedang tidak ada jadwal praktek hari ini.Laura meminta nomor ponsel Christian dan berusaha menghubunginya, tepat pada dering kedua, Christian mengangkatnya."Merindukanku sweety," jawab Christian di seberang sana tanpa basi basi.Laura mengeryit bingung dengan sapaan Christian, takut kalau pria itu salah orang. "Ini aku Laura.""I know... apa kau merindukanku?" Sudah pasti di sana pria itu tengah tersenyum jahil.Laura hanya memutar matanya, walaupun dia tahu Christian tak akan melihatnya. "Ada hal penting yang ingin ku tanyakan padamu.""Ok, datanglah kemari, aku menunggumu sweety," jawab Christian langsung mematikan ponselnya dan mengirimkan alamatnya untuk Laura."Mungkin inilah waktunya," ucap Christian lirih sambil memegang sebuah map coklat di tangannya.Ternyata Laura datang lebih cepat dari dugaannya. Laura tampak memperhatikan interior penthouse milik Christian
"Karna aku mencintaimu Laura, aku sangat mencintaimu dari dulu dan sampai kapanpun."Laura sangat kaget dengan pernyataan Christian. Dia segera bangkit hendak pergi saat Christian menarik tangannya."Lepaskan aku," ucap Laura dengan nada sangat dingin."Aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan kondisi seperti ini," ucap Christian dengan nada khawatir.Laura menyentak tangan Christian sampai pegangannya terlepas dan berjalan menuju pintu. Laura telah sampai pada pegangan pintu sampai terdengar ucapan Christian."Stop here Laura, or I'll fuck you right now," ucap Christian dengan suara yang dalam dan terdengar menyeramkan.Seketika tubuh Laura membeku di tempat, dengan sebelah tangan yang mengenggenggam erat handle pintu."Aku akan mengantarmu pulang," kata Christian dan langsung menarik Laura keluar menuju basement."Tapi.." "Mobilmu aman di sini sweety," kata Christian memotong kata kata Laura.Mereka berkendara dalam diam, tidak ada yang membuka suara dan sibuk dengan pikiran masin
"I want you Cristian." Itu adalah kata kata terindah yang pernah Christian dengar. Christian menindih tubuh Laura dan kembali menciium bibir Laura yang bagaikan candu untuknya. "Bibirmu sangat manis sweety," bisik Christian di sela ciiumannya. Laura benar benar merasa berharga di bawah Christian. Laura mendesah saat lidah Christian melesak masuk, membelit dan mengeksplore setiap sudut mulutnya. Christian merobek bagian depan piyama Laura membuat seluruh kancingnya terlepas. Pandangan Christian menggelap saat tahu tidak terdapat penutup lagi di dalamnya. Laura seketika merona saat dia sadar kalau dirinya tidak memakai bra. Christian menatap dada Laura dengan tatapan memuja. Dada Laura terlihat kencang dengan ujung merah muda yang sudah menegang. "Nangan menatapinya seperti itu Christ, kau membuatku malu," ucap Laura mencoba menutupi dadanya yang langsung ditahan oleh Christian. "Dada mu saat indah Laura, dan ini akan menjadi favorite ku," jawab Christian yang langsung mengarahka