Bagian 2: Ternyata ….
“Maya!” Pekik jerit itu membuatku spontan membelalakan mata sebesar mungkin.
Aku terbangun dari tidurku. Napasku terengah-engah seperti orang yang habis dikejar-kejar oleh anjing. Terasa juga olehku keringat sebesar bulir jagung membasahi dahi dan rambut hingga lembab.
“Mas! Mas Refal!” Aku berteriak sambil menoleh ke sebelah kananku. Lelaki tinggi dengan rambut yang acak-acakan dan mata memerah itu merangkulku erat. Dia menatapku dengan tatapan yang bingung.
“Kamu kenapa teriak-teriak begitu? Kamu tidur nggak baca doa, ya?” Mas Refal bertanya. Dia lalu menarik napas dalam dan berdecak.
Aku masih saja terengah-engah. Kupeluk erat tubuh suamiku. Ternyata semua yang kudengar tadi hanyalah mimpi buruk belaka. Ya Allah … tapi kenapa seperti nyata sekali, ya? Bahkan, aku masih ingat betul dengan nada maupun isi kalimat mereka berdua tadi.
“A-aku … mimpi kamu selingkuh sama adikku.” Aku bergumam pelan di dada bidangnya Mas Refal. Pria yang mengenakan piyama berwarna abu-abu itu langsung menolehku dengan menundukkan kepalanya.
“Hah? Mimpi aneh macam apa itu?!” Mas Refal memicingkan matanya. Alis tebalnya bahkan sampai bertautan.
Aku sampai malu sendiri karena melihat ekspresi suamiku yang begitu. Ah, kalau tahu begitu, tidak akan kuceritakan saja!
“Ya, nggak tahu! Namanya juga mimpi!” Aku setengah kesal. Kudorong dadanya sambil menghela napas dalam-dalam.
“Kamu sih, terlalu parno! Navita itu adikmu, May. Masa aku selera sama adikmu sendiri. Dari kemarin bahasnya Navita, Navita melulu, sih!” Mas Refal mengusap-usap kepalaku. Mukanya memang terlihat agak jengkel, tapi aku tahu kalau keluh kesahnya barusan hanya sebatas gurauan pengusir galauku semata.
“Ya, wajar kalau aku parno, Mas! Navita itu cantik. Usianya baru sembilan belas. Dia lebih tinggi, lebih putih, lebih mancung, dan lebih seksi dariku. Makanya aku dari kemarin ogah kalau dia tinggal di sini. Aku takut kalau kamu macam-macam sama dia!” Aku malah ngomel-ngomel tidak keruan. Padahal, kemarin setelah ditelepon Bunda dan Ayah, aku juga sudah meluapkan isi hatiku yang paling dalam kepada Mas Refal. Kami sudah sepakat untuk menampung Navita dan Mas Refal berjanji untuk tidak macam-macam. Namun, kenapa aku masih saja belum puas?
“Astaga, May! Kalau aku cari yang lebih cantik, putih, mancung, seksi, dan apalah-apalah itu, ya udah aku lakuin dari dulu, May! Nasabahku, teman-teman sekantorku, bahkan kepala cabangku, semuanya cantik-cantik. Namun, buktinya aku malah lebih milih kamu, kan ketimbang mereka semua? Udah, ya. Kita lanjut bobo lagi. Besok aku harus berangkat kerja. Kamu katanya pagi-pagi mau ke pasar terus masak yang enak, terus habis itu lanjut aerobic?”
Aku hanya bisa menghela napas panjang saja. Akhir-akhirnya, pasti kami malah bertengkar lagi. Mas Refal tidak juga paham dengan isi hatiku!
“Ya, udah! Sana tidur duluan! Awas saja kalau ternyata nanti Navita tinggal di sini, kamu malah meleng ke dia!”
Mas Refal mengabaikan ucapanku. Lelaki dengan tinggi 180 sentimeter dan rambut lurus itu kini kembali tidur. Dia menarik selimut lagi dan membelakangiku.
