“Aku mendengar cukup banyak cerita tentangmu dari orang-orangku, Nona McRay.”
Seperti yang sudah kau tahu, Sun dan anggota rumah Melrose saat ini sedang mengadakan pesta teh bersama istri dari pemimpin geng mafia terkenal di New Orleans, Ashtelle Odolff. Ucapan yang tadi itu berasal dari bibir meronanya, sang bintang utama hari ini.
Wanita itu benar-benar memancarkan imej istri seorang pemimpin. Caranya menggunakan bahasa tubuh, berpenampilan dan bahkan caranya berbicara, anggun sekali. Alih-alih terlihat seperti istri dari pemimping organisasi kejahatan, dia lebih pantas disebut seorang permaisuri dari kekaisaran yang besar.
Sun sejak tadi hanya terdiam, mendengarkan perbincangan wanita-wanita itu tanpa berbicara. Sebenarnya hanya memperhatikan bagaimana indahnya Ashtelle yang hanya mengobrol saja, dia bisa jadi termangu dan terpesona selama beberapa detik. Tapi ketika dilihat dari sudut pandang Ashtelle, semuanya jadi berubah. Dia mengira Sun sejak tadi diam saja karena tidak bisa memasuki percakapan. Itu mungkin menjadi alasan Ashtelle yang semula asyik menanggapi obrolan para wanita, kini beralih untuk mengajak Sun berbicara.
Sun mengulas senyum tipis. “Saya harap itu adalah hal-hal yang baik, Nyonya Ashtelle,” ujarnya dengan suara lembut dan sopan. Ashtelle meresponsnya dengan senyuman. Sepertinya Sun sudah diajari banyak hal di Melrose selama satu minggu kedatangannya.
“Karena ini adalah kali pertama aku melihatmu, apa tidak masalah jika kita sedikit mengobrol di depan para wanita ini, Nona McRay?”
Sun mengerjap, sejenak mencerna sehingga respons tidak spontan ia keluarkan. Dia tidak tahu apakah ada maksud lain dari ‘mengobrol’ yang Ashtelle ucap, tapi karena wanita itu tersenyum sangat manis dan hangat kepadanya, Sun rasa dia tidak perlu untuk merasa curiga.
Gadis dengan gaun biru langitnya itu mengangguk. “Tidak masalah, Nyonya.”
Ashtelle menatap Sun, lekat dan cukup lama tanpa berbicara apa-apa. Terlihat kalau dia ingin menangkap lebih jelas visual Sun yang dipikirnya menjadi daya tarik utama mengapa Noah sampai mau menjadikannya sebagai kekasih.
Melihat itu, tampaknya Ashtelle memang benar-benar mau mengobrol dengannya. Sun kira itu hanyalah basa-basi dan akan mengalir seiring perbincangan di meja itu, tapi ternyata bukan, ya .... Apa ini adalah sesi obrolan pribadi?
Jika iya, maka Sun sangat gugup saat ini.
“Aku ingin tahu bagaimana Noah bisa membawamu ke tempat ini, Nona ....”
Sun termangu lagi, melirik sekitar secara gugup. Dia tersenyum kaku seraya menundukkan kepalanya. “Sebenarnya itu bukan sesuatu yang indah seperti adegan dalam film romansa, Nyonya.”
“Kau tidak mau menceritakannya padaku, Sun?” tanya Ashtelle dengan memanggil nama panggilan Sun agar terdengar lebih akrab, dan semoga saja dengan begitu obrolan mereka bisa jadi lebih relaks.
“Bukan begitu, saya hanya tidak berpikir sebelumnya untuk menceritakan kisah itu lagi.”
Ashtelle tersenyum, mungkin saja tertawa dengan napas halus yang disembunyikannya. Wanita itu menutup mulutnya dengan elegan agar tidak ada suara tawa dengan keras keluar dari sana. Baginya, wajah gugup Sun terlihat lucu.
“Nona Sun ... apa anakku melakukan hal yang buruk saat menjemputmu?”
Sun menaikkan tatapannya ketika ia mendengar Ashtelle menyebut Noah sebagai anaknya. Sun berpikir, rupanya Noah memang anak dari pemimpin Little Boy. Itu bukan hanya sekadar candaan atau ulah para wanita yang sengaja melebih-lebihkan agar Sun terpesona dengan sosok Noah Bellion itu.
“Saya pernah bertemu Noah tiga tahun lalu, itu hari pertama ayah saya bertemu kembali dengan Noah setelah berpisah untuk waktu yang lama.”
