Bagian 16: Kecurigaan Mendalam “Kamu jangan cemberut begitu, dong! Senyum! Biar lulus tesnya,” ucapku sok menyemangati Navita yang sepanjang perjalanan menuju kampus hanya diam mematung di atas motor. Penyebabnya apalagi kalau bukan kesal kukatai open BO. Mampus kan, dia. Ternyata, hatinya tidak sekuat yang kupikir. Lemah sekali dia. Baru disindir satu kali sudah mati kutu. “Apaan sih, Mbak?” cetusnya sinis. Aku hanya mlengos sambil mencibir kecil. Kusodorkan tanganku kepada Navita untuk dia cium. Gadis itu hanya kuantar hingga gerbang depan saja. Aku juga masih di atas motor dan enggan mematikan mesin. Dengan muka jengkel, Navita menyambar kasar tanganku. Dia menciumnya seperti orang yang tidak ikhlas. Aku semakin geli saja melihat sikap kekanakannya. Yang modelan begini sudah mau merebut suaminya orang? Duh, Nav! Kamu itu masih kecil. Masang pembalut saja mungkin masih suka miring-miring. Berani-beraninya kamu mau mengganggu ru
Bagian 17: Bantahan Mertuaku “Bu, tadi mau cerita apa? Aku penasaran banget ini,” rajukku saat Bu Rini sudah muncul di hadapan dengan pakaian terbaiknya. Sebuah stelan berwarna biru laut yang sangat cantik. Celana kulot panjang, sedangkan atasannya berbentuk tunik selutut. Untuk hijabnya, Bu Rini memakai sebuah pasmina berwarna dongker. Komplet cantiknya beliau ini. Selain indah parasnya, mertuaku juga sangat pandai memadupadankan busana. “Nanti pas di warung bakso aja, May. Biar asyik ngobrolnya. Ayo, Nak. Ibu udah siap, nih!” kata ibu mertuaku dengan senyuman semringah yang lebar luar biasa. Kulihat wajah Bu Rini kian berseri saja. Selain memakai bedak tabur tipis-tipis, beliau juga mengenakan lipstik merah bata di bibirnya yang berbentuk seperti huruf M tersebut. Aku pun terpaksa harus menelan kecewa. Harus bersabar, pikirku. Padahal, penasaran yang kupendam sudah mencapai pucuk ubun-ubun. Betapa tidak, ini menyangkut ibu tiriku. Apa yang k
Bagian 18: Kesepakatan Berdua “Demi Allah, Bu! Demi Allah tidak ada yang pernah masuk ke kamar tidur kami, kecuali aku dan Mas Refal. Lantas, siapa yang memiliki ponsel ini kalau bukan suamiku sendiri, Bu? Aku tidak mungkin repot-repot mengkarang atau mengada-adakan cerita tidak jelas begini kan, Bu? Untuk apa? Untuk apa aku berhalusinasi, menuduh suamiku berselingkuh dengan adikku sendiri? Memangnya apa untungnya buatku?!” Aku berucap dengan tatapan yang penuh duka. Tangisanku terus menghujani wajah ini. Tiada henti. Sekeliling kami pun semakin menoleh ke arah tempat duduk aku dan Bu Rini. Namun, lagi-lagi aku tidak peduli. Yang penting masalah ini beres! “Astaghfirullah, Refal … kenapa kamu berubah begini, Nak? Kenapa?” Tatapan Bu Rini kini nanar. Tremor jemarinya tatkala menaruh ponselku ke atas meja demi menjauhkan foto-foto bukti tersebut. Jangankan Bu Rini yang ibu kandungnya sendiri dan kebetulan tinggal berjauhan dengan Mas Refal. Aku
Bagian 18 B: Kesepakatan Berdua Aku terdiam sejenak. Lanjut memakan baksoku, meskipun di lidah ini rasanya jadi hambar. Seperti kurang bumbu dan garam. Padahal, sepanjang yang aku tahu, bakso buatan warung Bang Jenggot ini adalah bakso terenak yang pernah aku makan di kelurahan tempat Mas Refal tinggal. Ini pasti karena hatiku sedang patah berkeping, makanya makanan enak pun jadi terasa hambar di lidah. “Kamu mau menginap sama Ibu di sini, May?” tanya Bu Rini tiba-tiba sembari mengunyah habis makanan di mulutnya. Aku sontak menggeleng. Lekas kutelan bakso yang sudah lumat akibat kunyahan, lalu kujawab pertanyaan Bu Rini dengan tegas, “Tidak mungkin, Bu. Kalau aku tinggalkan Navita dan Mas Refal berduaan di rumah saja, maka mereka akan kegirangan. Kelakuan mereka pasti akan tambah gila!” “Kalau begitu, coba besok kamu pasang saja CCTV, May. Diam-diam kamu pantau kondisi rumah. Lalu, sesekali kamu ke rumahnya Ibu. Buat alas