“Dasar cowok! Dikasih tahu malah ngorok! Nggak menghargai istri!”
***
“Mbak Maya! Apa kabarnya? Ya ampun, kenapa sekarang agak kusam mukanya, Mbak? Padahal, dua bulan lalu pas aku ke sini, Mbak Maya masih glowing-glowing aja!” Navita si gadis berambut lurus sebahu yang dia cat dengan warna pink di bagian ujungnya itu menegurku. Nada bicaranya kurang enak. Apalagi tatapan matanya yang mengenakan softlens warna abu-abu itu.
“Masa?” tanyaku acuh tak acuh. Baru sampai ke rumahku saja, pembahasan cewek modis ini sudah menyinggung. Memangnya kalau mukaku kusam, masalah buat dia?
“Duh, Maya. Ditanyain adiknya kok, jawabannya jutek begitu? Kamu marah ya, dibilang Navita kusam? Orang mukamu emang kluwus begitu, kok!” Bunda menengahi. Perempuan 46 tahun yang menjinjing tas tangan kulitnya itu pun menatap sinis ke arahku.
Deg! Rasanya aku langsung jengkel sekali. Mereka bertiga baru keluar dari mobil dan kusambut di depan pintu rumahku, lho! Bukannya masuk dulu dan bersopan santun, malah melemparkan bom ke mukaku.
“Eh, sudah-sudah. Ayo, kita masuk dulu. Ini barang bawaannya Navita berat banget. Ayah taruh di mana ini, May?” tanya Bapak yang terlihat susah dengan dua tas jinjing besar di tangan kiri dan kanannya.
“Bawa masuk ke dalam, Pak. Suruh aja Navita yang angkat,” celetukku dengan muka masam. Mumpung tidak ada Mas Refal, aku bisa mengeluarkan ekspresi ketidaksukaanku kepada Navita dan Bunda yang biasanya memang suka bikin masalah di rumah saat kami masih tinggal bersama. Makanya dulu aku minta SMA sama kuliahnya di luar kota dan tinggal di asrama saja. Biar bebas! Yah, meskipun Bunda tidak pernah bersikap keterlaluan dan sampai main fisik, tapi ada kalanya memang terlihat lebih memihak kepada Navita dan agak-agak sensian kalau melihatku lebih dimanja. Makanya bohong sekali kalau dia bilang selama dua puluh tahun menjadi ibu sambungku selalu berbuat adil dan menjadikanku seperti anaknya sendiri! Tidak 100% benar.
“Aku kan, capek.” Navita nyelonong masuk ke ruang tamu. Bahkan dia tidak melepaskan sneakers dari kedua kakinya. Aku menghela napas dalam. Kupikir, makin besar Navita akan tumbuh semakin dewasa. Nyatanya tidak juga.
Kulihat, Ayah dengan susah payah mengangkat tas jinjing itu. Aku pun langsung menyambar salah satunya. Mengangkat tas berwarna cokelat yang terbuat dari kulit itu menuju kamar tamu yang sudah kubereskan. Kamar tamu tersebut letaknya bersebelahan dengan kamarku. Tepatnya di sebelah kiri kalau dari arah kepala tempat tidurku. Kalau dari arah ruang tamu, kamar itu berada di sebelah kanan.
“Yah, kenapa Navita jadi nggak sopan begitu?” tanyaku spontan saat kami sudah sampai di kamar.
“Dia capek itu, May,” jawab Ayah membela.
Ayah langsung terlihat lega setelah barang bawaannya dia letakan di lantai. Pandangan Ayah pun mengedar menyapu seluruh isi ruangan.
“May, tidak ada AC-nya?”
Aku menggelengkan kepala. Kamar tamu memang tidak kami pasang AC. Toh, siapa juga yang menginap di sini, kan, sebelum-sebelumnya.
“Nggak, Yah. Penghematan.”