“Benarkah? Jadi sebenarnya kau sudah mengenal Noah?” Emma bertanya dengan suara tingginya, membuat Sun dan yang lainnya agak terkejut. Sadar akan ketidaksopanannya, Emma tersenyum kikuk sambil melihat Ashtelle. “Maafkan aku, Nyonya,” ujarnya dengan sesal dan malu.
Mumpung sudah bertanya, maka Sun akan menjawab pertanyaan Emma selagi melanjutkan ceritanya. “Saya tidak mengenal Noah saat itu baik tiga tahun setelahnya. Ingatan itu seperti pertemuan masa kecil yang singkat dan terlupakan bersama momen-momen yang menemani saya tumbuh dewasa.”
Lucy tampak tidak tertarik dengan obrolan, tapi dia tetap menanggapi selagi menyesap teh mawar miliknya. “Jadi kau terkejut hari itu karena tidak mengingat Noah lagi di pertemuan kedua kalian, ya ...?”
“Benar, Nona Lucy. Saya ingat dengan pertemuan tiga tahun lalu itu ketika saya bangun tidur pagi ini. Saya tidak sepenuhnya yakin, tapi sebagian besar keyakinan saya berkata itu adalah Noah.”
Kembali pada Ashtelle yang kini memajukan tubuhnya, ingin berbicara lebih pada Sun dengan bertanya, “Jadi ... apa yang dia lakukan di hari pertama pertemuan kalian setelah tiga tahun itu?”
“Dia membunuh dua orang.”
“Oh Tuhan ...,” ucap Ashtelle dengan terkejut. Dia tidak diberi tahu apapun oleh William mengenai urusan tentang Little Boy, termasuk dengan tindakan Noah yang ternyata kembali membunuh.
Sebagai orang yang bertahan hidup dalam dunia bawah, membunuh tentu bukanlah hal yang aneh untuk didengar. Ashtelle tidak menentangnya kalau hanya dengan cara itulah orang-orang seperti suaminya bisa hidup. Ashtelle juga yakin kalau sebenarnya Noah sudah banyak melakukan hal seperti itu sejak terakhir kali yang Ashtelle tahu, tapi dia bahkan tidak menyangka kalau Noah akan membunuh ketika dirinya menjemput seorang gadis untuk dibawa tinggal bersamanya.
Ashtelle benar-benar memasang raut cemas sambil menggerakkan jarinya. “Aku takut dia akan melamarmu dengan kepala manusia nantinya ...,” gumamnya yang langsung mengundang perhatian Catherine.
“Aku mendengarnya, Nyonya,” ucap Catherine, seakan sedang memergoki orang yang berkata semabarangan. Ashtelle tersenyum malu, kemudian kembali menghadap Sun.
“Noah memang anak yang tenang. Tapi sebenarnya, dia mengalami kesulitan untuk mengendalikan hasrat membunuh seseorang. Aku harap kau memakluminya, Sun.”
Sun dengan susah payah menarik senyum, kendati saat ini dia merasa amat cemas dan terancam.
Apa-apaan itu? Jika Noah yang meminta ibunya untuk mengatakan itu agar Sun berhenti waspada kepadanya, maka Sun benar-benar akan lari dari mansion ini dengan segera.
Apakah logis meminta Sun untuk memaklumi sifat Noah? Dia itu hanya monster pembunuh yang berlindung dibalik kalimat ‘kesulitan mengendalikan hasrat membunuh’. Apa dia sedang mengemis rasa iba dari Sun?
“Ba-baik, Nyonya. Akan saya coba.”
Melihat raut muka Sun ketika berkata itu, Alexa mendekatkan wajahnya ke Lucy. “Lihatlah Nyonya Ashtelle yang sedang berusaha mencarikan istri untuk anaknya.”
“Dia takut Noah tidak akan menikah karena hobi gemar membunuhnya itu, hihihi.”
Ya ... dengan ukuran meja yang tidak sampai membelah satu provinsi, Ahstelle tentu saja mampu mendengar percakapan Alexa dan Lucy. Wanita yang berusia hampir 50 tahun itu berucap, “Alexa, Lucy ... kalian perlu trik lebih andal untuk membicarakanku diam-diam di atas meja sekecil ini.”
Alexa dan Lucy gelagapan, takut akan dihukum atau dipermalukan. Lucy hanya melirik dan lanjut menyesap tehnya, sementara Emma sama sekali tidak peduli. Gadis itu hanya fokus pada makanan manis yang tersaji di atas meja.
