Hati Alana berdebar-debar dalam situasi yang begitu mendadak ini. Matanya menatap tajam ke arah Alden, mencari petunjuk di dalam mata pria itu. Ada sesuatu yang menggetarkan antara mereka berdua. “Alden,” bisik Alana dengan suara yang serak. Tangannya tanpa sadar meraih lengan Alden, mencoba menahan kebingungannya sendiri. Namun, seolah mendengar panggilan hati Alana, Alden tiba-tiba menahan gerakannya. Matanya terkunci, pada mata Alana, memancarkan intensitas yang sulit diartikan. Hening menyelimuti ruang kamar itu. Hanya terdengar napas mereka yang berhambutan. Detik-detik terasa seperti jam, seolah alam semesta memperlambat waktu untuk menyaksikan momen ini. Lelaki mana yang tidak tergoda dengan tubuh seksi detektif wanita itu? Sial sekali, Alden terpana melihatnya! Lalu, dengan perlahan namun pasti, Alden mengangkat dirinya dari atas Alana. Tatapannya masih terkunci pada wajah gadis itu, seolah men
Alden memasuki ruang bawah tanah bangunan itu, dia menemukan ruangan yang kelam dengan sinar lampur redup yang terangkat dari lantai kayu yang sudah usang. Di tengah ruangan, matanya menangkap sosok Alana yang terikat di kursi dengan matanya yang terpejam. Alden bergerak dengan cepat, membebaskan Alana dari ikatan yang mengikatnya. Detik-detik itu terasa seperti waktu yang tak berujung, namun akhirnya Alana bisa merasakan kebebasan tangan dan kakinya. “Alana, apa kau baik-baik saja?” tanya Alden dengan suara lembut, mencoba membangunkan Alana. Alana membuka matanya perlahan, pandangannya langsung bertemu dengan mata tajam Alden. Dia bisa merasakan kelegaan yang mendalam saat melihat Alden di sana. “Alden...,” bisiknya dengan suara yang kemah namun penuh dengan rasa syukur. Tidak ada waktu lagi, Alden segera keluar dari bangunan itu membawa Alana menjauh dari bahaya yang mengancamnya. Alana dibawa ke mo
Frey menggeleng cepat, mencoba menepis kebingungan Alden. “Tidak, Tuan. Kami hanya rekan kerja, dan aku menghargai keberanian dan profeisionalisme detektif Alan,” jelasnya. Alden masih memandang tajam, tetapi kemudian mengangguk seolah menerima penjelasan Frey. “Baiklah, selama kau tidak mengganggu tugasmu gara-gara ini, itu tidak masalah,” ucap Alden. Frey menghela napas lega, “Terima kasih, Tuan. Aku akan memastikan semuanya ini tetap berjalan lancar.” Setelah percakana itu, Alden meninggalkan ruangan dan kembali ke dalam kamarnya yang ada di markasnya itu. Pikirannya terus memutar-mutar informasi yang mereka dapatkan, mencoba mengaitkan setiap petunjuk yang ada. Sementara itu, Frey kembali ke timnya untuk terus menyelidiki jejak organisai rahasia tersebut. Pun dengan Jessica yang kembali dengan kesibukannya sendiri. Malam semakin larut, markas Alden terasa semakin hening. Alden duduk sendirian di ru
Alana mengangkat dagunya dengan mantap menatap Alden. Dia tidak akan membiarkan pesona Alden mempengaruhi keputusannya. “Aku menghargai tawaranmu, Tuan Alden. Tapi aku telah memilih menjadi detektif. Tidak ada gaji yang bisa mengganti kepuasaan menuntaskan kasus-kasus,” jawab Alana dengan tegas. Alden tersenyum penuh arti. Ia menganggumi ketegasa Alana. Tanpa berkata apa-apa, ia memundurkan dirinya sedikit. Alana merasa sedikit lega, dan segera bangkit dari atas kaki Alden. Dia berdiri dengan canggung, dan kejadian barusan masih membuat hatinya berdegup kencang. Ada magnetisme yang sulit diabaikan. Tok... tok... tok Suara ketukan pintu membuat keduanya tersadar dan saling pandang. Alden beranjak dari duduknya, dan pergi membuka pintu. Makanan yang dipesannya baru tiba. Ia pun mengajak Alana untuk sarapan bersama. “Ini baru namanya makanan,” ucap Alden kembali menyindir Alana. Al
Alana mencoba mengingatnya kembali. Suaranya memang persis seperti suara atasannya, tapi nomor yang digunakan memang berbeda. Saat itu, ia tidak berpikir dengan jernih, dan segera mengambil tindakan karena telepon dadakan. “Aku tahu aku salah, maafkan aku,” ucap Alana dengan sungguh-sungguh. Alden terdiam, keningnya mengkerut memperhatikan gadis itu. Dia masih tidak habis pikir dengan Alana. Ketika Alana menyampaikan rencananya, dia terlihat sangat tegas dengan keseriusannya. Namun, ketika dia terlalu ceroboh untuk hal-hal sepele seperti ini. Alden mengembuskan napas kasar, dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia tidak mau membahas masalah itu lagi, dan fokus pada tujuannya yang sekarang. Dering ponsel Alana memecahkan keheningan yang ada di antara mereka. Gadis itu menjawab teleponnya, sementara Alden hanya diam mendengarkan. “Baiklah, aku mengerti,” ucap Alana sebelum memutuskan sambungan teleponnya.