Bagian 19: Jalang Yang Menguji Imanku Selesai makan bakso berduaan dengan Bu Rini, kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah beliau. Beliau mengajakku beristirahat sejenak di teras belakang rumahnya sambil menikmati segelas es teh lemon buatan tangannya sendiri. Sudah kutolak sebab perutku masih kenyang akan bakso dan es teh manis di warung Bang Jenggot tadi, tetapi Bu Rini tetap memaksa agar aku meminum es the buatannya. Di teras belakang, kami berdua duduk di kursi rotan tua yang menghadap ke arah taman yang ditanami dengan aneka pohon buah dan bunga-bunga hias dalam pot. Ada pohon nangka dan rambutan, serta ada pula tanaman empon-emponan seperti kunyit, jahe, dan lengkuas. Sedangkan bunga-bunga yang tumbuh di dalam pot-pot hitam didominasi oleh bugenvil dan bunga kenanga. Saat aku tengah duduk sembari menikmati segelas es the lemon buatan Bu Rini, ponsel di dalam celanaku berdering. Sudah kuduga bahwa telepon masuk itu adalah dari adikku,
Bagian 20: Tetes Air Mata “Anak nggak punya otak kamu, Nav!” Setelah memaki Navita, aku pun langsung mematikan sambungan teleponku. Mau ditaruh di mana mukaku di depan Bu Rini sekarang? Aku sebagai menantunya kini tak bisa berkata-kata lagi saat adikku sendiri menghina mertuaku di depannya. Walaupun via telepon dan hinaan itu bukan dari mulutku sendiri, tetapi itu menandakan bahwa aku memiliki keluarga yang tidak beres, kan? Aku sebagai kakak juga sudah gagal besar dalam mendidik adikku. Ya Allah, semoga Bu Rini tidak menaruh kebencian kepadaku juga. Aku takut. Benar-benar takut. “Adikmu benar-benar keterlaluan, May,” ucap Bu Rini. Aku menoleh kepada beliau. Kulihat air mata di pipi beliau ternyata sudah menitik. Gegas aku memeluk Bu Rini dan mengusap-usap pundaknya. “Bu, aku minta maaf, ya. Navita sangat keterlaluan sekali. Mulutnya seperti tidak pernah diajari sopan santun oleh orangtua. Sebagai kakaknya, aku bena
Bagian 21: Telepon Makian dari SuamikuKutarik napas dalam-dalam. Kupersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi saat aku mengangkat telepon dari suamiku tersebut. Semoga saja, isi telepon ini bukan caci maki lagi, sebab aku sudah capek mengeluarkan ucapan tak senonoh dari mulut untuk membalas segala kalimat yang menyakitkan dari orang apalagi suami sendiri. Kuangkat telepon dari Mas Refal sambil ku-loudspeaker-kan. Biar Bu Rini bisa mendengar kata-kata yang terlontar dari anaknya. “Assalamualaikum,” sapaku lembut pada Mas Refal meskipun sebenarnya hatiku begitu sakit dan dongkol. “Kamu di mana?” Dengar sendiri, bukan? Dia bahkan tidak menjawab salam dariku. Malah bertanya di mana diriku berada. Padahal, sekarang baru pukul empat sore, lho. Mas Refal seharusnya masih berada di meja kerjanya untuk meneruskan pekerjaan meskipun pelayanan di bank sudah ditutup untuk para konsumen. "Di rumah ibu
Bab 22: Air Mata Ibu “Ibu benar-benar tidak percaya kalau sikap Refal bisa berubah sedrastis ini, May. Ibu seperti tidak lagi mengenali suamimu itu. Dia seperti bukan anak Ibu yang dulu Ibu besarkan dengan penuh kasih sayang. Ya Allah, ada apa dengan Refal sebenarnya?” Bu Rini terisak kembali seusai dia memutuskan sambungan telepon sepihak dari anaknya. Ibu mertuaku itu benar-benar terlihat frustrasi. Tega benar Mas Refal. Lelaki itu seperti orang yang kesetanan. Dia sudah lupa daratan, hingga tega-teganya mencaci maki ibu kandungnya sendiri. Biadab! “Bu, sudah, ya. Ibu jangan sedih lagi. Ada Maya di sini, Bu. Kita jangan bahas Mas Refal dulu. Lebih baik kita lupakan sejenak laki-laki itu. Aku tahu kalau Ibu pasti terluka dengan sikapnya, tapi aku yakin, suatu hari nanti Mas Refal pasti akan menyesal dan meminta ampun kepada Ibu atas kejadian tadi.” Lekas kupeluk erat tubuh Bu Rini. Mau berapa kali dia menangis hari ini. Kasihan sekali, pikirk