Melihatnya, ide usil Lucy muncul. Dia yang duduk paling dekat dengan Emma, mendekatkan wajahnya ke wanita itu dan berbisik, “Kalau kau gemuk karena memakan gula-gula ini, Draven akan membuangmu seperti melepas babi ke hutan rimba.”
Emma berhenti mengunyah, lalu matanya yang membulat kini mengarah pada Lucy dengan geram. “Lucy ...! Berhenti menjahiliku! Aku hanya ingin makan dengan tenang!” katanya dengan nada merajuk. Lucy tidak peduli dan hanya mengalihkannya dengan sok sibuk meminum teh.
Sun dan yang lainnya hanya bisa tertawa melihat tingkah Emma yang mudah kesal dan Lucy yang senang menggodanya. Kemudian tiba-tiba saja, Sun kehilangan keinginan untuk tertawa dan memilih untuk memandang kebun serta langit yang tampak damai.
Ashtelle yang menyadari itu, kemudian beranjak dari duduknya. Dia mengangkat gaunnya agar bisa berjalan mendekati Sun. Tidak mendekati sepenuhnya, karena dia hanya berdiri untuk memandang langit yang sama dengan Sun.
“Noah itu anak lelaki yang baik dan manis. Dia anak dari sepasang suami istri yang amat beruntung,” ujarnya tanpa sebab, membuat Sun menatapnya dan bersiap memprotes pada bagian ‘anak baik’ itu, meski dalam diam. Tapi itu digagalkan oleh ucapan Ashtelle selanjutnya. “Tapi sepasang insan yang beruntung itu bukan aku dan William.”
Sun membatu, tiba-tiba saja otaknya jadi lamban mencerna. “Maksudnya ...,” ia berbicara dengan terbata dan gugup.
Ashtelle melihatnya dan tersenyum, mengurangi ketegangan. “Anak yang sangat baik itu, tentunya tidak akan diberikan pada pendosa seperti William, kan?”
Sun beranjak dari kursi, berjalan mendekati Ashtelle yang berdiri di dekat pagar bunga. Sementara Catherine meminta para wanita untuk melanjutkan obrolan mereka, agar tidak terganggu dan tidak mengganggu percakapan Ashtelle juga Sun yang terdengar seperti sedang membicarakan urusan pribadi.
Kembali pada Ashtelle, wanita itu memandang langit dengan senyum tipis dan raut sendunya. Sun tidak mengerti kenapa membicarakan Noah membuatnya memasang wajah seperti itu, seakan Noah mengingatkannya akan sesuatu yang menyedihkan.
“Noah bukan anak kandungku, Sun. Dia itu hanyalah bibit yang surga tinggalkan, dan sayangnya dia dibesarkan di dalam sebuah neraka.” Ashtelle menundukkan kepalanya, kali ini rautnya terlihat menyesal. “Aku menyayangkan anak yang baik sepertinya tumbuh menjadi lelaki yang dingin seperti sekarang.”
“Anda tidak boleh menyesal karena sudah membesarkan sebuah nyawa, Nyonya. Anda melakukan perbuatan yang baik.” Sun berkata demikian, semata-mata untuk menghibur Ashtelle. “Karena meski dibesarkan dalam keluarga domba, seekor anak srigala pada akhirnya akan menjadi buas jika dia tetap ingin mempertahankan sifat buasnya. Itu bukan masalah di mana dia dibesarkan, lagipula saya berpikir kalau anda tidak pernah berniat membesarkannya menjadi seorang pembunuh, kan?”
Ashtelle memandang Sun dengan senyum cerahnya.
Rupanya Sun sama sekali tidak mengerti tentang dunia bawah ini, ya .... Tuturnya dalam hati. Tapi ucapan gadis itu memang benar, Ashtelle tidak pernah ingin membesarkan anaknya menjadi seorang pembunuh seperti William. Kata-kata yang dia ucapkan juga terdengar seperti kalimat bijak dari seorang tua, jadi Ashtelle akan mengingatnya baik-baik.
“Kau gadis yang sangat polos, Nona McRay.” Ashtelle bergerak menyentuh kepalanya, mengelus dengan halus tanpa membiarkan senyumnya pergi.
Sun hanya diam dan tersenyum. Dia sangat tersanjung ketika Ashtelle menyebutnya sebagai gadis yang polos, ya meski gadis yang polos itu sebenarnya merencanakan banyak hal untuk melarikan diri dari Noah-nya.
