Share

BAB 8

Aku memaksa tubuh dan hati ini untuk istirahat sejenak. Percuma saja meneruskan pertengkaran dengan Mas Dani, yang ada aku akan semakin sakit hati. Cara berpikirnya, tingkah lakunya, sungguh membuat aku lelah. Belum lagi semua omongan yang keluar dari mulutnya, begitu menyakiti hatiku.

Aku tidak pernah membayangkan kalau orang yang kupercayakan hidup dan matiku di tangannya, justru dialah yang selalu menyakitiku. Hidup berumah tangga ternyata tidak seperti bayanganku. Kulihat rumah tangga kedua orang tuaku begitu bahagia, saling melengkapi, saling menyayangi. Kenapa rumah tanggaku seperti ini?

Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apakah aku salah bila tak sanggup bertahan? 

Adzan ashar berkumandang. Kubuka mata perlahan, mengusap air mata yang masih tersisa. Ternyata Ari sudah bangun, tapi tidak menangis, sedang memainkan ludahnya. Senyumku mengembang melihat kelucuan anakku. Hanya Ari yang membuatku mampu bertahan, hanya Ari yang menjadi pelipur laraku.

Kulihat sekitar, Mas Dani tidak ada. Mungkin sedang keluar, entah kemana. Biarlah, aku lagi malas melihat wajahnya.

Kutunaikan kewajibanku, sholat ashar empat rakaat. Ari berulang kali mengeluarkan suara, memperhatikan aku. Selesai sholat, kugendong Ari. Doa-doa terbaik kupanjatkan untuknya.

Ceklek. Terdengar suara kunci pintu dibuka. Mas Dani pulang, entah dari mana.

“Assalamu’alaikum,” ucap Mas Dani.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku.

“Kamu sudah sholat?” tanyanya.

“Sudah,” jawabku.

“Ya sudah, aku mau sholat dulu,” ucap Mas Dani.

“Hm …,” balasku malas.

*********

Derrt … derrt … derrt.

Hp Mas Dani berbunyi, tanda ada panggilan masuk. Kulirik, Nita memanggil. Hh … bikin hatiku dongkol melihat nama itu. Kubiarkan saja berbunyi karena Mas Dani masih sholat. Tidak lama berhenti sendiri panggilan teleponnya.

Derrt … derrt … derrt.

Bunyi lagi panggilan telepon dari Nita. Mau apalagi sih tuh orang, heran aku.

Mas Dani selesai sholat, buru-buru menjawab telepon dari Nita.

“Halo!” ucap Mas Dani.

Entah apa yang diucapkan Nita, aku tidak dengar, hanya wajah Mas Dani yang terlihat kesal.

“Iya, iya, iya. Nanti aku transfer. Tapi gak bisa banyak seperti biasa,” ucap Mas Dani.

Aku melotot ke arah Mas Dani, dibalasnya dengan membuang muka, melihat ke arah lain. Benar-benar menyebalkan kakak beradik ini. Aku dianggap apa?

“Tidak bisa! Tidak boleh transfer!” Aku berteriak sekencang-kencangnya supaya Nita mendengar.

Mas Dani menoleh, terlihat kaget dengan perkataanku barusan.

“Bu⎼ bukan apa-apa,” ucap Mas Dani pada Nita. Mungkin Nita bertanya apa yang aku katakan.

“Mas Dani tidak boleh transfer! Dengar kamu Nita. Tidak boleh transfer!” Teriakku ke arah hp Mas Dani.

“Kamu ini apa-apaan Mawar? Teriak-teriak begitu. Bikin malu saja,” sentak Mas Dani.

“Aku tidak malu mempertahankan hakku dan Ari, Mas. Tidak pantas kamu berbuat seperti ini kepadaku, Mas,” ucapku emosi.

“Kamu cuma gara-gara uang teriak-teriak seperti itu. Apa pantas begitu?” Mas Dani pun emosi.

“Pantas … aku pantas berbuat seperti. Ini hak aku dan Ari, Mas,” jeritku. Aku sudah tidak peduli apa kata tetangga mendengar pertengkaran kami. “Kalau kamu masih mengirim uang ke Nita, aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Lebih baik aku hidup bersama orang tuaku yang penuh kasih sayang. Tidak pernah memarahiku seperti kamu, Mas.”

“Silahkan kamu pulang! Aku tidak peduli. Istri macam apa yang tidak bisa berbagi sama saudara?! Tidak mengerti kesusahan saudara!” Bentakan Mas Dani membuat Ari menangis keras.

Emosi telah menguasaiku sepenuhnya. Dadaku bergemuruh, siap menumpahkan seluruh amarah yang telah kusimpan selama ini.

“Kesusahan saudara katamu, Mas? Kesusahan yang mana? Mana ada orang susah yang punya kartu kredit?” Balasku lantang. “Kamu itu hanya memikirkan saudaramu, berbagi untuk saudaramu. Sedangkan istri dan anakmu tidak kamu pikirkan. Aku yang setiap hari berbakti kepadamu, selalu kamu marahi. Suami macam apa kamu?”