“Tolong dipasangi AC, ya. Kasihan Navita. Dia kan, suka alergian kalau kena panas, May.” Mata Ayah menatapku penuh harap. Lihatlah rambut beliau yang semakin memutih. Usianya sudah tidak tua lagi. Bahkan kerutan di wajahnya sudah semakin memenuhi setiap sudut.
“Nanti aku bilang Mas Refal dulu, ya. Minta izin ke dia dulu, Yah.”
“Suamimu itu penurut kok, Nak. Apa pun yang kamu pinta, Refal pasti menyanggupinya. Percaya sama Ayah.” Ayahku langsung merangkul tubuhku. Beliau tersenyum lembut. Kedua matanya yang telah terlihat kelabu di pinggiran hitam bolanya itu semakin membuatku tak bisa membantah.
“Lho, Mbak, ini kamarku? Kenapa catnya warna kuning kentang, sih? Bisa diganti sama warna putih aja, nggak?!”
Aku yang tengah memperhatikan wajah melas Ayah sontak menoleh ke arah belakang. Kulihat, Navita dengan celana jins ketatnya dan kaus oversize hitam tersebut sudah berkacak pinggang di depan ambang pintu. Kedua matanya menatap angkuh ke arah seisi kamar sederhana ini.
Aku setengah syok mendengar permintaan Navita. Saat aku pulang ke rumah untuk berlibur dan menginap beberapa hari, Navita tidak segininya. Bahkan, kami jarang mengobrol karena aku lebih suka di kamar saja ketimbang bercengkerama dengan Navita yang hobi keluar rumah bersama kawan-kawan gengnya. Apa karena kurang berkomunikasi itu, jadi membuatku kurang mengenali Navita yang sesungguhnya?
“Kalau dicat lagi, mahal. Warna ini bagus, kok.”
“Ah, jelek! Kaya gedung sekolah SD. Suruh suamimu cat lagi dong, Mbak! Aku nggak sreg!”
Aku kaget bukan kepalang. Seketika aku menyesali niat baikku yang menawarinya untuk berkuliah di kota yang sama denganku serta membiayai separuh biaya pendidikan plus biaya kost-kostannya. Andai … kubiarkan saja dia kuliah di kota kecil tempat kami tinggal dan enggan ikut campur masalah masa depannya. Mungkin aku tidak akan sejengkel sekarang!
(Bersambung)
Bagian 3: Caper “Refal, Ayah bangga sama kamu. Kariermu bagus sekali. Sudah karyawan tetap di bank BUMN. Ayah doakan, semoga kelak Refal bisa jadi kepala cabang seperti Ayah dulu, ya. Kalau ingat masa-masa itu, rasanya indah sekali.” Ayah menatap langit-langit. Beliau berbicara seolah tengah mengenang masa kejayaannya. Ya, Ayah memang sudah pensiun tiga tahun yang lalu. Setelah pensiun, uang pesangonnya langsung Bunda gunakan untuk kami berangkat umroh sekeluarga. Aku, Ayah, Bunda, Navita, nenek dan kakek dari pihak Bunda, bahkan kedua adik-adiknya Bunda yang sudah punya suami. Bayangkan, betapa besarnya biaya yang digelontorkan saat itu! Dulu, aku ingin sekali memberikan masukan agar uang pesangon Ayah disimpan saja untuk biaya pendidikan adikku yang kala itu baru masuk SMA. Akan tetapi, aku tidak punya keberanian lebih karena aku paham betul bahwa aku hanyalah seorang anak yang tidak perlu banyak ikut campur urusan orangtua. Makanya, seka