“Terima kasih, Nyonya.” Ashtelle meresponsnya dengan anggukan.
“Aku tidak akan bertanya lebih lanjut soal pertemuanmu dengan Noah ataupun alasan apa yang membuatnya membawamu ke sini. Kalau aku perhatikan, gadis sepertimu tampaknya tak akan mau dipaksa ke sini meski dengan uang sebagai tawarannya.”
“Ah ... anda benar, Nyonya. Saya ada di sini karena Noah berkata saya adalah tebusan untuk utang yang mendiang ayah saya miliki.”
“Jadi ... apa Noah mengancammu dengan sesuatu agar kau mau ke tempat ini? Bersama dengannya?” Ashtelle bak bisa mengetahui apa yang terjadi, sepertinya dia sangat mengenal Noah sampai ke kebiasaannya.
Sun hanya tertawa hambar, menjawab ‘iya’ tanpa perlu mengeluarkan suara. Ashtelle tersenyum, memaklumi karena memang seperti itulah cara kerja seorang mafia. Dia bahkan bersyukur karena kali ini Noah tidak perlu sampai melukai seseorang hanya untuk mendapatkan apa yang dia mau.
“Tapi aku senang karena kau memutuskan untuk ikut Noah ke tempat ini, Sun,” ujar Ashtelle, membuat Sun yang semula memandangi taman berganti menuju wajah cantiknya yang tak samar meski usianya tak lagi muda.
Sun meminta penjelasan. “Apakah anda senang karena akhirnya Noah memiliki seorang wanita setelah tiga tahun lamanya?”
Asthelle tertawa kecil, meski Sun tidak tahu di mana letak lucunya ucapannya barusan. “Aku terdengar seperti seorang ibu yang sedang berusaha mencarikan wanita untuk anak laki-lakinya, ya?”
Sun termangu, tiba-tiba lidahnya kaku untuk menjawab. “Ti-tidak begitu juga, Nyonya.”
“Aku senang karena Noah mau kembali membuka hubungan dengan orang lain.” Masih tidak merespons, Sun tampak bingung akan ucapan Ashtelle barusan. “Kau pastinya tahu kalau Noah itu sulit sekali membangun hubungan yang baik, bahkan dengan rekan satu timnya. Mendengar Noah membawa seorang gadis ke mansion ini membuatku seperti mendengar kabar baik. Setidaknya, dengan membangun relasi yang baik dengan orang-orang, dia tidak akan melupakan sifat yang diturunkan orang tuanya.”
Sun membisu beberapa saat, matanya fokus pada wajah Ashtelle yang kini tampak bahagia ketika ia kembali membicarakan tentang Noah di masa lalu. Sun jadi penasaran, apa sebelumnya Noah tidak bersikap seperti ini? Apa dulunya Noah adalah orang yang hangat juga penuh belas kasih?
“Nyonya Ashtelle ...,” panggil Sun. Rasa penasaran itu tak mampu ia tahan, ia harus atasi sekarang dengan bertanya langsung pada ibunya Noah. “Apa Noah adalah anak yang baik?” tanya Sun kemudian.
Ashtelle membalas tatapannya, senyum teduh kembali ia suguhkan. “Iya, dia anak yang sangat baik.” Ashtelle berjalan, bergerak lebih jauh dari meja pesta teh dengan serta merta menarik Sun untuk mengikutinya di belakang. “Aku bertemu Noah saat usianya 6 tahun, saat itu keluarganya masih utuh dan sangat harmonis.”
“Noah memiliki keluarga sebelumnya?”
“Tentu saja punya! Aku sudah bilang kalau dia adalah keberuntungan untuk orang tuanya, kan?” Sun merasa sedikit terkejut, dia pikir ungkapan itu hanya sekadar ucapan saja. Sungguh! Sun benar-benar mengira kalau Noah adalah anak yang besar di panti asuhan dan kemudian diadopsi oleh William dan Ashtelle. Rupanya Noah memiliki orang tua dan kehidupan normal seperti anak laki-laki pada umumnya ....
Ini jadi semakin menarik. Sun terus mengikuti langkah Ashtelle dalam senyap. Meski begitu, dia fokus mendengarkan. Ashtelle pun melanjutkan kata-katanya. “Saat itu adalah tahun keduaku menikah dan aku belum memutuskan untuk memiliki anak. Tapi ketika aku melihat Noah, entah kenapa jiwa keibuanku muncul dengan sendirinya. Aku menyukai suara Noah, aku menyukai senyum Noah. Aku ingin memiliki anak seperti Noah.”