Plak.

Sekali lagi tangan kekar Mas Dani mendarat di pipiku. Cukup sudah! Aku tidak akan bertahan lagi dengan semua perlakuannya. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku sekarang juga.

“Cukup! Ini terakhir kali tangan jahatmu menyakitiku. Jangan pernah kamu sentuh aku lagi. Aku akan pulang sekarang. Kamu telah melanggar janjimu di depan penghulu dan kepada Tuhan. Aku berhak mengajukan keberatan di mata hukum dan agama,” ucapku.

“Apa maksud kamu?” tanya Mas Dani.

Aku sudah tidak mau menanggapi lagi pertanyaannya. Kuraih hp untuk menghubungi bapak. 

“Assalamu’alaikum, Pak,” ucapku sambil terisak.

“Wa’alaikumussalam, Mawar. Lho, ada apa? Kamu menangis, Nak?” tanya bapak.

“Tolong jemput aku, Pak. Aku mau pulang ke rumah Bapak,” ucapku serak karena tangis.

“Baik, Nak. Berikan alamat kamu atau bagikan lokasi, ya!” ucap bapak tanpa banyak bertanya lagi.

“Baik, Pak,” kataku.

“Mawar … kamu serius mau pulang?” tanya Mas Dani.

Aku tetap diam. Aku berusaha menenangkan Ari yang masih saja menangis. Sambil menggendong Ari, kumasukkan semua keperluan Ari dan baju-bajuku ke dalam koper. Sambil menunggu bapak, kususui Ari hingga tertidur.

Kulihat hp, ternyata ada beberapa pesan wa. Dari bapak, yang mengatakan posisinya sudah dekat, agar aku bersiap-siap. Ada pesan juga dari Nita. Mau apa lagi dia?

[Mbak, kenapa larang mas Dani transfer uang ke aku?]

[Ingat, ya Mbak. Aku ini adik mas Dani satu-satunya. Aku berhak mendapatkan uang dari mas Dani.]

[Mbak itu baru masuk ke keluarga kami. Jadi jangan sok kuasain uang mas Dani!]

[Cepat bilang mas Dani suruh transfer sekarang juga!]

[Dasar kamu kakak ipar pelit, Mbak!]

Astaghfirullah. Kata-kata Nita sungguh menyayat hatiku yang sudah terluka ini. Geram sekali aku membaca pesannya.

[Silahkan kamu makan semua uang Mas Dani! Aku sudah tidak peduli,] balasku.

Aku segera bersiap karena sebentar lagi bapak datang. Aku letakkan koper di depan pintu.

“Mawar. Kamu benar-benar keterlaluan, ya! Kamu itu istriku, harus ikut aturan suami!” Mas Dani berbicara. “Masa, baru bertengkar begini saja, kamu langsung pulang ke rumah orang tua,”

Aku menoleh ke arahnya, kutatap matanya dengan penuh kemarahan. Tidak ada kata yang kuucapkan. Aku tidak mau membuang energiku lagi untuk orang toxic seperti dia.

“Kalau kamu mau pulang, jangan bawa Ari. Biar Ari nanti ibuku yang urus!” Mas Dani berusaha meraih Ari dari gendonganku.

Segera kutepis tangannya kasar. “Enak saja kamu bicara, Mas. Ari ini masih menyusu. Butuh aku, ibunya. Bukan butuh neneknya,” ketusku.

“Ah … gampang. Dikasih susu formula juga bisa,” Mas Dani masih berusaha merebut Ari dariku.

“Berhenti! Menjauh dariku dan Ari! Atau aku tidak akan segan berteriak minta tolong pada warga sekitar!” ancamku.

“Ari itu anakku. Aku ayahnya yang paling berhak. Aku mampu membesarkannya karena aku punya uang. Kalau kamu kan pengangguran, mana ada uang untuk membiayai Ari,” Mas Dani mencebik melihatku.

Tok … tok … tok.

Suara pintu diketuk. Itu pasti bapak sudah datang. Alhamdulillah, aku bisa segera pergi dari sini bersama Ari.

“Jangan berani kamu pergi membawa Ari!” ancam Mas Dani.

“Tolong … tolong … tolong …,” Aku berteriak sekeras mungkin. Kubuktikan kalau aku tidak main-main akan berteriak minta tolong.

Bug … bug … bug.

Suara pintu digedor dari luar.

“Dani, cepat buka pintunya! Atau saya dobrak!” Suara Bapak berteriak.

Bug … bug … bug.

Lagi pintu digedor oleh Bapak.

“Apa-apaan kamu, berteriak-teriak. Benar-benar bikin susah aku,” Mas Dani mengangkat tangannya tinggi, ingin menamparku.

“Bapak … toloooong!” Aku berteriak lebih keras lagi.

BRAK!

Pintu didobrak dari luar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status