“Aku akan ikut,” ucap Alana dengan santai. Alden mengerutkan keningnya semakin dalam, wajahnya semakin jelek saat melihat Alana yang berjalan mendekat kea rah Frey. Ia mendengus kesal karena wanita itu mengindahkan perintahnya. “Aku tidak mengizinkanmu untuk ikut,” kata Alden dengan serius. “Tapi, aku mau,” sahut Alana tanpa rasa bersalah. Alden mendengus kesal, dan tak lagi menyahutinya. Sementara itu, Frey yang melihat kedua orang yang saling sahut itu hanya diam dalam kebingungannya. Sejak kapan mereka menjadi dekat begitu? Bosnya yang terkenal dingin dan bicara seadanya kecuali terhadap istrinya saja bisa berbicara banyak. Sekarang kenapa dia terlihat begitu peduli dengan Alana? Setelah semua persiapan telah selesai, mereka semua keluar dari markas menuju ke tempat persembunyian organisasi rahasia itu. Alden menarik Alana yang hendak naik ke mobil Frey, dan membawa gadis itu ke mobilnya.
Alana mendorong tubuh Alden, dan berbalik pergi dengan wajahnya yang memerah seperti tomat matang. Ia mengeram kesal karena ulah Alden yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Bruk! “Nah, sudah kubilang jangan ceroboh!” ucap Alden yang melihat gadis itu terjatuh di depannya. Alana mencebik kesal. Bukannya membantu, Alden malah berjalan lebih dulu meninggalkannya. Dengan tertatih, ia menyusul pria kejam itu. Keduanya meninggalkan gedung tua yang sudah berantakan itu. Mobil Alden melaju di jalanan yang cukup sepi. Ia mengantarkan wanita yang sedang bersamanya itu. Hanya ada keheningan yang menyelimuti keduanya. Alden yang sedang fokus di jalanan, dan Alana hanya diam memandangi jalanan dari jendela mobil. Angin malam yang begitu sejuk, membuatnya suasana semakin terasa hening dan damai. Sesekali Alana menghela napas panjang. Alden yang menyadari hal itu, melirik Alana sekilas. Dari ekor
“Siapa dia?” tanya Alden. Alana memutar bola matanya dengan malas. Ia mendengus, “Dia targetmu!” jawab dengan sedikit kesal. Alden menganggukkan kepalanya tanpa minat, dan kembali fokus pada ponselnya. Hal itu membuat Alana membulatkan matanya tak percaya. Bisa-bisanya Alden terlihat biasa saja, padahal mereka punya kesempatan saat ini. Lagipula tadi Alden mengajaknya keluar untuk melakukan misi, tapi kenapa sekarang dia malah diam saja?Alana menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Sebenarnya, dia tak boleh terlalu kaget. Alden memang terkenal dengan sikap dingin dan tak terbaca.“Baiklah, kita perlu merencanakan pendekatan yang matang,” ujar Alana, mencoba memimpin situasi.Mereka duduk di sebuah sudut kafe, berdiskusi sambil memeriksa data-data yang mereka miliki. Alden masih terlihat serius, matanya fokus pada layar ponselnya.Alana mencoba untuk memikirkan setiap kemungkinan, mempertimbangkan setiap langkah yang harus dia