“Apa Noah semenggemaskan itu saat dia kecil?”
“Haha ...,” Ashtelle tertawa, Sun tidak tahu mengapa. Mungkin saja wanita itu mengingat satu bagian dari kenangan Noah kecil yang paling membekas dalam benaknya, dan tentu saja itu kenangan yang indah untuk diingat sampai dia bisa tertawa sebahagia itu. “Noah itu anak yang sangat manja dan cengeng. Melihatnya menangis karena digigit kumbang bunga membuatku ingin sekali mengelus kepalanya.”
Sun terdiam dengan napas tertahan, menahan ngeri ketika membayangkan adegan digigit kumbang bunga. Dia jadi ingat masa kecilnya yang kerap menangis selepas mengunjungi ladang bunga, semua itu karena kumbang-kumbang bunga yang datang dan menggigitnya dengan sengaja. Kumbang bunga adalah musuh masa kecil Sun.
Tapi ketika ia kembali terdiam dan memikirkannya, dia tanpa sadar tersenyum. Jika saat itu ia bisa melihat wajah Noah kecil yang menangis penuh drama karena seekor kumbang yang telah menggigitnya, Sun mungkin saja akan melakukan hal yang Ashtelle impikan mengingat selain bunga, dirinya juga menyukai anak-anak.
“Itu pasti sangat menggemaskan,” gumam Sun, mungkin juga tanpa dia sadari.
“Apa kau sedang membayangkan jika kau berada di sana saat itu, kau juga akan melakukan hal yang ingin aku lakukan saat melihat Noah kecil, Sun?” Ashtelle tiba-tiba menghentikan langkahnya, lalu bertanya demikian pada Sun.
Gadis dengan surai pirang yang dibuat lurus itu tentu saja memasang ekspresi terkejut. Dia tidak mau terlihat kikuk saat menjawab, tapi justru karena itulah dia jadi gugup sekarang. Raut antusias Ashtelle sebenarnya membebaninya, tapi Sun memilih untuk mengabaikan itu dengan mengalihkan pembicaraan.
“Aku jadi penasaran dengan apa yang anak lucu itu alami sampai dia jadi sebengis saat ini, Nyonya.” Ucapan Sun mengalihkan atensi Ashtelle. Wanita paruh baya itu berangsur menyimpan kembali senyumnya, wajah antusiasnya jadi hilang dan membuat Sun merasa dirinya sudah lancang bertanya demikian. “Oh, apakah aku sudah salah berkata, Nyonya?”
Sun hanya berniat untuk bertanya, dan ya ... sekalian mengalihkan pembicaraan dari topik yang membebaninya. Dia sama sekali tidak menduga kalau topik baru yang dia bawa malah jadi membebani Ashtelle dengan perasaan tak nyaman yang kentara dari raut wajahnya.
Ashtelle menggeleng, lalu berusaha untuk tersenyum agar Sun tidak terlalu merasa bersalah. “Tidak masalah, Sun,” ujarnya, menenangkan Sun yang diambang rasa bersalah. “Sebagai wanitanya, kau perlu tahu seperti apa dirinya—setidaknya dari kulit luarnya saja.”
Karena sudah berkata seperti itu, Sun terima saja jika Ashtelle memilih untuk menceritakannya. Toh sebenarnya Sun memang berniat mencari tahu tentang Noah lebih dalam lagi, agar dia bisa mencapai tujuannya.
Ashtelle kembali buka suara, “Noah adalah anak tunggal dari pasangan pengusaha besar di New York, keluarga Bellion yang disematkan menjadi nama belakangnya adalah keluarga terpandang yang terkenal dalam dunia perbisnisan New York. Noah lahir dan tumbuh menjadi anak yang normal, dia senang bercanda dengan teman-temannya, hangat dan juga lucu. Setidaknya itulah dirinya, sampai usianya memasuki tujuh tahun.”
“Apa yang terjadi ketika dia berusia tujuh tahun?” tanya Sun, tampak dia merasa semakin tertarik untuk mendengar cerita tentang Noah.
“Keluarganya hancur.” Sun membulatkan matanya, amat terkejut dengan jawaban Ashtelle meski itu belum semuanya. “Ayahnya ditipu oleh pamannya dan bangkrut. Stres berkepanjangan membuat ayah Noah putus asa dan kehilangan cahayanya, dan berakhir bunuh diri.”