Bagian 4: Kena Skak “Berkat bundamu di rumahlah, kalian bisa seperti ini, Maya. Kamu jadi sarjana yang pernah membanggakan Ayah karena cumlaude serta pernah bekerja di tempat yang bonafide. Sedangkan adikmu, Navita, dia bisa jadi juara tiga umum di sekolahnya saat penerimaan nilai ujian sekolah kemarin. Semua berkat Bunda Lisa hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak ke mana-mana.” Ayah malah memberikan pembelaan. Membuat hatiku jadi perih sendiri. Walaupun sudah dibela, muka Bunda kulihat tetap merah padam. Pasti karena ucapanku yang sangat nyelekit tadi. Rasakan itu, Bun. Aku bisa lebih pedas lagi kalau dia berani-beraninya menyinggung tentang pekerjaan maupun bentuk fisikku. Lihat saja! “Besok aku mau jadi ibu rumah tangga juga kaya Bunda. Makanya aku mau cari suami yang kaya raya biar aku nggak perlu capek-capek kerja begadang. Kalau Mas Refal sih, sebenarnya juga udah mapan menurutku. Mungkin karena dari Mbak Mayanya sendiri nggak sih
Bagian 5: Terserah Saja! “Kamu aneh, Mas! Udah jelas-jelas kamu dengar sendiri kan, kalau aku pas makan malam tadi habis-habisan dipojokin sama mereka bertiga. Kok, kamu malah bilang aku kasar ke Navita? Kamu serius, Mas?” Mataku langsung membulat sempurna. Aku pun bangkit dari rebahku. Duduk bersila dengan dua bahu yang tegang. Mas Refal pun jadi ikut bangkit dari tidurannya. Terlihat bahwa pria berambut lurus itu menghela napasnya panjang. Tangan Mas Refal lalu mengurut-urut pelipisnya. “Ya, udah. Kalau memang kamu merasa dipojokin, aku rasa cukup kamu dengarkan saja, May. Itu nggak ngaruh buat kehidupanmu, kan? Meskipun dikata-katain sama keluargamu sendiri, apa nggak sebaiknya kamu diam aja? Nggak usah ditanggepin. Toh, kamu tetap jadi Maya yang smart dan punya karier editing bagus. Oke?” Mas Refal meraih dua bahuku. Tatapan manik hitamnya pun dalam ke arah bola mataku. “Jadi, maumu apa setelah menceramahik
Bagian 6: Terkulai Lemah “Maya! Kamu ini kenapa, May?!” Suara bentakan itu menyeruak ke telingaku. Seketika duniaku jadi hening sejenak. Tak lagi ada suara-suara desahan erotis itu lagi. Perlahan aku membuka mataku. Kulihat, Mas Refal sudah duduk sambil menatapku dengan muka yang syok. Matanya membeliak kaget. Astaga! Mimpi buruk lagi! Sudah dua kali aku memimpikan hal yang sangat tidak pantas tentang Mas Refal dan adik tiriku sendiri. Ya Allah, aku ini kenapa? “Kamu kenapa teriak seperti itu, May? Kamu sampai bilang aku berzina segala! Istighfar!” Mas Refal tampak marah. Kedua tangan lelaki itu lalu menarik tanganku agar aku bisa segera bangun. “M-maaf, Mas ….” Aku berucap lirih. Ketika bangun pun, pemandanganku langsung berkunang-kunang. Segera saja aku menutup mata sejenak, tetapi tetap duduk sambil bersandar di kepala ranjang. “Astaga! Kepalamu panas ini, May! Kamu demam. Sampa
Bagian 7: Astaga! “Maya, kamu demam?” Aku terbangun dari lelapku. Kupandangi sosok di sebelah tempat tidur yang berdiri sambil memperhatikanku dengan raut khawatir. Dia adalah Bunda. Wanita kepala empat itu terlihat sudah cantik dan rapi. Rambut sebahu hitamnya dia gelung ke atas seperti pramugari. Sedangkan tubuhnya yang tinggi langsing dia balut dengan blus berwarna hitam dan celana panjang warna krem. Mau ke mana Bunda pagi-pagi begini? “Iya, Bun. Tenggorokanku sakit,” ucapku dengan suara parau. Aku berusaha untuk bangkit dari ranjang. Kepalaku ternyata masih berat. Tumben-tumbenan, pikirku. Biasanya, kalau sudah minum obat pereda nyeri seperti parasetamol, sakit kepalaku akan sembuh dalam waktu singkat. Namun, kali ini malah berbeda. Aneh! “Kata Refal tadi malam badanmu panas dan kena radang. Kasihan Refal tadi pagi. Nggak ada makanan buat sarapan di meja. Jadinya Navita yang inisiatif bikinin nasi goreng b