Sun saking terkejutnya sampai tak kuasa untuk menahan mulut itu agar tak terbuka. Dia menutupi mulutnya yang menganga, matanya bergetar karena terkejut luar biasa. Dia tidak menyangka kisah hidup Noah ternyata semiris itu, terlebih itu terjadi ketika dirinya masih sangat kecil.
“Ibu Noah juga tak jauh beda, aku dengar dari William kalau ibunya mengalami stres berat dan akhirnya meninggal satu tahun kemudian. Noah dikirim pamannya menuju tempat yang sangat jauh, dan tempat itu adalah New Orleans.”
Sun masih bergeming tanpa menunjukan respons apapun terhadap ucapan Ashtelle. Dirinya masih dibungkam rasa terkejut. Dia pikir Noah adalah anak yang memang sudah lahir dan tumbuh di lingkungan yang ‘kotor’, karena itulah dia besar sebagai orang yang seperti ini. Tapi ternyata, dia yang sekarang adalah kepingan dari dirinya yang amat sempurna di masa lalu yang dihancurkan ketamakan keluarganya.
Jatuh ke dalam lubang yang gelap, terjun menuju keputusasaan yang tak berujung. Itu semua pasti sulit dilalui bagi anak seusianya kala itu.
“La-lalu, bagaimana kabar pamannya saat ini? Apa Noah tidak pernah berniat untuk membalaskan perbuatan orang jahat itu?”
Ashtelle tersenyum getir, tawanya amat pahit mengingat kisah kelam lelaki yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri itu. “Aku tidak tahu apakah dia akan membalasnya atau tidak. Noah sepertinya menikmati dirinya yang sekarang tanpa ingin dirusak oleh kenangan masa lalunya.”
Sun memasang wajah prihatin. Ya ... memang ada sebagian orang yang memilih terus menjalani hidup tanpa mau diganggu bayang-bayang masa lalu. Tapi untuk kejahatan yang bahkan sudah merenggut masa depannya, jika itu adalah Sun, dia tidak akan diam saja sampai selama ini.
“Tapi yang aku tahu, ayah Noah memiliki seseorang yang sangat dia percayai. Orang itu adalah yang paling membantu pamannya dalam melaksanakan pengkhianatan itu. Noah sangat membenci orang itu dan dia berkata akan membalaskannya ketika dia dewasa. Aku rasa usia dewasa yang dia maksud adalah seperti saat-saat ini,” lanjut Ashtelle, mengalihkan atensi Sun.
“Kalau begitu, mungkin dia akan membalaskan dendamnya pada orang itu tak lama dari sekarang?” tanya Sun, Ashtelle menjawab dengan anggukan tapi sebenarnya itu tidak pasti kapan Noah akan bergerak atau tidak. “Apa anda mengenal orang itu juga?”
Ashtelle menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku bahkan terlambat tahu tentang kabar Noah dan keluarganya karena saat itu aku sedang mengandung, William ingin aku tidak tahu karena dia takut aku akan cemas berlebihan dan mempengaruhi anak kami.”
Sun mengangguk-angguk, memahami maksud ucapan Ashtelle. Meski demikian, rasa iba Sun terhadap Noah tak kunjung padam dan dia terus memikirkan lelaki itu. Sun tidak berpikir cerita panjang yang Ashtelle ucapkan adalah bualan belaka agar Sun mau berempati pada lelakinya, itu terdengar nyata dan perasaan kesal itu tersampaikan dengan baik ke lubuk hatinya.
Sekarang Sun mengerti maksud Ashtelle yang menyebut Noah adalah bibit dari surga yang besar dan tumbuh di dalam neraka. Lelaki itu bukanlah orang yang rusak dari awal. Sun bersimpati, pasti sulit jika berada di posisi Noah kala itu.
Saling diam untuk waktu yang lumayan lama, Ashtelle merasa jika waktu kunjungannya akan segera berakhir. Meski begitu, dia senang bisa mengobrol banyak dengan Sun dan juga membagi kisah Noah padanya. “Sun, jika kau merasa iba pada anak itu, jangan terlalu memperlihatkannya,” ujar Ashtelle, bergegas untuk meninggalkan taman dan kembali ke meja pesta.
Sun hanya terdiam, menunggu kelanjutan ucapan Ashtelle. Wanita itu merampungkannya dengan, “Rasa simpatimu hanya akan membuatnya merasa semakin menyedihkan.” Keduanya kemudian mulai melangkah meninggalkan taman. “Kau mungkin berpikir kalau Noah hanyalah lelaki kejam yang berbuat banyak dosa dengan pertumpahan darah, tapi bagiku yang seorang ibu—dia hanyalah anak laki-laki yang terkurung dalam masa lalunya dan tidak menemukan cahaya untuk keluar dari sana. Noah bisa saja tumbuh menjadi lelaki yang baik di tanganku, tapi aku tidak bisa mengobati luka masa lalunya.”
Itu adalah kalimat terakhir, sebelum Ashtelle benar-benar mengakhiri percakapannya dengan Sun hari itu dan kembali ke rumahnya.
-Bersambung-
Ini sudah memasuki hari kedua sejak pertemuannya dengan Ashtelle Odolff dan tiga hari sejak terakhir kali Sun menjumpai Noah Bellion.Rasanya, tiada waktu baginya untuk tidak memikirkan Noah. Sun terjebak oleh rasa cemas yang mengganjal di benaknya, dia benar-benar ingin bertemu dengan Noah. Tapi jika mengingat kembali percakapannya dengan Ashtelle dan apa saja yang sudah wanita itu ceritakan tentang Noah, rasanya Sun mati gaya untuk menentukan raut apa yang akan dia pasang di depan lelaki itu nantinya.“Aku memikirkan Noah terus seakan-akan dia sudah menempati sebuah ruang dalam hati dan otakku!” cibir Sun pada dirinya sendiri yang berakhir dengan dia berdiri bergeming.Iya ... itu benar. Sun memikirkan Noah? Apa itu karena Noah memang sudah benar-benar menempati sebuah ruang dalam benak dan otaknya?Sun menggelengkan kepala beberapa kali, berusaha menyangkal pertanyaan nyeleneh yang tiba-tiba melintasi otaknya. Tidak mungkin dia memberikan s
“Yellow Crowl?” Noah Bellion mengulang nama itu dengan nada tanya, memastikan apa yang didengarnya dari Draven barusan.Lelaki gondrong itu mengangguk sembari mengalihkan wajahnya, dia embuskan asap rokok yang tertahan dalam mulutnya dengan perlahan. “Merepotkan,” ucapnya dengan raut yang tampak sangat terbebani.Tentu saja itu adalah tugas yang tak mungkin bisa Draven atasi seorang diri. Dia sadar kalau dirinya belum berada di level yang sama dengan William sampai bisa ditugaskan untuk mengurus sebuah kelompok berisikan orang-orang sadis seperti Yellow Crowl.Yellow Crowl adalah salah satu organisasi bawah tanah yang sudah lumayan lama berdiri. Kelompok itu berisi para pembunuh bayaran profesional, mereka terkenal di dunia bawah tanah karena kecakapan mereka dalam menjalankan aksi dan juga tentu saja ... keberingasan yang tak lagi menggambarkan sifat manusia.Mengapa Noah menyebut mereka adalah kelompok yang merepotk
Dua hari setelah perintah dikeluarkan, hari di mana Noah akan melakukan apa yang diinginkan William akhirnya tiba. Setelah mengumpulkan informasi dan menyusun rencana, Noah akhirnya bertandang ke markas untuk sebuah hubungan aliansi. Atau lebih tepatnya, untuk mendapatkan kepemimpinan atas kelompok Yellow Crowl. Menurut informasi yang didapat Adam, markas utama Yellow Crowl berada di daerah Cameron, bagian dari Area Statistik Metropolitan Danau Charles.Noah datang seorang diri, dia tidak datang dengan satu pun anggota Little Boy, apalagi bersama Draven. Dia pikir lelaki berewok itu pasti amat tertohok dengan ucapan Noah dua hari lalu,
“Noah?” Sun sangat terkejut. Rupanya dia tidak salah lihat, orang yang di hadapannya ini benar-benar Noah Bellion. Orang yang sejak tadi sempoyongan dan terus dia perhatikan dari jauh. Keputusan Sun untuk mendekat ternyata sangat tepat, karena orang yang hampir limbung barusan itu adalah orang yang sangat dia kenal. “Sun ...,” ujar Noah yang juga terkejut karena tidak menyangka dirinya akan bertemu Sun di tempat ini, dan dengan keadaannya yang seperti ini. Ketimbang rasa terkejutnya, Noah rasa Sun yang paling kaget di sini karena ini a