Bagian 8: Sorry, deh! “Nggak janji, Bun. Aku pikir, Navita ngambil kuliahnya mirip-mirip sama aku. Entah ekonomi atau mungkin akuntansi dan semacamnya. Kalau harus ambil fakultas kedokteran atau farmasi, terus aku diminta untuk membayarkannya secara full apalagi di kampus swasta favorit, aku mohon maaf. Aku nggak sanggup, Bun,” jawabku tegas. Muka Bunda langsung berubah merah. Dia buru-buru menarik genggaman jemarinya dari tanganku. Tentu saja perubahan ekspresi yang begitu tiba-tiba dan drastis tersebut membuatku ikut syok. Bunda, ternyata kemanisannya hanya karena ada mau belaka. “Kamu mau membuat mimpi adikmu kandas, May?” tanya Bunda. Mukanya seperti orang yang sudah kehabisan sabar. “Bukan begitu. Silakan bermimpi setinggi apa pun, Bun. Cuma, kalau aku harus disuruh menanggung semuanya, aku tidak mampu, Bun. Coba Bunda minta tolong ke saudara-saudara Bunda saja. Tante Amel dan Tante Alya kan, suaminya punya pekerjaan bag
Bagian 9: Tak Percaya “Mas, kamu itu kenapa, sih? Kenapa kamu tiba-tiba marah besar untuk hal sepele kaya begini? Aku memangnya salah apa sama kamu?!” Aku yang sudah kehabisan sabar pun akhirnya memuntahkan kemarahanku juga. Tidak bisa dibiarkan, pikirku. Mas Refal seperti orang yang kesetanan kalau menyangkut masalah keluarga dan adikku. Kenapa, sih? Kaya aku ini orang yang paling salah sedunia saja. Hanya karena makan malam, reaksi dia bisa seperti orang yang kebakaran bokong! “May, kamu masih tanya aku kenapa? Astaga, May! Kamu seharusnya mikirlah, May! Aku ini menantu laki-laki pertama dan satu-satunya dari orangtuamu! Apa kamu nggak mikir tanggapan dari orangtuamu ke aku bagaimana? Aku hanya nggak mau dibilang mantu durhaka yang membuat istriku jadi tidak bakti ke orangtua kandungnya sendiri. Come on, Maya! Aku begini karena aku sayang sama kamu. Aku susah untuk meyakinkan ayahmu dulu pas meminang kamu. Beliau kasih restu dengan catata
Bunda, Ayah, dan Navita pun tiga puluh menit kemudian tiba di rumah kami. Begitu girangnya Mas Refal kulihat. Dia yang tadinya murung seperti orang menahan rindu satu ton, akhirnya berseri-seri seakan tengah jatuh cinta. Terlebih saat Navita memberikan oleh-oleh yang dia pinta. “Mas Refal, ini kopi pesanannya. Mau dimasukin ke kulkas dulu apa mau langsung minum?” Adikku yang tinggi semampai dengan pinggang ramping dan bagian bokong berisi itu menawarakan. Tubuhnya yang seksi malam ini dia bungkus dengan sebuah kaus hitam ketat lengan pendek dan celana jins cutbray yang tak kalah ketatnya. Aku yang sesak melihat penampilan Navita. Apa dia tidak risih melihat cetakan bodinya yang begitu ‘nyeplak’? “Mas langsung minum aja. Makasih ya, Nav. Makasih Bun, Ayah, udah kasih oleh-oleh.” Mas Refal langsung menyambar kopi tersebut. Suamiku pun lalu berjalan menuju kursi makan yang berada di seberang tempatku duduk. Dia duduk pas di sebelah Ayah. Tersen