Sun hari itu benar-benar bungkam tentang apa yang sebenarnya dia lakukan di sekitar taman kota sampai pada akhirnya dia bertemu dengan Noah sore itu. Dia hanya mengatakan kalau dirinya sedang jalan-jalan santai sembari menikmati waktu sendirinya. Itu alasan yang klasik, kendati demikian, Noah tidak akan menaruh rasa curiga yang berlebihan kepadanya karena itu adalah hal yang wajar dilakukan setiap orang di taman kota. Sun menyembunyikan kebenarannya, kalau sesungguhnya saat itu dia bertemu dengan Joana Clarke .... Sekitar jam sembilan pagi, Sun keluar dari mansion tanpa seorang pun yang tahu kecuali Lucy. Wanita itu datang ke kamar Sun sehari sebelumnya, menanyakan hasil pertemuannya dengan Beatrice dan kemudian Sun menceritakan semuanya termasuk dengan rencananya untuk menemui wanita bernama Joana. Lucy tidak ikut campur, dia biarkan Sun pergi menemui Joana pagi itu. Sun datang seorang diri ke taman kota. Menurut informasi yang dia dapatkan d
Sun selesai membersihkan dirinya. Dia merasa sangat gerah setelah menghabiskan seharian di luar dan belum mandi sejak kedatangannya ke apartemen Noah. Sun tidak mau mengganggu waktu istirahat Noah, dia melakukan semuanya dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara. Dari makannya sampai mandi.Sun tidak berganti pakaian. Dia memakai baju yang dipakainya tadi karena sekali lagi, Sun tidak mau mengganggu Noah dengan merengek dicarikan baju ganti.Rambut gadis itu masih basah, dia membawa handuk kecil ke mana-mana untuk menyerap airnya. Sun kembali ke kamar Noah untuk mengambil kardigannya, dia membutuhkan itu karena setelah mandi, dia merasa sedikit kedinginan.Tapi ketika netranya memandang Noah, dia berhenti. Sun membatalkan niatnya untuk langsung keluar setelah mengambil kardigannya yang dia letakkan di kursi yang ada di kamar itu, dan malah mendekati ranjang di mana Noah berbaring.Karena ukuran kasur yang tidak terlalu tinggi itu, kepala Sun bahk
Noah membuka matanya di hari yang cerah. Kaca besar yang menjadi sekat kamarnya dan balkon luar memantulkan cahaya matahari dengan sangat baik. Noah terbangun karena sinar surya yang menggelitik matanya, itu amat terang kendati dia masih menutup matanya. Lelaki itu bangun, menarik napas kuat-kuat seakan paru-parunya sudah lama tidak terisi udara bersih. Dia merasa tubuhnya berkali-kali lebih ringan dari semalam, sepertinya dia membaik setelah ditangani dengan tepat dan dirawat dengan baik.Ketika menolehkan kepalanya ke sisi kasur yang lain, atensi Noah sepenuhnya terbangun. Dia mendapati tempat yang semalam diisi oleh kehadiran manis seorang gadis yang terlelap di sampingnya, kini kosong dan dingin.Noah langsung beranjak dari kasurnya, berjalan ke sana dan kemari. Mencari presensi sang gadis yang tak kunjung ia temui meski sudah memeriksa kamar mandi, ruang tengah sampai dapur.Ketika ia kembali ke ruang tengah, pintu apartemennya terbuka. Menampakkan sosok Su
Ada satu hal yang tidak bisa seorang Joana Clarke lewatkan setiap harinya. Hal itu adalah hal yang paling ia sukai, hal yang selalu bisa membuatnya berdebar kendati hanya memikirkannya saja. “Eliot ...!” Iya, hal itu adalah menemui Eliot, seseorang yang sangat berharga dan satu-satunya orang yang menganggapnya berharga. Joana mempercepat langkah kakinya, menghambur memeluk Eliot dengan gembira. Eliot membalasnya tak kalah erat, sembari hidung mancungnya menyerap baik-baik aroma memabukkan dari Joana. Sesaat setelah wanita itu melepas pelukannya, mereka bercumbu dengan mesra sebagai tanda cinta keduanya. “Kau tampak senang, Joana. Apa tujuanmu tercapai?” tanya Eliot setelah tautan bibir itu terlepas. Joana mengangguk penuh antusias. Membenarkan apa yang Eliot tanyakan. “Kau bahkan datang sepagi ini, sangat ingin menceritakannya padaku?” “Tidak,” jawab Joana, lalu meletakkan kepalanya ke dada bidang Eliot. Memeluk lelaki itu dengan lebih erat. “